Jumat, 13 Maret 2015

Berapa Lama Seseorang Menyandang Status Tersangka?

Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Ini berdasarkan definisi yang diberikan dalam Pasal 1 angka 14Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”). Definisi serupa juga disebutkan dalam Pasal 1 angka 10 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana (“Perkapolri 14/2012”). Sedangkan yang dimaksud dengan bukti permulaan adalah alat bukti berupa Laporan Polisi dan 1 (satu) alat bukti yang sah, yang digunakan untuk menduga bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana sebagai dasar untuk dapat dilakukan penangkapan (Pasal 1 angka 21 Perkapolri 14/2012).
 
Mengenai berapa lama seseorang menjadi tersangka, ini bergantung dari berapa lama proses penyidikan tersebut. Karena selama proses penyidikan tersebut berlangsung, orang tersebut masih berstatus sebagai tersangka.Sedangkan jika penyidikan telah selesai dan berkas perkara tersebut telah disidangkan di pengadilan, maka status orang tersebut berubah menjadi terdakwa. Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan (Pasal 1 angka 15 KUHAP).
 
Selain itu, seseorang juga bisa tidak lagi menyandang statusnya sebagai tersangka, jika terhadap perkaranya dilakukan penghentian penyidikan (Pasal 109 ayat (2) KUHAP).
 
Penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf i, dilakukan apabila: (lihat Pasal 76 ayat (1) Perkapolri 14/2012)
a.    tidak terdapat cukup bukti;
b.    peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana; dan
c.    demi hukum, karena:
1.    tersangka meninggal dunia;
2.    perkara telah kadaluarsa;
3.    pengaduan dicabut (khusus delik aduan); dan
4.    tindak pidana tersebut telah memperoleh putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap (nebis in idem).
 
Dalam hal dilakukan penghentian penyidikan, penyidik wajib mengirimkan surat pemberitahuan penghentian Penyidikan kepada pelapor, JPU, dan tersangka atau penasihat hukumnya (Pasal 76 ayat (3) Perkapolri 14/2012). Sebagai referensi mengenai penghentian penyidikan, Anda dapat membaca artikel Apakah Perkara yang Sama Bisa Dua Kali di-SP3?
 
Kemudian apakah mengenai dapat dilakukan praperadilan atas status seseorang sebagai tersangka, maka kita perlu melihat apa saja yang dapat dimintakan praperadilan. Berdasarkan Pasal 1 angka 10 dan Pasal 77 KUHAP, praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam KUHAP, tentang:
a.    sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b.    sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c.    permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
 
Sebagai referensi, silakan baca artikel Objek Praperadilan Menurut KUHAP.
 
Pada praktiknya, status seseorang sebagai tersangka dapat dijadikan objek praperadilan, seperti yang pernah diberitakan dalam artikel Hakim Perintahkan Jaksa Bebaskan Karyawan ChevronYang teranyar adalah putusan dalam praperadilan Komjen Pol Budi Gunawan sebagaimana diberitakan dalam artikel Ini Rekaman Putusan Praperadilan Budi Gunawan. Dalam artikel tersebut dikatakan bahwa Hakim Sarpin Rizaldi membatalkan penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka. Dalam pertimbangannya, Sarpin menafsirkan penetapan tersangka sebagai salah satu upaya paksa yang masuk dalam lingkup praperadilan. Sarpin beralasan karena undang-undang tidak mengatur secara jelas apa yang dimaksud upaya paksa, maka hakim berhak menafsirkan apa saja yang dikategorikan sebagai upaya paksa. Ia menilai penetapan tersangka merupakan salah satu upaya paksa karena tindakan itu dilakukan dalam ranah pro justisia.
 
Perlu diketahui bahwa tidak adanya jangka waktu penyidikan terkadang membuat proses penyidikan begitu lama sehingga muncul kekhawatiran secara de facto sebenarnya penyidikan telah dihentikan namun penyidik tidak mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Hal ini yang mendorong LSM Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) untuk mengajukan praperadilan. Salah satunya untuk mengetahui apakah satu perkara memang masih sedang disidik atau malah sudah dihentikan penyidikannya. Lebih lanjut silakan baca artikel Praperadilan, SP3, dan Egoisme Sektoral Aparat Hukum.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
2.    Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
  

Pemerasan yang Dilakukan oleh Selingkuhan


ika perselingkuhan tersebut hanya lewat telepon tanpa adanya hubungan badan antara si wanita dan si laki-laki, maka keduanya tidak dapat dipidana atas dasar perzinahan. Akan tetapi, jika perselingkuhan tersebut dilakukan melalui SMS dan SMS itu bermuatan yang melanggar kesusilaan, maka orang yang mengirim SMS tersebut dapat dipidana.
 
