Sabtu, 04 Mei 2013

Kriminalisasi Penyandang Dana, Cara Perangi Terorisme


Kriminalisasi Penyandang Dana, Cara Perangi Terorisme
Logo PPATK. Foto: ppatk.go.id
Bertempat di sebuah ruang besar, di Jakarta, Kamis (2/5), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyelenggarakan seminar. Tema acara itu mengenai implementasi UU No.9 Tahun 2013tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Teroris (PPTPPT). Salah satu peserta yang mewakili penyedia jasa keuangan, malah menyampaikan kritik kala acara itu memasuki sesi tanya jawab.
Menurutnya, tema perhelatan ini tidak tepat. “Apa yang mau diterapkan? Karena kami tak tahu apa-apa tentang undang-undang ini,” papar si penanya setelah mendengarkan pemaparan sejumlah narasumber terkait undang-undang itu.
Sebelum sesi pertanyaan, mantan Ketua Pansus RUU ini, Adang Daradjatun memaparkan sejumlah hal tentang undang-undang ini. Dia menyatakan terorisme takkan berhasil tanpa adanya bentuk pendukung seperti dukungan dana. “Karena itu, perlu pemutusan mata rantai pendanaan teroris berdasarkan hukum,” paparnya.
Kriminalisasi pendanaan terorisme sebagai tindak pidana, menurut Adang mutlak dilakukan. Karena penyandang dana juga pelaku dari tindak pidana terorisme.
Dia menambahkan, undang-undang ini menutup celah yang tak diatur dalam UU No.15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perppu No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi UU. Yaitu, menjerat master mind dalam hal ini penyandang dana.
Sedangkan, UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dinilai belum dapat mencegah dan memberantas tindak pidana terorisme.
“UU 9 Tahun 2013 menjadikan peraturan perundang-undangan menangani tindak pidana terorisme kini menjadi komprehensif,” imbuh Adang.
Pengajar hukum perbankan FH UI, Yunus Husein menguatkan pendapat Adang, bahwa menambahkan pendanaan terorisme ini perlu diatur khusus. Karena pendanaan teroris berasal dari hasil tindak pidana maupun dari hasil sah. “Sedangkan pencucian uang pasti berasal dari tindak pidana,”
Yunus menyarankan, penerapan UU 9 Tahun 2013 harus menyertakan UU 8 Tahun 2010. Sekalipun ada ketentuan dalam UU PTPPT mengadopsi ketentuan di UU Pencucian Uang, penggabungan itu akan mempersempit ruang gerak pelaku melakukan tindak pidana.
Dia menjelaskan dalam UU PTPPT menjelaskan mengenai transaksi keuangan mencurigakan terkait pendanaan terorisme. Hal itu dijelaskan dalam Pasal 1 angka 6 yang menguraikan dua pengertian. Pertama, transaksi keuangan dengan maksud untuk digunakan dan/atau yang diketahui akan digunakan untuk mendanai terorisme. Atau, transaksi yang melibatkan setiap orang yang berdasarkan daftar terduga teroris dan organisasi teroris.
Hakim agung, Syarifuddin dalam kesempatan sama menyatakan karena sudah diundangkan, UU 9 Tahun 2013 harus dilaksanakan. Sekalipun ada beberapa hal yang mesti diselaraskan dengan praktik penanganan perkara menggunakan undang-undang ini.
Semisal, peran Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk menetapkan pemblokiran dan daftar terduga terorisme serta organisasi yang terkait terorisme. Bahkan peran PN Jakarta Pusat untuk menangani keberatan atas pemblokiran dan penetapan seseorang masuk dalam daftar terduga teroris dan organisasi yang terkait teroris.
“Ini membutuhkan peraturan teknis baru bagaimana sistem dan acara bagi PN Jakarta Pusat melaksanakan UU 9 Tahun 2013,” tuturnya.
Ditambahkan Syarifuddin, ketentuan itu belum diatur diatur oleh MA. Sehingga jalan keluar yang dia tawarkan adalah menunggu bagaimana PN Jakarta Pusat menjalankan tugas undang-undang ini.
Karena hakim itu adalah pejabat zittende magistratuur alias magistratur duduk, urai Syarifuddin. Hakim tidak bertindak aktif mencari perkara. Berbeda dengan jaksa yang disebutstandee magistratuur yang aktif mencari perkara.
