Jumat, 19 Februari 2016

Pensiun Dini yang Tidak Sah

Pada 12 Mei 2013 saya dipanggil secara lisan oleh HRD, dan saya datang. Saya kira penggilan biasa ternyata saya disuruh membuat surat pensiun dini, kata halus dari PHK (kata managemen PHK ekslusive) tanpa ada surat apapun. Selama 16 tahun bekerja pada perusahaan yang saya tempati, saya tidak pernah mendapat SP, tiba-tiba saya dpanggil untuk membuat surat tersebut. Alasan HRD: "karena diperintahkan direksi." Masalah pensiun dini itu memang ada diatur dalam PKB kami yaitu dalam pasal 57 ayat 1.c yang berbunyi: “Bagi pekerja yang telah bekerja dengan masa kerja minimal 15 tahun dapat di pensiun dini oleh perusahaan atau dapat mengajukan pensiun dini kepada perusahaan.” Untuk mendapatkan persetujuan managemen kata-kata "perusahaan dapat mempensiun-dinikan karyawan" maksudnya di sini jika ada karyawan yang melakukan kesalahan berat dan sudah mendapat SP. Sedangkan saya tidak ada surat sama sekali, sementara alasannya managemen "karena saya sudah tidak mau pakai." Sementara, saya saat ini aktif dalam organisasi serikat pekerja dan anehnya lagi saya harus keluar bulan ini juga. Bagaimana sikap saya? Mohon tanggapannya. Atas semua bantuan dan pencerahannya saya ucapkan terima kasih.
Jawaban :
Saudara Penanya yang kami hormati,
 
Sebelumnya, kami mengucapkan terima kasih atas pertanyaan yang disampaikan kepada kami. Kami berdoa semoga Saudara segera mendapatkan solusi dan jalan keluar terbaik atas masalah yang sekarang Saudara hadapi.
 
Sehubungan dengan pertanyaan Saudara di atas, maka ketentuan pemutusan hubungan kerja (“PHK”) terhadap buruh/pekerja yang memasuki masa pensiun secara umum diatur di dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”), yang mana di dalam Pasal 167 ayat (1) disebutkan bahwa:
 
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena memasuki usia pensiun dan apabila pengusaha telah mengikutkan pekerja/buruh pada program pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh pengusaha, maka pekerja/buruh tidak berhak mendapatkan uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), tetapi tetap berhak atas uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4)
 
Di samping itu, perlu dilihat dan diperhatikan pula Peraturan Menteri Tenaga Kerja R.I. Nomor: PER.02/MEN/1993 tentang Usia Pensiun Normal dan Batas Usia Pensiun Maksimum Bagi Peserta Peraturan Dana Pensiun, terkait ketentuan lebih lanjut dan teknis mengenai pensiun tersebut.
 
Ketentuan pensiun di dalam UUK adalah ketentuan umum dan merupakan standar minimum perlindungan, yang mana dalam praktiknya ketentuan ini diatur lebih lanjut di dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau dalam Perjanjian Kerja Bersama (“PKB”).
 
Jika dikaitkan dengan pernyataan dan pertanyaan Saudara, maka pengaturan pensiun dini di perusahaan tempat Saudara bekerja adalah diatur di dalam PKB, di mana di dalam Pasal 57 ayat 1.c PKB tersebut dinyatakan “bagi pekerja yang telah bekerja dengan masa kerja minimal 15 tahun dapat dipensiun dini oleh perusahaan atau dapat mengajukan pensiun dini kepada perusahaan untuk mendapatkan persetujuan managemen”. Dengan demikian, maka pensiun dini di perusahaan tempat Saudara bekerja dapat dilakukan oleh pihak perusahaan atau oleh pekerja. Lebih lanjut, Saudara mengatakan bahwa syarat Perusahaan dapat melakukan pensiun dini adalah jika karyawan melakukan kesalahan berat dan sudah mendapat Surat Peringatan (“SP”).
 
