Logo PPATK. Foto: ppatk.go.id
Bertempat di sebuah ruang besar, di Jakarta, Kamis (2/5), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyelenggarakan seminar. Tema acara itu mengenai implementasi UU No.9 Tahun 2013tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Teroris (PPTPPT). Salah satu peserta yang mewakili penyedia jasa keuangan, malah menyampaikan kritik kala acara itu memasuki sesi tanya jawab.
Menurutnya, tema perhelatan ini tidak tepat. “Apa yang mau diterapkan? Karena kami tak tahu apa-apa tentang undang-undang ini,” papar si penanya setelah mendengarkan pemaparan sejumlah narasumber terkait undang-undang itu.
Sebelum sesi pertanyaan, mantan Ketua Pansus RUU ini, Adang Daradjatun memaparkan sejumlah hal tentang undang-undang ini. Dia menyatakan terorisme takkan berhasil tanpa adanya bentuk pendukung seperti dukungan dana. “Karena itu, perlu pemutusan mata rantai pendanaan teroris berdasarkan hukum,” paparnya.
Kriminalisasi pendanaan terorisme sebagai tindak pidana, menurut Adang mutlak dilakukan. Karena penyandang dana juga pelaku dari tindak pidana terorisme.
Dia menambahkan, undang-undang ini menutup celah yang tak diatur dalam UU No.15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perppu No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi UU. Yaitu, menjerat master mind dalam hal ini penyandang dana.
Sedangkan, UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dinilai belum dapat mencegah dan memberantas tindak pidana terorisme.
“UU 9 Tahun 2013 menjadikan peraturan perundang-undangan menangani tindak pidana terorisme kini menjadi komprehensif,” imbuh Adang.
Pengajar hukum perbankan FH UI, Yunus Husein menguatkan pendapat Adang, bahwa menambahkan pendanaan terorisme ini perlu diatur khusus. Karena pendanaan teroris berasal dari hasil tindak pidana maupun dari hasil sah. “Sedangkan pencucian uang pasti berasal dari tindak pidana,”
Yunus menyarankan, penerapan UU 9 Tahun 2013 harus menyertakan UU 8 Tahun 2010. Sekalipun ada ketentuan dalam UU PTPPT mengadopsi ketentuan di UU Pencucian Uang, penggabungan itu akan mempersempit ruang gerak pelaku melakukan tindak pidana.
Dia menjelaskan dalam UU PTPPT menjelaskan mengenai transaksi keuangan mencurigakan terkait pendanaan terorisme. Hal itu dijelaskan dalam Pasal 1 angka 6 yang menguraikan dua pengertian. Pertama, transaksi keuangan dengan maksud untuk digunakan dan/atau yang diketahui akan digunakan untuk mendanai terorisme. Atau, transaksi yang melibatkan setiap orang yang berdasarkan daftar terduga teroris dan organisasi teroris.
Hakim agung, Syarifuddin dalam kesempatan sama menyatakan karena sudah diundangkan, UU 9 Tahun 2013 harus dilaksanakan. Sekalipun ada beberapa hal yang mesti diselaraskan dengan praktik penanganan perkara menggunakan undang-undang ini.
Semisal, peran Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk menetapkan pemblokiran dan daftar terduga terorisme serta organisasi yang terkait terorisme. Bahkan peran PN Jakarta Pusat untuk menangani keberatan atas pemblokiran dan penetapan seseorang masuk dalam daftar terduga teroris dan organisasi yang terkait teroris.
“Ini membutuhkan peraturan teknis baru bagaimana sistem dan acara bagi PN Jakarta Pusat melaksanakan UU 9 Tahun 2013,” tuturnya.
Ditambahkan Syarifuddin, ketentuan itu belum diatur diatur oleh MA. Sehingga jalan keluar yang dia tawarkan adalah menunggu bagaimana PN Jakarta Pusat menjalankan tugas undang-undang ini.
Karena hakim itu adalah pejabat zittende magistratuur alias magistratur duduk, urai Syarifuddin. Hakim tidak bertindak aktif mencari perkara. Berbeda dengan jaksa yang disebutstandee magistratuur yang aktif mencari perkara.
Terkait penunjukan PN Jakarta Pusat, Adang menjawab karena praktik selama ini, pengadilan itu menangani keberatan akan putusan arbitrase internasional. Hal itu termuat dalam UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.