Terkait penunjukan PN Jakarta Pusat, Adang menjawab karena praktik selama ini, pengadilan itu menangani keberatan akan putusan arbitrase internasional. Hal itu termuat dalam UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Nasabah Terus Berusaha Pailitkan Usaha Investasi Emas


Dalam kurun waktu singkat, tiga perusahaan yang bergerak di bidang investasi emas berhadapan dengan perkara kepailitan. Sebut saja, PT Asean Gold ConceptPT Makira Nature, dan PT Golden Traders Indonesia Syariah(GTIS). Ketiga perusahaan inidibawa ke Pengadilan Niaga oleh nasabah. Penyebabnya sama, mangkir membayar kewajibannya sesuai dengan apa yang telah dijanjikan.
Kini, ancaman pailit juga menghantui PT Lautan Emas Mulia (LEM). ‘Ancaman’datang dari tiga nasabahnya yang sudah tidak tahan menunggu realisasi janji-janjiLEM. Suryadharma Budihardjo, Stevanus Cahya Utama, dan Kelvin–ketiga nasabah dimaksud—berharap ada solusi yang adil jika masalah ini diselesaikan lewat pengadilan.
Adapun utang yang menjadi landasan permohonan pailit berasal dari dana investasi emas yang diberikan para pemohon. Suryadharma telah menginvestasikan uangnya dengan cara membeli investasi emas seberat 1000 gram senilai 709,8 juta dengan masa kontrak selama 3 bulan. Pada 18 Maret 2013, LEM seharusnya menyerahkan kembali kepada Suryadharma nilai pokok ditambah dengan bonusnya sehingga menjadi Rp195,195 juta.
Kepada Stevanus Cahya Utama, LEM mempunyai kewajiban untuk membayar sejumlah Rp39,039 juta yang jatuh tempo pada 2 April 2013. Kewajiban pembayaran ini muncul karena Stevanus telah membeli emas sebanyak 200 gram senilai Rp35,4 juta. Sementara itu, kewajiban LEM terhadap Kelvin adalah sejumlah Rp190juta jatuh tempo pada 27 Maret 2013.
Hingga kewajiban tersebut jatuh tempo, LEM belum melakukan prestasi. Padahal, para pemohon telah mengirimkan surat teguran sebanyak duakali. Surat peringatan tampaknya diabaikan perusahaan investasi emas itu. “Tapi, saat ini mereka (LEM, red) tengah mengajukan upaya hukum mencegah kepailitan dengan PKPU. Ini tidak masalah bagi kami yang penting ada iktikad baik untuk menyelesaikan persoalan ini,” ucap kuasa hukum para pemohon,RM Rahyono Abikusno,kepada hukumonline usai persidangan, Rabu (1/5).
Kuasa hukum LEM,Washington E Pangaribuan,belum bisa berkomentar banyak atas perkara ini. Ia mengatakan permohonan pailit para pemohon akan ditunda dulu karena LEM mengajukan PKPU.
Lebih lanjut, Pangaribuan menolak dikatakan memiliki utang kepada para pemohon. Namun, itu adalah keuntungan yang belum dapat dibayarkan LEM kepada pemohon lantaran harga emas saat itu tidak stabil sehingga perusahaan mengalami kesulitan keuangan dan neraca pembayaran. Alhasil, perusahaan belum dapat membagikan keuntungannya kepada para nasabah.“Tolong digarisbawahi, itu bukan utang,” tutur Washington Pangaribuan usai persidangan, Rabu (1/5).
Akan tetapi, berdasarkan berkas permohonan PKPU, Washington Pangaribuan menuliskan mengakui LEM memiliki utang kepada para pemohon. Utang juga diakui telah jatuh tempo dan dapat ditagih sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Kendati memiliki utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih, LEM menyatakan masih dapat menjalankan perusahaan dan tetap dapat membayar utang-utang tersebut karena masih memiliki aset-aset baik bergerak maupun tidak bergerak. Untuk itu, perusahaan ingin mengajukan rencana perdamaian kepada para nasabah untuk merestrukturisasi utang itu.
Berdasarkan hal-hal tersebut, LEM meminta majelis untuk mendahulukan permohonan PKPU ketimbang permohonan pailit para pemohon. Hal ini sesuai dengan Pasal 229 ayat (3) UU Kepailitan. “Permohonan PKPU ini akan didahulukan daripada pailit,” pungkasWashington.

Pemblokiran di UU Pendanaan Terorisme Dikritik


Pengajar hukum perbankan FH UI, Yunus Husein memberikan catatan akan pengaturan pemblokiran di UU No.9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (PPTPPT). Menurutnya, waktu untuk dimulainya pemblokiran terlalu lama.