Berdasarkan keterangan Saudara yang menyatakan bahwa Saudara tidak mendapatkan surat sama sekali (baca: SP) ketika perusahaan mempensiunkan dini Saudara, dan alasan pensiun dini yang dilakukan oleh perusahaan karena perusahaan sudah tidak mau “pakai” Saudara di perusahaan, adalah bertentangan dengan syarat “mempensiunkan dini” sebagaimana ketentuan PKB yang Saudara sampaikan tersebut di atas. Oleh karenanya, menurut kami, pensiun yang dilakukan oleh perusahaan sebagai dasar PHK Saudara tersebut tidak sah. Saudara dapat mengajukan keberatan atas pensiun dini (PHK) yang tidak sah tersebut dengan mengajukan gugatan ke pengadilan hubungan industrial yang mewilayahi tempat Saudara bekerja. Namun, dengan ketentuan telah menempuh terlebih dahulu dan gagal, perundingan bipartit dengan perusahaan dan perundingan tripartit di dinas ketenagakerjaan setempat, sebagaimana Saudara bisa lihat di dalam UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
 
Adapun terkait dengan perlindungan terhadap pengurus dan anggota serikat pekerja, Saudara dapat melihat dan menelitinya di dalam UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
 
Demikian semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja R.I. Nomor: PER.02/MEN/1993 tentang Usia Pensiun Normal dan Batas Usia Pensiun Maksimum Bagi Peserta Peraturan Dana Pensiun

Jika Ingin Mengatur Soal Pensiun Dini dalam PKB

Selamat pagi, saya mau konsultasi tentang pensiun dini, kebetulan saya pengurus serikat di perusahaan saya dan kami selaku pengurus serikat ingin membuat PKB di perusahaan kami. Yang jadi pertanyaan saya, ada tidak celah hukum tentang pensiun dini? Tolong diberi gambarannya. Terima kasih.
Jawaban :
Terima kasih untuk pertanyaan Anda.
 
Intisari:
 
 
Pensiun dini tidak diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”). Bahkan UU Ketenagakerjaan juga tidak menentukan batas usia menimum pensiun dini. Yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan adalah pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena memasuki usia pensiun.
 
Ketentuan mengenai pensiun di dalam UU Ketenagakerjaan adalah ketentuan umum dan merupakan standar minimum perlindungan, yang mana dalam praktiknya ketentuan ini diatur lebih lanjut di dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau dalam Perjanjian Kerja Bersama (“PKB”).
 
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
 
 
 
Ulasan:
 
Pada dasarnya, pensiun dini tidak diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”). Yang diatur pada prinsipnya adalah pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena memasuki usia pensiun dan apabila pengusaha telah mengikutkan pekerja/buruh pada program pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh pengusaha, maka pekerja/buruh tidak berhak mendapatkan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, tetapi tetap berhak atas uang penggantian hak. Demikian yang disebut dalam Pasal 167 ayat (1) UU Ketenagakerjaan. Penjelasan lebih lanjut soal hak-hak dalam pasal-pasal tersebut dapat Anda simak dalam artikel Apakah Pekerja yang Mengundurkan Diri Akan Dapat Pesangon?
 
Ketentuan pensiun di dalam UU Ketenagakerjaan adalah ketentuan umum dan merupakan standar minimum perlindungan, yang mana dalam praktiknya ketentuan ini diatur lebih lanjut di dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau dalam Perjanjian Kerja Bersama (“PKB”). Demikian antara lain yang dijelaskan dalam artikel Pensiun Dini yang Tidak Sah.
 
Jadi, memang benar bahwa pensiun dini dalam praktiknya dituangkan dalam PKB seperti yang Anda sebut. Umar Kasim dalam artikel Program Pensiun Dini Secara Sukarela pernah menjelaskan bahwa penentuan batas usia pensiun merupakan domain masing-masing pihak untuk menyepakati dan menentukannya (berdasarkan azas kebebasan berkontrak). Kesepakatan atau penentuan tersebut biasanya merujuk pada kebiasaan-kebiasaan yang berlaku, atau berpedoman pada beberapa ketentuan yang mengatur timbulnya hak-hak yang berkenaan dengan “masa pensiun”. Berikut kami berikan gambaran soal pensiun dini.
 
Mengacu pada Pasal 167 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang kami sebut di atas, secara implisit pasal itu mengatakan bahwa diikutsertakannya pekerja/buruh pada program pensiun bukanlah suatu kewajiban perusahaan. Jadi, jika memang dalam perusahaan tempat Anda bertindak selaku pengurus serikat pekerja tersebut ingin mengikutsertakan pekerjanya pada program pensiun, maka hal tersebut harus diatur dalam PKB.
 
Jika pengusaha telah mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program pensiun yang iurannya/preminya dibayar oleh pengusaha dan pekerja/buruh, maka pekerja/buruh tetap dapat memperoleh uang pesangon dari selisih uang pensiun yang didapat dari premi/iuran yang dibayarkan oleh pengusaha [lihat Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan]. Ini artinya, kalaupun pekerja tersebut diikutsertakan pada program pensiun dan iurannya dibayarkan oleh ia dan pengusaha, maka yang diperhitungkan dengan uang pesangon yaitu uang pensiun yang premi/iurannya dibayar oleh pengusaha. Yang dimaksud dengan “uang pesangon” dalam Pasal 167 ayat (3) tersebut tidak termasuk uang penghargaan masa kerja maupun uang penggantian hak.
 
Kemungkinan kedua adalah pekerja tempat Anda bekerja itu tidak diikutsertakan dalam program pensiun. Berarti, dalam PKB terdapat kewajiban pengusaha untuk memberikan kepada pekerja/buruh uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) [lihat Pasal 167 ayat (5) UU Ketenagakerjaan]. Apabila seorang mengajukan pensiun dini, maka penyelesaiannya dilakukan sesuai perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau PKB yang berlaku di perusahaan.
 
Adapun penjelasan selengkapnya tentang pasal-pasal di atas dapat Anda simak dalam artikel Rumus Perhitungan Uang Pesangon dan Masalah PHK Karena Efisiensi dan Cara Menghitung Pesangon Berdasarkan Alasan PHKSelain itu, masih berhubungan dengan pesangon karena pekerja pensiun, penjelasan lain dapat Anda simak dalam artikel Aturan Uang Pesangon dalam Hal PHK Karena Usia Pensiun.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Siapa Penerima Hak Pensiun PNS Jika Duda Menikah Lagi?

Ayah saya pensiunan PNS (dinas pendidikan) sedang ibu saya PNS guru SMP. Ibu saya meninggal karena kecelakaan saat berangkat tugas mengajar (tahun 2013). Masa tugas 29 tahun. Saya memiliki 2 saudari (adik) umur 23 tahun dan yang satu masih belum bekerja/belum menikah. Selama ini pensiun yang menerima adalah Bapak saya. Yang menjadi permasalahan, Bapak saya sebentar lagi akan menikah dengan seseorang yang berstatus PNS aktif. Yang ingin saya tanyakan apakah pensiun Ibu saya akah hilang atau masih bisa diterima oleh adik saya? Terima kasih kami ucapkan atas jawabannya.
Jawaban :
Intisari:


Pensiun janda/duda atau bagian pensiun janda yang diberikan kepada janda/duda yang tidak mempunyai anak, dibatalkan jika janda/duda yang bersangkutan nikah lagi, terhitung dari bulan berikutnya perkawinan itu dilangsungkan. Ini artinya, jika ayah Anda menikah lagi namun masih ada anak-anak memenuhi syarat; maka pensiunan itu dapat diterima oleh anak-anaknya (termasuk adik Anda).

Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. 



Ulasan:

Terima kasih atas pertanyaan Anda.

Pada dasarnya, Pegawai Negeri Sipil (“PNS”) yang berhenti bekerja berhak atas jaminan pensiun dan jaminan hari tua PNS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[1]

Dasar Pemberian Jaminan Pensiun
Adapun jaminan pensiun itu diberikan kepada PNS apabila:[2]
a.    meninggal dunia;
b.    atas permintaan sendiri dengan usia dan masa kerja tertentu;
c.    mencapai batas usia pensiun;
d.    perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah yang mengakibatkan pensiun dini; atau
e.    tidak cakap jasmani dan/atau rohani sehingga tidak dapat menjalankan tugas dan kewajiban.

Berbicara mengenai hak-hak yang diterima oleh ahli waris PNS yang meninggal dunia, maka kita mengacu pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda Pegawai (“UU 11/1969”) yang hingga kini masih berlaku.

Dalam hal ini, ayah Anda bertindak sebagai duda, yaitu suami yang sah menurut hukum dari pegawai negeri wanita atau penerima pensiun pegawai wanita, yang meninggal dunia dan tidak mempunyai istri lain.[3]

Karena ayah Anda adalah suami sah dari ibu Anda yang berstatus PNS, maka ayah Anda berhak menerima pensiun PNS yang dinamakan pensiun duda.[4]

Akan tetapi, karena ayah Anda menikah lagi, pensiun duda tersebut tidak diberikan lagi kepada ayah Anda. Pensiun janda/duda atau bagian pensiun janda yang diberikan kepada janda/duda yang tidak mempunyai anak, dibatalkan jika janda/duda yang bersangkutan nikah lagi, terhitung dari bulan berikutnya perkawinan itu dilangsungkan.[5]

Namun, sebagai anak, Anda dan adik-adik Anda juga mendapatkan pensiun PNS. Dengan catatan, misalnya ibu Anda tidak mempunyai suami yang berhak menerima pensiun duda.[6] Ini artinya, jika ayah Anda menikah lagi namun masih ada anak-anak memenuhi syarat; maka pensiunan itu dapat diterima oleh anak-anaknya (termasuk adik Anda).

Sampai Kapan Orang Tua Berkewajiban Menafkahi Anaknya?

Ada anak perempuan 18 tahun melakukan kekerasan verbal kepada ibu kandungnya. Saya ingin menanyakan beberapa hal mengenai keadaan ini. Apakah ada landasan hukum untuk (ibunya atau saudara kandungnya) melarang anak itu pulang ke rumah ibunya dan/atau menghubungi ibunya lagi? Anak ini tinggal sendirian di luar kota untuk kuliah, tapi kadang-kadang pulang ke rumah ibunya. Apakah orang tua masih wajib menafkahi anak berusia 18 tahun? Mereka masih punya satu anak 14 tahun yang harus dinafkahi. Selain itu, orang tua sudah bercerai, tinggal terpisah, dan masing-masing berpenghasilan di bawah UMR. "Rumah ibunya" secara hukum adalah milik ayahnya, tapi ayahnya tidak tinggal di situ lagi Terima kasih atas perhatiannya.
Jawaban :
Terima kasih atas pertanyaan Anda.

Intisari:


Tidak ada landasan hukum bagi ibu atau saudara kandungnya untuk melarang anak itu pulang ke rumah ibunya dan/atau menghubungi ibunya lagi. Bagaimanapun juga, hubungan hukum antara orang tua dengan anak adalah hubungan yang terjadi secara alamiah (karena hubungan darah), sehingga tidak dapat diputus seperti (misalnya) perjanjian.

Kemudian, mengenai memberikan nafkah untuk anak, selama anak itu belum kawin atau belum dapat berdiri sendiri, kewajiban orang tua memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya terus berlaku, termasuk memberikan nafkah bagi anaknya.

Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.



Ulasan:

Terima kasih atas pertanyaan Anda.

Sebelumnya, kami jelaskan terlebih dahulu hak dasar anak yang diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 (“UU 35/2014”). Pada dasarnya setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.[1] Ini berarti orang tua memiliki kewajiban untuk mengasuh anaknya dan tidak menelantarkannya.

Penelantaran dalam Lingkup Rumah Tangga
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (“UU PKDRT”) diatur mengenai penelantaran. Pada dasarnya, setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara:[2]
a.    kekerasan fisik;
b.    kekerasan psikis;
c.    kekerasan seksual; atau
d.    penelantaran rumah tangga.

Terkait penelantaran, setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.[3]

Lingkup rumah tangga yang dimaksud meliputi:[4]
a.    suami, isteri, dan anak;
b.    orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau
c.    orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

Yang dimaksud dengan anak dalam lingkup rumah tangga adalah termasuk anak angkat dan anak tiri.[5] Sedangkan pengertian “anak” dapat dilihat dalam UU 35/2014, yaitu seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.[6]

Sanksi bagi orang yang menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) UU PKDRT adalah pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).[7]

Menjawab pertanyaan Anda, jika dilihat dari umur si anak perempuan tersebut, memang ia bukan lagi termasuk sebagai “anak”. Akan tetapi, sebenarnya tidak ada landasan hukum bagi ibu atau saudara kandungnya untuk melarang anak itu pulang ke rumah ibunya dan/atau menghubungi ibunya lagi. Bagaimanapun juga, hubungan hukum antara orang tua dengan anak adalah hubungan yang terjadi secara alamiah (karena hubungan darah), sehingga tidak dapat diputus seperti memutuskan hubungan hukum yang terjadi karena misalnya perjanjian. Selengkapnya soal hubungan hukum antara orang tua dan anak dapat Anda simak dalam artikel Apakah Orangtua Bisa Memutuskan Hubungan Hukum dengan Anak?

Dalam praktiknya, pengusiran keluarga dari rumah dapat dikenakan pidana. Sebagai contoh soal pengusiran anak yang dilakukan oleh terdakwa dapat kita lihat dalamPutusan Pengadilan Negeri Sekayu Nomor : 659/Pid.Sus/2014/PN.Sky. Diketahui bahwa Terdakwa mengusir istri dan anak-anaknya. Terdakwa tidak pernah memberikan nafkah baik lahir maupun bathin baik kepada saksi sebagai istrinya maupun untuk anak-anak semenjak saksi diusir pergi oleh Terdakwa.