Kamis, 18 Juli 2013

Ketika Istri Tak Lagi Mencintai Suaminya

Terima kasih atas pertanyaan Anda.
 
Kami turut prihatin terhadap masalah yang sedang dihadapi oleh teman Anda. Perceraian hendaknya menjadi pilihan terakhir bagi pasangan suami istri setelah semua upaya telah ditempuh untuk menjaga keutuhan rumah tangga.
 
Sebelum menjawab pertanyaan Anda, penting halnya jika kita terlebih dahulu menyimak bunyi Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”):
“Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.”
 
Lebih lanjut, dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan dikatakan bahwa alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah:
1.    salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
2.    salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemauannya
3.    salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung
4.    salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain
5.    salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri
6.    antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga
 
Selain alasan-alasan tersebut, bagi pasangan suami istri yang beragama Islam juga berlaku ketentuan dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam (“KHI”)yang mengatur dua alasan perceraian yang tidak diatur dalam UU Perkawinan yaitu:  
1.    Suami melanggar taklik talak
2.    Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga
 
Di dalam cerita disebutkan bahwa teman Anda sudah menikah selama dua tahun, namun ingin bercerai karena sudah tidak cinta lagi dengan suaminya. Juga dikatakan, sang suami tidak lalai dalam tugasnya sebagai suami. Jika merujuk pada alasan dari segi UU Perkawinan dan KHI yang telah kami sebutkan di atas, makaalasan karena sudah tidak cinta tidak dapat dijadikan dasar untuk perceraian. Oleh karena itu, tidak ada cukup alasan bagi teman Anda untuk menggugat cerai suaminya.
 
Selanjutnya, kami akan membahas mengenai alasan tidak cinta lagi sebagai dasar perceraian ini jika dilihat dari segi hukum Islam. Apabila teman Anda dan suami beragama Islam, maka ada syariat Islam yang juga perlu dicermati terkait hal ini.
 
Mengutip pada sebuah artikel yang menurut kami relevan dengan pertanyaan Anda ini berjudul Bila Isteri Menuntut Cerai, Bolehkah Suami-Isteri Bersatu Kembali? yang kami akses dari laman mediasilaturahim.com, dikatakan: 
 
“… tujuan utama pernikahan adalah membina rumah tangga yang sakinah, penuh mawaddah (cinta) dan rahmah (kasih sayang). Dari sini, maka bila salah satu pihak (suami atau isteri) sudah merasa tidak nyaman, maka ia boleh memutuskan untuk tidak meneruskan perjalanan bahtera rumah tangganya. Bila isteri yang sudah merasa tidak nyaman, maka dia boleh melakukan khulu’, yaitu menebus dirinya dari kekuasaan suami dengan menyerahkan sejumlah harta kepadanya. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan kemudharatan yang akan menimpa wanita, baik karena sikap suaminya yang tidak baik (zhalim) maupun karena dia tidak bisa lagi tinggal bersama orang yang tidak dicintainya.”
 
Selain bersumber pada tulisan di atas, sumber lain yang menurut kami juga relevan terkait khulu’ ini adalah tulisan berjudul Talak Bagian 4 (Sebab Talak: Khulu’) yang kami dapat dari laman muslimah.or.id. Tulisan tersebut menerangkan bahwa khulu’ diambil dari ungkapan خلعالثوب yang artinya melepas baju, karena secara kiasan, istri adalah pakaian suami. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala:
 “Mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.” (Q.S. Al-Baqarah: 187)
Kembali kepada penjelasan dalam tulisan Bila Isteri Menuntut Cerai, Bolehkah Suami-Isteri Bersatu Kembali?, lebih lanjut dijelaskan bahwa karena pernikahan merupakan ikatan suci yang bertujuan untuk membentuk keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah, Islam agak sedikit menutup kemungkinan cara khulu’ ini. Artinya, Islam berusaha agar hal seperti itu tidak terjadi. Jika memang harus terjadi, maka hal itu dibolehkan. Tentunya berdasarkan pertimbangan adanya kemashlahatan (kebaikan) bagi kedua belah pihak. Hal ini dimaksudkan agar wanita tidak menggunakan fasilitas khulu’ ini semaunya tanpa ada pertimbangan kemashlahatan. Demikian pula dengan hakim, dia tidak boleh mengabulkan permohonan khulu’ begitu saja tanpa ada pertimbangan kemashlahatan dan sebelum berusaha untuk menyatukan kembali suami istri yang akan bercerai.
 
