Kamis, 18 Juli 2013

Wamenkumham : Kerusuhan Tanjung Gusta Dipicu Padamnya Listrik

Hal tersebut disampaikan oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana dalam doorstop di Lobby Kementerian Hukum dan HAM pagi ini (12/07). Wamenkumham menjelaskan sampai tadi malam diinformasikan bahwa kerusuhan di Lapas Klas I Tanjung Gusta Medan dipicu oleh padamnya listrik yang mengakibatkan terganggunya pasokan air.

Ada informasi bahwa kerusuhan di Tanjung Gusta terkait dengan PP 99 tahun 2012 akan tetapi kerusuhan juga pernah terjadi di tahun 1990-an juga terkait dengan pasokan air. "Permasalahan air ini memang terus diupayakan untuk diperbaiki dan kemarin terjadi lagi," jelas Wamenkumham.

Wamenkumham juga menjelaskan bahwa PP 99 menguatkan aturan terkait dengan tidak diberikannya secara mudah kepada koruptor, bandar narkoba, dan teroris. "Bagi narapidana-narapidana korupsi, bandar narkoba, dan teroris, syarat untuk mendapatkan keringanan hukumannnya, seperti remisi atau pembebasan bersyarat, memang lebih ketat dibandingkan pencuri sandal,"  tutur Wamenkumham.

Tak lupa Denny Indrayana menyampaikan langkah-langkah yang akan diambil oleh Kemenkumham terkait dengan kerusuhan di Tanjung Gusta. Langkah pertama yang diambil adalah mengembalikan kondisi keamanan di lapas. Kemudian pihak Kemenkumham akan bekerjasama dengan polisi dan masyarakat untuk mengembalikan narapidana yang lari. Ketiga, menciptakan suasana yang kondusif. "Baru dari situ ke arah kebijakan-kebijakan yang lain," jelas Denny.

Jumlah napi dan tahanan di Tanjung Gusta sebanyak 2600 orang dan kapasitas lapas hanya sebesar 1057 orang. Over kapasitas tidak hanya terjadi di Medan tapi juga di kota-kota besar di Indonesia. Upaya untuk mengurangi over kapasitas terus dilakukan dan dalam waktu dekat ada crash program untuk mengurangi penghuni lapas di seluruh Indonesia sebanyak 15.000 orang. Tentu ada juga kontribusi daripada tingkat hunian ini," tutup Denny.
(Yusuf & Dedet)