Pemblokiran dalam UU 9 Tahun 2013 pada Pasal 28 ayat (3), menyasar seseorang maupun korporasi yang masuk dalam daftar terduga teroris dan organisasi teroris. Daftar tersebut dikeluarkan oleh Kapolri setelah ditetapkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
“Dana sudah berpindah penguasaan dengan cepat, sehingga makna pemblokiran tak ada manfaatnya,” papar Yunus dalam seminar tentang implementasi UU 9 Tahun 2013 yang diadakan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Kamis (2/5).
Proses pemblokiran rekening dalam undang-undang ini adalah proses lanjutan dari terbitnya daftar terduga teroris. Daftar itu dibuat oleh Kapolri lalu dimintakan penetapan oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, seperti terurai dalam Pasal 27 UU PPTPPT.
Permohonan ini harus dijawab paling lama 30 hari setelah diterima. Kemudian, Kapolri harus memberitahukan pada pihak yang masuk dalam daftar tersebut, maksimal 10 hari kerja. Pemblokiran, menurut UU 9 Tahun 2013 berlaku selama terduga maupun korporasi masih tercantum dalam daftar terduga teroris.
Menanggapi kritik Yunus, mantan Ketua Pansus RUU PPTPPT, Adang Daradjatun pada kesempatan sama mengatakan proses pembuatan daftar ini memang melibatkan pengadilan. “Sebagai kontrol agar tidak sewenang-wenang dan itu perlu waktu,” kilahnya.
Yunus menyarankan agar makin kuat, penyidik juga menggunakan UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (PPTPPU). Apalagi terkait pemblokiran. “Atau laporkan ke PPATK karena dapat mempercepat mengetahui transaksi tersebut mencurigakan atau biasa saja,” imbuhnya.
Yunus juga mengingatkan, pemblokiran tak sama dengan penyitaan. Mengenai hal terakhir memang diatur Pasal 38 KUHAP. Yaitu keharusan izin dari pengadilan lebih dahulu untuk penyitaan. Namun, penyitaan dibenarkan mendahului izin pengadilan hanya untuk aset bergerak.
“Pemblokiran tak perlu izin, pengaturan ini menyebar di undang-undang lain seperti UU Pencucian Uang mapun UU Pemberantasan Tipikor,” paparnya.
Hakim agung Syarifuddin pada kesempatan itu mengutarakan, UU 9 Tahun 2013 menambah tugas PN Jakarta Pusat. Tak hanya menerima permohonan penetapan daftar terduga teroris, tapi juga menetapkan pencabutan terduga maupun korporasi dari daftar yang dikeluarkan Polri. Pemeriksaan dilakukan oleh hakim berbeda.
Upaya hukum dari penetapan PN Jakarta Pusat dibatasi sampai PT Jakarta. Sehingga penetapan PT Jakarta bersifat final.
Syarifuddin menyatakan, konsekuensi dari undang-undang ini adalah pengadilan harus melaksanakan. Sehingga Mahkamah Agung (MA) akan membuat peraturan bagaimana acara dan mekanisme PN Jakarta Pusat melakukan tugas yang diamanatkan undang-undang. “Belum ada agenda di MA membahas hal itu,” paparnya.
Kepala Sub Direktorat Money Laundering Direktorat Tipideksus Bareskrim, Kombes (Pol) Agung Satya menyatakan dalam undang-undang ini belum jelas tentang pembentukan peraturan teknis. Oleh karena itu, Mabes Polri berencana menyusun rancangan Peraturan Kapolri (Perkap) jika memang apa yang dia duga benar adanya.
“Kami menunggu pemerintah, tapi kami sudah berencana membuat rancangan Perkap,” paparnya dalam forum yang sama.
Yunus juga mengingatkan agar Polri maupun instansi terkait memperkaya data akan transaksi mencurigakan serta profil orang maupun organisasi. “Ini yang dapat menjadi celah hambatan penerapan undang-undang ini.”

Sikap S&P Tak Pengaruhi Masuknya Investor Asing


Baru-baru ini lembaga pemeringkat utang internasional Standar & Poor’s (S&P) memangkas peringkat utang Indonesia. Meski sikap S&P tersebut menunjukkan bahwa kemungkinan Indonesia menjadi investment grade dalam 12 bulan ke depan sangat kecil, Bank Indonesia (BI) menilai tak akan mempengaruhi masuknya investor asing ke dalam negeri.
Alasannya, kata Deputi Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, lantaran kondisi ekonomi fundamental Indonesia hingga kini masih kuat. Bukan hanya itu, konsumsi swasta juga tercatat tetap menjadi sumber pendorong pertumbuhan ekonomi di dalam negeri. Terlebih lagi, kelas menengah di Indonesia yang semakin lama semakin meningkat jumlahnya.
