Jumat, 04 Maret 2016

Kasus Korupsi Dihentikan Bila Terdakwa Mengembalikan Kerugian Negara?

Terima kasih atas pertanyaan Anda.

Penyelesaian kerugian negara perlu segera dilakukan untuk mengembalikan kekayaan negara yang hilang atau berkurang serta meningkatkan disiplin dan tanggung jawab para pegawai negeri/pejabat negara pada umumnya, dan para pengelola keuangan pada khususnya.[1]  Kerugian keuangan negara yang dibayarkan ini dikenal dengan istilah uang pengganti.

Sebagaimana pernah disebutkan dalam artikel Siapa Menanggung Kerugian Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi?Purwaning M. Yanuar dalam bukunya Pengembalian Aset Hasil Korupsi mengatakan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara dengan menggunakan instrumen pidana menurut UU Pemberantasan Tipikor dilakukan melalui proses penyitaan, perampasan, dan aturan pidana denda (hal. 150).

Memang, kerugian negara itu ditanggung sendiri oleh terpidana korupsi yang telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi melalui sanksi pidana yang dijatuhkan kepadanya. Sebagamana dijelaskan dalam artikel tersebut, hakimlah yang menentukan berapa jumlah uang pengganti yang harus terpidana korupsi bayar dan hukuman lainnya untuk mengembalikan kekayaan negara yang dirugikan akibat tindak pidana korupsi melalui putusannya. Artinya, pengembalian kekayaan negara atas tindak pidana korupsi itu dilakukan setelah ada proses pidana dan putusan pengadilan.

Lalu bagaimana jika seorang koruptor atas inisiatifnya sendiri mengembalikan uang yang telah dia korupsi sebelum putusan pengadilan? Apakah kasus koruptor tersebut masih terus dilakukan proses hukumnya sampai putusan pengadilan atau justru dibebaskan?

Sebelumnya menjawabnya, mari kita simak terlebih dahulu pasal-pasal yang menjerat pelaku kejahatan korupsi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Pemberantasan Tipikor”) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (“UU 20/2001”) sebagai berikut:

Pasal 2 UU Pemberantasan Tipikor:
(1)  Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(2)  Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor:
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Menjawab pertanyaan Anda, kami mengacu pada Pasal 4 UU Pemberantasan Tipikor:

Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negaratidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.

Dalam hal pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan pasal 3 telah memenuhi unsur-unsur pasal dimaksud, maka pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, tidak menghapuskan pidana terhadap pelaku tindak pidana tersebut. Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara hanya merupakan salah satufaktor yang meringankan.[2]

Pakar Hukum Acara Pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII)Mudzakkir dalam artikel  Pengurangan Hukuman Syaukani Sesuai Doktrinberpendapat bahwa pengembalian uang atau kerugian negara oleh terdakwa dapat menjadi alasan bagi hakim untuk mengurangi pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa yang bersangkutan. Pengembalian tersebut, menurut Mudzakkir, berarti ada iktikad baik untuk memperbaiki kesalahan. Ia menegaskan pengembalian uang itu hanya mengurangi pidana, tetapi bukan mengurangi sifat melawan hukum.

Dalam praktek, lanjut Mudzakkir, pengembalian hasil tindak pidana sering dikaitkan dengan waktunya. Bila pengembalian dilakukan sebelum penyidikan dimulai, seringkali diartikan menghapus tindak pidana yang dilakukan seseorang. Namun, bila dilakukan setelah penyidikan dimulai, pengembalian itu tidak menghapus tindak pidana. Menurutnya, dikembalikan sebelum atau sesudah penyidikan itu tetap melawan hukum. Misalnya seseorang mencuri, lalu mengembalikan barang curian sebelum orang lain tahu, itu tetap tindak pidana.

Dalam artikel yang sama, praktisi hukum T Nasrullah berbeda pendapat soal waktu pengembalian hasil tindak pidana. Khusus dalam konteks tindak pidana korupsi, pengembalian kerugian negara sebelum penyidikan bisa menghapus tindak pidana. Salah satu unsur korupsi, lanjutnya adalah unsur kerugian negara. Bila sudah dikembalikan berarti unsur tersebut sudah hilang. Tapi syaratnya harus sebelum ada penyidikan.