Hukum Humaniter

Hukum Humaniter

I. PENDAHULUAN
Hukum Humaniter Internasional memiliki sejarah yang singkat namun penuh peristiwa. Untuk menghindari penderitaan akibat perang maka baru pada pertengahan abad ke-19 negara-negara melakukan kesepakatan tentang peraturan-peraturan internasional dalam suatu konvensi yang mereka setujui sendiri (Lembar Fakta HAM, 1998: 172).
Sejak saat itu, perubahan sifat pertikaian bersenjata dan daya merusak persenjataan modern menyadarkan perlunya banyak perbaiakan dan perluasan hukum humaniter melalui negosiasi–negosiasi panjang yang membutuhkan kesabaran.
Perkembangan Hukum Humaniter Internasional yang berhubungan dengan perlindungan bagi korban perang dan hukum perang sangat dipengaruhi oleh perkembangan hukum perlindungan Hak Asasi Manusia setelah Perang Dunia Kedua. Penetapan instrumen internasional yang penting dalam bidang Hak Asasi Manusia seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948), Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (1950) dan Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (1966) memberikan sumbangan untuk memperkuat pandfangan bahwa semua orang berhak menikmati Hak Asasi Manusia, baik dalam pada masa perang maupun damai.
Selama keadaan perang atau keadaan darurat berlangsung, pemenuhan hak asasi tertentu mungkin dibatasi berdasarkan kondisi-kondisi tertentu. Pasal 4 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik mengizinkan negara melakukan upaya-upaya yang bersifat sementara megabaikan beberapa kewajiban negara berdasarkan konvenan “ketika terjadi keadaan darurat yang mengancam keselamatan bangsa,” tapi hanya “sejauh yang sangat dibutuhkan oleh keadaan yang bersifat darurat( Komnas HAM, 1998, 72).
Dalam konteks lokal (Aceh), barangkali materi ini terasa semakin penting, sebab terdapat berbagai kasus yang bisa menjurus kepada konflik bersenjata, dan dengan latar belakang mana, menimbulkan pertanyaan : bagaimana penerapan Hukum Humaniter di dalam konflik-konflik di daerah ini? Bagaimana pula aspek Hak Asasi Manusia (HAM) di dalam penerapan tersebut? dan perlukan Hukum Humaniter dan HAM disosialisasikan kepada berbagai kalangan seperti angkatan bersenjata, pejabat pemerintahan, para akademisi, praktisi dan bahkan kepada masyarakat umum.
Kita coba dekati dulu pembahasan kita pada istilah, yaitu HAM dan Hukum Humaniter Internasional (HHI). Kedua istilah ini sering disinggung oleh media massa atau masyarakat, namun keduanya sering pula disalahgunakan, bahkan sering dianggap sebagai ciptaan baru dari kebijaksanaan internasional. Istilah HAM dan HHI sebenarnya berasal dari dua sistem hukum yang berbeda. Namun, keduanya sangat erat hubungannya, saling berkaitan, saling pengaruh mempengaruhi sehingga sering terjadi tumpang tindih. HHI dan HAM mempunyai tujuan yang sama yaitu perlindungan manusia( Arlina Permanasari, 1999:36), tetapi HHI dan HAM merupakan dua bagian dari hukum yang berbeda jika dilihat dari segi lingkup penerapannya dan sasarannya.
HHI adalah hukum darurat yang hanya diterapkan apabila terjadi pertikaian bersenjata, baik internasional maupun dalam negeri. HHI terdiri dari peraturan dan ketentuan yang mengatur cara/pelaksanaan yang mencakup antara lain ketentuan yang mengatur cara dan alat berperang, baik secara aktif turut serta dalam permusuhan (kombatan) maupun mereka yang tidak turut aktif dalam permusuhan (penduduk sipil). Mungkin di sini dapat kita katakan Hukum Humaniter adalah “peraturan permainan” yang harus ditaati oleh para pemain, dalam hal ini para pihak dalam perang.
Sementara itu, HAM berlaku dalam situasi apapun baik pada waktu perang maupun di masa damai. Ketentuan-ketentuan HAM menjadi hak dan kebebasan baik sipil, politik, ekonomi sosial maupun budaya setiap orang demi tercapainya perkembangan harmonis setiap individu dalam masyarakat. HAM memberikan perlindungan terhadap penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah. Hak-hak tersebut terdapat dalam Hukum Internasional dan hak-hak yang bersifat paling penting dimuat pula dalam undang-undang berbagai negara. Adapun yang dimaksu dengan HAM disini adalah perlindungan Internasional HAM atau Hukum Internasional HAM yaitu segala peraturan tentang kemanusian yang harus dipenuhi oleh semua negara.
Ada baiknya sebelum dijelaskan Hukum Humaniter dan hubungannya dengan HAM, perlu kita mempertibangkan suatu pertanyaan; “Apakah Hukum Humaniter itu berguna?”. Kalau kita melihat/mendengar informasi dari berbagai negara yang terlibat dalam pertikaian bersenjata, setiap hari ada berita mengenai peperangan, pemboman desa-desa, serangan yang diarahkan kepada sasaran sipil, perlakuan yang tidak baik terhadap tawanan perang, penyiksaan, pemerkosaan, hukuman mati yang dijatuhkan tanpa proses pengadilan, masyarakat sipil yang menderita kelaparan selama di bawah pendudukan musuh, dan sebagainya.
