Jumat, 20 Maret 2015

Ketentuan dan Persyaratan Penahanan Anak yang Berhadapan dengan Hukum

ntuk anak yang berhadapan dengan hukum dalam kedudukan disangka melakukan tindak pidana, maka ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan, selain UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,(“KUHAP”) maka harus juga diperhatikan UU No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak (“UU No. 3/1997”) danUU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”)
 
Khusus untuk Anak yang dapat diproses pidana, Mahkamah Konstitusi telah menaikkan batas minimum anak yang dapat diproses secara pidana dari 8 tahun menjadi 12 tahun (vide Putusan MK No 1/PUU-VIII/2010).
 
Khusus untuk penahanan terdapat syarat–syarat yang harus dipenuhi dan harus dicantumkan secara tegas dalam Surat Perintah Penahanan yaitu syarat berdasarkan Pasal 21 ayat (1) dan ayat (4) huruf a KUHAP jo Pasal 45 ayat (1) UU No. 3/1997 yaitu:
·         Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana
·         Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal: tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih
·         Penahanan dilakukan setelah dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan kepentingan anak dan atau kepentingan masyarakat.
Sementara jangka waktu penahanan anak sebagaimana diatur oleh UU No. 3 Tahun 1997 adalah sebagai berikut
 
Jenis Penahanan
Lama Penahanan
Penahanan/Perpanjangan Penahanan oleh
Penahanan di Penyidikan
Maks. 20 hari
Penyidik
Perpanjangan Penahanan di Penyidikan
Maks. 10 hari
Penuntut Umum
Penahanan di tingkat Penuntutan
Maks. 10 hari
Penuntut Umum
Perpanjangan Penahanan di tingkat penuntutan
Maks. 15 hari
Ketua PN
Penahanan di tingkat pemeriksaan Pengadilan
Maks. 15 hari
Hakim
Perpanjangan Penahanan di tingkat pemeriksaan Pengadilan
Maks. 30 hari
Ketua PN
Penahanan di tingkat pemeriksaan Banding
Maks. 15 hari
Hakim Banding
Perpanjangan Penahanan di tingkat pemeriksaan Banding
Maks. 30 hari
Ketua PT
Penahanan di tingkat pemeriksaan Kasasi
Maks. 25 hari
Hakim Kasasi
Perpanjangan Penahanan di tingkat pemeriksaan Kasasi
Maks. 30 hari
Ketua MA
 
Karena tidak terdapat informasi memadai mengenai dakwaan apa yang disangkakan, maka sangat disarankan Anda melihat ketentuan-ketentuan pidana dalam UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Kemudian khusus untuk anak, berdasarkan ketentuanPasal 22 UU No. 3/1997, maka anak dapat dijatuhi pidana atau tindakan.
 
Mengingat bahwa kegiatan narkotika dinyatakan terlarang bagi untuk melibatkan anak dalam berbagai tingkat sebagaimana dinyatakan oleh UU Perlindungan Anak, maka pada dasarnya berlaku ketentuan Pasal 1 angka 2 huruf b jo Pasal 24 UU No. 3/1997 di mana Hakim menjatuhkan putusan dengan jenis putusan tindakan terhadap anak yang terlibat dalam kegiatan narkotika

Putusan tindakan tersebut dapat berupa :
·         mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh;
·         menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; atau
·      menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.
 
Dasar hukum:
  

Apakah Anak Nakal Dapat Dijatuhi Hukuman Mati?


alam poin ini, kami akan menjawab pertanyaan Anda yang pertama dan kedua. Secara hukum, anak sebagai pelaku tindak pidana (“Anak Nakal”) dengan ancaman pidana mati, tidak akan dikenai pidana mati maupun pidana penjara seumur hidup. Hal ini didasarkan pada Pasal 26 ayat (2) UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (“UU 3/1997”) yang berbunyi:
 
“Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, makapidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak tersebut paling lama 10 (sepuluh) tahun.”
 
Ketentuan tersebut sejalan dengan pengaturan dalam Pasal 23 dan 24 UU 3/1997 sebagai berikut:
 
Pasal 23
(1).    Pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah pidana pokok dan pidana tambahan.
(2).    Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah:
a.    pidana penjara;
b.    pidana kurungan;
c.     pidana denda; atau
d.    pidana pengawasan.
(3).    Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadap Anak Nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan, berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi.
(4).    Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
 
Pasal 24
(1).    Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah:
a.    mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh;
b.    menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; atau
c.     menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.
(2).    Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh Hakim.
 
 
Ditegaskan pula dalam penjelasan umum UU 3/1997 bahwapenjatuhan pidana mati dan pidana penjara seumur hidup tidak diberlakukan terhadap anak.
 
