Jumat, 13 Maret 2015

Apakah Hak atas Privasi Termasuk HAM?

Hak atas privasi memang tidak dicantumkan secara eksplisit di dalamUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Namun, secara implisit hak atas privasi terkandung di dalam Pasal 28G ayat (1) UUD NRI 1945 sebagai berikut:
“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan  hak asasi”.
 
Rumusan Pasal 28G ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tersebut memiliki nuansa perlindungan yang sama dengan rumusan Article 12 UDHR yang kemudian diadopsi ke dalam Article 17 ICCPR yang secara eksplisit memberikan jaminan terhadap hak atas privasi.
 
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 tentang Perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Mahkamah Konstitusi memberikan terjemahan atas Article 12 UDHR dan Article 17 ICCPR. Dalam terjemahan tersebut, kata “privacy” diterjemahkan sebagai “urusan pribadi/masalah pribadi” sebagaimana yang tertera dalam Pasal 28G UUD NRI 1945 sebagai berikut:
Article 12 UDHR :
No one shall be subjected to arbitrary interference with hisprivacy, family, home or correspondence, nor to attacks upon his honour and reputation. Everyone has the right to the protection of the law against such interference or attacks”.
 
Terjemahan dalam Putusan MK:
“Tidak seorang pun boleh diganggu urusan pribadinya, keluarganya, rumah tangganya, atau hubungan surat-menyuratnya, dengan sewenang-wenang, juga tidak diperkenankan melakukan pelanggaran atas kehormatannya dan nama baiknya. Setiap orang berhak mendapat perlindungan hukum terhadap gangguan-gangguan atau pelanggaran seperti ini”.
 
Article 17 ICCPR :
1.    “No one shall be subjected to arbitrary or unlawful interference with his privacy, family, home or correspondence, nor to unlawful attacks on his honour and reputation”;
2.    “Everyone has the right to the protection of the law against such interference or attacks”.
 
Terjemahan dalam Putusan MK
1.    “Tidak ada seorang pun yang boleh dicampuri secara sewenang-wenang atau secara tidak sah dicampuri masalah pribadi, keluarga, rumah atau korespondensinya, atau secara tidak sah diserang kehormatan dan nama baiknya”.
2.    “Setiap orang berhak atas perlindungan hukum terhadap campur tangan atau serangan tersebut”.
 
Dalam General Comment Human Rights Committee No. 16 tentang Article17 ICCPR yang memberikan jaminan terhadap hak atas privasi, tidak menjelaskan makna yang tegas mengenai apa yang dimaksud dengan privasi. Beberapa pakar hukum telah mencoba memberikan definisi dan makna dari hak atas privasi.
 
Russel Brown mengartikan hak atas privasi sebagai hak yang lahir akibat adanya hak atas milik pribadi terhadap suatu sumber daya tertentu (Russel Brown: 2006, hlm.592). Hakim Cooly memberikan definisi mengenai hak atas privasi sebagai hak atas kebebasan menentukan nasib sendiri.
 
Definisi tersebut kemudian dikutip dalam putusan Supreme Court Amerika Serikat sebagai “the right of bodily integrity”. Secara tegas, Supreme Court menyatakan bahwa hak atas privasi merupakan hak individu yang fundamental bagi setiap orang untuk bebas tanpa campur tangan pemerintah dalam memutuskan apa yang terbaik bagi dirinya sendiri (Eoin Carolan: 2008, hlm 6). Putusan Supreme Court tersebut bahkan menjadi dasar diperkenankannya praktek aborsi secara hukum di Amerika Serikat melalui perkara Jane Roe v. Henry Wade pada tahun 1973 (Roe v. Wade, 410 U.S. 113, 1973). Oleh karena itu, Hakim Harlan mengatakan bahwa hak atas  privasi merupakan konsep kontemporer dari hak atas kebebasan individu (G. Negley: 1966, hlm. 319).
 
Layaknya karakter umum atau sifat dari hak asasi manusia yang tidak terbagi, saling berkaitan dan bergantung satu sama lain (indivisible, interrelated and interdependent), hak atas privasi memiliki kaitan erat dengan hak atas kebebasan berbicara. Hak atas privasi  dan hak atas kebebasan berbicara merupakan dua hal yang saling mendukung. Memberikan perlindungan terhadap hak atas privasi, berarti memberikan perlindungan pula terhadap hak atas kebebasan berbicara (Eoin Carolan: 2008, hlm. 25).
 