Jika penyidikan telah dimulai, ia menilai pengembalian uang hanya mengurangi sanksi pidana saja. Alasannya, pengembalian kerugian negara dianggap sebagai timbal balik karena telah meringankan tugas negara. Tidak mempersulit dari segi biaya, waktu, tenaga dan pikiran negara. Pengembalian yang juga dianggap sebagai pengakuan bersalah si terdakwa. 

Jadi, meskipun pelaku tindak pidana korupsi (koruptor) itu telah mengembalikan keuangan negara yang telah ia korupsi sebelum putusan pengadilan dijatuhkan, proses hukumnya tetap berjalan karena tindak pidananya telah terjadi. Akan tetapi, pengembalian uang yang telah dikorupsi dapat menjadi faktor yang meringankan bagi terdakwa saat hakim menjatuhkan putusan.

Demikian jawaban dari kami. Semoga bermanfaat.

Dikritik DPR Soal Rekrutmen Hakim Agung, Ini Jawaban Komisi Yudisial

“Jadi saya sebenarnya no hope (tidak ada harapan) dengan KY ini”. Ungkapan kekecewaan ini dilontarkan Wakil Ketua Komisi III DPR Benny K Harman terhadap Komisi Yudisial (KY) yang merupakan lembaga pengawas eksternal hakim. Kekecewaan itu diluapkan Benny dalam rapat konsultasi KY dengan Komisi III, di Gedung DPR, Rabu (2/3). Menurut Benny, kepemimpinan KY Jilid III tidak menggambarkan mekanisme dan cara dalam membentuk hakim yang bersih sesuai visi misi KY.
 
Dua tugas utama KY adalah melakukan seleksi terhadap calon hakim agung dan menjaga kehormatan serta wibawa keluhuran perilaku hakim. Lembaga pengawasan eksternal hakim itu juga sebagai pemegang kekuasaan kehakiman dalam melakukan seleksi calon hakim agung dan pengawasan.
 
Benny mengatakan, sebagai lembaga negara yang melakukan seleksi, KY mesti memastikan hakim hasil seleksinya sesuai harapan publik. Oleh sebab itu, kata Benny, KY mestinya melakukan evaluasi rutin terhadap hakim agung. Apalagi, hakim agung yang sudah duduk di Mahkamah Agung (MA) dalam jangka waktu yang lama tak ada mekanisme evaluasi oleh KY. Menurutnya, sudah sepatutnya KY mengevaluasi terhadap putusan-putusan yang dibuat hakim agung hasil seleksinya.
 
“KY itu punya hak meminta putusan-putusan yang dibuat hakim agung. Sehingga terlihat hakim itu berintegritas atau tidak. Banyak putusan-putusan hakim agung yang tidak masuk akal,” ujarnya.

Benny menambahkan, KY sebagai lembaga negara mesti kreatif melakukan pengawasan yang progresif. Apalagi dengan kepemimpinan KY Jilid III, mesti membuat terobosan pengawasan ketat sebagai upaya pencegahan terhadap hakim yang berniat ‘main mata’ dengan pihak berperkara. KY memiliki kewenangan meminta putusan-putusan hakim agung ke Mahkamah Agung. KY juga harus dapat meneliti terkait putusan dibuat, hingga sinkronisasi antara pertimbangan hukum dengan amar putusan.
 
“Kalau tidak nyambung antara pertimbangan hukum dengan amar putusan, kesimpulan hakim agung itu tidak profesional dan irasional putusannya,” ujarnya.
 
Tak hanya itu, sambung Benny, KY mesti mengevaluasi terkait jumlah putusan yang dibuat hakim agung hasil seleksinya. Dengan beberapa upaya itu, setidaknya KY dapat mengetahui apakah hakim agung hasil seleksinya memiliki kualitas dan kuantitas kinerja yang mumpuni atau sebaliknya.
 
“KY ini memanggul harapan publik. Ketua KY ini tidak boleh menyiakan harapan publik. Jadi kami minta pimpinan KY sungguh-sungguh kembali pada ruh pembentukan KY sebagai pilar utama terwujudnya hakim yang bersih,” ujar politisi Demokrat itu.
 