Kemudian, kami akan menjelaskan khulu’ dari segi teknis dalam praktik. Kami merujuk pada sebuah tulisan berjudul Spesifikasi Putusnya Perkawinan Karena Perceraian (Upaya Modifikasi Penerapan Hukum Putusnya Perkawinan karena Perceraian di Pengadilan Agama) yang dibuat oleh Erfani, S.HI. yangkami akses dari laman resmi Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI. Erfani berpendapat bahwa ketika perceraian/putusnya perkawinan itu diajukan dari dan oleh istri dengan sebab bersumber dari istri atau juga dari suami, maka perceraian/putusnya perkawinan itu merupakan fasakh (fasakh: putusnya perkawinan oleh hakim). Salah satu jenis putusnya perkawinan ini adalah talak khulu’. Kasus perceraian yang dapat diterapkan lembaga talak jenis khuluk ini adalah ketika sebuah perceraian itu merupakan kehendak istri, sementara perceraian yang dikehendaki oleh isteri itu lebih kepada situasi isteri yang sudahtidak lagi menyukai (karahiyah) dan tidak lagi mencintai suaminya. Hal ini karena mempertahankan rumah tangga sementara rasa cinta itu hanya sepihak saja akan menimbulkan banyak dampak negatif bagi keduanya, sehingga perceraian harus menjadi jalan keluar meskipun pada dasarnya suami tidak menghendaki itu.
 
Jadi, dalam praktiknya alasan perceraian atas dasar karena sudah tidak cinta lagi ini memang terjadi di masyarakat dan seorang istri yang tidak cinta lagi kepada suaminya dapat memohon kepada suaminya untuk menjatuhkan talak kepadanya yang dinamakan talak khulu’ yang mana pengadilan agama memfasilitasinya melalui lembaga khulu’.
 
Dengan demikian, berpedoman pada ulasan mengenai khulu’ dari beberapa tautan yang kami berikan di atas, dapat disimpulkan bahwa jika dilihat dari alasan-alasan perceraian yang disebut dalam UU Perkawinan dan KHI, teman Anda tidak dapat menggugat cerai suaminya oleh karena alasan tidak cinta lagi tidak dapat dijadikan dasar untuk perceraian. Akan tetapi, jika dilihat dari segi hukum Islam dan dalam praktik, permintaan istri kepada suami untuk menjatuhkan talak kepadanya karena alasan tidak cinta lagi boleh/dimungkinkan untuk dilakukan, namun hakim yang mengabulkan permohonan talak jenis ini harus berdasarkan pertimbangan adanya kemashlahatan (kebaikan) bagi suami dan istri.
 
Namun bagaimanapun juga, menurut hemat kami, perceraian haruslah sebaik mungkin dihindari. Kami berharap teman Anda dapat menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan tanpa harus melalui jalan perceraian.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1.    Al-Qur’an
3.  Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam
 
Referensi:
Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI, diakses pada 9 Juli 2013 pukul 14.44 WIB
http://muslimah.or.id/fikih/talak-bagian-4-sebab-talak-khulu.html, diakses pada 11 Juli 2013 pukul 10.05 WIB

Rabu, 10 Juli 2013

Terganggu Tetangga yang Sering Berkaraoke

Terima kasih atas pertanyaan yang telah disampaikan. Sebelumnya harus diperjelas terlebih dahulu yang Anda maksud mengenai tetangga Anda yang sering sekali mengucapkan kalimat sindiran yang berupa ejekan. Jika ejekan dalam hal ini hanya sebatas sindiran biasa, secara hukum tidak terdapat satupun peraturan yang mengaturnya. Namun, jika ejekan tersebut berupa pencemaran nama baik, jelas hal tersebut dapat dikenakan pidana bagi tetangga Anda sebagaimana diatur dalam Pasal 310 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berbunyi:
“Barangsiapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang, dengan menuduh sesuatu hal, yang maksud terang supaya hal itu diketahui umum, diancam, karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.”
 
Jika perbuatan tetangga Anda sesuai dengan ketentuan pasal di atas, maka tetangga Anda tersebut dapat dikenakan ancaman pidana dengan tuduhan pencemaran nama baik.
 
Selanjutnya, untuk pertanyaan yang kedua mengenai ancaman pidana terkait seseorang yang sering berkaraoke dengan volume suara yang sangat mengganggu (besar) bagi seorang bayi berusia 5 bulan, secara hukum pidana orang tersebut tidak dapat dikenakan pidana. Namun, secara perdata orang tersebut dapat dikenakan perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan:
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian.”
 