Sedangkan mengenai pemerasan, si wanita maupun suaminya yang melakukan pemerasan juga dapat dipidana.
 
Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini.
 
 
 
Ulasan:
 
Mengenai selingkuh, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam laman Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, selingkuh berarti suka menyembunyikan sesuatu untuk kepentingan sendiri; tidak berterus terang; tidak jujur; curang; serong; suka menggelapkan uang; korup; suka menyeleweng.
 
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) tidak diatur mengenai selingkuh. Yang diatur adalah mengenai zina. Zina diatur dalamPasal 284 KUHP. Mengenai pasal ini, R. Soesilo (hal. 209) dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan isteri atau suaminya. Supaya masuk pasal ini, maka persetubuhan itu harus dilakukan dengan suka sama suka, tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak. Perbuatan zina ini dapat dipidana sepanjang adanya pengaduan dari pasangan resmi salah satu atau kedua belah pihak. Penjelasan lebih lanjut mengenai perzinahan dapat Anda simak dalam artikel Persoalan Kawin Siri dan Perzinahan.
 
Oleh karena itu, jika selingkuh tersebut hanya sekedar bincang-bincang melalui telepon, maka baik si laki-laki maupun si wanita yang berselingkuh tersebut tidak dapat dihukum berdasarkan Pasal 284 KUHP.
 
Akan tetapi berbeda jika selingkuh melalui telepon itu disertai dengan SMS atau kata-kata yang mengandung muatan yang melanggar kesusilaan. Jika salah satu pihak dalam perselingkuhan itu mengirimkan SMS dengan kata-kata yang mengandung muatan yang melanggar kesusilaan, maka orang yang mengirimkan kata-kata tersebut bisa dipidana berdasarkan Pasal 27 ayat (1) jo. Pasal 45 ayat (1)Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”):
 
Pasal 27 ayat (1) UU ITE:
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
 
Pasal 45 ayat (1) UU ITE:
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
 
Jika perbuatan mengirimkan SMS bermuatan melanggar kesusilaan tersebut menimbulkan kerugian bagi orang lain (Pasal 36 UU ITE), maka dapat dipidana berdasarkan Pasal 51 ayat (2) UU ITE:
 
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
 
Sedangkan mengenai pemerasan yang dilakukan oleh wanita tersebut maupun suaminya, hal tersebut dapat dipidana berdasarkan Pasal 369 KUHP:
 
(1) Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan ancaman pencemaran baik dengan lisan maupun tulisan, atau dengan ancaman akan membuka rahasia, memaksa seorang supaya memberikan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang atau menghapuskan piutang, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
(2) Kejahatan ini tidak dituntut kecuali atas pengaduan orang yang terkena kejahatan.
 
Menurut R. Soesilo, kejahatan ini dinamakan “pemerasan dengan menista” (afdreiging atau chantage). Yang dimaksud dengan “rahasia” (R. Soesilo merujuk pada penjelasannya di Pasal 322 KUHP) yaitu barang sesuatu yang hanya diketahui oleh yang berkepentingan, sedangkan orang lain belum mengetahuinya. Kejahatan ini adalah delik aduan absolut (Pasal 369 ayat [2] KUHP). Contoh chantage misalnya, A mengetahui rahasia B, kemudian datang pada B dan minta supaya B memberi uang kepada A dengan ancaman, jika tidak mau memberikan uang itu, rahasianya akan dibuka. Oleh karena B takut akan dipermalukan, maka ia terpaksa memberikan uang itu.
 
Jika memang si wanita tersebut maupun suaminya melakukan pemerasan dengan ancaman akan membuka rahasia mengenai perselingkuhan melalui telepon tersebut, maka mereka dapat dipidana dengan Pasal 369 KUHP ini, dengan syarat kedua orang tersebut diadukan oleh orang yang diperas.
 
Sebagai contoh, dalam PutusanPengadilan Tinggi Bali Nomor: 36/PID/2014/PT.DPS, korban berselingkuh dengan terdakwa. Kemudian terdakwa mulai mengancam korban. Terdakwa mengancam akan menceritakan perselingkuhan tersebut kepada istri dan anak-anak korban jika korban tidak memberikan uang kepada terdakwa. Atas perbuatannya, terdakwa dipidana karena melanggar Pasal 369 KUHP dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 2 (dua) bulan.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
 
Putusan:
  

Arti Pidana Bersyarat dan Pembebasan Bersyarat

Terima kasih atas pertanyaan Saudara.
 