“Second komiditi menjadi first komoditi akan jadi sumber pertumbuhan dan pasar peluang bisnis. Dengan dukungan swasta yang tetap akan kuat, tetap akan menarik kegiatan (bisnis, red) dalam negeri maupun dari luar negeri,” tutur Perry di Jakarta, Jumat (3/5).
Sejalan dengan itu, BI berharap pemerintah juga mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang dapat menekan inflasi jangka pendek. Misalnya kebijakan terkait infrastruktur, fiskal dan perindustrian dengan tujuan meningkatkan pasar bisnis dalam negeri. Sejumlah cara ini diharapkan dapat memperkecil risiko kerentanan stabilitas rupiah dalam jangka pendek.
Menurut Perry, bukan hanya pemerintah saja yang memiliki kewajiban mengeluarkan kebijakan yang mendorong perekonomian dalam negeri. BI selaku Bank Sentral turut punya andil. Salah satu kebijakan yang pernah dikeluarkan BI untuk memperkuat stabilitas ekonomi adalah diterbitkannya Surat Edaran No.14/10/DPNP tentang Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Pemberian Kredit Pemilikan Rumah dan Kredit Kendaraan Bermotor.
Ia mengatakan, dengan adanya kebijakan Down Payment (DP) untuk kendaraan bermotor ini berfungsi menurunkan impor kendaraan dari luar negeri. Dengan begitu, produksi dalam negeri dapat di tingkatkan sehingga memperkecil angka impornya.
“Kebijakan DP membantu memperbaiki menurunkan impor. Itulah peran BI  dalam rangka ikut perbaiki struktur ekonomi,” kata Perry.
Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah mengatakan, kredit investasi Indonesia masih kuat, bahkan arus modal asing yang masuk dalam kaitannya dengan investasi juga baik. Hal ini tercermin dari rasio dana asing yang berada di surat berharga negara masih tetap tinggi, yakni sekitar 32,6 persen.
“Saya kira secara keseluruhan kalau investor yang jangka waktu panjang, dia tentu akan tetap datang,” katanya.
Terkait sikap S&P yang memangkas peringkat utang Indonesia, Halim menilai, hal tersebut tak akan memicu dua lembaga rating lain untuk menanggalkan status investment grade Indonesia. Dua lembaga rating tersebut adalah Fitch Ratings dan Moody’s Investor Service.
“Kita sudah investment grade dari Fitch dan Moody’s. Keduanya masih beri investment grade,” katanya.
Halim mengatakan, pemangkasan peringkat utang Indonesia dari posisi positive outlook menjadi stable outlook tersebut oleh S&P tidak akan mempengaruhi pasar di Tanah Air. Hal ini dikarenakan ekonomi Indonesia secara fundamental masih kuat. Ia berharap, kebijakan ekonomi yang akan dikeluarkan pemerintah nantinya semakin memperkuat perekonomian Indonesia.
“Kalau secara jangka yang panjang kita yakin ekonomi kita masih kuat, fundamental ekonomi kita tidak buruk-buruk amat, perekonomian global dan Asia sudah menunjukkan tanda-tanda perbaikan, ekspor kita juga sudah mulai membaik, beberapa pasar yang tertekan sekarang sudah membaik juga,” tutur Halim kepada wartawan.
Bahkan, lanjut Halim, dari sektor keuangan dan perbankan juga masih kuat. Hal ini terlihat dari likuiditas yang cukup, terdapatnya modal yang tinggi serta Non Performing Loan (NPL) yang masih terjaga.
“Dari sisi perbankan, sektor keuanganlah yang menjadi jangkar stabilitas di pasar keuangan tetap baik tidak ada masalah,” pungkasnya.

Kemerdekaan Pers Masih Terancam


Tak hanya di Jakarta, kekerasan terhadap jurnalis di berbagai wilayah Indonesia, makin bertambah. “Tingkat kekerasan semakin membahayakan keselamatan jurnalis,” ujar Ketua AJI Indonesia, Eko Maryadi saat melakukan unjuk rasa dalam peringatan Hari Pers di depan Gedung Mabes Polri, Jumat (3/5).
Menurutnya kekerasan tidak hanya dilakukan oleh aparat keamanan. Jurnalis sering mengalami kekerasan dari massa.
Eko mencontohkan kekerasan yang dilakukan oknum TNI. Seperti perampasan kamera dan penganiayaan pada jurnalis saat melakukan tugas peliputan jatuhnya pesawat Hawk 200 TNI AU di Pekan Baru.
