Kamis, 04 April 2013

FIGUR SEORANG KEPALA DAERAH MENURUT UU PILKADA


FIGUR KEPALA DAERAH MENURUT UU PILKADA
Dalam menjalankan pemerintahan, pemerintah pusat memerlukan peranan pemerintah daerah, sesuai dengan etonomi daerah, pemerintah daerahlah yang menjadi perwakilan pemerintah pusat dalam menjalankan roda kepemerintahan disetiap wilayah negara  Republik Indonesia, melihat Indonesia merupakan negara yang terdiri dari berbagai wilayah. Sehingga setiap wilayah itu memerlukan pemimpin yang memimpin daerah/wilayah tersebut, yang dapat mewakili masyarakat diwilayah/daerah tersebut, untuk kemudian mewakili pemerintah pusat, diwilayah tersebut. Pemimpin wilayah/daerah itu biasanya disebut kepala daerah.
Kepala daerah adalah pemerintah daerah yang untuk provinsi disebut Gubernur, untuk kabupaten disebut bupati, dan untuk kota disebut walikota. Dan dalam menjalankan tugasnya kepala derah dibantu oleh satu orang wakil kepala daerah, dan wakil kepala daerah untuk provinsi disebut wakil Gubernur, untuk kabupaten disebut wakil bupati dan untuk kota disebut wakil walikota. Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan, dan pesta rakyat itu biasanya disebut pilkada. Disinilah kesempatan rakyat untuk memilih siapa yang menjadi pimimpin daerah mereka, untuk jangka waktu 5 (lima) tahun kedepannya.

Dalam pencalonan kepala daerah, menurut UU No. 32 tahun 2004 j0 UU No. 12 tahun 2008, memiliki syarat, yaitu warga negara Republik Indonesia yang memiliki syarat- syarat sebagai berikut:
A.      Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
B.      Setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia serta Pemerintah;
C.        Berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan tingkat atas dan/atau sederajat;
D.      Berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun bagi calon gubernur/wakil gubernur dan berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun bagi calon bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota;
E.      Sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim dokter
F.       Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
G.      Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
H.       Mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya;
I.        Menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan;
J.        Tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara;
K.      Tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
L.       Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau bagi yang belum mempunyai NPWP wajib mempunyai bukti pembayaran pajak;
M.     Menyerahkan daftar riwayat hidup lengkap yang memuat antara lain riwayat pendidikan dan pekerjaan serta keluarga kandung, suami atau istri;
N.      Belum pernah menjabat sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama;
O.      Tidak dalam status sebagai penjabat kepala daerah; dan
P.      Mengundurkan diri sejak pendaftaran bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang masih menduduki jabatannya.

Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah:
a.       Pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
b.       Pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang.

Partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana dimaksud pada huruf a dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.
1). Pasangan calon perseorangan sebagaimana dimaksud pada huruf b dapat mendaftarkan diri sebagai pasangan calon gubernur/wakil gubernur apabila memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan:
a)      provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 6,5% (enam koma lima persen);
b)     Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000.000 (dua juta) sampai dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 5% (lima persen);
c)      Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 6.000.000 (enam juta) sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 4% (empat persen);
d)     Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 3% (tiga persen).
2).Pasangan calon perseorangan sebagaimana dimaksud pada huruf b dapat mendaftarkan diri sebagai pasangan calon bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota apabila memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan:
a)      Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 6,5% (enam koma lima persen);
b)     Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 5% (lima persen);
c)      Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 4% (empat persen); dan
d)     Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 3% (tiga persen).