Pertama, kami akan menjelaskan mengenai Pidana Bersyarat terlebih dahulu. Pidana bersyarat adalah Pidana dengan syarat-syarat tertentu, yang dalam praktik hukum disebut dengan pidana/hukuman percobaan. Pidana bersyarat adalah suatu sistem penjatuhan pidana oleh hakim yang pelaksanaannya bergantung pada syarat-syarat tertentu atau kondisi tertentu.
 
Dalam buku “Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya” (Kanter E.Y & S.R. Sianturi, 2002, Storia Grafika) dijelaskan bahwa pidana bersyarat adalah “Sekedar suatu istilah umum, sedangkan yang dimaksud bukanlah pemidanaannya yang bersyarat, melainkan pemidanaannya pidana itu yang digantungkan pada syarat-syarat tertentu.”
 
Pidana bersyarat diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(“KUHP”) pada Pasal 14 a yang berbunyi:
 
(1) Apabila hakim menjatuhkan pidana paling lama satu tahun atau pidana kurungan, tidak termasuk pidana kurungan pengganti maka dalam putusnya hakim dapat memerintahkan pula bahwa pidana tidak usah dijalani, kecuali jika dikemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan karena si terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut diatas habis, atau karena si terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat khusus yang mungkin ditentukan lain dalam perintah itu.
(2) Hakim juga mempunyai kewenangan seperti di atas, kecuali dalam perkara-perkara yang mangenai penghasilan dan persewaan negara apabila menjatuhkan pidana denda, tetapi harus ternyata kepadanya bahwa pidana denda atau perampasan yang mungkin diperintahkan pula akan sangat memberatkan si terpidana . Dalam menerapkan ayat ini, kejahatan dan pelanggaran candu hanya dianggap sebagai perkara mengenai penghasilan negara, jika terhadap kejahatan dan pelanggaran itu ditentukan bahwa dalam hal dijatuhkan pidana denda, tidak diterapkan ketentuan pasal 30 ayat 2.
(3) Jika hakim tidak menentukan lain, maka perintah mengenai pidana pokok juga mengenai pidana pokok juga mengenai pidana tambahan.
(4) Perintah tidak diberikan, kecuali hakim setelah menyelidiki dengan cermat berkeyakinan bahwa dapat diadakan pengawasan yang cukup untuk dipenuhinya syarat umum, bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, dan syarat-syarat khusus jika sekiranya ditetapkan.
(5) Perintah tersebut dalam ayat 1 harus disertai hal-hal atau keadaan-keadaan yang menjadi alasan perintah itu.
 
Pidana bersyarat pernah kita dengar pada suatu kasus yang terkenal yakni pemidanaan Rasyid Amrullah Rajasa. Dalam kasus ini, majelis hakim menerapkan Pasal 14 a KUHP yang bertujuan sebagai wujud pencegahan agar tidak melakukan hal yang sama. Ketua Majelis Hakim yang menjatuhkan vonis, Suharjono, berpandangan bahwa telah terwujud prinsip teori hukum restorative justice dalam putusan hakim sehingga setimpal dengan perbuatan Rasyid. Selain itu, Suharjono juga mengatakan “Terdakwa berlaku sopan, tidak mempersulit persidangan, masih muda, dan keluarga bertanggung jawab. “ Baca berita selengkapnya di sini.
 
Penjelasan lain yang dapat melengkapi jawaban atas pidana bersyarat ini adalah artikel jawaban Sdr. Anggara yang berjudul Pidana Bersyarat.
 
Kedua, mengenai Pembebasan Bersyarat. Pembebasan bersyarat adalah bebasnya Narapidana setelah menjalani sekurang-kurangnya dua pertiga masa pidananya dengan ketentuan dua pertiga tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan. Pengertian ini terdapat dalam Penjelasan Pasal 12 huruf k UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan..
 
Mengenai prosedur dan syarat suatu Pembebasan Bersyarat, dapat dilihat pada artikel jawaban dari Sdri. Diana Kusumasari yang berjudul Syarat dan Prosedur Pengajuan Pembebasan Bersyarat.
 
Terima kasih, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
 

Apakah Karyawan yang Dijatuhi Pidana Percobaan Tetap Dapat Dipekerjakan?


Pekerja yang dijatuhi hukuman percobaan dapat tetap dipekerjakan di perusahaan bergantung pada kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja yang bersangkutan yang tertuang dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan.
 