Dalam hal ini, harus kembali dilihat, apakah perbuatan orang tersebut sampai menimbulkan kerugian bagi Anda. Misalnya, karena orang tersebut memasang volume yang cukup besar, sehingga mengakibatkan Anda ataupun anggota keluarga Anda mengalami gangguan pendengaran. Jika hal tersebut terjadi, maka orang tersebut dapat digugat secara perdata.
 
Demikian yang dapat kami sampaikan. Kiranya dapat menjadi bahan pertimbangan bagi Anda untuk mengambil langkah hukum selanjutnya.
 
Dasar Hukum:
 

Senin, 08 Juli 2013

Penertian Jaminan dan Hukum Jaminan
Jaminan adalah suatu yang diberikan kepada kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan.
Hukum Jaminan adalah keseluruhan dari kaidah – kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk mendapatkan  fasilitas/kredit.

Azas hukum jaminan :
  1. asas publicitet : asas bahwa semua hak, baik hak tanggungan, hak fidusia, dan hipotik harus didaftarkan.
  2. asas specialitet : bahwa hak tanggungan, hak fidusia, dan hak hipotik  hanya dapat dibebankan atas percil atau atas barang – barang yang sudah terdaftar atas nama orang tertentu.
  3. asas tak dapat dibagi – bagi : asas dapat dibaginya hutang tidak dapat mengakibatkan dapat dibaginya hak tanggungan, hak fidusia, hipotik,dan hak gadai walaupun telah dilakukan pembayaran sebagian.
  4. asas inbezittstelling yaitu barang jaminan ( gadai ) harus berada pada penerima gadai.
  5. asas horizontal yaitu bangunan dan tanah bukan merupakan satu kesatuan.

Jaminan ada 2 (dua) yaitu :
  1. Jaminan umum yaitu jaminan dari pihak debitur yang terjadi atau timbul dari undang-undang, yaitu bahwa setiap barang bergerak ataupun tidak bergerak milik debitur menjadi tanggungan utangnya kepada kreditur. Maka apabila debitur wanprestasi maka kreditur dapat meminta pengadilan untuk menyita dan melelang seluruh harta debitur.
  2. Jaminan khusus yaitu bahwa setiap jaminan utang yang bersifat kontraktual, yaitu yang terbit dari perjanjian tertentu, baik yang khusus ditujukan terhadap benda-benda tertentu maupun orang tertentu.

Orang lebih memilih Jaminan Khusus karena :
  1. Eksekusi benda jaminannya lebih mudah, sederhana dan cepat jika debitur melakukan wanprestasi
  2. Kreditur jaminan khusus didahulukan dibanding kereditur jaminan umum dalam pemenuhan piutangnya. 

Jaminan Khusus ada 2 (dua) yaitu :
  1. Jaminan kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda, mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu debitur, dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya (droit de suite) dan dapat di peralihkan (contoh : Hipotik, gadai dll).
  2. Jaminan immaterial (perorangan) adalah jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu, terhadap harta kekayaan debitur umumnya (Contoh borgtocht)

Jaminan Kebendaan ada 2 (dua) yaitu :
  1. Benda Bergerak, lembaga jaminannya adalah : Gadai, Fidusia
  2. Benda Tidak Bergerak lembaga jaminannya : Hypotik dan hak tanggungan

Perjanjian kebendaan dapat dibedakan menjadi 2 macam yaitu :
  1. Perjanjian Pokok adalah Perjanjian antara debitur dan kreditur yang berdiri sendiri tanpa bergantung pada adanya perjanjianContoh : perjanjian kredit bank
  2. Perjanjian tambahan (accesoir) adalah Perjanjian antara debitur dan kreditur yang diadakan sebagai perjanjian tambahan dari pada perjanjian PokokContoh : perjanjian pembebanan jaminan, seperti perjanjian gadai, tanggungan dan fidusia.

Perjanjian Jaminan disebut juga perjanjian tambahan karena timbulnya perjanjian jaminan sendiri akibat dari adanya perjanjian kredit, yang mana perjanjian kredit sendiri adalah perjanjian pokok yang akibat dari perjanjian tersebut menimbulkan perjanjian baru yaitu perjanjian jaminan yang mana merupakan perjanjian tambahan dari perjanjian pokok.
eksistensi perjanjian tambahan terhadap perjanjian pokok tergantung dari perjanjian pokoknya, sedangkan eksistensi perjanjian pokok terhadap perjanjian tambahan tidak tergantung dari perjanjian tambahan dan mandiri.