-          Jumlah dukungan sebagaimana dimaksud angka 1 diatas harus tersebar di lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kabupaten/kota di provinsi dimaksud.
-          Jumlah dukungan sebagaimana dimaksud angka 2 diatas tersebar di lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota dimaksud. Dukungan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2 dibuat dalam bentuk surat dukungan yang disertai dengan fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau surat keterangan tanda penduduk sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam proses penetapan pasangan calon, partai politik atau gabungan partai politik memperhatikan pendapat dan tanggapan masyarakat. Dalam proses penetapan pasangan calon perseorangan, KPU provinsi dan/atau KPU kabupaten/kota memperhatikan pendapat dan tanggapan masyarakat.
-           
Partai politik atau gabungan partai politik pada saat mendaftarkan calon partai politik, wajib menyerahkan:
a)      Surat pencalonan yang ditandatangani oleh pimpinan partai politik atau pimpinan partai politik yang bergabung;
b)     Kesepakatan tertulis antar partai politik yang bergabung untuk mencalonkan pasangan calon;
c)      Surat pernyataan tidak akan menarik pencalonan atas pasangan yang dicalonkan yang ditandatangani oleh pimpinan partai politik atau para pimpinan partai politik yang bergabung;
d)     Surat pernyataan kesediaan yang bersangkutan sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah secara berpasangan;
e)      Surat pernyataan tidak akan mengundurkan diri sebagai pasangan calon;
f)       Surat pernyataan kesanggupan mengundurkan diri dari jabatan apabila terpilih menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
g)      Surat pernyataan mengundurkan diri dari jabatan negeri bagi calon yang berasal dari pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia;
h)     Surat pernyataan tidak aktif dari jabatannya bagi pimpinan DPRD tempat yang bersangkutan menjadi calon di daerah yang menjadi wilayah kerjanya;
i)       Surat pemberitahuan kepada pimpinan bagi anggota DPR, DPD, dan DPRD yang mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah;
j)        Visi, misi, dan program dari pasangan calon secara tertulis.

Calon perseorangan pada saat mendaftar wajib menyerahkan:
1)     Surat pencalonan yang ditandatangani oleh pasangan calon perseorangan;
2)     Berkas dukungan dalam bentuk pernyataan dukungan yang dilampiri dengan fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau surat keterangan tanda penduduk;              
3)     Surat pernyataan tidak akan mengundurkan diri sebagai pasangan calon;
4)     Surat pernyataan kesanggupan mengundurkan diri dari jabatan apabila terpilih menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
5)     Surat pernyataan mengundurkan diri dari jabatan negeri bagi calon yang berasal dari pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia;
6)     Surat pernyataan nonaktif dari jabatannya bagi pimpinan DPRD tempat yang bersangkutanmenjadi calon kepala daerah dan wakil kepaladaerah di daerah wilayah kerjanya;
7)     Surat pemberitahuan kepada pimpinan bagi anggota DPR, DPD, dan DPRD yang mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah;
8)     Visi, misi, dan program dari pasangan calon secara tertulis.

Dukungan sebagaimana dimaksud pada calon perseorangan huruf b  diatas hanya diberikan kepada satu pasangan calon perseorangan. Partai politik atau gabungan partai politik hanya dapat mengusulkan satu pasangan calon dan pasangan calon tersebut tidak dapat diusulkan lagi oleh partai politik atau gabungan partai politik lainnya. Masa pendaftaran pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak pengumuman pendaftaran pasangan calon. Verifikasi dan rekapitulasi dukungan calon perseorangan untuk pemilihan gubernur/wakil gubernur dilakukan oleh KPU provinsi yang dibantu oleh KPU kabupaten/kota, PPK, dan PPS. Verifikasi dan rekapitulasi dukungan calon perseorangan untuk pemilihan bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota dilakukan oleh KPU kabupaten/kota yang dibantu oleh PPK dan PPS.

Ø  Bakal pasangan calon perseorangan untuk pemilihan bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota menyerahkan daftar dukungan kepada PPS untuk dilakukan verifikasi paling lambat 21 (dua puluh satu) hari sebelum waktu pendaftaran pasangan calon dimulai.
Ø  Bakal pasangan calon perseorangan untuk pemilihan gubernur/wakil gubernur menyerahkan daftar dukungan kepada PPS untuk dilakukan verifikasi paling lambat 28 (dua puluh delapan) hari sebelum waktu pendaftaran pasangan calon dimulai.
Ø  Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari sejak dokumen dukungan bakal pasangan calon perseorangan diserahkan.

Kampanye dilaksanakan sebagai bagian dari penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, Penanggung jawab kampanye adalah pasangan calon, yang pelaksanaannya dipertanggungjawabkan oleh tim kampanye. Tim kampanye dapat dibentuk secara berjenjang di provinsi, kabupaten/kota bagi pasangan calon gubernur dan wakil gubernur dan kabupaten/kota dan kecamatan bagi pasangan calon bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota. Dan Jadwal pelaksanaan kampanye ditetapkan oleh KPU provinsi dan/atau KPU kabupaten/kota dengan memperhatikan usul dari pasangan calon.

Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 50 % (lima puluh persen) jumlah suara sah ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih.
Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 30% (tiga puluh persen) dari jumlah suara sah, pasangan calon yang perolehan suaranya terbesar dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih.

Dalam hal pasangan calon yang perolehan suara terbesar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdapat lebih dari satu pasangan calon yang perolehan suaranya sama, penentuan pasangan calon terpilih dilakukan berdasarkan wilayah perolehan suara yang lebih luas.
-          Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak terpenuhi, atau tidak ada yang mencapai 30% (tiga puluh persen) dari jumlah suara sah, dilakukan pemilihan putaran kedua yang diikuti oleh pemenang pertama dan pemenang kedua.
-          Apabila pemenang pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diperoleh dua pasangan calon, kedua pasangan calon tersebut berhak mengikuti pemilihan putaran kedua.
-          Apabila pemenang pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diperoleh oleh tiga pasangan calon atau lebih, penentuan peringkat pertama dan kedua dilakukan berdasarkan wilayah \ perolehan suara yang lebih luas. Apabila pemenang kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diperoleh oleh lebih dari satu pasangan calon, penentuannya dilakukan berdasarkan wilayah perolehan suara yang lebih luas. Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara terbanyak pada putaran kedua dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih.   

Pasal-pasal tentang pencemaran nama baik


Pasal-pasal Pencemaran Nama Baik
Pencemaran dengan Tulisan (surat-surat, ucapan pasal 310-311 KUHP, apabila sudah menggunakan email, Facebook, Twitter, dll di kenakan UU ITE). Pemberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Demikian salah satu pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan perkara No. 50/PUU-VI/2008 atas judicial review pasal 27 ayat (3) UU ITE terhadap UUD 1945.
Mahkamah Konstitusi menyimpulkan bahwa nama baik dan kehormatan seseorang patut dilindungi oleh hukum yang berlaku, sehingga Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak melanggar nilai-nilai demokrasi, hak azasi manusia, dan prinsip-prinsip negara hukum. Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah Konstitusional.
Bila dicermati isi Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE tampak sederhana bila dibandingkan dengan pasal-pasal penghinaan dalam KUHP yang lebih rinci. Oleh karena itu, penafsiran Pasal 27 ayat (3) UU ITE harus merujuk pada pasal-pasal penghinaan dalam KUHP. Misalnya, dalam UU ITE tidak terdapat pengertian tentang pencemaran nama baik.
Dengan merujuk Pasal 310 ayat (1) KUHP, pencemaran nama baik diartikan sebagai perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum.Pasal 27 ayat (3) UU ITE “Setiap orang den gan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”
Pasal 310 ayat (1) KUHP “Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.
Rumusan Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE yang tampak sederhana berbanding terbalik dengan sanksi pidana dan denda yang lebih berat dibandingkan dengan sanksi pidana dan denda dalam pasal-pasal penghinaan KUHP.
Misalnya, seseorang yang terbukti dengan sengaja menyebarluaskan informasi elektronik yang bermuatan pencemaran nama baik seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE akan dijerat dengan Pasal 45 Ayat (1) UU ITE, sanksi pidana penjara maksimum 6 tahun dan/atau denda maksimum 1 milyar rupiah.
Pasal 45 UU ITE “(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Masih ada pasal lain dalam UU ITE yang terkait dengan pencemaran nama baik dan memiliki sanksi pidana dan denda yang lebih berat lagi, perhatikan pasal 36 UU ITE. Pasal 36 UU ITE “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 sampai Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain”.
Misalnya, seseorang yang menyebarluaskan informasi elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain akan dikenakan sanksi pidana penjara maksimum 12 tahun dan/atau denda maksimum 12 milyar rupiah (dinyatakan dalam Pasal 51 ayat 2).
Pasal 51 ayat (2) UU ITE “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah)”.
Gunakan Internet dengan bijak, jangan merugikan orang lain untuk kepentingan pribadi.