2.      Jawaban telah kami uraikan dalam poin pertama.
 
3.      Mengenai pidana tambahan yang dapat dijatuhkan pada anak nakal, sesuai ketentuan Pasal 23 ayat (3) UU 3/1997, pidana tambahan untuk anak nakal adalah berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi.
 
Untuk pengumuman putusan pengadilan, hal tersebut bukanlah merupakan pidana tambahan bagi anak nakal. Karena, memang berdasarkan Pasal 8 ayat (6) UU 3/1997, putusan pengadilan dalam memeriksa perkara anak diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
 
4.      Mengenai berapa lama pidana penjara dijatuhkan kepada anak nakal, Pasal 26 ayat (1) UU 3/1997 menentukan bahwa pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal adalah paling lama1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.
 
Jadi, harus dilihat kembali pada ketentuan pidananya. Misalnya, jika anak tersebut dijerat dengan Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berbunyi:
 
“Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
 
Sehingga, pidana untuk anak nakal yang melakukan pembunuhan dan dijerat dengan Pasal 359 KUHP adalah paling lama 2,5 (dua setengah) tahun.
 
Dalam poin ini perlu kami tambahkan bahwa Mahkamah Konstitusi telah memutus bahwa batas bawah usia anak yang bisa dimintai pertanggungjawaban pidana adalah 12 tahun. Sebelum putusan ini, menurut UU 3/1997, anak yang berusia 8 hingga 18 tahun dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara pidana. Lebih jauh, simakartikel Batas Usia Anak Dapat Dipidana Naik.
 
5.      Pada umumnya, ketentuan peraturan perundang-undangan yang juga mengatur sanksi pidana mencantumkan sanksi pidana maksimal atau lebih sering disertai dengan frasa “paling lama”, khususnya untuk pidana penjara dan kurungan. Namun, memang terdapat peraturan perundang-undangan yang memuat ancaman pidana minimum dengan menggunakan frasa “sekurang-kurangnya”. Ketentuan seperti ini misalnya terdapat dalam Pasal 46 ayat (1) UU No. 10 Tahun 1998tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankanyang berbunyi sebagai berikut:
 
“Barang siapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa izin usaha dari Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).”
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
1.      Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73);
3.      Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

Hal-Hal Penting yang Diatur dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak

undang-undang terbaru yang mengatur tentang anak yang berhadapan dengan hukum adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (“UU SPPA”) yang mulai diberlakukan dua tahun setelah tanggal pengundangannya, yaitu 30 Juli 2012 sebagaimana disebut dalam Ketentuan Penutupnya (Pasal 108 UU SPPA). Artinya UU SPPA ini mulai berlaku sejak 31 Juli 2014.
 
UU SPPA ini merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (“UU Pengadilan Anak”) yang bertujuan agar dapat terwujud peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. UU Pengadilan Anak dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan belum secara komprehensif memberikan perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum.
 
Adapun substansi yang diatur dalam UU SPPA antara lain mengenai penempatan anak yang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Substansi yang paling mendasar dalam Undang-Undang ini adalah pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar. Demikian antara lain yang disebut dalam bagian Penjelasan Umum UU SPPA.
 
Keadilan Restoratif merupakan suatu proses Diversi, yaitu semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
 
Berikut kami rangkum hal-hal penting yang diatur dalam UU SPPA:
 
1.    Definisi Anak di Bawah Umur
UU SPPA mendefenisikan anak di bawah umur sebagai anak yang telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun, dan membedakan anak yang terlibat dalam suatu tindak pidana dalam tiga kategori:
a.    Anak yang menjadi pelaku tindak pidana (Pasal 1 angka 3 UU SPPA);
b.    Anak yang menjadi korban tindak pidana (Anak Korban) (Pasal 1 angka 4 UU SPPA); dan
c.    Anak yang menjadi saksi tindak pidana (Anak Saksi) (Pasal 1 angka 5 UU SPPA)
 
Sebelumnya, UU Pengadilan Anak tidak membedakan kategori Anak Korban dan Anak Saksi. Konsekuensinya, Anak Korban dan Anak Saksi tidak mendapatkan perlindungan hukum. Hal ini mengakibatkan banyak tindak pidana yang tidak terselesaikan atau bahkan tidak dilaporkan karena anak cenderung ketakutan menghadapi sistem peradilan pidana.
 