GADAI
Definisi dari Gadai berdasarkan Pasal 1150 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerd):
Gadai adalah suatu hak yang diperoleh kreditor (si berpiutang) atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh debitur (si berutang), atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada kreditor itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada kreditur-kreditur lainnya, dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.

Hak penerima gadai  :
  1. menerima angsuran pokok pinjaman dan bunga sesuai dgn jangka waktu yg ditentukan;
  2. menjual barang gadai, jika pemberi gadai tidak memenuhi kewajibannya setelah lampau waktu atau setelah dilakukan peringatan untuk pemenuhan janjinya.

Kewajiban penerima gadai diatur dalam pasal 1154, 1156, d    an 1157 KUH Perd.:
  1. menjaga barang yang digadaikan sebaik–baiknya;
  2. tidak diperkenalkan mengalihkan barang yang digadaikan menjadi miliknya, walaupun pemberigadai wanprestasi (Pasal 1154 KUH Perd.);
  3. memberitahukan kepada pemberi gadai tentang pemindahan barang–barang gadai (Pasal 1156 KUH Perd.);
  4. bertanggung jawab atas kerugian atau susutnya barang gadai, sejauh hal itu terjadi akibat kelalaiannya (Pasal 1157 KUH Perd.).

Hak pemberi gadai :
  1. menerima uang gadai dari penerima gadai;
  2. berhak atas barang gadai, apabila hutang pokok, bunga dan biaya lainnya telah dilunasinya;
  3. berhak menuntut kepada pengadilan supaya barang gadai dijual untuk melunasi hutang–hutangnya(Pasal 1156 KUH Perd.).

Kewajiban pemberi gadai :
  1. menyerahkan barang gadai kepada penerima gadai;
  2. membayar pokok dan sewa modal kepada penerima gadai;
  3. membayar biaya yang dikeluarkan oleh penerima gadai untuk menyelamatkan barang–barang gadai (Pasal 1157 KUH Perd.).

Cara–Cara Hapusnya Gadai

Menurut pasal 1152 BW :
  1. barang gadai itu hapus dari kekuasaan pemegang gadai;
  2. hilangnya barang gadai atau dilepaskan dari kekuasaan penerima gadai surat bukti kredit.

Menurut ari hutagalung :
  1. hapusnya perjanjian pokok yang dijamin dengan gadai;
  2. terlepasnya benda gadai dari kekuatan penerima gadai;
  3. musnahnya barang gadai;
  4. dilepaskan benda gadai secara sukarela;
  5. percampuran ( penerima gadai ).

Penyebabkan terjadinya pelelangan jaminan karena nasabah tidak memenuhi kewajibannya untuk membayar utang-utangnya, dan ini disebabkan faktor-faktor sbb::
  1. kondisi ekonomi nasabah yang rendah;
  2. kemauan debitor untuk membayar hutangnya sangat rendah;
  3. nilai jaminan lebih kecil dari jumlah hutang pokok dan bunga;
  4. usaha nasabah bangkrut;
  5. kredit yang diteriman nasabah disalahgunakan;
  6. manajemen usaha nasabah sangat lemah;
  7. pembinaan kreditor terhadap nasabah sangat kurang.

FIDUSIA
Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.
Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan
benda tidak bergerak khususnya Bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimanadimaksud dalam UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada di dalam penguasaanPemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan uang tertentu, yang memberikan kedudukan yangdiutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya.
Benda/barang tidak bergerak dapat dijadikan jaminan  fidusiakan, diserahkan hak miliknya, benda yang tidak bergerak yang dapat dijadikan jaminan fidusia adalah bangunan yang tidak dibebani dengan hak tanggungan (Rumah susun ).
Penerima jaminan fidusia tidak boleh membeli/memiliki benda jaminan fidusia, karena dikhawatirkan apabila penerima jaminan fidusia yang membeli barang jaminan maka sipenerima fidusia akan menaksir harga barang jaminan tidak sesuai dengan harga barang tersebut karena posisi debitur lemah.

Benda yang dibebani jaminan fidusia wajib didaftarkan, karena :
  1. Untuk memberikan kepastian hukum pada pihak yang berkepentingan;
  2. Memberikan hak yang didahulukan ( freferen ) Kepada penerima fidusia terhadap kreditur lain;
  3. Untuk memenuhi asas publisitas / publicitet, supaya pihak ketiga dapat mengetahui bahwa benda jaminan tersebut sedang dilakukan pembebanan jaminan.