Wakil Ketua Komisi III lainnya, Trimedya Panjaitan berpendapat apa yang diutarakan Benny sebagai bentuk kritik untuk membangun lembaga KY. Menurutnya, evaluasi hakim agung nantinya menjadi masukan terhadap RUU Jabatan Hakim yang menjadi usul inisiatif DPR. Apalagi, DPR dalam pembahasan RUU tersebut akan meminta masukan dari KY.

Ketua KY Aidul Fitriciada Azhari menanggapi pandangan Benny. Menurutnya, lembaga yang dipimpinnya bakal melakukan upaya peningkatan kapasitas hakim mulai dari tingkat rekrutmen. Ia menilai ketika hakim akan mencalonkan diri menjadi hakim agung, setidaknya sudah memiliki jejak rekam hakim.
 
“Jadi penguatan kapasitas jangka panjang agar diperoleh hakim yang berintegritas,” ujarnya.
 
Komisioner KY Jaja Ahmad Jayus menambahkan, sesuai UU No.18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial, lembaganya hanya dapat memberikan rekomendasi kepada MA. Namun dalam praktiknya, rekomendasi KY tak bersifat mengikat. Ia berharap dalam revisi UU KY nantinya menjadikan rekomendasi KY bersifat mengikat.
 
Selain itu, sambungnya, KY telah berupaya melakukan evaluasi putusan hakim agung. Hal itu sudah diutarakan kepada MA agar para hakim agung memberikan 3 putusan terbaiknya. Namun belakangan, terjadi uji materi terhadap UU KY di Mahkamah Konstitusi. Akibatnya, hubungan KY dan MA agak mengendur.
 
“Sehingga belum dapat dilakukan sepenuhnya secara berkelanjutan. Tetapi kalau dipandang baik, kami akan memasukan dalam program kerja. Jadi aspek integritas, kinerja dan kualitas putusan sudah kita lakukan. Kita teliti melibatkan akademisi yang netral,” ujarnya.
 
Persiapkan naskah akademik
Anggota Komisi III Arsul Sani berpandangan, DPR berencana melakukan revisi terhadap UU KY. Pasalnya, UU KY masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) lima tahunan. Menurutnya, bila tidak dikebut pembuatan naskah akademik, dikhawatirkan pembahasan RUU KY bakal molor. Apalagi, di tahun 2018 setidaknya anggota dewan sudah fokus menghadapi pemilu. Terlebih, banyak RUU menjadi pekerjaan rumah Komisi III yang belum rampung pembahasannya.
 
“Kalau Komisi III yang menyusun naskah akademik jangan-jangan tidak selesai. Jadi kita harap juga KY bisa menyiapkan naskah akademik untuk penguatan KY dengan revisi UU KY,” ujar politisi Partai Persatuan Pembangunan itu.
 
Aidul Fitriciada Azhari pun menyanggupi permintaan Arsul. Menurutnya KY akan membentuk tim dalam pembuatan dan penyusunan naskah akademik. Ia berharap setidaknya di 2016 ini, naskah akademik sudah dapat rampung dan diselesaikan untuk segera diberikan ke Komisi III.
 
“Kami akan siapkan naskah akademik agar bisa masuk tahun ini. Sehingga bisa dimasukan dalam Prolegnas tahun depan,” pungkasnya.

KPK Buka Lowongan, Keluarga Koruptor Dilarang

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menggelar rekrutmen pejabat melalui program “Indonesia Memanggil 10”. Sekretaris Jenderal KPK R. Bimo Gunung Abdul Kadir menyebut terdapat 12 jabatan struktural setingkat eselon II dan III yang saat ini masih kosongdi KPK.
 
“Kami membuka kesempatan kepada Warga Negara Indonesia yang memiliki integritas dan komitmen tinggi dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi untuk mengisi posisi pada rumpun jabatan struktural,” kata Bimo di Gedung KPK, Jumat (4/3), dikutip dari www.kpk.go.id.
 