PEMALSUAN SURAT (PASAL 263 KUHP) PEMALSUAN SURAT (PASAL 263 KUHP)


PEMALSUAN SURAT (PASAL 263 KUHP)
PEMALSUAN SURAT (PASAL 263 KUHP)
(H. Adami Chazawi)


Kejahatan pemalsuan surat dibentuk dengan tujuan untuk melindungi kepentingan hukum publik perihal kepercayaan terhadap kebenaran atas isi 4 macam objek surat, ialah surat yang menimbulkan suatu hak; surat yang menerbitkan suatu perikatan; surat yang menimbulkan pembebasan utang dan surat yang dibuat untuk membuktikan suatu hal/keadaan tertentu. Sementara itu perbuatan yang dilarang terhadap 4 macam surat tersebut adalah pebuatan membuat surat palsu (valschelijk opmaaken) dan memalsu (vervalsen).
Perbuatan membuat surat palsu adalah perbuatan membuat sebuah surat yang sebelumnya tidak ada/belum ada, yang sebagian atau seluruh isinya palsu. Surat yang dihasilkan dari perbuatan ini disebut dengan surat palsu. Sementara perbuatan memalsu, adalah segala wujud perbuatan apapun yang ditujukan pada sebuah surat yang sudah ada, dengan cara menghapus, mengubah atau mengganti salah satu isinya surat sehingga berbeda dengan surat semula. Surat ini disebut dengan surat yang dipalsu.
Dua unsur perbuatan dan 4 unsur objek pemalsuan surat tersebut, bersifat alternatif. Harus dibuktikan salah satu wujud perbuatannya dan salah satu objek suratnya. Membuktikannya ialah melalui dan menggunakan hukum pembuktian dengan menggunakan minimal dua alat bukti yang sah sebagaimana dalam Pasal 183 jo 184 KUHAP.
Perbuatan membuat surat, adalah melakukan suatu perbuatan dengan cara apapun mengenai sebuah surat misalnya KTP, sehingga menghasilkan sebuah KTP. Hal-hal yang harus dibuktikan mengenai perbuatan membuat ini antara lain, adalah wujud apa termasuk bagaimana caranya dari perbuatan membuat (misalnya menggunakan mesin cetak/ketik dsb), dan siapa yang melakukan wujud tersebut, berikut kapan (temposnya) dan dimana (lokusnya) - semuanya harus jelas, artinya dapat dibuktikan. Tidak cukup adanya fakta kedapatan pada seseorang, atau digunakan sebagai bukti identitas menginap di sebuah hotel. Dalam Hukum pembuktian tidak mengenal dan tidak tunduk pada anggapan, melainkan harus dibuktikan sekutidak-tidaknya memenuhi syarat minimal pembuktian. Hukum pembuktian dibuat untuk menjamin kepastian hukum dan keadilan, dan untuk menghindari kesewenang-wenangan hakim.
Pasal 183 KUHAP tentang syarat minimal pembuktian, menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjatuhkan pidana, ialah syarat subjektif yang dilandasi syarat objektif. Harus ada keyakinan hakim yang dibentuk berdasarkan minimal dua alat bukti yang syah. Tiga keyakinan hakim yang dibentuk atas dasar (objektif) minmal 2 alat bukti yang syah tersebut, ialah hakim yakin tindak pidana terjadi, hakim yakin terdakwa melakukannya dan hakim yakin terdakwa bersalah.
Oleh karena itu tidak cukup untuk membentuk keyakinan dari sekedar fakta bahwa, misalnya sebuah KTP yang diduga palsu kedapatan pada seseorang, atau fakta ada orang lain yang menyerahkannya ke petugas hotel dalam hal memesan kamar untuk orang lain. Fakta yang seperti ini hanya sekedar dapat dipakai sebagai bahan untuk membentuk alat bukti petunjuk saja. Dan tidak membuktikan sebagai pembuatnya.