HAK TANGGUNGAN
Pengertian Hak Tanggungan menurut UU No. 4 Tahun 1996
Hak Tanggungan menurut UU No. 4 Tahun 1996 adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam undang–undang nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan pokok–pokok agrarian, berikut atau tidak berikut benda–benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor–kreditor lain.

Perbedaan objek Hak Tanggungan dan Hypotek :
Objek hak tanggungan adalah hak atas tanah dam neliputi benda yang melekat dengan tanah yang meliputi hak milik, HGU, HGB, hak pakai baik hak milik maupun hak atas Negara dan hak atas tanah berikut bangunan , tanaman, hasil karya  yang merupakan satu kesatuan dengan tanah
Sedangkan objek hipotik hak atas tanah, meliputi hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunansaja tetapi semenjak berlakunya UU No. 4 Tahun1996 tentang hak tanggungan . maka hak hipotik atas tanah tidak berlaku lagi.

JAMINAN HYPOTEK

Pengertian Hypotek menurut pasal 1162 BW,
Hipotik adalah suatu hak kebendaan atas benda–benda tak bergerak, untuk mengambil pengantian daripadanya bagi pelunasan bagi suatu perikatan.

Pengertian Hypotek menurut Vollmar,
Hipotik adalah sebuah hak kebendaan atas benda–benda tak bergerak tidak bermaksud memberikan orang yang berhak (memegang hipotik) sesuatu nikmat dari suatu benda, tetapi ia bermaksud memberikan jaminan belaka bagi pelunasan sebuah hutang dengan dilebih dahulukan.

JAMINAN PERORANGAN
Jaminan immaterial (perorangan) adalah jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu, terhadap harta kekayaan debitur umumnya (menurut Sri Soedewu Masjhoen Sofwan).
Jaminan perorangan adalah suatu perjanjian antara seorang berpiutang (kreditur) dengan seorang ketiga, yang menjamin dipenuhinya kewajiban si berhutang (debitur). Ia bahkan dapat diadakan diluar (tanpa) siberhutang tersebut. (menurut Subekti)

Unsur jaminan perorangan :
  1. Mempunyai hubungan langsung pada orang tertentu
  2. Hanya dapat dipertahankan pada debitur tertentu
  3. Terhadap harta kekayaan debitur umumnya.

Para pihak dalam perjanjian penangungan hutang adalah :
  1. Debitur adalah orang yang mendapat pinjaman uang / kredit dari kreditur
  2. Kreditur adalah orang yang meminjamkan uang pada debitur
  3. Pihak ketiga adalah orang yang akan manjadi penanggung utang debitur kepada kreditur apabila debitur tidak memenuhi prestasinya (wanprestasi)

Garansi bank adalah jaminan dalam bentuk warkat yang diterbitkan oleh bank atau oleh lembaga keuangan non bank yang mengakibatkan kewajiban membayar terhadap pihak yang menerima jaminan apabila pihak penerima jaminan cidera janji.