Beberapa jabatan yang lowong di KPK antara lain Direktur Penelitian dan Pengembangan, Direktur Pengolahan Informasi dan Data, Direktur Monitor, Direktur Pengawasan Internal, Kepala Biro Humas, dan Kepala Biro Sumber Daya Manusia.
 
Lalu, Kepala Sekretariat Bidang Pencegahan, Kepala Sekretariat Bidang Penindakan, Koordinator Sekretaris Pimpinan, Kepala Bagian Perancangan Peraturan Hukum, Kepala Bagian Litigasi & Bantuan Hukum, dan Kepala Bagian Perencanaan dan Pengembangan SDM.
 
“Proses rekrutmen pegawai KPK seluruhnya gratis. Jadi kalau ada pihak yang menjanjikan atau meminta biaya, mohon segera menginformasikan kepada kami,” kata Pelaksana Harian Kepala Biro Humas Yuyuk Andriati Iskak.
 
Bimo menjelaskan sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon pelamar. Seperti batas usia minimal, untuk jabatan  Direktur/Kepala Biro yakni 40 tahun, sedangkan untuk jabatan Kepala Bagian/Kepala Sekretariat/Koordinator Sekretaris Pimpinan. Syarat lainnya, tidak pernah terlibat masalah narkoba, pidana dan keuangan; serta tidak pernah diberhentikan dengan tidak hormat sebagai pegawai.
 
“Yang tak kalah penting, tidak terikat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda sampai dengan derajat ke-3, baik dengan pejabat/pegawai KPK, maupun dengan tersangka/terdakwa/terpidana tindak pidana korupsi,” katanya.
 
Terkait syarat tidak terikat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda sampai dengan derajat ke-3 dengan tersangka/terdakwa/terpidana tindak pidana korupsi,hukumonline mencatat kebijakan ini sudah diterapkan sejak tahun 2014 melalui program “Indonesia Memanggil 8”.
 
Sebelum 2014, pada program “Indonesia Memanggil 7”, sebagaimana dikutip darihttp://www.kpk.go.id/id/indonesia-memanggil, persyaratan yang berkaitan dengan hubungan keluarga adalah “tidak terikat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda sampai dengan derajat ke-3 dengan pejabat/pegawai KPK”.
 
Dimintai penjelasannya, Yuyuk Andriati Iskakmenyatakan syarat yang melarang seseorang keluarga baik sedarah maupun semenda sampai dengan derajat ke-3 dengan tersangka/terdakwa/terpidana tindak pidana korupsi, bertujuan untuk mencegah konflik kepentingan.
 
Yang menarik, syarat serupa tidak ada dalam konteks rekrutmen calon pimpinan KPK. UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK mengatur 11 persyaratan untuk menjadi capim KPK diantaranya tidak menjadi pengurus salah satu partai politik; melepaskan jabatan struktural  dan atau jabatan lainnya selama menjadi anggota Komisi Pemberantasan Korupsi; tidak menjalankan profesinya selama menjadi anggota Komisi Pemberantasan Korupsi; dan mengumumkan kekayaannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2016

ATA CARA PENYAMPAIAN DATA DAN INFORMASI OLEH INSTANSI PEMERINTAH DAN/ATAU LEMBAGA SWASTA DALAM PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

Seponering BW-AS Beri Pesan Korektif Kinerja Polisi

Tim pengacara Bambang Widjojanto (BW) dan Abraham Samad (AS), Asfinawati mengatakan seponering atau pengenyampingan perkara demi kepentingan umum (biasa disebut deponering) yang dikeluarkan Jaksa Agung M Prasetyo memiliki pesan korektif terhadap kinerja kepolisian. Ia mengapresiasi langkah yang diambil Prasetyo.
 
"Kejaksaan kedepannya harus proaktif dalam mengawasi, mengontrol kerja penyidik, termasuk dalam menerima berkas perkara dari penyidik. Sebab, dalam kasus BW khususnya, pasca P21 justru terbuka fakta banyak bukti manipulatif. Harus ada evaluasi internal maupun eksternal terkait kinerja kepolisian dalam kasus ini," katanya, Kamis (3/3).
 