Lebih-lebih lagi, untuk terbitnya sebuah KTP selalu melalui prosedur baku yang tidak mungkin dibuat oleh satu orang. Di dalam sebuah KTP harus dibuktikan dan jelas, tulisan apanya yang palsu? Bisa terjadi tanda tangan Camat asli, tapi namnya yang fiktif. Dalam kasus seperti ini tidak mudah menentukan siapa sesungguhnya si pembuat? Apakah Camat atau orang-orang lain?
Menggunakan sebuah surat adalah melakukan perbuatan bagaimanapun wujudnya atas sebuah surat dengan menyerahkan, menunjukkan, mengirimkannya pada orang lain yang orang lain itu kemudian dengan surat itu mengetahui isinya.
Ada 2 syarat adanya “seolah-olah surat asli dan tidak dipalsu” dalam Pasal 263 (1) atau (2), ialah: (pertama) perkiraan adanya orang yang terpedaya terhadap surat itu, dan (kedua) surat itu dibuat memang untuk memperdaya orang lain.
Arti dapat merugikan menurut Ayat (1) maupun ayat (2) Pasal 263. Istilah “dapat” adalah perkiraan yang dapat dipikirkan oleh orang yang normal. Namun perkiraan itu harus didasarkan pada keadaan yang pasti, yang jelas dan tertentu. Jika keadaan atau hal-hal tersebut benar-benar ada, maka kerugian itu bisa terjadi. Contoh, sebuah SIM palsu atau dipalsu atas nama A. Bila A mengemudi dengan menggunakan SIM palsu dapat merugikan pengguna jalan dengan alasan keadaan yang harus dibuktikan ialah ybs tidak mampu mengemudi dengan baik. Jelas dan tertentu, ialah bagi pengguna jalan, bukan semua orang. Namun jika keadaan itu tidak ada, misalnya pekerjaan A yang digelutinya bertahaun-tahun adalah mengemudi, maka perbuatan mengemudikan kendaraan itu tidak dapat merugikan pengguna jalan lainnya, karena kemahiran mengemudi sudah dikuasainya. Maka alasan merugikan pengguna jalan tidak bisa digunakan.
Ada perbedaan perihal “dapat merugikan” menurut ayat (1) dan menurut ayat (2). Perbedaannya, ialah surat palsu atau dipalsu menurut ayat (1) belum digunakan, sementara ayat (2) surat sudah digunakan. Oleh karena menurut ayat (2) surat sudah digunakan, maka hal kerugian menurut Ayat (2) harus jelas dan pasti perihal pihak mana yang dirugikan dan kerugian berupa apa yang akan didertia oleh orang/pihak tertentu tersebut. Ada 2 pihak yang dapat menderita kerugian, ialah: (1) Pihak/orang yang namanya disebutkan di dalam surat palsu tersebut, atau (2) Pihak/orang – siapa surat itu pada kenyataaannya digunakan. Namun harus jelas bahwa perkiraan kerugian ini adalah akibat langsung dari penggunaannnya. Artinya tanpa menggunakan surat palsu/dipalsu, kerugian itu tidak mungkin terjadi. Dalam hal KTP yang namanya fiktif, maka tidak mungkin dapat menimbulkan kerugian bagi nama yang fiktif. Dalam hal petugas hotel yang menerima KTP palsu untuk dicatat identitasnya, juga tidak mungkin dapat menderita kerugian – termasuk hotelnya, apabila semua persyaratan dan beaya-beaya yang ditentukan telah dipenuhi.
Jadi identitas KTP palsu tidak mungkin berakibat kerugian hotel, selama yang menginap memenuhi prosedur dan syarat-syarat yang ditetapkan hotel. Sebabnya ialah pembayaran hotel dengan cara apapun tidak dipengaruhi oleh penggunaan KTP tersebut, melainkan didasarkan pada perhitungan dan pertimbangan seseorang yang menginap dengan harus membayar sesuai dengan syarat dan prosedur yang ditetapkan hotel. Siapapun yang membayarkannya tidak menjadi masalah. Dalam hal ini tidak ada hubungan antara digunakannya KTP tersebut dengan perhitungan pembayaran jasa hotel?