Sedangkan, pelaku kekerasan yang dilakukan oleh massa dia contohkan peristiwa penyerbuan  kantor stasiun TVRI Gorontalo oleh massa pendukung calon Walikota Adnan Dhambea. Lalu pembakaran kantor redaksi Palopo Pos dan Fajar Biro Palopo.
Menurut Eko, peristiwa penyerangan oleh massa yang dia contohkan terkait pesta demokrasi. Padahal, Pemilukada seharusnya menjadi sarana membangun demokrasi. Sayangnya, justru dikotori oleh aksi kekerasan yang dilakukan massa yang mengancam keselamatan  jurnalis dan kebebasan pers. “Ini berbahaya,” tegasnya.
Divisi Advokasi AJI Aryo Wisanggeni mencatat, periode Mei 2011 hingga April 2012 ada 43 kasus kekerasan terhadap jurnalis saat menjalankan tugasnya. Sedangkan periode Mei 2012 hingga April 2013 sebanyak 56 kasus. Dengan kata lain, kasus kekerasan terhadap jurnalis mengalami peningkatan. “Sebaran 56 kasus itu juga meluas, karena ada di 34 wilayah di Indonesia,” imbuhnya.
Menurut Aryo, dari sisi latar belakang pelaku 56 kasus kekerasan terhadap jurnalis didominasi oleh kelompok massa mencapai 12 kasus. Menurutnya, tindak kekerasan yang dilakukan massa tak berbeda dengan kekerasan yang dilakukan aparat negara, militer maupun sipil.
Apalagi, kata Aryo, masih adanya  aparat pelaku kekerasan lolos dari proses hukum. Dikatakan Aryo, 12 dari 56 kasus gagal diidentifikasi. Hal itu menunjukan buruknya kinerja polisi dalam mengungkap kasus kekerasan terhadap jurnalis. “Pelaku kekerasan terbanyak berikutnya ialah anggota TNI (8 kasus), massa Ormas (5 kasus), polisi (4 kasus), dan pejabat pemerintah daerah (4 kasus),” ujarnya.
Aryo melanjutkan, kekerasan terhadap jurnalis semestinya tak terjadi di era demokrasi. Pasalnya, profesi jurnalis dilindungi UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers. Untuk memutus mata rantai kekerasan dan mengancam kebebasan pers, Aryo menyatakan ada sanksi pidana berat terhadap pelaku. “Praktik impunitas pelaku kekerasan terhadap jurnalis harus dihentikan,” ujarnya.
Direktur eksekutif LBH Pers, Nawawi Bahrudin mengatakan kebebasan pers dan kebebasan berekspresi di Indonesia sering dinodai tindakan kekerasan terhadap jurnalis. Sementara penegak hukum dalam sistem peradilansipilmaupun militer masih melakukan praktik impunitas untuk melindungi pelaku. “Bahkan, melakukan pembiaran terhadap pelaku pembunuhan terhadap jurnalis,” tegasnya.
Menurutnya, pemerintah Indonesia telah menyepakati Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Dari sisi hukum, Indonesia telah terikat dan mesti menghormati, menjamin, serta menegakan untuk kebebasan berekspresi. Pasalnya kata Aryo, dilindungi oleh Pasal 19 Kovenan Internasional. “Meliputi kewajiban untuk memastikan bahwa setiap serangan terhadap jurnalis harus diselidiki secara sungguh-sungguh dan secara tepat waktu, serta menuntut para pelakunya,” tandasnya.
Kebijakan Mengancam Pers
Selain itu, tegas Eko,  adanya aturan yang membatasi kebebasan pers. Semisal, Peraturan KPU No.1 Tahun 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye. AJI secara tegas protes terhadap aturan tersebut.
Menurutnya, aturan tersebut mengatur iklan pemilu melalui media massa. Di lain sisi, aturan tersebut justru mengandung unsur ancaman pembredelan dan penghentian siaran. Eko berpendapat, aturan tersebut semestinya dicabut. Pasalnya, bukan tidak mungkin akan menimbulkan implikasi hukum serius. “Dan menurunkan kewibawaan KPU sebagai lembaga negara penyelenggara pemilu,” ujarnya.
Mengutip situs www.dewanpers.co.id, Ketua Dewan Pers Bagir Manan meminta pers ikut serta dalam menyukseskan Pemilu sebagai bentuk tanggungjawab. Bukan sebaliknya, pers ditakut-takuti oleh banyaknya aturan. Bagir menilai, keterlibatan pers dalam pemilu seharusnya tak perlu diatur oleh sejumlah regulasi. Soalnya, tugas dan fungsi pers sudah diatur oleh UU Pers, peraturan Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Bagir mengakui, ada kekhawatiran berbagai pihak terhadap pengaruh pers yang kian besar. Namun kekhawatiran tersebut diharapkan tak sampai mengekang kebebasan pers.