Sebagai contoh, dalam masyarakat yang demokratis, penting untuk menjaga privasi dalam komunikasi di antara masyarakat, kekhawatiran akan adanya pantauan terhadap anggota masyarakat dari pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab akan mengakibatkan ketidakbebasan dalam berpendapat. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan ide-ide konstruktif dalam kehidupan demokrasi tidak dapat disuarakan (Eoin Carolan: 2008, hlm. 27). Artinya, hak atas privasi menjamin perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
 
Selain keterkaitan yang bersifat saling menguatkan, kehadiran hak atas privasi juga harus diartikan sebagai balancing dari hak atas kebebasan berpendapat. Maksud dari balancing tersebut adalah hak atas reputasi yang merupakan bagian dari hak atas privasi harus menjadi batasan dari hak atas kebebasan berpendapat (Giri A.Taufik, Identifying The Traces of Particularity in Indonesia Freedom of Expresion, 2011, hlm. 389). Konsepbalancing tersebut dinyatakan secara tegas dalam Pasal 28J ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa dalam menjalankan hak asasinya, hak asasi seseorang akan dibatasi oleh hak asasi orang lain. Dalam hal hak atas kebebasan berpendapat, hak atas reputasi orang lain menjadi batasan setiap warga negara dalam menjalankan hak berpendapatnya.
 
Berdasarkan uraian di atas, meskipun tidak secara eksplisit menyatakan mengenai hak atas privasi, rumusan Pasal 28G ayat (1) telah mengandung nilai-nilai hak atas privasi yang dijamin di dalam Article 12 UDHR dan Article 17 ICCPR. Oleh karena itu, Pasal 28G ayat (1) dapat dikatakan sebagai landasan konstitusional mengenai jaminan hak atas privasi.
 
Dalam konteks sifat hak asasi manusia yang indivisible, interrelated daninterdependent, Pasal 28G ayat (1)  berkaitan erat dengan Pasal 28E ayat (2) dan (3) UUD NRI 1945 yang memberikan jaminan hak asasi atas kebebasan menentukan nasib sendiri dan hak asasi atas kebebasan berbicara atau menyatakan pikiran dan sikap. Kedua jaminan HAM tersebut perlu dipahami dan direalisasikan secara seimbang.
 
 
Dasar Hukum:
2.    Universal Declaration of Human Rights (UDHR)
3.    International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)
 
 
Referensi:
  1. Eoin Carolan, “The Concept of a Right to Privacy”, dalam Eoin Carolan, Hilary Delany, The Right to Privacy: A Doctrinal and Comparative Analysis, Thompson Round Hall, England, 2008.
  2. G. Negley, “Philosophical Views on the Value of Privacy” Law & Contemporary Problems Law Review Vol 31 No. 319, 1966.
  3. General Comment Human Rights Committee No. 16 : Article 17 (The right to respect of privacy, family, home and correspondence, and protection of honour and reputation).
  4. Giri A.Taufik, Identifying The Traces of Particularity in Indonesia Freedom of Expresion, 2011.
  5. Roe v. Wade, 410 U.S. 113 (1973).
  6. Russel Brown, “Rethinking Privacy”, Alberta Law Review Vol. 43 No. 589, 2006.
    

Pencabutan Pemberian Tanah Garapan


Sebelumnya kami ucapkan terima kasih atas pertanyaannya. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”) tidak mengatur tentang hak garap. Bahkan sejumlah literatur hukum pertanahan justru mengaitkan tanah garapan dengan pemakaian tanah tanpa seizin pemilik atau kuasanya dan pendudukan tanah secara tidak sah (onwettige occupatie).
 
Akan tetapi, sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel Apakah atas Tanah Garapan Bisa Diterbitkan SHM?, walaupun mengenai tanah garapan tidak ada dalam UUPA, kita dapat melihat definisinya dalamKeputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nomor 2 Tahun 2003 tentang Norma dan Standar Mekanisme Ketatalaksanaan Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan yang Dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, yaitu tanah garapan adalah sebidang tanah yang sudah atau belum dilekati dengan sesuatu hak yang dikerjakan dan dimanfaatkan oleh pihak lain baik dengan persetujuan atau tanpa persetujuan yang berhak dengan atau tanpa jangka waktu tertentu.
 