Menurut Asfinawati, seponering adalah mekanisme hukum yang sejalan dengan instruksi Presiden untuk menghentikan krminalisasi terhadap BW dan AS. Sebagaimana diketahui, Presiden Joko Widodo, beberapa waktu lalu, memanggil Prasetyo dan Kapolri Badrodin Haiti untuk segera menyelesaikan kasus BW, AS, dan Novel Baswedan.
 
Seponering tersebut juga dianggap sejalan dengan rekomendasi Ombusman dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang menemukan adanya maladministrasi, serta pelanggaran HAM dalam proses penyelidikan dan penyidikan di kepolisian, khususnya dalam kasus pemberian keterangan palsu yang dituduhkan terhadap BW.
 
Asfinawati menjelaskan, langkah Jaksa Agung mengeluarkan seponering bagi kasus BW dan AS merupakan bentuk langkah positif dengan semangat untuk menghentikan kasus kriminalisasi. Semestinya, langkah itu juga diikuti dengan penghentian perkara kriminalisasi pegiat anti Korupsi, para aktivis HAM, buruh, dan pengabdi bantuan hukum.
 
Namun, terhadap tudingan kriminalisasi BW-AS, Prasetyo membantah. Ia menegaskan, tidak ada kriminalisasi dalam kasus BW dan AS. Penanganan perkara kedua mantan pimpinan KPK itu sudah melalui tahapan penelitian berkas, bolak-balik berkas dari Kepolisian dan Kejaksaan, hingga dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan.
 
Walau begitu, Prasetyo mengaku dirinya tetap mempertimbangkan aspirasi masyarakat, serta saran dan pendapat badan-badan kekuasaan negara. Ia memutuskan mengenyampingkan perkara BW dan AS karena jika tidak diselesaikan akan mempengaruhi pemberantasan korupsi dan berdampak pada kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
 
Prasetyo berpandangan, pemberantasan korupsi merupakan kepentingan umum. Sementara AS dan BW dikenal luas sebagai tokoh dan figur yang memiliki komitmen memberantas korupsi. Ketika figur yang memiliki komitmen dalam pemberantasan korupsi itu menghadapi tuduhan tindak pidana, tentu memerlukan pembuktian.
 
Sebelum memutuskan seponering, Jaksa Agung telah meminta saran dan pendapat dari ketua Mahkamah Agung (MA), DPR, dan Kapolri. Saat itu, Jaksa Agung memperoleh beragam jawaban dan tanggapan dari masing-masing lembaga negara. Pimpinan MA dan Kapolri menyerahkan sepenuhnya keputusan kepada Jaksa Agung.
 
Berbeda dengan DPR. Prasetyo mengungkapkan, ada sedikit ketidaksamaan pandangan meskipun pada akhirnya pimpinan DPR juga menyerahkan sepenuhnya kepada Jaksa Agung yang memiliki hak prerogatif. Selain itu, Prasetyo juga mencermati, mendengar aspirasi, dan tuntutan rasa keadilan yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat.

Dasar Hukum Perbankan Syariah di Indonesia

Konsep negara hukum yang tercantum dalam konstitusi Indonesia memberikan dampak terhadap subjek hukum baik warga negara atau badan hukum, sehingga setiap perbuatan yang dilakukan oleh subyek hukum wajib memiliki dasar hukum, mengikuti hukum yang berlaku, dan tidak melanggar peraturan-peraturan yang ada. Berdasarkan pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, jenis dan heirarki Peraturan Perundang-Undangan yang dijadikan sumber hukum di Indonesia, baik materiil maupun formil, adalah sebagai berikut:
  1. Undang-Undang Dasar Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 
  2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang
  3. Peraturan Pemerintah
  4. Peraturan Presiden 
  5. Peraturan Daerah

Pasal 33 Undang-Undang Dasar Tahun 1945

Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 dalam ilmu hukum disebut sebagai sumber dari segala sumber hukum. UUD Tahun 1945 menempati posisi teratas dalam heirarki perundang-undangan sebagaimana yang tedapat pada pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di atas. Peletakan UUD 1945 pada posisi ini disebabkan kedudukannya yang urgen bagi negara, yaitu sebagai salah satu syarat terbentuknya sebuah negara. Menurut Hans Kalsen Undang-Undang Dasar dikategorikan sebagai Grundnormen[3] atau norma dasar yang menjadi payung bagi peraturan-peraturan yang berada dibawahnya. Aturan dasar pada ranah perekonomian terdapat dalam Pasal 33 UUD Tahun 1945 yang berbunyi:
  1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. 
  2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. 
  3. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.  
  4. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. 
  5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini  diatur dalam undang-undang.