Adanya perang tersebut tentu adanya pelanggaran terhadap penerapan Hukum Humaniter. Karena itu, kita boleh bertanya apakah Hukum Humaniter ini hanya merupakan sebuah hasrat yang mencerminkan semacam dunia ideal, tetapi jauh dan berbeda dengan dunia nyata. pemikiran seperti ini tidak salah, tetapi terlalu pesimis. Kita harus mengakui bahwa Hukum Humaniter sering tidak dipatuhi, tetapi kita harus melihat seluruh situasi dimana peraturan-peraturan Hukum Humaniter ini benar-benar dihormati. Dengan pertimbangkan semua kasus dimana jiwa manusia dapat diselamatkan, Karena para peserta tempur masih mempunyai rasa perikemanusiaan sesuai dengan Hukum Humaniter.
Kemudian timbul pertanyaan berikutnya? apakah pelanggaran terhadap Hukum Humaniter, semakin meningkat, atau merupakan perasaan kita saja ? Dalam hal ini kita perlu mempertimbangkan beberapa faktor:
1. Kita mempunyai kecenderungan dan lebih tertarik pada pelanggaran Hukum Humaniter, karena adanya korban. Sementara, kita jarang mendengar tentang pertukaran tawanan perang antar dua negara, pemberian makanan bagi masyarakat sipil yang menderita kelaparan, dan penghukuman orang yang bersalah karena melanggar Hukum Humaniter. Dari situ timbul kesimpulan bahwa lebih sering Hukum Humaniter tidak dihormati. Tetapi kalau kita membaca laporan tahunan ICRC, kita mendapat gambaran yang lebih lengkap, yakni banyak sekali situai dimana korban jiwa dapat dihindari atau masalah humaniter dapat diatasi dengan menerapkan peraturan-peraturan Hukum Humaniter dan hadiranya ICRC melaksanakan tugasnya di seluruh dunia.
2. Adanya teknologi mengakibatkan media massa dapat melaporkan peristiwa yang terjadi di seluruh dunia, lebih akurat, cepat dan bergambar. Perkembangan ini ada baiknya, karena dengan meyaksikan kejadian dramatis timbul opini publik dan adanya akibat politik yang mahal sekali harus dibayar oleh setiap pelanggaran Hukum Humaniter. Oleh karena itu, ada negara yang membatasi kebebasan pers untuk merahasiakan informasi. Tetapi pada suatu saat, infomrasi tersebut pasti akan diketahui pula.
3. Kita juga tidak boleh melupakan usaha ICRC untuk membatasi jumlah pelanggaran terhadap Hukum Humaniter. Secara pasif, ICRC menugaskan delegasi di lapangan sudah bersifat efektif untuk mencegah adanya pelanggaran. Secara aktif, ICRC dapat bertindak langsung pada instansi pemerintah yang bersangkutan supaya pelanggaran dihentikan. Dengan demikian, masalah perikemanusiaan dapat dihindari dan diatasi dengan menerapkan Hukum Humaniter.
4. Melihat kita mempertimbangkan jumlah pelanggaran, kita juga harus sadar bahwa kadang-kadang pelanggaran itu disebabkan karena kurang pengetahuan saja. Bagaimana mungkin orang dapat mematuhi hukum, sedangkan peraturannya belum diketahui? Kekurangan pengetahuan mengenai Hukum Humaniter baik dipihak yang melanggar maupun korbannya. Hukum Humaniter terdiri dari hak dan kewajiban yang perlu disebarluaskan, sehingga pihak yang mempunyai kewajiban dapat bersikap sesuai dengan aturan-aturan dan pihak yang mempunyai hak dapat meminta agar aturan-aturan itu dihormati.
Setelah mempertimbangkan faktor-faktor tersebut di atas, dapat disimpulkan bawa Hukum Humaniter tetap berguna, meskipun lebih sering terdengar tentang pelanggaran daripada penerapannya. Yang pasti, kita perlu terus meningkatkan usaha untuk mendukung pelaksanaan Hukum Humaniter untuk mencegah semaksimal mungkin adanya pelanggaran.
II. Sejarah Singkat Hukum Humaniter Internasional
Pada tanggal 24 Juni 1859 di kota Solferino Itali Utara, pasukan Perancis dan Itali sedang sedang bertempur melawan pasukan Austria dalam suatu pertempuran yang sangat mengerikan. Pada hari yang sama, seorang pemuda dari Swiss bernama Henri Dunant tiba di sana dengan harapan dapat bertemu dengan Kaisar Perancis, Napoleon. Henry Dunant secara kebetulan menyaksikan langsung pertempuran Solferino. Waktu itu, dinas medis militer yang sedang bertugas di medan pertempuran sangat kurang untuk dapat merawat korban pertempuran tersebut. Dalam pertempuran tersebut yang mati atau luka ada 3 marsekal, 9 jenderal, 1.566 opsir dari segala tindakan dan kurang lebih 40.000 bintara dan prajurit yang mati dalam jangka waktu 15 jam sebanyak 38.000 orang kebanyakan karena tidak mendapat pertolongan/pengobatan pada waktu atau kurang perawatan (G.I.A.D Draper, 1958:2). Tergetar oleh penderitaan tentara yang terluka, Henry Dunant bekerjasama dengan penduduk setempat, segera bertindak mengkoordinasikan bantuan untuk mereka.
- See more at: http://hukumdanhamri.blogspot.com/2012/08/hukum-humaniter.html#sthash.StpVUH27.dpuf