Sehubungan dengan hal tersebut sebenarnya kami perlu mengetahui terlebih dahulu apa yang menjadi dasar kepala kampung (kades) memberikan surat lahan garapan kepada Anda atau keluarga Anda. Dalam praktiknya (sebagaimana sesuai dengan definisi tanah garapan di atas), memang pemberian lahan garapan biasanya didasarkan pada Surat Perjanjian Lahan Garapan. Dengan demikian tunduk kepada syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) yaitu:
1.    Para pihak sepakat untuk terikat dalam perjanjian;
2.    Para pihak cakap secara hukum dalam membuat perjanjian;
3.    Merupakan suatu hal tertentu;
4.    Sebab yang halal atau tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
 
Pemberian atau peralihan hak menggarap tanah berkaitan erat dengan legalitas kepemilikan tanah dan sekaligus legalitas perjanjian. Mengingat hak menggarap adalah hak yang tidak atau belum diatur oleh UUPA.
 
Interpretasi atau konstruksi hak menggarap yang masih berada pada wilayah perdebatan, dan pada akhirnya secara lokal melahirkan peraturan daerah sebagai landasan hukum sementara, telah menjadikan surat keterangan menggarap dan surat pernyataan menggarap sebagai berkaitan dengan subyek hukum. Sebab suatu peralihan atas benda bergerak ataupun benda tidak bergerak, selalu membutuhkan kejelasan atas subyek hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban.
 
Apabila status obyek yang diperjanjikan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka sudah dapat dipastikan bahwa perjanjian tersebut dianggap tidak sah, karena tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata.
 
Dengan demikian perjanjian (jual beli) tersebut tidak memenuhi syarat obyektif. Apabila syarat obyektif suatu perjanjian tidak terpenuhi, maka akibat hukum yang timbul dari perjanjian tersebut ialah perjanjian batal demi hukum. Artinya, dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Dengan demikian maka tidak ada dasar untuk saling menuntut di depan hakim, atau dalam Bahasa Inggris dikatakan bahwa perjanjian tersebut adalah “null and void”. 
 
Demikian hal ini kami sampaikan. Terima kasih.
 
Dasar Hukum:
3.    Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nomor 2 Tahun 2003 tentang Norma dan Standar Mekanisme Ketatalaksanaan Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan yang Dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.
 
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
http://images.hukumonline.com/frontend/lt5396d67d3687b/lt5396d769df3c4.jpg

8849 HITS
DI: PERTANAHAN & PERUMAHAN
SUMBER DARI: S&H ATTORNEYS AT LAW
Share:

Pernyataan Penyangkalan / Disclaimer

Langkah Hukum Jika Developer Menjaminkan Sertifikat Tanpa Seizin Konsumen


Sebelumnya kami ucapkan terima kasih atas pertanyaan yang diberikan.
 
Kami berasumsi Akta Jual Beli (“AJB”) telah ditandatangani oleh PT. A dan B, namun belum dilakukan proses balik nama sehingga sertipikat hak milik (“SHM”) masih atas nama PT. A selaku pemilik tanah sebelumnya.
 
Pasal 116 ayat (1) huruf e Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“Peraturan BPN 3/1997”) mengatur sebagai berikut:
 
Pasal 116 Peraturan BPN 3/1997:
“Untuk pendaftaran Hak Tanggungan yang obyeknya berupa sebagian atau hasil pemecahan atau pemisahan dari hak atas tanah induk yang sudah terdaftar dalam suatu usaha real estat, kawasan industri atau Perusahaan Inti Rakyat (PIR) dan diperoleh pemberi Hak Tanggungan melalui pemindahan hak, PPAT yang membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan wajib selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan Akta tersebut menyerahkan kepada Kantor Pertanahan berkas yang diperlukan yang terdiri dari:
a.    Surat pengantar dari PPAT yang dibuat rangkap 2 (dua) dan memuat daftar jenis surat-surat yang disampaikan;
b.    Permohonan dari pemberi Hak Tanggungan untuk pendaftaran hak atas bidang tanah yang merupakan bagian atau pecahan dari bidang tanah induk;
c.    Fotocopy surat bukti identitas pemohon pendaftaran hak atas bidang tanah sebagaimana dimaksud huruf b;
d.    Sertipikat asli hak atas tanah yang akan dipecah (sertipikat induk);
e.    Akta Jual Beli asli mengenai hak atas bidang tanah tersebutdari pemegang hak atas tanah induk kepada pemberi Hak Tanggungan;
f.     bukti pelunasan pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 dalam hal bea tersebut terutang;
g.    bukti pelunasan pembayaran PPh sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996, dalam hal pajak tersebut terutang;
h.    Surat permohonan pendaftaran Hak Tanggungan dari penerima Hak Tanggungan;
i.     Fotocopy surat bukti identitas pemberi dan pemegang Hak Tanggungan;
j.     Lembar ke-2 Akta Pemberian Hak Tanggungan;
k.    Salinan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang sudah diparaf oleh PPAT yang bersangkutan untuk disahkan sebagai salinan oleh Kepala Kantor Pertanahan untuk pembuatan Sertipikat Hak Tanggungan;
l.     Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, apabila pemberian Hak Tanggungan dilakukan melalui kuasa.”
 
Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 8 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (“UU Hak Tanggungan”) ditegaskan sebagai berikut:
 
Pasal 8 ayat (1) UU Hak Tanggungan:
(1) Pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan.
(2) Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan.
 
Sehingga berangkat dari ketentuan Pasal 116 Peraturan BPN 3/1997 jo. Pasal 8 UU Hak Tanggungan kami berpandangan Kantor Pertanahan sudah sepatutnya menolak pendaftaran hak tanggungan tersebut karena dilakukan oleh pihak yang tidak berwenang. Hal ini disebabkan telah ditandatangani akta jual beli sebelumnya antara A dan B sehingga hak atas tanah dari A telah beralih kepada B. Apabila pendaftaran hak tanggungan oleh PT. A diterima oleh kantor pertanahan dan telah diterbitkan sertifikatnya maka jelas terdapat unsur melawan hukum yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan yang mengakibatkan Sertifikat Hak Tanggungan patut dibatalkan secara hukum.
 
Lebih lanjut, anda menanyakan mengenai pembatalan hak tanggungan.Pasal 14 ayat (1) UU Hak Tanggungan menegaskan sebagai berikut:
 
“Sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan sertifikat Hak Tanggungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
 
Sesuai dengan ketentuan tersebut, Sertifikat Hak Tanggungan merupakan produk dari kantor pertanahan, sehingga apabila anda ingin melakukan pembatalan atas Sertifikat Hak Tanggungan, maka dalam hal ini andadapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (“PTUN”) untuk membatalkan penerbitan SHT tersebut.
 
Sebagaimana diketahui, yang dapat menjadi obyek gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara. BerdasarkanPasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“UU PTUN”), Keputusan Tata Usaha Negara (“KTUN”) adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Sehingga suatu KTUN haruslah berupa:
 
1.    Penetapan tertulis;
Bahwa produk Sertifikat Hak Tanggungan (“SHT”) yang dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan berbentuk penetapan secara tertulis.
 
2.  Diterbitkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara;
Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bahwa dalam penerbitan SHT tersebut, Kepala Kantor Pertanahan tersebut dalam kapasitas menjalankan urusan pemerintahan.
 
3.  Berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara;
Dalam hal ini penerbitan SHT tersebut bersumber dari UU Hak Tanggungan tersebut di atas.
 
4.  Bersifat Konkrit, Individual dan Final;
Bahwa SHT tersebut konkrit berupa berwujud pemasangan hak tanggungan atas sebidang tanah. Bahwa SHT tersebut bersifat individual karena ditujukan hanya kepada PT. A tersebut dan SHT tersebut bersifat final karena pemberian SHT tersebut telah mempunyai akibat hukum kepada PT. A, B dan bank C.
 
5.  Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum.
Bahwa penerbitan SHT tersebut telah mengakibatkan kerugian bagi B, misalnya kerugian karena seharusnya tanah tersebut dapat digunakan atau dijaminkan oleh B, namun yang terjadi adalah dijaminkan PT. A ke bank C.
 
Oleh sebab itu, kami berpandangan bahwa anda dapat mengajukan gugatan ke PTUN terkait pembatalan Hak Tanggungan tersebut.
 
Demikian jawaban kami semoga dapat membantu. Terima kasih.
 
Dasar Hukum:
3.    Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
  

Prosedur Permohonan Hak Milik Tanah Reklamasi

Berdasarkan pertanyaan tersebut di atas, menurut pemahaman kami,Anda melakukan reklamasi sehingga ada tanah baru yang muncul di pantai.
 