Soal independensi pers, Bagir menegaskan independensi berbeda dengan netral. “Independensi adalah sikap yang merdeka boleh memilih kalau memang harus memilih, tetapi pilihannya berdasar kepentingan besar,” ujarnya, di Gedung Dewan Pers, Jumat (26/4).
Terkait ‘pasal pembredelan’ dalam peraturan KPU sejumlah organisasi wartawan telah menyambangi Dewan Pers pada pertengahan April lalu. Selain itu, organisasi wartawan itu yakni AJI, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pun mendesak KPU segera mencabut aturan tentang pembredelan.
Ketua Bawaslu Mimah Susanti memahami keinginan sejumlah organisasi pers. Menurutnya, organisasi pers adalah pihak yang paham mengenai persoalan pers dan pemilu. Lagi pula,  adanya aturan tentang pers yang bersifat khusus. Ia berpendapat, jika terdapat persoalan pers terkait pemilu dapay diteruskan ke Dewan Pers atau KPI. “Yang paling tahu teman-teman media,” pungkasnya.

Kompetensi Peradilan Militer Perlu Dibenahi


Pengajar hukum pidana UI, Ganjar L Bondan berpendapat kompetensi peradilan militer perlu dibenahi karena sudah melenceng dari asas sesungguhnya. Pasalnya, peradilan militer saat ini cenderung mengadili semua kasus yang dilakukan anggota militer. Baik itu yang bersinggungan dengan tindak pidana umum ataupun militer.
Melihat hal itu Ganjar menilai proses peradilan militer hanya mendasarkan pada status, bukan perbuatan pelaku. Padahal, yang mesti diadili itu perbuatan yang dilakukan oleh anggota yang bersangkutan.
Untuk itu, Ganjar berpendapat peradilan militer harusnya khusus mengadili tindak pidana militer misalnya ada anggota TNI yang melawan perintah komando. Namun, ketika perbuatan yang dilakukan adalah tindak pidana umum seperti pemerkosaan, pengerusakan dan pembunuhan, sudah selayaknya diproses di peradilan umum. “Kalau kasus seperti itu dibawa ke peradilan militer yang terjadi malah melecehkan peradilan militer,” katanya dalam diskusi di kantor YLBHI Jakarta, Jumat (3/5).
Lebih jauh Ganjar menyebut UU Peradilan Militer perlu direvisi. Menurutnya, hal itu ditujukan agar peradilan militer berfungsi sesuai kompetensinya, yaitu memproses tindakan yang hanya dipahami oleh TNI. Seperti garis komando, desersi dan lain sebagainya. Pasalnya, militer punya keahlian khusus dan bersenjata. Namun, dengan kewenangan tersebut ketika anggota militer melakukan tindak pidana umum, maka hukumannya perlu diperberat ketimbang masyarakat sipil.
Oleh karenanya, Ganjar melanjutkan, dibutuhkan pendekatan khusus untuk memproses anggota militer yang tersangkut kasus pidana umum. Misalnya, dalam kasus penyerangan LP Cebongan, anggota militer yang melakukan penyerangan menggunakan senjata berat. Mengingat hal itu dikategorikan sebagai penyalahgunaan kewenangan maka Ganjar menilai hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku harus lebih berat jika dibandingkan dengan masyarakat sipil yang melakukan penyerangan serupa.
Teknisnya nanti, lanjut Ganjar, para pelaku penyerangan LP Cebongan harus melewati proses di peradilan umum dan ketika hakim menjatuhkan putusan maka kewenangan yang melekat pada pelaku memperberat hukuman yang dijatuhkan. Sayangnya, Ganjar melihat hal itu potensinya kecil dilakukan jika mengacu UU Peradilan Militer.
Dari pantauannya selama ini, kasus-kasus yang sering digelar di peradilan militer seringkali berkaitan dengan pidana umum. Bahkan Ganjar mengaku sangat sulit menemukan peradilan militer yang memproses tindak pidana militer murni. Untuk itu ia berharap peraturan tersebut segera diubah untuk mengembalikan fungsi peradilan militer pada fungsinya.
Jika kompetensi peradilan militer tak dibenahi, Ganjar berpendapat penegakan hukum dan pemenuhan keadilan bagi masyarakat sukar dipenuhi. Misalnya, ketika mengikuti sebuah persidangan di peradilan militer, Ganjar melihat majelis hakim berpangkat kolonel sementara pelaku yang disidangkan berpangkat lebih tinggi yaitu bintang I.