Risiko Hukum Kawin Lari

Terima kasih atas pertanyaan Anda.
 
Sebelumnya, kami turut berempati dengan permasalahan yang Anda hadapi.
 
Perlu diketahui bahwa menurut Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
 
Untuk menjawab pertanyaan Anda, maka kita mengacu pada syarat-syarat perkawinan yang diatur dalam Pasal 6 UU Perkawinan yang berbunyi:
 
(1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
(3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
(4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, makaizin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
(5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
 
Dari bunyi pasal tersebut dapat kita ketahui bahwa bagi seseorang yang belum berusia 21 tahun, maka perkawinan harus mendapat izin dari kedua orang tua. Anda mengatakan bahwa saat ini Anda berusia 20 tahun sehingga Anda memang masih perlu mendapatkan izin dari kedua orang tua Anda. Namun, apabila kedua orang tua Anda tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dapat diperoleh dari wali.
 
Jika memang Anda dan pacar Anda ingin menikah, maka kami menyarankan agar Anda menunggu hingga Anda berusia 21 tahun karena batas usia bagi seseorang dapat menikah meski tanpa restu orang tua adalah saat ia belum berusia 21 tahun. Akan tetapi, kami tetap menyarankan sebaiknya Anda bicarakan hal ini baik-baik secara kekeluargaan dengan orang tua Anda. Penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini dapat Anda simak dalam artikel Bagaimana Menikah Jika Tanpa Restu Orang Tua?
 
Namun, apabila Anda ingin segera menikah tanpa ingin menunggu hingga Anda berusia 21 tahun, maka mengacu pada Pasal 6 ayat (5) dan ayat (6) UU Perkawinan, jika ada perbedaan pendapat antara orang tua dengan wali, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang tua atau wali dari orang yang akan melangsungkan perkawinan tersebut. Jadi, Anda dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan setempat agar memberikan izin menikah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5) dan (6) UU Perkawinan. Nantinya, pengadilan akan mengeluarkan sebuah penetapan izin menikah.
 
Contoh kasus yang mana pengadilan memberikan penetapan izin untuk menikah kepada seseorang yang belum berusia 21 tahun dapat kita lihat dari Putusan Pengadilan Agama Kota Tual Provinsi Maluku No. 03/Pdt.P/2010/PA TI. Dari putusan tersebut diketahui bahwa Pengadilan Agama Tual memeriksa dan mengadili perkara Permohonan Izin Kawin yang diajukan oleh seorang pemohon (wanita berumur 20 tahun). Oleh karena pemohon belum mencapai umur 21 tahun, maka pemohon mengajukan izin kawin. Calon suami pemohon sudah pernah menyampaikan maksudnya kepada ayah pemohon untuk meminang pemohon, dan orang tua pemohon menerima pinangan tersebut, akan tetapi berselang 1 minggu kemudian ayah pemohon tidak mau lagi dengan laki-laki (calon suami) pemohon tanpa alasan yang jelas. Kemudian, pemohon sampaikan lagi ke ayah pemohon bahwa pemohon tetap ingin menikah dengan laki-laki tersebut akan tetapi ayah pemohon tidak akan memberikan walinya kepada Pemohon, karena sudah beberapa tahun ini ayah dan ibu pemohon telah berpisah tempat tinggal walaupun masih berstatus suami istri. Di sisi lain, pemohon dengan calon suami pemohon sudah bertekad untuk menikah karena sudah saling mencintai dan berniat untuk membentuk rumah tangga serta tidak mungkin untuk dipisahkan.
 