2.    Penjatuhan Sanksi
Menurut UU SPPA, seorang pelaku tindak pidana anak dapat dikenakan dua jenis sanksi, yaitu tindakan, bagi pelaku tindak pidana yang berumur di bawah 14 tahun (Pasal 69 ayat (2) UU SPPA) danPidana, bagi pelaku tindak pidana yang berumur 15 tahun ke atas.
a.    Sanksi Tindakan yang dapat dikenakan kepada anak meliputi (Pasal 82 UU SPPA):
    Pengembalian kepada orang tua/Wali;
    Penyerahan kepada seseorang;
    Perawatan di rumah sakit jiwa;
    Perawatan di LPKS;
    Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta;
    Pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau
    Perbaikan akibat tindak pidana.
 
b.    Sanksi Pidana
Sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada pelaku tindak pidana anak terbagi atas Pidana Pokok dan Pidana Tambahan(Pasal 71 UU SPPA):
Pidana Pokok terdiri atas:
·         Pidana peringatan;
·         Pidana dengan syarat, yang terdiri atas: pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat, atau pengawasan;
·         Pelatihan kerja;
·         Pembinaan dalam lembaga;
·         Penjara.
 
Pidana Tambahan terdiri dari:
·         Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau
·         Pemenuhan kewajiban adat.
 
Selain itu, UU SPPA juga mengatur dalam hal anak belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil keputusan untuk: (lihat Pasal 21 UU SPPA)
a.    menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau
b.    mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan.
 
3.    Hak-hak Anak
Setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak: (Pasal 3 UU SPPA)
a.    diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya;
b.    dipisahkan dari orang dewasa;
c.    memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;
d.    melakukan kegiatan rekreasional;
e.    bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;
f.     tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;
g.    tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;
h.    memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;
i.      tidak dipublikasikan identitasnya;
j.     memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh anak;
k.    memperoleh advokasi sosial;
l.      memperoleh kehidupan pribadi;
m. memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat;
n.    memperoleh pendidikan;
o.    memperoleh pelayananan kesehatan; dan
p.    memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 
Pasal 4 UU SPPA menyatakan bahwa anak yang sedang menjalani masa pidana berhak atas:
a.    Remisi atau pengurangan masa pidana;
b.    Asimilasi;
c.    Cuti mengunjungi keluarga;
d.    Pembebasan bersyarat;
e.    Cuti menjelang bebas;
f.     Cuti bersyarat;
g.    Hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
 
4.    Penahanan
Pasal 32 ayat (2) UU SPPA menyatakan bahwa penahanan terhadap anak hanya dapat dilakukan dengan syarat anak telah berumur 14 (empat belas) tahun, atau diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara tujuh tahun atau lebih. Jika masa penahanan sebagaimana yang disebutkan di atas telah berakhir, anak wajib dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
 
5.    Pemeriksaan Terhadap Anak Sebagai Saksi atau Anak Korban
UU SPPA ini memberikan kemudahan bagi anak saksi atau anak korban dalam memberikan keterangan di pengadilan. Saksi/korban yang tidak dapat hadir untuk memberikan keterangan di depan sidang pengadilan dengan alasan apapun dapat memberikan keterangan di luar sidang pengadilan melalui perekaman elektronik yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan setempat, dengan dihadiri oleh Penyidik atau Penuntut Umum, dan Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya yang terlibat dalam perkara tersebut. Anak saksi/korban juga diperbolehkan memberikan keterangan melalui pemeriksaan jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi audiovisual. Pada saat memberikan keterangan dengan cara ini, anak harus didampingi oleh orang tua/Wali, Pembimbing Kemasyarakatan atau pendamping lainnya [lihat Pasal 58 ayat (3) UU SPPA].
 
6.    Hak Mendapatkan Bantuan Hukum
UU SPPA memperbolehkan anak yang terlibat dalam tindak pidana untuk mendapatkan bantuan hukum tanpa mempermasalahkan jenis tindak pidana telah dilakukan.
 
Anak berhak mendapatkan bantuan hukum di setiap tahapan pemeriksaan, baik dalam tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, maupun tahap pemeriksaan di pengadilan (Pasal 23 UU SPPA). Anak Saksi/Anak Korban wajib didampingi oleh orang tua/Wali, orang yang dipercaya oleh anak, atau pekerja sosial dalam setiap tahapan pemeriksaan. Akan tetapi, jika orang tua dari anak tersebut adalah pelaku tindak pidana, maka orang tua/Walinya tidak wajib mendampingi (Pasal 23 Ayat (3) UU SPPA).
 
7.    Lembaga Pemasyarakatan
Dalam Pasal 86 ayat (1) UU SPPA, anak yang belum selesai menjalani pidana di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (“LPKA”) dan telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan pemuda. Pengaturan tersebut tidak ada dalam Pasal 61 UU Pengadilan Anak.
 
Walaupun demikian, baik UU SPPA dan UU Pengadilan Anak sama-sama mengatur bahwa penempatan anak di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan dengan menyediakan blok tertentu bagi mereka yang telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun sampai 21 (dua puluh satu) tahun (Penjelasan Pasal 86 ayat (2) UU SPPA dan Penjelasan Pasal 61 ayat (2) UU Pengadilan Anak).