Kamis, 04 Juli 2013

Falsafah Operasional Bank Syariah

Falsafah Operasional Bank Syariah

Setiap lembaga keuangan syariah mempunyai falsafah mencari keridhoan Allah untuk memperoleh kebajikan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, setiap kegiatan lembaga keuangan yang dikhawatirkan menyimpang dari tuntunan agama, harus dihindari (ibid).

a)    Menjauhkan diri dari unsur riba, caranya :
  1. Menghindari penggunaan sistem yang menetapkan dimuka secara pasti keberhasilan usaha (QS. Luqman, ayat :34)
  2. Menghindari penggunaan sistem prosentasi untuk pembebanan biaya terhadap hutang atau pemberian imbalan terhadap simpanan yang mengandung unsur melipat gandakan secara otomatis hutang/simpanan tersebut hanya karena berjalannya waktu (QS. Ali-Imron, 130)
  3. Menghindari penggunaan sistem perdagangan/penyewaan barang ribawi dengan imbalan barang ribawi lainnya dengan memperoleh kelebihan baik kuantitas maupun kualitas (HR. Muslim Bab Riba No. 1551 s/d 1567)
  4. Menghindari penggunaan sistem yang menetapkan tambahan dimuka atas hutang yang bukan atas prakarsa yang mempunyai hutang secara sukarela (HR. Muslim, Bab Riba No. 1569 s/d 1572).
b)    Menerapkan sistem bagi hasil dan perdagangan. Dengan mengacu pada Qur’an surat Al-Baqarah ayat 275 dan An-Nisa ayat 29, maka setiap transaksi kelembagaan syariah harus dilandasi atas dasar sistem bagi hasil dan perdagangan atau transaksinya didasari oleh adanya pertukaran antara uang dan barang. Akibatnya pada kegiatan muamalah berlaku prinsip ada barang/jasa uang dengan barang, sehingga akan mendorong  produksi barang/jasa, mendorong kelancaran arus barang/jasa, dapat dihindari adanya penyalahgunaan kredit, spekulasi, dan inflasi. 

Fungsi Bank Syariah

Fungsi Bank Syariah
  • Intermediary agent (sama seperti bank konvensional)
  • Fund atau investment manager
  • Penyedia jasa perbankan pada umumnya (sama seperti bank konvensional) sepanjang tidak melanggar syariah
  • Pengelola fungsi sosial (ZISWA)
  • Alat transmisi kebijakan moneter (sama seperti bank Konvensional)

Tujuan Bank Syariah

Tujuan Bank Syariah

Bank syariah adalah bank yang aktivitasnya meninggalkan masalah riba. Dengan demikian, penghindaran bunga yang dianggap riba merupakan salah satu tantangan yang dihadapi dunia Islam dewasa ini. Suatu hal yang sangat menggembirakan bahwa belakangan ini para ekonom Muslim telah mencurahkan perhatian besar, guna menemukan cara untuk menggantikan sistem bunga dalam transaksi perbankan dan membangun model teori ekonomi yang bebas dan pengujiannya terhadap pertumbuhan ekonomi, alokasi dan distribusi pendapatan. Oleh karena itu, maka mekanisme perbankan bebas bunga yang biasa disebut dengan bank syariah didirikan. Tujuan perbankan syariah didirikan dikarenakan pengambilan riba dalam transaksi keuangan maupun non keuangan (QS. Al-Baqarah 2 : 275). Dalam sistem bunga, bank tidak akan tertarik dalam kemitraan usaha kecuali bila ada jaminan kepastian pengembalian modal dan pendapatan bunga (Zaenul Arifin, 2002: 39-40).

Prinsip Bank Syariah

Prinsip Bank Syariah

Pada dasarnya prinsip bank syariah menghendaki semua dana yang diperoleh dalam sistem perbankan syariah dikelola dengan integritas tinggi dan sangat hati-hati.
  1. Shiddiq, memastikan bahwa pengelolaan bank syariah dilakukan dengan moralitas yang menjunjung tinggi nilai kejujuran. Dengan nilai ini pengelolaan diperkenankan (halal) serta menjauhi cara-cara yang meragukan (subhat) terlebih lagi yang bersifat dilarang (haram).
  2. Tabligh, secara berkesinambungan melakukan sosialisasi dan mengedukasi masyarakat mengenai prinsip-prinsip, produk dan jasa perbankan syariah. Dalam melakukan sosialisasi sebaiknya tidak hanya mengedepankan pemenuhan prinsip syariah semata, tetapi juga harus mampu mengedukasi masyarakat mengenai manfaat bagi pengguna jasa perbankan syariah.
  3. Amanah, menjaga dengan ketat prinsip kehati-hatian dan kejujuran dalam mengelola dana yang diperoleh dari pemilik dana (shahibul maal) sehingga timbul rasa saling percaya antara pemilik dana dan pihak pengelola dana investasi (mudharib).
  4. Fathanah, memastikan bahwa pegelolaan bank dilakukan secara profesional dan kompetitif sehingga menghasilkan keuntungan maksimum dalam tingkat resiko yang ditetapkan oleh bank. Termasuk di dalamnya adalah pelayanan yang penuh dengan kecermatn dan kesantunan (ri’ayah) serta penuh rasa tanggung jawab (mas’uliyah)

Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional

Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional 

Bank Syariah 
  • Islam memandang harta yang dimiliki oleh manusia adalah titipan/amanah Allah SWT sehingga cara memperoleh, mengelola, dan memanfaatkannya harus sesuai ajaran Islam
  • Bank syariah mendorong nasabah untuk mengupayakan pengelolaan harta nasabah (simpanan) sesuai ajaran Islam
  • Bank syariah menempatkan karakter/sikap baik nasabah maupun pengelola bank pada posisi yang sangat penting dan menempatkan sikap akhlakul karimah sebagai sikap dasar hubungan antara nasabah dan bank
  • Adanya kesamaan ikatan emosional yang kuat didasarkan prinsip keadilan, prinsip kesederajatan dan prinsip ketentraman antara Pemegang Saham, Pengelola Bank dan Nasabah atas jalannya usaha bank syariah
  • Prinsip bagi hasil:
    • Penentuan besarnya resiko bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung dan rugi
    • Besarnya nisbah bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh
    • Jumlah pembagian bagi hasil meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan
    • Tidak ada yang meragukan keuntungan bagi hasil
    • Bagi hasil tergantung kepada keuntungan proyek yang dijalankan. Jika proyek itu tidak mendapatkan keuntungan maka kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak
Bank Konvensional 
  • Pada bank konvensional, kepentingan pemilik dana (deposan) adalah memperoleh imbalan berupa bunga simpanan yang tinggi, sedang kepentingan pemegang saham adalah diantaranya memperoleh spread yang optimal antara suku bunga simpanan dan suku bunga pinjaman (mengoptimalkan interest difference). Dilain pihak kepentingan pemakai dana (debitor) adalah memperoleh tingkat bunga yang rendah (biaya murah). Dengan demikian terhadap ketiga kepentingan dari tiga pihak tersebut terjadi antagonisme yang sulit diharmoniskan. Dalam hal ini bank konvensional berfungsi sebagai lembaga perantara saja
  • Tidak adanya ikatan emosional yang kuat antara Pemegang Saham, Pengelola Bank dan Nasabah karena masing-masing pihak mempunyai keinginan yang bertolak belakang 
  • Sistem bunga: 
    • Penentuan suku bunga dibuat pada waktu akad dengan pedoman harus selalu untung untuk pihak Bank 
    • Besarnya prosentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan Penentuan suku bunga dibuat pada waktu akad dengan pedoman harus selalu untung untuk pihak Bank 
    • Jumlah pembayaran bunga tidak mengikat meskipun jumlah keuntungan berlipat ganda saat keadaan ekonomi sedang baik 
    • Eksistensi bunga diragukan kehalalannya oleh semua agama termasuk agama Islam 
    • Eksistensi bunga diragukan kehalalannya oleh semua agama termasuk agama Islam 
    • Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi

pengertian bank syariah

Pengertian Bank Syariah - Menurut Undang-undang No.10 tahun 1998 bank syariah adalah Bank yang melaksanakan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.


Bank Syariah Pengertian Prinsip Tujuan Fungsi Perkembangan Menurut Para Ahli - Prinsip syariah menurut Pasal 1 ayat 13 Undang-undang No.10 tahun 1998 tentang perbankan adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum islam antara bank dengan pihak lain untuk penyimpanan dana atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina). Pembahasan tentang bank syariah akan dibahas lebih mendalam oleh penulis pada sub bab tersendiri di bab ini.    

Dasar Hukum dan Pengertian Perjanjian Kerja sama Bagi Hasil

ebelum kami menjelaskan jawaban kami di bawah ini, kami memberikan pengertian Kerja sama Bagi Hasil dengan pendekatan kerja sama bagi hasil dalam prinsip syariah, yaitu Mudharabah. Berikut kami jabarkan jawaban kami atas pertanyaan-pertanyaan di atas:
 
1.        Dasar Hukum dan Pengertian Perjanjian Kerja sama Bagi Hasil (revenue sharing)
 
Pada dasarnya, setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak mengacu pada asas kebebasan berkontrak sebagaimana Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) menyatakan:
 
Semua Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya
 
Makna dari ketentuan tersebut adalah asas kebebasan berkontrak, asas kebebasan kontrak tersebut mengandung pengertian bahwa para pihak pihak boleh menentukan hal-hal yang hendak disepakati di antara para pihak, dengan pembatasan terhadap ketentuan publik yang berlaku. Misalnya, para pihak tidak dapat membuat kesepakatan bahwa dalam perjanjian kerja sama tersebut, para pihak tidak memberlakukan perhitungan pajak terhadap bagi hasil yang diterimanya. Hal ini tidak diperbolehkan karena hukum perpajakan merupakan ketentuan publik yang tidak dapat dikesampingkan.
 
Di samping itu, dalam membuat sebuah perjanjian, harus tetap tunduk pada syarat sahnya perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata yang menyatakan:
 
“Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
1.    Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2.    Kecakapan hal tertentu;
3.    Suatu hal tertentu; dan
4.    Suatu sebab yang halal.
 
Pengertian mudharabah dalam konsep pembiayaan Mudharabah pada Lembaga Keuangan Syari’ah dalam Fatwa Dewan Syari’ah Nasional MUI No. 07/DSN-MUI/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh) (“Fatwa MUI 07/2000”), yakni pembiayaan yang disalurkan Lembaga Keuangan Syariah (“LKS”) kepada pihak lain untuk usaha yang produktif, LKS bertindak sebagai Shaahibul Maal (pemberi dana) dan Pengusaha sebagai Mudharib (Pengelola Usaha).
 
Pengertian Mudharabah yang dikutip dari buku Irma Devita Purnamasari, S.H., M.Kn. dengan judul Akad Syariah, yaitu:
 
“pengertian Mudharabah secara umum adalah kerja sama antara pemilik dana atau penanaman modal dan pengelola modal untuk melakukan usaha tertentu dengan pembagian keuntungan berdasarkah nisbah (keuntungan).”
 
Dari pengertian-pengertian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa mudharabah adalah perjanjian kerja sama untuk melakukan suatu usaha diantara pemilik modal dengan seseorang yang memiliki keahlian untuk mengelola usaha yang tidak memiliki modal, dan pembagian keuntungannya dibagi dengan perhitungan bagi hasil yang ditentukan para pihaknya (nisbah).
 
Adapun terkait perjanjian bagi hasil (Mudharabah) dalam hukum Indonesia, pengaturan tersebut hanya tercantum pada UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan(“UU 10/1998”). Mudharabah dalam UU 10/1998 hanya menjadi bagian dari prinsip syariah yang diterapkan pada pembiayaan. Prinsip syariah itu sendiri berdasarkan UU 10/1998 adalah aturan perjanjian berdasarkan Hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha lainnya yang dinyatakan sesuai syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah).
 
Secara khusus pengaturan tentang perjanjian bagi hasil adalah hukum Islam. Namun, untuk melihat gambaran mengenai ketentuan Mudharabah dapat juga dilihat pada Fatwa MUI 07/2000, yang secara khusus harus diperhatikan, prinsip mudharabah sebenarnya merupakan profit-loss sharing bukan hanya sekedar profit sharing. Artinya, risiko kerugian juga tetap ada bagi pemodal. Namun, hanya sebesar modal yang ditanamkannya. Sedangkan, pengelola usaha akan bertanggung jawab terhadap usaha tersebut sepenuhnya.
 
2.        Apa Perbedaan Perjanjian Kerja sama Bagi Hasil Dengan Perjanjian Waralaba?
 
Sebagaimana telah dijelaskan di atas mengenai perjanjian bagi hasil pada poin 1 di atas, berikut kami sampaikan Pengertian Waralaba, sehingga dapat menjelaskan perbedaannya dengan perjanjian bagi hasil.
 
Waralaba, menurut Pasal 1 angka 1 Permendag No. 53/M-DAG/PER/8/2012 tentang Penyelenggaraan Waralaba (“Permendag 53/2012”) adalah
 
hak khusus yang dimiliki oleh orang perseroangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.
 
Selain pengertian tersebut, waralaba memiliki ciri khas tertentu. Ciri khas waralaba terdapat pada Pasal 2 Permendag 53/2012, yaitu memiliki kriteria sebagai berikut:
 
a. memiliki ciri khas usaha;
b. terbukti sudah memberikan keuntungan;
c.    memiliki standar atas pelayanan dan barang dan/atau jasa yang ditawarkan yang dibuat secara tertulis;
d.    mudah diajarkan dan diaplikasikan;
e.    adanya dukungan yang berkesinambungan; dan
f.     Hak Kekayaan Intelektual yang telah terdaftar.
 
Dari definisi dan kriteria di atas dapat diperoleh garis besar perbedaan antara Bagi Hasil dengan Waralaba, yaitu Perjanjian Bagi Hasil tidak perlu mengatur hal-hal yang wajib dimiliki Waralaba sebagaimana kriteria dimaksud di atas.
 
Dalam perjanjian bagi hasil, cukup disyaratkan adanya pemodal dan pihak pengelola usaha yang memiliki keahlian untuk menjalankan dana yang dimiliki pemodal untuk melakukan usaha serta penetapan nisbah untuk bagi hasil. Sedangkan, Waralaba adalah suatu konsep yang sudah dibangun dan memiliki sistem yang sudah baik yang dimiliki Pemberi Waralaba dan diberikan pihak lain untuk dijalankan dengan konsep  dan sistem milik Pemberi Waralaba, dengan konsekuensi Penerima Waralaba memberikan Royalti sebagai kontraprestasinya.
 
3.        Apa Kelebihan Maupun Kekurangan dari Kerja sama Bagi Hasil?
 
Kelebihan melakukan kerjasama bagi hasil dari sudut pandang investor atau bagi pemilik modal adalah, pengelolaan usaha dilakukan seutuhnya oleh pengelola usaha, dan pemilik modal hanya sebagai pengawas dan melakukan pembinaan tanpa terjun langsung. Hal ini sudah pasti menjadi kelebihan bagi pemilik modal, karena pemilik modal tanpa harus bekerja akan mendapatkanpassive income.

Pada sisi lain, kami menilai bukan sebagai kekurangan namun merupakan karakter dari Perjanjian Kerja sama Bagi Hasil. Yaitu maju mundurnya usaha tersebut sangat bergantung pada iktikad baik dan keahlian dari Pengelola Usaha. Hal ini karena seluruh kendali dan supervisi pekerjaan berada di bawah pengelola usaha. Oleh karena itu, sangat penting bagi pemilik modal untuk dapat mengetahui karakter, latar belakang pengelola usaha, dan juga bisnis yang akan dijalankan.
 
Untuk memitigasi risiko bagi Investor selaku pemilik modal, umumnya dalam perjanjian Kerjasama Bagi hasil, disisipkan klausul yang menyatakan Pengelola selalu memberikan laporan kerja dan laporan keuangan kepada pemilik modal secara rutin. Sehingga, pemodal dapat mengetahui perkembangan usahanya. 
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.