Mengenai tanah-tanah reklamasi ini, Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional (“Menag/KBPN”) telah menerbitkan Surat Edaran Nomor: 410-1293 perihal Penertiban Status Tanah Timbul dan Tanah Reklamasi. Berdasarkan Surat Edaran tersebut, tanah-tanah reklamasi dinyatakan sebagai tanah yang dikuasai Negara dan pengaturannya dilaksanakan oleh Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional. Pihak yang melakukan reklamasi dapat diberikan prioritas pertama untuk mengajukan permohonan hak atas tanah reklamasi tersebut.
 
Dalam hal ini, Anda dapat mengajukan permohonan hak atas tanah reklamasi tersebut kepada Menag/KBPN melalui Kantor Pertanahan setempat.
 
Berdasarkan pertanyaan Anda di atas, kami berasumsi Anda bermaksud mengajukan permohonan Hak Milik. Namun demikian, dalam pertanyaan Anda menyebutkan telah mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Daerah. Padahal permohonan hak atas tanah diajukan kepada Menag/KBPN melalui Kantor Pertanahan setempat. Dalam hal ini harus diperjelas persetujuan tersebut untuk peralihan hak atau untuk pemberian sertifikat tanah.
 
Sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (1) poin a Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan (“Permenag/KBPN 9/1999”), Hak Milik dapat diberikan kepada Warga Negara Indonesia. Selanjutnya, Pasal 9 Permenag/KBPN 9/1999 mengatur permohonan Hak Milik atas Tanah Negara diajukan secara tertulis yang memuat:
1.    Keterangan mengenai pemohon:
a.    Apabila perorangan: nama, umur, kewarganegaraan, tempat tinggal dan pekerjaannya serta keterangan mengenai isteri/suami dan anaknya yang masih menjadi tanggungannya;
b.    Apabila badan hukum: nama, tempat kedudukan, akta atau peraturan pendiriannya, tanggal dan nomor surat keputusan pengesahannya oleh pejabat yang berwenang tentang penunjukannya sebagai badan hukum yang dapat mempunyai Hak Milik berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.    Keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yuridis dan data fisik:
a.    Dasar penguasaan atau alas haknya dapat berupa sertipikat, girik, surat kapling, surat-surat bukti pelepasan hak dan pelunasan tanah dan rumah dan atau tanah yang yang telah dibeli dari Pemerintah, putusan pengadilan, akta PPAT, akta pelepasan hak, dan surat-surat bukti perolehan tanah lainnya;
b.    Letak, batas-batas dan luasnya (jika ada Surat Ukur atau Gambar Situasi sebutkan tanggal dan nomornya);
c.    Jenis tanah (pertanian/non pertanian)
d.    Rencana penggunaan tanah;
e.    Status tanahnya (tanah hak atau tanah negara);
3.    Lain-lain:
a.    Keterangan mengenai jumlah bidang, luas dan status tanah- tanah yang dimiliki oleh pemohon, termasuk bidang tanah yang dimohon;
b.    Keterangan lain yang dianggap perlu.
 
Selain itu, permohonan hak milik tersebut juga dilampiri dengan: (Pasal 10 Permenag/KBPN 9/1999)
1.    Mengenai pemohon:
a.    Jika perorangan: foto copy surat bukjti identitas, surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia;
b.    Jika badan hukum: foto copy akta atau peraturan pendiriannya dan salinan surat keputusan penunjukannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.    Mengenai tanahnya:
a.    Data yuridis: sertipikat, girik, surat kapling, surat-surat bukti pelepasan hak dan pelunasan tanah dan rumah dan atau tanah yang telah dibeli dari Pemerintah, PPAT, akta pelepasan hak, putusan pengadilan, dan surat-surat bukti perolehan tanah lainnya;
b.    Data fisik: surat ukur, gambar situasi dan IMB, apabila ada;
c.    Surat lain yang dianggap perlu.
3.    Surat pernyataan pemohon mengenai jumlah bidang, luas dan status tanah-tanah yang telah dimiliki oleh pemohon termasuk bidang tanah yang dimohon
 
Demikian penjelasan kami, semoga membantu. Terima kasih.
 
Dasar Hukum:
1.    Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan;
2.    Surat Edaran Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 410-1293 perihal Penertiban Status Tanah Timbul dan Tanah Reklamasi.