Prosedur Permohonan Pernyataan Pailit Pada Pengadilan Niaga


Prosedur Permohonan Pernyataan Pailit Pada Pengadilan Niaga

Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, prosedur permohonan Pailit adalah sebagai berikut:
  1. Permohonan pernyataan pailit diajukan kepada Ketua Pengadilan melalui Panitera. (Pasal 6 ayat 2).
  2. Panitera menyampaikan permohonan pernyataan pailit kepada Ketua Pengadilan paling lambat 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan. Dalam jangka waktu 3 (tiga) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan, pengadilan menetapkan hari sidang.
  3. Sidang pemeriksaan dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan (pasal 6).
  4. Pengadilan wajib memanggil Debitor jika permohonan pailit diajukan oleh Kreditor, Kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal atau Menteri Keuangan (Pasal 8).
  5. Pengadilan dapat memanggil Kreditor jika pernyataan pailit diajukan oleh Debitor dan terdapat keraguan bahwa persyaratan pailit telah dipenuhi (Pasal 8).
  6. Pemanggilan tersebut dilakukan oleh juru sita dengan surat kilat tercatat paling lama 7 hari sebelum persidangan pertama diselenggarakan (Pasal 8 ayat 2).
  7. Putusan Pengadilan atas permohonan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta terbukti bahwa persyaratan pailit telah terpenuhi dan putusan tersebut harus diucapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah didaftarkan (Pasal 8).
  8. Putusan atas permohonan pernyataan pailit tersebut harus memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut berikut pendapat dari majelis hakim dan harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum dan dapat dilaksanakan terlebih dahulu, sekalipun terhadap putusan tersebut ada upaya hukum (Pasal 8 ayat 7).

perlindungan konsumen menurut undang-undang No. 5 Tahun 1986


BAB I
Latar Belakang
Pasal 1
Dalam undang – undang ini yng dimaksud dengan :
Perlindungan Konsumen
Adalah segala upaya yang menjamin adanya ketidakpastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
Konsumen
Adalah setiap pemakai barang/jasa yang tersedia dalam masyarakat baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan diperdagangkan.
Pelaku Usaha
Adalah setiap orang atau perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
Barang
Adalah kegiatan pengenalan atau penyebarluasan informasi suatu barang dan jasa untuk menarik minat beli konsuemn terhadap barang / jasa yang akan diperdagangkan.
Jasa
Adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.
Promosi
Adalah kegiatan pengenalan atau penyebarluasan informasi suatu barang dan jasa untuk menarik minat beli konsumen terhadap barang/jasa yang akan dan sedang diperdagangkan.
Import Barang
Adalah kegiatan memasukan barang kedalam daerah pabean.
Import Jasa
Kegiatan peyediaan jasa asing untuk digunakan didalam wilayah Republik Indonesia.
Lemabaga Pelindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSW)
Adalah lembaga non pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen.
Badan perlindungan konsumen (BPKN)
Adalah badan yang dibentuk untuk membantu upaya pengembangan perlindungan konsumen.
Badan penyelesaian sengketa konsumen
Adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku dan konsumen.
BAB II
Asal dan Tujuan
Pasal 2
Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.
Pasal 3
Perlindungan konsumen bertujuan :
1.  Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

2.  Mengangkat harkat dan martabat masyarakat dengan cara menghindarkannya dari akses negative pemakaian barang atau jasa;

3.  Meningkatkan permendayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak hukum sebagai konsumen;

4.  menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastia hukum dan keterbukaaninformasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

5.  menunbuhkan kesadaran pelaku mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab.

6.  Meningkatkan kualitas barang/jasa yang menjamin kelangsunganusaha produksi barang/jasa, kesehatan, kenyamanan, dan keselamatan konsumen.





BAB III

Pasal 4

Hak dan kewajiban konsumen adalah :

1.  Hak atas kenyamanan, keamanan, keselamatan dalam mengkonsumsi barang/jasa

2.  Hak untuk memilih barang/jasa serta mendapatkan barang/jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi yang diperjanikan.

3.  Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa

4.  Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang/jasa yang digunakan;

5.  Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

6.  Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;

7.  Hak untuk diperlakukan dan dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

8.  Hak untuk mendapatkan konpensasi, ganti rugi atau penggantian, apabila barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