UU No.7 Tahun 1992

Sejak diberlakukannya UU No.7 Tahun 1992, yang memosisikan bank Syariah sebagai bank umum dan bank perkreditan rakyat, memberikan angin segar kepada sebagian umat muslim yang anti-riba, yang ditandai dengan mulai beroperasinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tanggal 1 Mei 1992 dengan modal awal Rp.106.126.382.000,00.
Namun bukan hanya itu, Tercatat bahwa bank-bank (pedesaan) Islam pertama di Indonesia adalah BPR ”Mardatillah” (BPRMD) dan BPR “Berkah Amal Sejahtera”. Keduanya beroperasi atas dasar hukum Islam (syariah) dan terletak di Bandung. Keduanya mulai mengoprasikan usahanya pada tanggal 19 Agustus 1991.
Meskipun UU No.7 Tahun 1992 tersebut tidak secara eksplisit menyebutkan pendirian bank syariah atau bank bagi hasil dalam pasal-pasalnya, kebebasan yang diberikan oleh pemerintah melalui deregulasi tersebut telah memberikan pilihan bebas kepada masyarakat untuk merefleksikan pemahaman mereka atas maksud dan kandungan peraturan tersebut.

UU No.10 Tahun 1998

Arah kebijakan regulasi ini dimaksudkan agar ada peningkatan peranan bank nasional sesuai fungsinya dalam menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat dengan prioritas koperasi, pengusaha kecil, dan menengah serta seluruh lapisan masyarakat tanpa diskriminasi. Karena itu, UU No.10 Tahun 1998 tentang perubahan atas undang-undang No.7 Tahun 1992 hadir untuk memberikan kesempatan meningkatkan peranan bank syariah untuk menampung aspirasi dan kebutuhan masyarakat 
Dalam pasal 6 UU No.10 Tahun 1998 ini mempertegas bahwa: 
  • Pertama, Bank Umum adalah bank yang menyelesaikan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatan usahanya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
  • Kedua, Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Dalam UU No.10 Tahun 1998 ini pun memberi kesempatan bagi masyarakat untuk mendirikan bank yang menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah, termasuk pemberian kesempatan kepada BUK untuk membuka kantor cabangnya yang khusus menyelenggarakan kegiatan berdasarkan Prinsip Syariah. 
Selain itu, pemerintah juga menjabarkan apakah yang dimaksud dengan Prinsip Syariah dalam pasal ini, yaitu terdapat dalam pasal 1 ayat 13 UU No.10 Tahun 1998: Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
.

UU No.23 Tahun 2003

UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia telah menugaskan kepada BI untuk mempersiapkan perangkat aturan dan fasilitas-fasilitas penunjang lainnya yang mendukung kelancaran operasional bank berbasis Syariah serta penerapan dual bank sistem.

UU No.21 Tahun 2008

Undang-undang yang secara spesifik mengatur tentang perbankan syariah adalah Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008. Undang-undang ini muncul setelah perkembangan perbankan syariah di Indonesia mengalami peningkatan yang signifikan. Pada bab I pasal 1 yang berisi tentang Ketentuan Umum undang-undang ini telah membedakan secara jelas antara bank kovensional beserta jenis-jenisnya dengan bank syariah beserta jenis-jenisnya pula. Perbedaan penyebutan pun telah dibedakan sebagaimana diatur dalam pasal 1 poin ke-6 yang menyebut “Bank Perkreditan Rakyat” sedangkan poin ke-9 menyebutkan dengan “Bank Pembiayaan Rakyat”. 
Usaha Bank Syariah dalam menjalankan fungsinya adalah menghimpun dana dari nasabah dan menyalurkan pembiayaan berdasarkan akad-akad yang terdapat dalam ekonomi Islam. Seperti mudharabah, wadi’ah, masyarakah, murabahah, atau akad-akad lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.  