Melihat struktur kepangkatan yang timpang antara yang mengadili dan diadili itu, sang hakim diberi pangkat sementara atau tituler, menjadi bintang I. Walau begitu, Ganjar berpendapat tetap saja kondisi itu menyulitkan sang hakim untuk memberikan keputusan yang adil karena pangkatnya yang permanen adalah kolonel. Ujungnya, putusan yang dihasilkan dinilai tak memberi rasa keadilan bagi korban.
Pada kesempatan yang sama, mantan Ketua Badan Pekerja YLBHI, Patra M Zein, menyebut wacana untuk merevisi UU Peradilan Militer sudah muncul sejak tahun 2000-an. Namun, proses revisinya seolah timbul dan tenggelam serta berarut, ujungnya sampai saat ini revisi itu tak terwujud. Dalam memperjuangkan agar UU Peradilan Militer dibenahi, Patra menyebut masyarakat sipil perlu menggunakan strategi yang tepat. Misalnya, memanfaatkan peluang dan momentum yang ada untuk mendukung terealisasinya revisi peraturan tersebut. Seperti momen terjadinya penyerangan LP Cebongan dan masa menjelang Pemilu.
Patra mencontohkan ketika mendorong pembentukan UU Bantuan Hukum, menjelang pelaksanaan Pemilu organisasi masyarakat sipil mendekati para calon legislatif (caleg). Untuk diajak berkomitmen memperjuangkan pembentukan UU tersebut ketika nanti berhasil terpilih menjadi anggota DPR. Walau begitu, upaya pendekatan tersebut harus dilakukan pada saat yang tepat. Pasalnya, menjelang pelaksanaan Pemilu, para calon cenderung sibuk mempersiapkan diri untuk kampanye.
Tapi, menurut Patra ada alternatif lain yang dapat digunakan masyarakat sipil untuk mendorong revisi UU Peradilan Militer yaitu mengajukannya judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Jika mekanisme itu ditempuh dan MK memberi putusan sesuai harapan, maka masyarakat sipil dapat menggunakannya sebagai alat kampanye menggaungkan revisi UU Peradilan Militer. Namun, tetap saja masyarakat sipil harus melihat berapa besar peluang yang bisa diraih agar MK memberi putusan sesuai dengan harapan. “Biar MK menegaskan apakah anggota militer yang melakukan pidana dibawa ke peradilan umum atau militer,” urainya.
Secara umum, Patra menilai revisi UU Peradilan Militer tak terpisahkan dari ketentuan lainnnya yang terkait seperti KUHP dan KUHAP Militer. Mengingat pembahasan revisi UU Peradilan Militer sudah dilakukan berulang kali, Patra menyebut masyarakat sipil harus melihat peristiwa-peristiwa apa yang terjadi kala itu sehingga dimasukan dalam ketentuan tersebut.
Sementara, pakar hukum Tata Negara, Irman Putra Sidin, mengatakan militer dan negara sangat lekat sejak negara itu dibentuk. Namun, semakin modern sebuah negara maka garis pembatas antara militer dan negara semakin jelas. Selaras dengan itu semakin terang pula kalau peradilan militer hanya khusus mengadili kasus yang tak dapat ditindak lewat mekanisme peradilan umum.
Menanggapi banyaknya kasus pidana umum yang dilakukan anggota militer dibawa ke peradilan militer, Irman mengatakan persoalan itu berada di ranah kemauan politik pemerintah dan parlemen. Menurutnya, dalam mendorong revisi UU Peradilan Militer masyarakat sipil dapat memaksimalkan ketentuan yang ada di konstitusi misalnya dengan melakukan judicial review.

Dukcapil Diminta Hati-hati Proses Akta Kelahiran


Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menghormati dan menyambut baik putusan MK yang menghapus peran pengadilan dalam pengurusan akta kelahiran. Pasalnya, putusan MK itu akan memperpendek jalur birokrasi pengurusan akta kelahiran, sehingga pengurusan akta hanya melalui Kantor Dinas Kependukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) di masing-masing daerah.
“Itu bagus, Alhamdulillah sekali, dengan putusan MK itu dapat mempercepat proses. Sebab, dari dulu orang minta pengecualian, tapi kan tidak bisa dengan keputusan menteri, saya tidak mau melanggar undang-undang,” kata Mendagri Gamawan Fauzi di kantornya, Jumat  (3/5).