9.  Hak – hak yang diatur dan ditentukan perundang – undangan lainnya.

Pasal 5
Kewajiban konsumen adalah :
1.  Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang/jasa, demi keamanan dan keselamatan;
2.  Beriktikad baik dalam transaksi dalam pembelian barang/jasa;
3.  Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
4.  Mengikuti upaya penyelesian hukum sengketa perlindungan konsumen.
Pasal 6
Hak dan kewajiban pelaku usaha adalah :
1.  Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang/jasa yang diperdagangkan;
2.  Hak mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beriktikad tidak baik;
3.  Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya didalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
4.  Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa konsumen tidak diakibatkan oleh barang/jasa yang diperdagangkan;
5.  Hak – hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya.
Pasal 7
Kewajiban pelaku usaha adalah :
1.  Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
2.  Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
3.  Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
4.  Menjamin mutu barang/jasa yang diproduksikan dan diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang/jasa yang berlaku;
5.  Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan mencoba barang/jasa tertentu serta memberi jaminan dan garansi atas barang yang dibuat atau yang diperdagangkan.
6.  Memberi kompensasi, ganti rugi dan penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang/jasa yang diperdagangan.
7.  Memberikan kompensasi, ganti rugi atau penggantian apabila barang/jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
BAB IV
Perbuatan yang dilarang bagi Pelaku Usaha
Pasal 8
1.  Pelaku usaha dilarang memproduksi/memperdagangkan barang/jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang – undangan.
2.  Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto dan jumlah dalam perhitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barabg tersebut.
3.  Tidak sesuia dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah  

Dasar Hukum Perlindungan konsumen
Hukum perlindungan konsumen yang berlaku di Indonesia memiliki dasar hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dengan adanya dasar hukum yang pasti, perlindungan terhadap hak-hak konsumen bisa dilakukan dengan penuh optimisme. Hukum Perlindungan Konsumen merupakan cabang dari Hukum Ekonomi. Alasannya, permasalahan yang diatur dalam hukum konsumen berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan barang / jasa. Pada tanggal 30 Maret 1999, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perlindungan konsumen untuk disahkan oleh pemerintah setelah selama 20 tahun diperjuangkan. RUU ini sendiri baru disahkan oleh pemerintah pada tanggal 20 april 1999.

Di Indonesia, dasar hukum yang menjadikan seorang konsumen dapat mengajukan perlindungan adalah:
  • Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27 , dan Pasal 33.
  • Undang Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia No. 3821
  • Undang Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat.
  • Undang Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesian Sengketa
  • Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen
  • Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001 Tentang Penangan pengaduan konsumen yang ditujukan kepada Seluruh dinas Indag Prop/Kab/Kota
  • Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795 /DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen
Dengan diundang-undangkannya masalah perlindungan konsumen, dimungkinkan dilakukannya pembuktian terbalik jika terjadi sengketa antara konsumen dan pelaku usaha. Konsumen yang merasa haknya dilanggar bisa mengadukan dan memproses perkaranya secara hukum di badan penyelesaian sengketa konsumen (BPSK).
Dasar hukum tersebut bisa menjadi landasan hukum yang sah dalam soal pengaturan perlindungan konsumen. Di samping UU Perlindungan Konsumen, masih terdapat sejumlah perangkat hukum lain yang juga bisa dijadikan sebagai sumber atau dasar hukum sebagai berikut :
·         Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
·         Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan
Konsumen.
·         Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.
·          Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta Kota Surabaya, Kota Malang, dan Kota Makassar.
·         Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 302/MPP/KEP/10/2001 tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.
·          Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 605/MPP/KEP/8/2002 tentang Pengangkatan Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada Pemerintah Kota Makassar, Kota Palembang, Kota Surabaya, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, dan Kota Medan.
Berdasarkan UU no.8 Pasal 1 Butir 1 Tahun 1999, tentang perlindungan konsumen  disebutkan bahwa “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”. Kepastian hukum untuk melindungi hak-hak konsumen, yang diperkuat melalui undang-undang khusus, memberikan harapan agar pelaku usaha tidak lagi sewenang-wenang yang selalu merugikan konsumen.Dengan adanya UU Perlindungan Konsumen beserta perangkat hukum lainnya, konsumen memiliki hak dan posisi yang berimbang, dan mereka pun bisa menggugat atau menuntut jika ternyata hak-haknya telah dirugikan atau dilanggar oleh pelaku usaha.
Perlindungan konsumen yang dijamin oleh undang-undang ini adalah adanya kepastian hukum terhadap segala perolehan kebutuhan konsumen, yang bermula dari ”benih hidup dalam rahim ibu sampai dengan tempat pemakaman dan segala kebutuhan diantara keduanya”. Kepastian hukum itu meliputi segala upaya berdasarkab atas hukum untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen.