Sabtu, 27 April 2013

Pengaturan Waktu Kerja dan Istirahat di Sektor Pertambangan dan Energi


Untuk menjawab pertanyaan Saudara, pada bagian awal perlu saya berikan wawasan, bahwa ketentuan waktu kerja dan waktu istirahat (WKWI) bagi sektor usaha/perusahaan swasta di Indonesia diatur dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU No. 13/2003”). Baik pengaturan secara umum (general), maupun pengaturan secara khusus (untuk sektor usaha/pekerjaan tertentu). Pengaturan dimaksud, masing-masing sebagai berikut:
1. pengaturan WKWI Secara Umum (general)
a.    Ketentuan waktu kerja dan waktu istirahat secara umum, atau sering disebut pola waktu kerja dan waktu istirahat secara normal (pola WKWI normal), dapat memilih, 2 (dua) alternatif*:
1)    7 (tujuhjam perhari dan 40 (empat puluh) jam per minggu, untuk pola waktu kerja 6:1, dalam arti: 6 (enam) hari kerja dan 1 (satu) hari istirahat mingguan; atau
2)    8 (delapanjam perhari dan 40 (empat puluh) jam per minggu, untuk pola waktu kerja 5:2, maksudnya: 5 (lima) hari kerja dan 2 (dua) hari istirahat mingguan (Pasal 77 ayat (2) UU No. 13 Th. 2003).
 
Ketentuan WKWI sebagaimana tersebut, tidak menentukan kapan saatnya waktu kerja dimulai dan kapan diakhiri. Dalam arti, saat dimulainya jam kerja, adalah kapan saja, atau saat apa saja sesuai kebutuhan dan karakteristik pekerjaan, sepanjang tidak (belum masuk) pada hari istirahat mingguan atau hari libur resmi. Artinya, bisa dimulai di pagi hari, dapat juga di siang hari, sore hari, atau malam hari, bahkan bisa dimulai tengah malam (dini hari). Yang penting, bahwa dalam satu periode waktu kerja dan waktu istirahat, tidak boleh melebihi 7 (tujuh) jam per-hari (untuk pola 6:1) atau tidak boleh melebihi 8 (delapan) jam per-hari (untuk pola 5:2) sebagaimana tersebut di atas, dan tidak boleh melampaui (masuk) pada hari istirahat mingguan atau hari libur resmi.
 
Dengan perkataan lain, pengertian hari dan waktu kerja adalah, bahwa semua hari dapat ditentukan sebagai hari kerja (mulai dari Ahad s/d Sabtu), kecuali hari libur resmi. Sebaliknya, semua hari tersebut dapat dipilih dan dijadikan hari istirahat mingguan, dengan ketentuan apabila hari istirahat mingguan waktunya jatuh (bersamaan) pada hari libur resmi, tidak boleh ada penggantian hari istirahat mingguan (di hari lain), kecuali untuk sektor usaha atau pekerjaan tertentu (Pasal 77 ayat [3] dan Pasal 79 ayat [2] huruf b jo. Pasal 85 ayat [1]dan ayat (2) UU No.13/2003 beserta penjelasannya).
b.    Demikian juga dapat diatur ketentuan waktu kerja bergilir (shift) dalam satu hari sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan perusahaan. Artinya, kalau kebutuhan dan kemampuan perusahaan pekerjaan harus dilakukan secara terus-menerus dan tidak terputus-putus, maka dapat diatur dan dilakukan waktu kerja bergilir (shift) dimaksud.
 
Selanjutnya, apabila waktu kerja dan waktu istirahat dilakukan melebihi pola WKWI normal atau dilakukan pada hari istirahat mingguan/hari libur resmi, maka berlaku ketentuan waktu kerja lembur (WKL) dan pengusaha wajib membayar upah kerja lembur(UKL) sesuai perhitungan yang ditentukan (vide Pasal 78 ayat [1]dan ayat [2jo Pasal 85 ayat [3] UU No. 13/2003 dan Pasal 11 jo Pasal 8 Kepmenakertrans No. Kep-102/Men/VI/2004).
2. Pengaturan WKWI Secara Khusus (Untuk Sektor Usaha/Pekerjaan Tertentu)
a.    Ketentuan waktu kerja dan waktu istirahat khusus sektor usaha ataupekerjaan tertentu, berdasarkan Pasal 77 ayat (3) dan ayat (4) UU No. 13/2003 disebutkan, bahwa ketentuan waktu kerja normal tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu yang -untuk itu- diatur tersendiri dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (“Permen”).
 
Permen yang mengatur mengenai ketentuan waktu kerja untuk sektor usaha atau pekerjaan tertentu sebagai amanat Pasal 77 ayat (4) UU No.13/2003, hingga saat ini baru ada 3 (tiga), yakni :
1)    Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor Kep-234/Men/2003 tentang Waktu Kerja dan Istirahat Pada Sektor Usaha Energi Dan Sumber Daya Mineral Pada Daerah Tertentu;
2)    Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor Per-15/Men/VII/2005 tentang Waktu Kerja dan Istirahat Pada Sektor Usaha Pertambangan Umum Pada Daerah Operasi Tertentu; dan
3)    Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor Per-11/Men/VII/2010 tentang Waktu Kerja dan Istirahat Di Sektor Perikanan Pada Daerah Operasi Tertentu.
b.    Terkait dengan permasalahan Saudara, katenetuan WKWI khusus pada sektor usaha pertambangan umum dan energi dan sumber daya mineral pada daerah operasi tertentu, diatur (antara lain) sebagai berikut :
1)    Perusahaan di bidang pertambangan umum, termasukperusahaan jasa penunjang yang melakukan kegiatan di daerah operasi tertentu, dapat menerapkan:
a)     waktu kerja dan istirahat (WKWI) sebagaimana diatur dalam Kepmenakertrans. No. Kep-234/Men/2003; dan/atau
b)     periode kerja minimal 10 (sepuluh) minggu berturut-turut bekerja, dengan 2 (dua) minggu berturut-turut istirahat, dan setiap 2 (dua) minggu dalam periode kerja diberikan 1 (satu) hari istirahat.
(Pasal 2 Permenakertrans No. Per-15/Men/VII/2005)
2)    Perusahaan di bidang energi dan sumber daya mineral, termasuk perusahaan jasa penunjang yang melakukan kegiatandi daerah operasi tertentu dapat memilih dan menetapkan salah satu dan atau beberapa waktu kerjasesuai dengan kebutuhan operasional perusahaan sebagai berikut :
a)     7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk waktu kerja 6 (enam) hari dalam 1 (satu) minggu;
b)     8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk waktu kerja 5 (lima) hari dalam 1 (satu) minggu;
c)     9 (sembilan) jam 1 (satu) hari dan maksimum 45 (empat puluh lima) jam dalam 5 (lima) hari kerja untuk satu periode kerja;
d)     10 (sepuluh) jam 1 (satu) hari dan maksimum 50 (lima puluh) jam dalam 5 (lima) hari kerja untuk satu periode kerja;
e)     11 (sebelas) jam 1 (satu) hari dan maksimum 55 (lima puluh lima) jam dalam 5 (lima) hari kerja untuk satu periode kerja;
f)      9 (sembilan) jam 1 (satu) hari dan maksimum 63 (enam puluh tiga) jam dalam 7 (tujuh) hari kerja untuk satu periode kerja;
g)     10 (sepuluh) jam 1 (satu) hari dan maksimum 70 (tujuh puluh) jam dalam 7 (tujuh) hari kerja untuk satu periode kerja;
h)     11 (sebelas) jam 1 (satu) hari dan maksimum 77 (tujuh puluh tujuh) jam dalam 7 (tujuh) hari kerja untuk satu periode kerja;
i)       9 (sembilan) jam 1 (satu) hari dan maksimum 90 (sembilan puluh) jam dalam 10 (sepuluh) hari kerja untuk satu periode kerja;
j)      10 (sepuluh) jam 1 (satu) hari dan maksimum 100 (seratus) jam dalam 10 (sepuluh) hari kerja untuk satu periode kerja;
k)     11 (sebelas) jam 1 (satu) hari dan maksimum 110 (seratus sepuluh) jam dalam 10 (sepuluh) hari kerja untuk satu periode kerja;
l)       9 (sembilan) jam 1 (satu) hari dan maksimum 126 (seratus dua puluh enam) jam dalam 14 (empat belas) hari kerja untuk satu periode kerja;
m)   10 (sepuluh) jam 1 (satu) hari dan maksimum 140 (seratus empat puluh) jam dalam 14 (empat belas) hari kerja untuk satu periode kerja;
n)     11 (sebelas) jam 1 (satu) hari dan maksimum 154 (seratus lima puluh empat) jam dalam 14 (empat belas) hari kerja untuk satu periode kerja;
Waktu kerja sebagaimana tersebut huruf a) sampai dengan huruf n), tidak termasuk waktu istirahat sekurang-kurangnya selama 1 (satu) jam. Namun, khusus untuk huruf c) sampai dengan n) sudah termasuk waktu kerja lembur tetapsebagai kelebihan 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari (Pasal 2Kepmenakertrans. No. Kep-234/Men/2003).
 
Dalam Peraturan-peraturan Menteri dimaksud (Kepmenakertrans. No. Kep-234/Men/2003 dan Permenakertrans No. Per-15/Men/VII/2005), telah mengatur beberapa opsi dan alternatif pilihan pola waktu kerja untuk suatu perusahaan di sektornya masing-masing (dalam hal ini,sektor energi dan sumber daya mineral dan sektorpertambangan umum). Sehingga, semua jenis pekerjaan ataujabatan tertentu di suatu perusahaan, baik pekerjaan atau jabatan-jabatan di kantor (back office), atau pekerjaan dan jabatan-jabatan operasional, sudah ditentukan dan tinggal memilih yang sesuai kebutuhan dan kemampuan.
 
Pilihan waktu kerja sebagaimana tersebut di atas, karena ada waktu kerjanya yang relatif panjang, demikian juga ada yang karakteristik dan sifat pekerjaannya haruas dikerjakan pada waktu malam hari, atau -bahkan- dini hari secara terus-menerus, maka dapat saja seseorang atau sekelompok pekerja/buruh dipekerjakan pada waktu malam hari, bahkan dini hari.
 
Dengan demikian, sesuai dengan uraian sebagaimana tersebut di atas, maka apabila -telah- dipilih salah satu periode kerja di sektor tertentu atau pekerjaan tertentu (dalam hal ini, sektor energi dan sumber daya mineral, dan sektor pertambangan umum di daerah tertentu) dan dilakukan dalam beberapa waktu kerja bergilir (shift), maka besar kemungkinan (sekelompok) pekerja/buruh harus bekerja (mendapat bagian shift) pada malam hari atau dini hari secara terus-menerus.
 
Walaupun demikian, demi adilnya terhadap (semua) pekerja/buruh yang lain, seyogyanya (diperjanjikan) waktu shift kerja dilakukan secara bergantian di antara para pekerja/buruh yang terlibat di suatu pekerjaan dan tempat kerja tertentu. Dalam kaitan ini, Saudara harus menyampaikan dan melakukan komunikasi yang baik dengan pihak-pihak yang terkait di perusahaan Saudara, khususnya manajer/divisi operasi di lapangan (site-plant manager).
 
Demikian penjelasan saya, semoga Saudara dapat mafhum dengan penjelasan dimaksud.
 
Dasar Hukum:
2. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep-234/Men/2003 tentang Waktu Kerja dan Istirahat Pada Sektor Usaha Energi Dan Sumber Daya Mineral Pada Daerah Tertentu
3. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor Kep-102/Men/VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur;
4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor Per-15/Men/VII/2005 tentang Waktu Kerja dan Istirahat Pada Sektor Usaha Pertambangan Umum Pada Daerah Operasi Tertentu;
5. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor Per-11/Men/VII/2010 tentang Waktu Kerja dan Istirahat Di Sektor Perikanan Pada Daerah Operasi Tertentu

Pertanggungjawaban Pelunasan Gaji Pemain Sepakbola


Sebelumnya, kami akan berasumsi bahwa hubungan hukum antara pemain sepakbola dengan klubnya adalah hubungan kerja yang didasarkan pada perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT atau pekerja kontrak). Namun, terlepas dari bentuk hubungan kerjanya, permasalahan yang Anda paparkan terkait erat dengan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”).
 
Gaji atau upah yang menjadi pokok persoalan dalam kasus ini diatur secara khusus dalam Pasal 1 angka 3 UU Ketenagakerjaan yang berbunyi:
 
Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh.
 
Menurut ketentuan Pasal 10 ayat (1) PP No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah (“PP 8/1981”), upah harus dibayarkan langsung kepada buruh pada waktu yang telah ditentukan sesuai dengan perjanjian. Lebih lanjut,Pasal 17 PP 8/1981 menyatakan bahwa jangka waktu pembayaran upah secepat-cepatnya dapat dilakukan seminggu sekali atau selambat-lambatnya sebulan sekalikecuali bila perjanjian kerja untuk waktu kurang dari satu minggu.
 
Dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas, maka jelas bahwa perusahaan wajib membayar upah atau gaji karyawannya, terlepas statusnya itu permanen atau kontrak, tepat pada waktunya. Apabila terjadi keterlambatan, maka UU Ketenagakerjaan dan PP Perlindungan Upah telah mengatur ancaman denda bagi perusahaan.
 
Pasal 95 ayat (2) UU Ketenagakerjaan menyatakan:
 
“Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja/buruh.
 
Besaran denda diatur secara terperinci dalam Pasal 19 ayat (1) s/d ayat (3) PP 8/1981. Lebih lanjut tentang sanksi denda terkait tunggakan gaji, silakan simak artikel Denda Akibat Gaji Terlambat Dibayar.
 
Kembali ke pertanyaan Anda tentang pertanggungjawaban tunggakan gaji pengurus dan pemain klub sepakbola yang berstatus perseroan terbatas (“PT”). Kami akan merujuk pada UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”). Berdasarkan Undang-undang ini, sebuah PT memiliki organ yang terdiri dari rapat umum pemegang saham (RUPS), direksi, dan dewan komisaris. Definisi ketiga organ ini diatur dalam Pasal 1 UUPT.
 
RUPS adalah organ perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar.
 
Kemudian, direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Dewan Komisaris adalah Organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi.
 
Dari tiga organ tersebut, maka tanggung jawab terkait pengurusan perseroan berada di tangan direksi. UUPT mengenal sistem perwakilan kolegial yang artinya apabila direksi terdiri dari lebih dari satu orang, maka setiap anggota direksi berwenang untuk mewakili PT (Pasal 98 UUPT).
 
Apabila satu direksi berhalangan, maka direksi lain dapat bertindak mewakili PT sesuai ketentuan anggaran dasar perseroan. Dalam hal hanya ada satu orang direksi, apabila direksi tersebut berhalangan, maka berdasarkan AD atau keputusan RUPS, Dewan Komisaris yang akan melaksanakan tugas pengurusan PT (Pasal 118 UUPT)Penjelasan lebih lanjut terkait tanggung jawab pengurusan perseroan apabila direksi berhalangan, silakan simak artikel Pengurusan Perseroan Jika Direksi Meninggal.
 
Terkait ketentuan bahwa klub sepakbola Indonesia harus berbadan hukum, hal ini diklaim pihak PSSI sebagai prasyarat penting bagi sepakbola nasional menuju industri sepakbola yang profesional. Pijakan legalnya adalah Club Licensing Regulationyang diterbitkan Federation de Internationale de Footbal Association (FIFA) tepat pada peringatan organisasi ke-100, pada 2004 silam.
 
Intinya, regulasi itu menginstruksikan setiap federasi sepak bola negara untuk menerapkan pengelolaan klub sepak bola yang profesional dengan salah satu parameternya adalah status badan hukum. Merujuk pada hukum yang berlaku di Indonesia, maka bentuk badan hukum yang dikenal adalah PT, yayasan, dan koperasi. Sejauh ini, bentuk badan hukum PT masih menjadi pilihan paling populer di kalangan klub sepakbola. Pilihan ini tentunya membawa konsekuensi-konsekuensi yang salah satunya adalah klub yang statusnya PT wajib tunduk pada UUPT.
 
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
 

Pertanggungjawaban Pelunasan Gaji Pemain Sepakbola


Sebelumnya, kami akan berasumsi bahwa hubungan hukum antara pemain sepakbola dengan klubnya adalah hubungan kerja yang didasarkan pada perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT atau pekerja kontrak). Namun, terlepas dari bentuk hubungan kerjanya, permasalahan yang Anda paparkan terkait erat dengan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”).
 
Gaji atau upah yang menjadi pokok persoalan dalam kasus ini diatur secara khusus dalam Pasal 1 angka 3 UU Ketenagakerjaan yang berbunyi:
 
Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh.
 
Menurut ketentuan Pasal 10 ayat (1) PP No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah (“PP 8/1981”), upah harus dibayarkan langsung kepada buruh pada waktu yang telah ditentukan sesuai dengan perjanjian. Lebih lanjut,Pasal 17 PP 8/1981 menyatakan bahwa jangka waktu pembayaran upah secepat-cepatnya dapat dilakukan seminggu sekali atau selambat-lambatnya sebulan sekalikecuali bila perjanjian kerja untuk waktu kurang dari satu minggu.
 
Dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas, maka jelas bahwa perusahaan wajib membayar upah atau gaji karyawannya, terlepas statusnya itu permanen atau kontrak, tepat pada waktunya. Apabila terjadi keterlambatan, maka UU Ketenagakerjaan dan PP Perlindungan Upah telah mengatur ancaman denda bagi perusahaan.
 
Pasal 95 ayat (2) UU Ketenagakerjaan menyatakan:
 
“Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja/buruh.
 
Besaran denda diatur secara terperinci dalam Pasal 19 ayat (1) s/d ayat (3) PP 8/1981. Lebih lanjut tentang sanksi denda terkait tunggakan gaji, silakan simak artikel Denda Akibat Gaji Terlambat Dibayar.
 
Kembali ke pertanyaan Anda tentang pertanggungjawaban tunggakan gaji pengurus dan pemain klub sepakbola yang berstatus perseroan terbatas (“PT”). Kami akan merujuk pada UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”). Berdasarkan Undang-undang ini, sebuah PT memiliki organ yang terdiri dari rapat umum pemegang saham (RUPS), direksi, dan dewan komisaris. Definisi ketiga organ ini diatur dalam Pasal 1 UUPT.
 
RUPS adalah organ perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar.
 
Kemudian, direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Dewan Komisaris adalah Organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi.
 
Dari tiga organ tersebut, maka tanggung jawab terkait pengurusan perseroan berada di tangan direksi. UUPT mengenal sistem perwakilan kolegial yang artinya apabila direksi terdiri dari lebih dari satu orang, maka setiap anggota direksi berwenang untuk mewakili PT (Pasal 98 UUPT).
 
Apabila satu direksi berhalangan, maka direksi lain dapat bertindak mewakili PT sesuai ketentuan anggaran dasar perseroan. Dalam hal hanya ada satu orang direksi, apabila direksi tersebut berhalangan, maka berdasarkan AD atau keputusan RUPS, Dewan Komisaris yang akan melaksanakan tugas pengurusan PT (Pasal 118 UUPT)Penjelasan lebih lanjut terkait tanggung jawab pengurusan perseroan apabila direksi berhalangan, silakan simak artikel Pengurusan Perseroan Jika Direksi Meninggal.
 
Terkait ketentuan bahwa klub sepakbola Indonesia harus berbadan hukum, hal ini diklaim pihak PSSI sebagai prasyarat penting bagi sepakbola nasional menuju industri sepakbola yang profesional. Pijakan legalnya adalah Club Licensing Regulationyang diterbitkan Federation de Internationale de Footbal Association (FIFA) tepat pada peringatan organisasi ke-100, pada 2004 silam.
 
Intinya, regulasi itu menginstruksikan setiap federasi sepak bola negara untuk menerapkan pengelolaan klub sepak bola yang profesional dengan salah satu parameternya adalah status badan hukum. Merujuk pada hukum yang berlaku di Indonesia, maka bentuk badan hukum yang dikenal adalah PT, yayasan, dan koperasi. Sejauh ini, bentuk badan hukum PT masih menjadi pilihan paling populer di kalangan klub sepakbola. Pilihan ini tentunya membawa konsekuensi-konsekuensi yang salah satunya adalah klub yang statusnya PT wajib tunduk pada UUPT.
 