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
 
 
 
Ulasan:
 
Pidana/hukuman percobaan atau yang disebut juga sebagai pidana bersyarat adalah sistem penjatuhan pidana oleh hakim yang pelaksanaannya bergantung pada syarat-syarat tertentu atau kondisi tertentu. Seperti misalnya, pidana harus dijalankan jika sebelum masa percobaan tersebut selesai, orang tersebut melakukan tindak pidana. Ini berarti jika orang tersebut tidak melakukan tindak pidana selama masa percobaan, maka pidana tersebut tidak perlu dijalankan. Penjelasan lebih lanjut soal pidana percobaan dapat Anda simak dalam artikel Adakah Perbedaan Antara Pidana Bersyarat dan Pidana Percobaan?
 
Jadi, mengacu pada penjelasan di atas soal pidana percobaan, maka pada dasarnya karyawan yang berada dalam masa percobaan, dalam praktiknya, hukuman percobaan/bersyarat ini mungkin sama sekali tidak dirasakan sebagai hukuman.
 
Di samping itu, terkait soal tindak pidana yang dilakukan karyawan sehingga pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja dahulu diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) yaitu Pasal 158 ayat (1) huruf j UU Ketenagakerjaan, yang mengatakan bahwa pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat seperti melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Akan tetapi, pasal ini telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tanggal 28 Oktober 2004 dengan Putusan Nomor 012/PUU-I/2003.
 
Merujuk pada ketentuan pada UU Ketenagakerjaan, pada dasarnya tidak ada kewajiban bagi pengusaha untuk melakukan pemutusan hubungan kerja atau tidak mempekerjakan pekerja lagi jika ia dijatuhi pidana percobaan.
 
Lain lagi dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana, maka pengusaha tidak wajib membayar upah tetapi wajib memberikan bantuan kepada keluarga pekerja/buruh yang menjadi tanggungannya [lihat Pasal 160 ayat (1) UU Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003 yang menghilangkan frasa “…bukan atas pengaduan pengusaha…”].
 
Mengenai apakah kemudian karyawan yang sedang menjalani pidana percobaan ini tetap diizinkan bekerja atau tidak, menurut hemat kami, hal ini dikembalikan pada kesepakatan antara pengusaha dengan karyawan yang bersangkutan yang tertuang dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan.
 
Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Demikian yang disebut dalam Pasal 1 angka 14 UU Ketenagakerjaan. Jadi, apabila dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan mengatur bahwa pengusaha berhak memberhentikan pekerja yang terlibat tindak pidana, maka pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja dengan pekerja tersebut karena alasan pekerja telah melanggar perjanjian kerja atau peraturan perusahaan tersebut.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
 
Putusan:
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003
  

Jabatan Dinaikkan Tapi Gaji Tetap


Bilamana pengusaha memaksa menaikkan jabatan pekerjanya, dalam arti tanpa persetujuan pekerja, maka menurut hemat kami, kemungkinannya hal tersebut dapat diartikan pengusaha telah memerintahkan karyawan untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan, sementara karyawan hanya bersedia bekerja sesuai dengan isi perjanjian kerja sebelumnya. Konsekuensinya bila pekerja menolak, bisa menjadi perselisihan hak bilamana karyawan tetap bertahan pada pendiriannya bekerja di jabatan yang lama.
 
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
 
 
 
Ulasan:
 
Pada dasarnya, hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha merupakan domain dari masing-masing pihak yang dituangkan dalam perjanjian kerja (“PK”), peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Hal ini sesuai dengan pengertian dari hubungan kerja dalamPasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”):
 
“Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.”
 
Oleh karena itu, jika pekerja menolak kenaikan jabatan, dalam arti pengusaha memaksa pekerja untuk menaikkan jabatan, maka kenaikan jabatan yang tertuang dalam PK menjadi batal demi hukum.
 
Hal ini sesuai dengan prinsip hukum perjanjian dalam Pasal 1323 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) yang mengatur bahwa:
 
Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang mengadakan suatu persetujuan mengakibatkan batalnya persetujuan yang bersangkutan, juga bila paksaan itu dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak berkepentingan dalam persetujuan yang dibuat itu.”
 
Ketentuan ini mengandung arti bahwapaksaan terjadi jika seseorang memberikan persetujuannya karena ia takut pada suatu ancaman. Jika suatu perjanjian dibuat di bawah ancaman, yakni ancaman bahwa pekerja akan dipecat tanpa pesangon, maka PK menjadi batal demi hukum. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam artikel Keabsahan Perjanjian yang Dibuat di Bawah Ancaman.  
 
Dengan demikian, menurut hemat kami, pekerja yang dipaksa dinaikkan jabatannya dengan diancam akan dilakukan pemutusan hubungan kerja ("PHK") tanpa pesangon pada dasarnya mendapatkan ancaman dalam membuat persetujuan, sehingga pekerja tersebut tidak berkewajiban untuk menyelesaikan pekerjan pada jabatan barunya itu.
 
Anda mengatakan bahwa upah/gaji yang diberikan kepada pekerja yang jabatannya dipaksa dinaikkan itu “tidak sesuai. Di sini kami asumsikan bahwa maksudnya adalah kenaikan jabatan tidak diimbangi dengan kenaikan upah/gaji.
 
Pada dasarnya, UU Ketenagakerjaan tidak mengatur secara tegas soal kenaikan gaji. Namun, UU Ketenagakerjaan mengamanatkan pengusaha untuk menyusun struktur dan skala upah sebagai salah satu kebijakan pengupahan [lihat Pasal 92 ayat (1) UU Ketenagakerjaan]:
 
(1) Pengusaha menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi.
(2) Pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas.
(3) Ketentuan mengenai struktur dan skala upah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.
 
Penyusunan struktur dan skala upah dimaksudkan sebagai pedoman penetapan upah sehingga terdapat kepastian upah tiap pekerja/buruh serta untuk mengurangi kesenjangan antara upah terendah dan tertinggi di perusahaan yang bersangkutan. Demikian yang disebut dalam Penjelasan Pasal 92 ayat (1) UU Ketenagakerjan.
 
Sedangkan Keputusan Menteri yang dimaksud dalam Pasal 92 ayat (3) UU Ketenagakerjaan adalah Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep-49/Men/IV/2004 tentang Ketentuan Struktur Dan Skala Upah (“Kepmenakertrans No. Kep-49/Men/IV/2004”)]. Dalam struktur dan skala upah tersebut, tergambar jenjang kenaikan upah standar yang mendasarkan/memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, (kualifikasi) pendidikan dan kompetensi kerja masing-masing pekerja/buruh serta mempertimbangkan kondisi perusahaan [lihat Pasal 92 ayat (2) UU Ketenagakerjaan jo Pasal 10 ayat [2] Kepmenakertrans No. Kep-49/Men/IV/2004]. Penjelasan lebih lanjut soal kenaikan gaji dapat Anda simak dalam artikel Kenaikan Gaji. Ini artinya, kenaikan upah didasarkan tidak hanya pada jabatan pekerja, tetapi juga dengan memperhatikan kondisi perusahaan.
 
Bilamana pengusaha memaksa menaikkan jabatan pekerjanya, dalam arti tanpa persetujuan pekerja, maka menurut hemat kami, kemungkinannya hal tersebut dapat diartikan pengusaha telah memerintahkan karyawan untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan, sementara karyawan hanya bersedia bekerja sesuai dengan isi perjanjian kerja sebelumnya (saat ia tidak dipaksa naik jabatan). Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 169 ayat (1) huruf e jo. Pasal 93 ayat (2) huruf f jo. Pasal 54 ayat (1) huruf c dan d UU Ketenagakerjaan. Konsekuensinya adalah pekerja berhak untuk meminta PHK (Pasal 169 ayat (1) huruf e UU Ketenagakerjaan). Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam artikel Bolehkah Pengusaha Merotasi Karyawan Secara Sepihak?
 
Dalam artikel tersebut juga disebutkan konsekuensi lainnya, yaitu bila pekerja menolak, bisa menjadi perselisihan hak bilamana karyawan tetap bertahan pada pendiriannya bekerja di jabatan yang lama. Soal langkah hukum, pekerja dapat menempuh upaya bipatrit, yaitu membicarakan secara musyawarah terlebih dahulu mengenai masalah ini antara pengusaha dan pekerja (Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial- “UU PPHI”).
 
Perundingan ini harus dilaksanakan paling lambat 30 hari berdasarkanPasal 3 ayat (2) UU PPHI. Apabila perundingan bipartit ini gagal atau pengusaha menolak berunding, maka penyelesaian kemudian ditempuh melalui jalur tripartit yaitu mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan [Pasal 4 ayat (1) UU PPHI].
 
Nantinya, pekerja dan pengusaha ditawarkan upaya penyelesaian perselisihan. Untuk perselisihan hak, upaya penyelesaian perselisihan yang dapat dipilih salah satunya adalah Mediasi Hubungan Industrial.
 
Mediasi Hubungan Industrial adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan PHK, dan perselisihan antar serikatpekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral [Pasal 1 angka 11 UU PPHI].
 
Dalam hal penyelesaian melalui mediasi tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial (Pasal 5 UU PPHI).
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
4.    Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep-49/Men/IV/2004 tentang Ketentuan Struktur Dan Skala Upah.