Beberapa Peraturan Bank Indonesia mengenai Perbankan syariah

  1. PBI No.9/19/PBI/2007 tentang pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa bank syariah.
  2.  PBI No.7/35/PBI/2005 tentang perubahan atas peraturan bank Indonesia No. 6/24/PBI/2004 tentang bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah 
  3.  PBI No.6/24/PBI/2004 tentang bank umum yang melaksnakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah

Fatwa Majelis Ulama Indonesia

Selain dasar hukum yang telah disebutkan di atas, landasan hukum Islam yang dimaksud dalam perbankan syariah adalah fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga tertentu yang berwenang sebagaimana yang diatur pada pasal 1 poin ke-12 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008:
Prinsip  Syariah  adalah  prinsip  hukum  Islam  dalam kegiatan  perbankan  berdasarkan  fatwa  yang  dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.   
Meskipun tidak disebutkan secara langsung, undang-undang memberikan Dewan Syariah Nasional MUI sebagai lembaga yang berwenang mengeluarkan fatwa sekaligus berwenang merekomendasikan Dewan Pengawas Syariah yang ditempatkan pada bank-bank syariah dan unit usaha syariah.  Dan fatwa MUI belum memiliki kekuatan hukum yang cukup jika tidak dikonversi ke dalam peraturan yang termasuk dalam heirarki perundang-undangan. Akan tetapi fatwa tersebut termasuk dalam doktrin hukum yang bisa dipakai jika pencari fatwa sepakat dengan pendapat mufti.  
MUI sebagai salah satu lembaga yang dipercaya oleh Undang-Undang maupun Peraturan Pemerintah unruk mengeluarkan acuan berupa fatwa, telah mengeluarkan kurang lebih 43 fatwa terkait dengan perbankan syariah. Di antaranya adalah fatwa tentang giro dengan menggunakan sistem wadhi’ah, yaitu pada fatwa DSN No.01/DSN-MUI/IV/2000. Pada fatwa ini, giro yang berdasarkan Wadhi’ah ditentukan bahwa:

  1. Dana yang disimpan pada bank adalah bersifat titipan
  2. Titipan (dana) ini bias diambil kapan saja (on call)
  3. Tidak ada imbalan yang disyaratkan kecuali dalam bentuk pemberian yang bersifat sukarela dari pihak bank
Meskipun demikian, kedudukan fatwa lebih cocok jika dikategorikan sebagai doktrin hukum yang tidak terlalu kuat jika dijadikan sumber rujukan untuk membuat suatu hukum apabila tidak dikonversi menjadi salah satu jenis produk hukum yang terdapat dalam heirarki perundang-undangan.

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah

Lahirnya Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah membawa beberapa perubahan yang signifikan terhadap kedudukan dan eksistensi peradilan agama di Indonesia. Kewenangan absolut dari peradilan agama mengalami perluasan, yakni pengadilan agama berwenang menangani permasalahan ekonomi syariah yang meliputi perbankan syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, dan beberapa masalah ekonomi Islam lainnya.  
Perkembangan ini menuntut Mahkamah Agung mengeluarkan peraturan yang terkait dengan permasalahan ekonomi Islam. Pada tanggal 10 September 2008 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. PERMA ini adalah sarana memperlancar dalam pemeriksaan dan penyelesasian sengketa ekonomi syariah sekaligus pedoman bagi hakim mengenai hukum ekonomi berdasarkan prinsip Islam, sebagaimana terdapat di dalam konsiderannya.Penyusunan KOHES ini tidak bisa terlepas dari sejumlah rujukan baik dari beberapa kitab fiqh, fatwa-fatwa DSN MUI, dan peraturan BI tentang Perbankan Syariah. 
 

Dasar Hukum  Islam (Rujukan)

Al-baqarah ayat 275

275. Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti  berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu  (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.

Ar-Rum ayat 39

Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).