Dengan tidak diperolehnya izin dari orang tua, tidak diberikan wali oleh ayah Pemohon, dan telah mendengar keterangan orang tua dan wali Pemohon di persidangan, maka atas dasar pertimbangan-pertimbangan tersebut hakim Pengadilan Agama Tual akhirnya mengabulkan permohonan pemohon dengan memberikan penetapan berupa izin kepada pemohon untuk menikah dengan calon suami pemohon. Selain itu, pengadilan tersebut juga menunjuk Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Dullah Utara sebagai Wali Hakim dalam perkawinan pemohon dengan calon suami pemohon.
 
Mengenai ketakutan Anda jika orang tua Anda melaporkan pacar Anda ke polisi atas tuduhan “dibawa kabur”, pengaturan dalam KUHP mengenai hal tersebut dikenal sebagai perbuatan membawa pergi seorang wanita tanpa sepengetahuan orang tua. Hal ini diatur dalam Pasal 332 KUHP tentang Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Seseorang, yang berbunyi:
 
(1)          Bersalah melarikan wanita diancam dengan pidana penjara:
1.    paling lama tujuh tahun, barang siapa membawa pergi seorang wanita yang belum dewasa, tanpa dikehendaki orang tuanya atau walinya tetapi dengan persetujuannya, dengan maksud untuk memastikan penguasaan terhadap wanita itu, baik di dalam maupun di luar perkawinan;
2.    paling lama sembilan tahun, barang siapa membawa pergi seorang wanita dengan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan, dengan maksud untuk memastikan penguasaannya terhadap wanita itu, baik di dalam maupun di luar perkawinan.
(2)          Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan.
(3)          Pengaduan dilakukan:
a.    jika wanita ketika dibawa pergi belum dewasa, oleh dia sendiri, atau orang lain yang harus memberi izin bila dia kawin;
b.    jika wanita ketika dibawa pergi sudah dewasa, oleh dia sendiri atau oleh suaminya.
(4)          Jika yang membawa pergi lalu kawin dengan wanita yang dibawa pergi dan terhadap perkawinan itu berlaku aturan-aturan Burgerlijk Wetboek, maka tak dapat dijatuhkan pidana sebelum perkawinan itu dinyatakan batal.
 
Penjelasan lebih lanjut mengenai pasal ini dapat Anda simak dalam artikelSalahkah Mengajak Jalan Pacar Tanpa Sepengetahuan Orang Tuanya?
 
Demikian jawaban dari kami, kami berharap Anda dapat menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan dengan orang tua Anda. Bagaimanapun juga, menurut hemat kami, pergi bersama pacar Anda tanpa restu dari orang tua (kawin lari) mungkin bukan jalan yang terbaik. Ada baiknya Anda juga membicarakan masalah ini dengan anggota keluarga lain untuk bersama-sama mencari solusi yang terbaik.
 
Dasar hukum:
 
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
 
Sebelumnya, kami turut berempati dengan permasalahan yang Anda hadapi.
 
Perlu diketahui bahwa menurut Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
 
Untuk menjawab pertanyaan Anda, maka kita mengacu pada syarat-syarat perkawinan yang diatur dalam Pasal 6 UU Perkawinan yang berbunyi:
 
(1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
(3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
(4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, makaizin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
(5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
 
Dari bunyi pasal tersebut dapat kita ketahui bahwa bagi seseorang yang belum berusia 21 tahun, maka perkawinan harus mendapat izin dari kedua orang tua. Anda mengatakan bahwa saat ini Anda berusia 20 tahun sehingga Anda memang masih perlu mendapatkan izin dari kedua orang tua Anda. Namun, apabila kedua orang tua Anda tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dapat diperoleh dari wali.
 
Jika memang Anda dan pacar Anda ingin menikah, maka kami menyarankan agar Anda menunggu hingga Anda berusia 21 tahun karena batas usia bagi seseorang dapat menikah meski tanpa restu orang tua adalah saat ia belum berusia 21 tahun. Akan tetapi, kami tetap menyarankan sebaiknya Anda bicarakan hal ini baik-baik secara kekeluargaan dengan orang tua Anda. Penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini dapat Anda simak dalam artikel Bagaimana Menikah Jika Tanpa Restu Orang Tua?
 