Sumber Sumber Hukum Acara Pidana Indonesia

Sumber Sumber Hukum Acara Pidana Indonesia

  1. UUD 1945 dalam Pasal 24 ayat (1) “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang”, dan Ayat (2) “Susunan dan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang”. Dalam Pasal 25 menyatakan “Syarat-syarat untuk menjadi dan diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang”, dalam penjelasan Pasal Pasal 24 dan 25 dijelaskan “Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu harus diaadakan jaminan dalam undang-undang kedudukanya para hakim”. Dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 “Segala lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan UUD dan belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini”.
  2. Kitap Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Atau Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. Peraturan yang menjadi dasar sebelum berlakunya Undang-Undang ini adalah Herzien Inlandsch Reglement (HIR) atau Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB) (Staadsblad Tahun 1941 Nomor 44) yang berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951.Dengan berlakunya KUHAP maka untuk pertama kalinya di Indonesia di adakan kodifikasi dan unifikasi yang lengkap dalam arti meliputi seluruh proses pidana dari awal (mencari kebenarasn) sampai pada kasasi di Mahkamah Agung, bahkan sampai (herziening).
  3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 2 /1986 Tentang Peradilan Umum jo. Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 2/1986 Tentang Peradilan Umum.
  4. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung jo. Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung jo. perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009.
  5. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, pada saat Undang-Undang ini berlaku, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
  6. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang mulai berlaku sejak diundangkan tanggal 5 April 2003.
  7. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
  8. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
  9. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Pokok Perbangkan, khususnya Pasal 37 jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
  10. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang – Undang ini mengatur acara pidana khusus untuk delik korupsi. Kaitannya dengan KUHAP ialah dalam Pasal 284 KUHAP. Undang - Undang tersebut dirubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
  11. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1970 Tentang Tata Cara Tindakan Kepolisian terhadap anggota MPRS dan DPR Gotong Royong. Undang-Undang ini masih berlaku dan kata MPRS seharusnya dibaca MPR, sedangkan DPR seharusnya tanpa Gotong Royong.
  12. Undang-Undang Nomor 5 (PNPS) Tahun 1959 Tentang Wewenang Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung dan memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana tertentu.
  13. Undang –Undang Nomor 7 (drt) Tahun 1955 Tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.
  14. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan KUHAP.
  15. Beberapa Keputusan Presiden yang mengatur tentang acara pidana yaitu :
  • Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1967 Tentang Pemberian Wewenang Kepada Jaksa Agung Melakukan Pengusutan, Pemeriksaan Pendahuluan  Terhadap Mereka Yang Melakukan Tindakan Penyeludupan;
  • Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 228 Tahun 1967 Tentang Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi;
  • Intruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1974 Tentang Tata Cara Tindakan Kepolisian  terhadap Pimpinan/Anggota DPRD Tingkat II dan II;
  • Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Organisasi Polri;
  • Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1991 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia;
  • Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1983 Tentang Tunjangan Hakim
  • Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1983 Tentang Tunjangan Jaksa

Putusan Pengadilan

Putusan Pengadilan
Putusan pengadilan ~ peryataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam uu hukum acara pidana.
Putusan Pengadialan

Macam-macam isi putusan pengadilan (Ps. 191 KUHAP) yaitu:
  1. Putusan bebas dari segala tuduhan hukum.~ putusan pengadilan yang dijatuhkan kepada terdakwa karena dari hasil pemeriksaan sidang kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.
  2. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum.~ putusan yang dijatuhkan kepada terdakwa yang setelah melalui pemeriksaan ternyata menurut pendapat pengadilan, perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindakan pidana.
  3. Putusan yang mengandung pemidanaan.~ putusan yang membebankan suatu pidana kepada terdakwa karena perbuatan yang didakwakan terbukti secara sah dan menyakinkan bahwa terdakwa bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan itu.
__________________
Upaya Hukum
Upaya hukum ~ hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak pidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam uu.

A. Upaya hukum biasa
  • banding ~ hak terdakwa atau penuntut umum untuk “menolak putusan” pengadilan dengan tujuan untuk meminta pemeriksaan ulang oleh pengadilan yang lebih tinggi, serta untuk menguji ketepatan penerapan hukum dari putusan pengadilan tingkat pertama. Memori banding bukan merupakan kewajiban/keharusan bagi pemohon banding untuk membuatnya, karena hanya berupa hak semata, jika tidak disertakan dalam permohonan tidak akan berakibat ditolaknya permohonan banding.
  • kasasi ~ hak yang diberikan kepada terdakwa dan penuntut umum untuk meminta kepada MA agar dilakukan pemeriksaan terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada pengadilan tingkat bawahnya. Memori kasasi bagi pemohon wajib mengajukan atau menyampaikan memori kasasi, tidak memenuhi kasasi ditolak.

B. Upaya Hukum Luar Biasa
  • kasasi demi kepentingan hukum ~ salah satu upaya hukum luar biasa yang diajukan terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari putusan pengadilan selain putusan MA.
  • Peninjauan kemali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap ~ suatu upaya hukum yang dipakai untuk memperoleh penarikan kembali atau perubahan terhadap putusan hakim yang pada umumnya tidak dapat diganggu gugat lagi. Alasan mengajukan upaya hukum peninjauan kembali untuk mendapatkan suatu kepastian hukum guna memberikan kesempatan kepada para pihak dalam suatu perkara untuk mengajukan permohonan agar putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap dapat diperbaiki.
__________________
Praperadilan
Contoh alasan permohonan permintaan praperadilan :
  • Pemanggilan tidak sah.
  • Tidak benar tembusan surat perintah penahanan telah diterimakan kepada keluarganya.

Yang berhak memohonkan permintaan praperadilan :
  • Tersangka, keluarganya, atau kuasa hukumnya.
  • Penyidik atau penuntut umum.
  • Pihak ketiga yang berkepentingan.