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
 

Masalah Klausul Non-Kompetisi (Non-Competition Clause) dalam Kontrak Kerja


Terkait dengan pertanyaan Anda, kami akan menjawabnya satu per satu sebagai berikut:
 
1.    Sebagai informasi, klausula yang Anda sebutkan yaitu klausula "setelah berhenti kerja, selama 12 bulan tidak boleh bekerja di bidang yang sama, kalau dilanggar dikenakan denda sebesar 1 tahun gaji" merupakan klausula non-kompetisi (non-competition clause atau non-compete clause).
 
Sebagaimana pernah dijelaskan oleh Chandra Kurniawan dalam artikel yang berjudul Menyoal Non-Competition Clause dalam Perjanjian Kerja,non-competition clause adalah sebuah klausul yang mengatur bahwa tenaga kerja setuju untuk tidak akan bekerja sebagai karyawan atau agen perusahaan yang dianggap sebagai pesaing atau bergerak pada bidang usaha yang sama untuk periode atau jangka waktu tertentu setelah tanggal pemberhentian atau pemutusan hubungan kerja.
 
Chandra juga mengutip pada pengertian non-competition clause yang terdapat di Black’s Law Dictionary. Black’s Law Dictionary mendefinisikan non-competition covenant sebagai a promise usually in a sale-of-business, partnership or employment contract, not to engage in the same type of business for a stated time in the same market as the buyer, partner or employer.
 
Melihat pada pengertian dalam Black’s Law Dictionary, sebenarnya penggunaan non-competition clause tidak hanya terbatas pada hubungan antara perusahaan dengan pekerjanya, tetapi juga digunakan dalam hubungan kemitraan dan lain-lain.
 
Jika dihubungkan dengan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”), pada Pasal 31 UU Ketenagakerjaan dikatakan bahwa setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri. Selain itu dalam Pasal 38 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU Hak Asasi Manusia”), dikatakan juga bahwa setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil.
 
Melihat pada ketentuan kedua pasal tersebut jelas bahwa non-competition clause melanggar UU Ketenagakerjaan dan UU Hak Asasi Manusia.
 
Walaupun dalam perjanjian ada yang dinamakan asas kebebasan berkontrak, yang mana para pihak dapat menentukan sendiri isi perjanjian, akan tetapi kebebasan tersebut tetap dibatasi. Sebagaimana dijelaskan oleh J. Satriodalam bukunya yang berjudul Hukum Perikatan: Perikatan Pada Umumnya(hal. 36), dalam kebebasan berkontrak, orang pada asasnya dapat membuat perjanjian dengan isi yang bagaimanapun juga, asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
 
Oleh karena itu, pada dasarnya non-competition clause yang terdapat pada perjanjian kerja tersebut melanggar ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan dan UU Hak Asasi Manusia.
 
Akan tetapi, perlu diingat bahwa sebagaimana perjanjian pada umumnya, perjanjian ini juga mengikat para pihak yang membuat perjanjian itu dan berlaku sebagai undang-undang (Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Yang berarti bahwa pihak Bridal A dapat menggugat teman Anda atas dasar wanprestasi (berdasarkan perjanjian tersebut). Mengenai apakah nantinya perjanjian yang dibuat tersebut batal demi hukum atau tidak (karena melanggar syarat sah perjanjian yang objektif yaitu suatu sebab yang halal), Hakim yang akan memutuskannya.
 
2.    Pada dasarnya, non-competition clause ini menjalankan peranannya setelah hubungan kerja berakhir. Klausula tersebut justru mengatur apa yang tidak boleh dilakukan oleh teman Anda setelah tidak bekerja lagi di tempat tersebut.
 
Akan tetapi sebagaimana telah diuraikan pada poin 1, dimana klausula itu sendiri melanggar undang-undang (UU Ketenagakerjaan dan UU Hak Asasi Manusia), maka klausula tersebut pada dasarnya tidak dapat diberlakukan, dan teman Anda tidak terikat pada klausula tersebut.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
 
Referensi:
J. Satrio. 1999. Hukum Perikatan: Perikatan Pada Umumnya. PT. Alumni: Bandung.