Namun, apabila Anda ingin segera menikah tanpa ingin menunggu hingga Anda berusia 21 tahun, maka mengacu pada Pasal 6 ayat (5) dan ayat (6) UU Perkawinan, jika ada perbedaan pendapat antara orang tua dengan wali, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang tua atau wali dari orang yang akan melangsungkan perkawinan tersebut. Jadi, Anda dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan setempat agar memberikan izin menikah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5) dan (6) UU Perkawinan. Nantinya, pengadilan akan mengeluarkan sebuah penetapan izin menikah.
 
Contoh kasus yang mana pengadilan memberikan penetapan izin untuk menikah kepada seseorang yang belum berusia 21 tahun dapat kita lihat dari Putusan Pengadilan Agama Kota Tual Provinsi Maluku No. 03/Pdt.P/2010/PA TI. Dari putusan tersebut diketahui bahwa Pengadilan Agama Tual memeriksa dan mengadili perkara Permohonan Izin Kawin yang diajukan oleh seorang pemohon (wanita berumur 20 tahun). Oleh karena pemohon belum mencapai umur 21 tahun, maka pemohon mengajukan izin kawin. Calon suami pemohon sudah pernah menyampaikan maksudnya kepada ayah pemohon untuk meminang pemohon, dan orang tua pemohon menerima pinangan tersebut, akan tetapi berselang 1 minggu kemudian ayah pemohon tidak mau lagi dengan laki-laki (calon suami) pemohon tanpa alasan yang jelas. Kemudian, pemohon sampaikan lagi ke ayah pemohon bahwa pemohon tetap ingin menikah dengan laki-laki tersebut akan tetapi ayah pemohon tidak akan memberikan walinya kepada Pemohon, karena sudah beberapa tahun ini ayah dan ibu pemohon telah berpisah tempat tinggal walaupun masih berstatus suami istri. Di sisi lain, pemohon dengan calon suami pemohon sudah bertekad untuk menikah karena sudah saling mencintai dan berniat untuk membentuk rumah tangga serta tidak mungkin untuk dipisahkan.
 
Dengan tidak diperolehnya izin dari orang tua, tidak diberikan wali oleh ayah Pemohon, dan telah mendengar keterangan orang tua dan wali Pemohon di persidangan, maka atas dasar pertimbangan-pertimbangan tersebut hakim Pengadilan Agama Tual akhirnya mengabulkan permohonan pemohon dengan memberikan penetapan berupa izin kepada pemohon untuk menikah dengan calon suami pemohon. Selain itu, pengadilan tersebut juga menunjuk Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Dullah Utara sebagai Wali Hakim dalam perkawinan pemohon dengan calon suami pemohon.
 
Mengenai ketakutan Anda jika orang tua Anda melaporkan pacar Anda ke polisi atas tuduhan “dibawa kabur”, pengaturan dalam KUHP mengenai hal tersebut dikenal sebagai perbuatan membawa pergi seorang wanita tanpa sepengetahuan orang tua. Hal ini diatur dalam Pasal 332 KUHP tentang Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Seseorang, yang berbunyi:
 
(1)          Bersalah melarikan wanita diancam dengan pidana penjara:
1.    paling lama tujuh tahun, barang siapa membawa pergi seorang wanita yang belum dewasa, tanpa dikehendaki orang tuanya atau walinya tetapi dengan persetujuannya, dengan maksud untuk memastikan penguasaan terhadap wanita itu, baik di dalam maupun di luar perkawinan;
2.    paling lama sembilan tahun, barang siapa membawa pergi seorang wanita dengan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan, dengan maksud untuk memastikan penguasaannya terhadap wanita itu, baik di dalam maupun di luar perkawinan.
(2)          Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan.
(3)          Pengaduan dilakukan:
a.    jika wanita ketika dibawa pergi belum dewasa, oleh dia sendiri, atau orang lain yang harus memberi izin bila dia kawin;
b.    jika wanita ketika dibawa pergi sudah dewasa, oleh dia sendiri atau oleh suaminya.
(4)          Jika yang membawa pergi lalu kawin dengan wanita yang dibawa pergi dan terhadap perkawinan itu berlaku aturan-aturan Burgerlijk Wetboek, maka tak dapat dijatuhkan pidana sebelum perkawinan itu dinyatakan batal.
 