Gamawan mengatakan pihaknya akan segera memberitahukan pemerintah daerah terkait terbitnya putusan MK yang menghapus peran pengadilan dalam pengurusan akta kelahiran. “Kita akan lanjutkan dan beritahukan putusan MK ini ke daerah bahwa tidak perlu lagi ke pengadilan, cukup pengurusan akta kelahiran lewat kantor dukcapil, kita harus taati,” harap Gamawan.
Terkait teknis prosedur pengurusannya, kata Gamawan, semuanya diserahkan masing-masing daerah. “Tetapi, kalau daerah mau mengatur bagaimana mekanismenya, itu lebih bagus agar lebih tertib, nanti akan kita kaji,” katanya.
Juru bicara Kemendagri Reydonnyzar Moenek menambahkan pihaknya akan segera menindaklanjuti dengan mengirimkan surat edaran kepada bupati/walikota terkait pelaksanaan putusan MK itu. Meski begitu, dia meminta agar pemerintah daerah lewat kantor Dukcapil menerapkan prinsip kehati-hatian.
“Suratnya sudah kita persiapkan, Insya Allah dalam waktu dekat ini segera disosialisasikan bagaimana menyikapi putusan MK,” janjinya.       
Menurut dia, pengurusan akta kelahiran yang melewati satu tahun selama ini harus melalui penetapan pengadilan terutama menyangkut kebenaran status hukum dan kedudukan anak. Terlebih, sejak terbitnyaputusan MK tentang pengujian Pasal 43 UU Perkawinan yang dimohonkan Macicha Mochtar.
“Sejak putusan Macicha, ada empat status anak yaitu anak temuan, anak ibunya (anak luar kawin), anak hasil perkawinan yang sah, dan anak hasil zina, tetapi mereka tetap diberikan akta kelahiran,” katanya.
Karena itu, tegas dia, ketika Kepala Dinas Dukcapil akan menandatangani akta kelahiran dibutuhkan kehatian-hatian dan pembuktian yang memadai dalam proses pengajuan akta. Sehingga, status kedudukan anak dalam keluarganya dapat dipertanggungjawabkan agar tidak menimbulkan persoalan hukum di kemudian hari.
“Sejak putusan MK itu, pengajuan akta kelahiran cukup dengan keputusan Kepala Dinas Dukcapil yang berimplikasi (akibat) hukum. Ini yang harus kita jaga,” ujarnya mengingatkan. 
Terpisah, Ketua MA M. Hatta Ali mengingatkan MA telah mengeluarkan SEMA No. 1 Tahun 2003 yang membatalkan SEMA No. 6 Tahun 2012 tentang SEMA No. 06 Tahun 2012 tentang Pedoman Penetapan Pencatatan Kelahiran yang Melampaui Batas Waktu Satu Tahun Secara Kolektif. Di alinea terakhir SEMA No. 1 Tahun 2013 itu, permohonan penetapan akta kelahiran yang diajukan sebelum adanya putusan MK segera diselesaikan.   
“Kalau tidak diselesaikan kasihan, seolah-olah pengadilan melepas begitu saja tanpa tanggung jawab. Tetapi, bagi pemohon yang baru mengajukan permohonan itu jangan diterima,” katanya
Sebelumnya, MK membatalkan frasa dan ayat dalam Pasal 32  UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) yang isinya dianggap merepotkan para orang tua yang telat mengurus akta kelahiran anaknya.
Dalam putusannya, MK mengubah kata ‘persetujuan’ dalam Pasal 32 ayat (1) UU Adminduk dengan kata ‘keputusan’.MK juga membatalkan frasa “sampai dengan 1 (satu) tahun” dalam  ketentuan itu. Ini artinya, laporan akta kelahiran yang melewati 60 hari sejak tanggal kelahiran, pencatatan dilaksanakan setelah mendapatkan keputusan Kepala Instansi Pelaksana setempat.
Selain itu, MK membatalkan keberadaan Pasal 32 ayat (2) yang mengatur pencatatan kelahiran yang melewati satu tahun, dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan negeri. Ini artinya, peran pengadilan dalam hal pengurusan  penetapan akta kelahiran yang melewati satu tahun dihilangkan.
Selama ini penetapan akta kelahiran berpedoman pada SEMA No. 06 Tahun 2012 tentang Pedoman Penetapan Pencatatan Kelahiran yang Melampaui Batas Waktu Satu Tahun Secara Kolektif.
Lewat SEMA ini, MA mempermudah pengurusan akta kelahiran bagi masyarakat yang terlambat mengurus. Selain memungkinkan pengurusan kolektif, MA mendorong pengadilan di daerah melakukan sidang keliling atau zitting plaats. Untuk pengurusan biaya, pengadilan bisa bekerja sama dengan bank atau Pos Indonesia.