Penjelasan lebih lanjut mengenai pasal ini dapat Anda simak dalam artikelSalahkah Mengajak Jalan Pacar Tanpa Sepengetahuan Orang Tuanya?
 
Demikian jawaban dari kami, kami berharap Anda dapat menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan dengan orang tua Anda. Bagaimanapun juga, menurut hemat kami, pergi bersama pacar Anda tanpa restu dari orang tua (kawin lari) mungkin bukan jalan yang terbaik. Ada baiknya Anda juga membicarakan masalah ini dengan anggota keluarga lain untuk bersama-sama mencari solusi yang terbaik.
 
Dasar hukum:
 

Ketika Istri Tak Lagi Mencintai Suaminya

Terima kasih atas pertanyaan Anda.
 
Kami turut prihatin terhadap masalah yang sedang dihadapi oleh teman Anda. Perceraian hendaknya menjadi pilihan terakhir bagi pasangan suami istri setelah semua upaya telah ditempuh untuk menjaga keutuhan rumah tangga.
 
Sebelum menjawab pertanyaan Anda, penting halnya jika kita terlebih dahulu menyimak bunyi Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”):
“Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.”
 
Lebih lanjut, dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan dikatakan bahwa alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah:
1.    salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
2.    salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemauannya
3.    salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung
4.    salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain
5.    salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri
6.    antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga
 
Selain alasan-alasan tersebut, bagi pasangan suami istri yang beragama Islam juga berlaku ketentuan dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam (“KHI”)yang mengatur dua alasan perceraian yang tidak diatur dalam UU Perkawinan yaitu:  
1.    Suami melanggar taklik talak
2.    Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga
 
Di dalam cerita disebutkan bahwa teman Anda sudah menikah selama dua tahun, namun ingin bercerai karena sudah tidak cinta lagi dengan suaminya. Juga dikatakan, sang suami tidak lalai dalam tugasnya sebagai suami. Jika merujuk pada alasan dari segi UU Perkawinan dan KHI yang telah kami sebutkan di atas, makaalasan karena sudah tidak cinta tidak dapat dijadikan dasar untuk perceraian. Oleh karena itu, tidak ada cukup alasan bagi teman Anda untuk menggugat cerai suaminya.
 
Selanjutnya, kami akan membahas mengenai alasan tidak cinta lagi sebagai dasar perceraian ini jika dilihat dari segi hukum Islam. Apabila teman Anda dan suami beragama Islam, maka ada syariat Islam yang juga perlu dicermati terkait hal ini.
 
Mengutip pada sebuah artikel yang menurut kami relevan dengan pertanyaan Anda ini berjudul Bila Isteri Menuntut Cerai, Bolehkah Suami-Isteri Bersatu Kembali? yang kami akses dari laman mediasilaturahim.com, dikatakan: 
 
“… tujuan utama pernikahan adalah membina rumah tangga yang sakinah, penuh mawaddah (cinta) dan rahmah (kasih sayang). Dari sini, maka bila salah satu pihak (suami atau isteri) sudah merasa tidak nyaman, maka ia boleh memutuskan untuk tidak meneruskan perjalanan bahtera rumah tangganya. Bila isteri yang sudah merasa tidak nyaman, maka dia boleh melakukan khulu’, yaitu menebus dirinya dari kekuasaan suami dengan menyerahkan sejumlah harta kepadanya. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan kemudharatan yang akan menimpa wanita, baik karena sikap suaminya yang tidak baik (zhalim) maupun karena dia tidak bisa lagi tinggal bersama orang yang tidak dicintainya.”
 
Selain bersumber pada tulisan di atas, sumber lain yang menurut kami juga relevan terkait khulu’ ini adalah tulisan berjudul Talak Bagian 4 (Sebab Talak: Khulu’) yang kami dapat dari laman muslimah.or.id. Tulisan tersebut menerangkan bahwa khulu’ diambil dari ungkapan خلعالثوب yang artinya melepas baju, karena secara kiasan, istri adalah pakaian suami. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala:
 “Mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.” (Q.S. Al-Baqarah: 187)
Kembali kepada penjelasan dalam tulisan Bila Isteri Menuntut Cerai, Bolehkah Suami-Isteri Bersatu Kembali?, lebih lanjut dijelaskan bahwa karena pernikahan merupakan ikatan suci yang bertujuan untuk membentuk keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah, Islam agak sedikit menutup kemungkinan cara khulu’ ini. Artinya, Islam berusaha agar hal seperti itu tidak terjadi. Jika memang harus terjadi, maka hal itu dibolehkan. Tentunya berdasarkan pertimbangan adanya kemashlahatan (kebaikan) bagi kedua belah pihak. Hal ini dimaksudkan agar wanita tidak menggunakan fasilitas khulu’ ini semaunya tanpa ada pertimbangan kemashlahatan. Demikian pula dengan hakim, dia tidak boleh mengabulkan permohonan khulu’ begitu saja tanpa ada pertimbangan kemashlahatan dan sebelum berusaha untuk menyatukan kembali suami istri yang akan bercerai.
 
Kemudian, kami akan menjelaskan khulu’ dari segi teknis dalam praktik. Kami merujuk pada sebuah tulisan berjudul Spesifikasi Putusnya Perkawinan Karena Perceraian (Upaya Modifikasi Penerapan Hukum Putusnya Perkawinan karena Perceraian di Pengadilan Agama) yang dibuat oleh Erfani, S.HI. yangkami akses dari laman resmi Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI. Erfani berpendapat bahwa ketika perceraian/putusnya perkawinan itu diajukan dari dan oleh istri dengan sebab bersumber dari istri atau juga dari suami, maka perceraian/putusnya perkawinan itu merupakan fasakh (fasakh: putusnya perkawinan oleh hakim). Salah satu jenis putusnya perkawinan ini adalah talak khulu’. Kasus perceraian yang dapat diterapkan lembaga talak jenis khuluk ini adalah ketika sebuah perceraian itu merupakan kehendak istri, sementara perceraian yang dikehendaki oleh isteri itu lebih kepada situasi isteri yang sudahtidak lagi menyukai (karahiyah) dan tidak lagi mencintai suaminya. Hal ini karena mempertahankan rumah tangga sementara rasa cinta itu hanya sepihak saja akan menimbulkan banyak dampak negatif bagi keduanya, sehingga perceraian harus menjadi jalan keluar meskipun pada dasarnya suami tidak menghendaki itu.
 
Jadi, dalam praktiknya alasan perceraian atas dasar karena sudah tidak cinta lagi ini memang terjadi di masyarakat dan seorang istri yang tidak cinta lagi kepada suaminya dapat memohon kepada suaminya untuk menjatuhkan talak kepadanya yang dinamakan talak khulu’ yang mana pengadilan agama memfasilitasinya melalui lembaga khulu’.
 
Dengan demikian, berpedoman pada ulasan mengenai khulu’ dari beberapa tautan yang kami berikan di atas, dapat disimpulkan bahwa jika dilihat dari alasan-alasan perceraian yang disebut dalam UU Perkawinan dan KHI, teman Anda tidak dapat menggugat cerai suaminya oleh karena alasan tidak cinta lagi tidak dapat dijadikan dasar untuk perceraian. Akan tetapi, jika dilihat dari segi hukum Islam dan dalam praktik, permintaan istri kepada suami untuk menjatuhkan talak kepadanya karena alasan tidak cinta lagi boleh/dimungkinkan untuk dilakukan, namun hakim yang mengabulkan permohonan talak jenis ini harus berdasarkan pertimbangan adanya kemashlahatan (kebaikan) bagi suami dan istri.
 
Namun bagaimanapun juga, menurut hemat kami, perceraian haruslah sebaik mungkin dihindari. Kami berharap teman Anda dapat menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan tanpa harus melalui jalan perceraian.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1.    Al-Qur’an
3.  Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam
 
Referensi:
Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI, diakses pada 9 Juli 2013 pukul 14.44 WIB
http://muslimah.or.id/fikih/talak-bagian-4-sebab-talak-khulu.html, diakses pada 11 Juli 2013 pukul 10.05 WIB