Kamis, 04 Juli 2013

Prinsip Koperasi

Prinsip koperasi adalah suatu sistem ide-ide abstrak yang merupakan petunjuk untuk membangun koperasi yang efektif dan tahan lama.[3] Prinsip koperasi terbaru yang dikembangkan International Cooperative Alliance (Federasi koperasi non-pemerintah internasional) adalah
Di Indonesia sendiri telah dibuat UU no. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian. Prinsip koperasi menurut UU no. 25 tahun 1992 adalah:
  • Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka
  • Pengelolaan dilakukan secara demokrasi
  • Pembagian SHU dilakukan secara adil sesuai dengan jasa usaha masing-masing anggota
  • Pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal
  • Kemandirian
  • Pendidikan perkoperasian
  • Kerjasama antar koperasi

peraturan tentang perdagangan terbaru

Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 30/M-DAG/PER/6/2013 Tahun 2013

Anda bisa mendapatkan "Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 30/M-DAG/PER/6/2013 Tahun 2013" dengan cara berlangganan hukumonline terlebih dahulu.

apakah ini cinta

saat ini saya sedang merasakan hati yang berbunga-bungan. bisa berjumpa dengan dia yang sebenarnya biasa saja tetapi kenapa hati ini tertarik melihatnya.... apakah ini cinta .... atau apa ?? akankah ini diberikan hal yang paling menyenangkan 

test

Terima kasih atas pertanyaannya.
 
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sendiri tidak mendefinisikan secara jelas mengenai kejahatan. Adapun KUHP telah mengatur sejumlah delik kejahatan dalam Pasal 104 hingga Pasal 488 KUHP.
 
Sejumlah pakar hukum pidana mendefinisikan kejahatan berdasarkan pemikiran mereka masing-masing, salah satunya adalah R. Soesilo.
 
Definisi “Kejahatan” menurut R.Soesilo dalam bukunya berjudul “Kitab Undang-Undang Hukum. Pidana serta Komentar-Komentar Lengkap Pasal Demi Pasal” (1985, Penerbit Politeia) membedakan pengertian kejahatan menjadi dua sudut pandang yakni sudut pandang secara yuridis sudut pandang sosiologis.
 
Dilihat dari sudut pandang yuridis, menurut R. Soesilo, pengertian kejahatanadalah suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang.
 
Dilihat dari sudut pandang sosiologis, pengertian kejahatan adalah perbuatan atau tingkah laku yang selain merugikan si penderita, juga sangat merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman dan ketertiban.Demikian menurut R. Soesilo.
 
Kejahatan Internet atau yang sering kita dengar dengan istilah cyber crimedefinisinya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”).
 
Josua Sitompul, S.H., IMM dalam artikel Klinik Hukumonline yang berjudulLandasan Hukum Penanganan Cyber Crime di Indonesia tanggal 18 Januari 2013 telah menjelaskan mengenai delik kejahatan internet yang diatur dalam UU ITE, antara lain:
1. Tindak pidana yang berhubungan dengan aktivitas ilegal, yaitu:
a. Distribusi atau penyebaran, transmisi, dapat diaksesnya konten ilegal, yang terdiri dari:
-      kesusilaan (Pasal 27 ayat [1] UU ITE);
-      perjudian (Pasal 27 ayat [2] UU ITE);
-      penghinaan atau pencemaran nama baik (Pasal 27 ayat [3] UU ITE);
-      pemerasan atau pengancaman (Pasal 27 ayat [4] UU ITE);
-      berita bohong yang menyesatkan dan merugikan konsumen (Pasal 28 ayat [1] UU ITE);
-      menimbulkan rasa kebencian berdasarkan SARA (Pasal 28 ayat [2] UU ITE);
-      mengirimkan informasi yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi (Pasal 29 UU ITE);
b. dengan cara apapun melakukan akses ilegal (Pasal 30 UU ITE);
c. intersepsi ilegal terhadap informasi atau dokumen elektronik dan Sistem Elektronik (Pasal 31 UU ITE);
2. Tindak pidana yang berhubungan dengan gangguan (interferensi), yaitu:
a.    Gangguan terhadap Informasi atau Dokumen Elektronik (data interference – Pasal 32 UU ITE);
b.    Gangguan terhadap Sistem Elektronik (system interference – Pasal 33 UU ITE);
3. Tindak pidana memfasilitasi perbuatan yang dilarang (Pasal 34 UU ITE);
4. Tindak pidana pemalsuan informasi atau dokumen elektronik (Pasal 35 UU ITE);
5. Tindak pidana tambahan (accessoir Pasal 36 UU ITE); dan
6. Perberatan-perberatan terhadap ancaman pidana (Pasal 52 UU ITE).
 
Demikian jawaban singkat kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:

DEFINISI KEJAHATAN INTERNET

Terima kasih atas pertanyaannya.
 
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sendiri tidak mendefinisikan secara jelas mengenai kejahatan. Adapun KUHP telah mengatur sejumlah delik kejahatan dalam Pasal 104 hingga Pasal 488 KUHP.
 
Sejumlah pakar hukum pidana mendefinisikan kejahatan berdasarkan pemikiran mereka masing-masing, salah satunya adalah R. Soesilo.
 
Definisi “Kejahatan” menurut R.Soesilo dalam bukunya berjudul “Kitab Undang-Undang Hukum. Pidana serta Komentar-Komentar Lengkap Pasal Demi Pasal” (1985, Penerbit Politeia) membedakan pengertian kejahatan menjadi dua sudut pandang yakni sudut pandang secara yuridis sudut pandang sosiologis.
 
Dilihat dari sudut pandang yuridis, menurut R. Soesilo, pengertian kejahatanadalah suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang.
 
Dilihat dari sudut pandang sosiologis, pengertian kejahatan adalah perbuatan atau tingkah laku yang selain merugikan si penderita, juga sangat merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman dan ketertiban.Demikian menurut R. Soesilo.
 
Kejahatan Internet atau yang sering kita dengar dengan istilah cyber crimedefinisinya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”).
 
Josua Sitompul, S.H., IMM dalam artikel Klinik Hukumonline yang berjudulLandasan Hukum Penanganan Cyber Crime di Indonesia tanggal 18 Januari 2013 telah menjelaskan mengenai delik kejahatan internet yang diatur dalam UU ITE, antara lain:
1. Tindak pidana yang berhubungan dengan aktivitas ilegal, yaitu:
a. Distribusi atau penyebaran, transmisi, dapat diaksesnya konten ilegal, yang terdiri dari:
-      kesusilaan (Pasal 27 ayat [1] UU ITE);
-      perjudian (Pasal 27 ayat [2] UU ITE);
-      penghinaan atau pencemaran nama baik (Pasal 27 ayat [3] UU ITE);
-      pemerasan atau pengancaman (Pasal 27 ayat [4] UU ITE);
-      berita bohong yang menyesatkan dan merugikan konsumen (Pasal 28 ayat [1] UU ITE);
-      menimbulkan rasa kebencian berdasarkan SARA (Pasal 28 ayat [2] UU ITE);
-      mengirimkan informasi yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi (Pasal 29 UU ITE);
b. dengan cara apapun melakukan akses ilegal (Pasal 30 UU ITE);
c. intersepsi ilegal terhadap informasi atau dokumen elektronik dan Sistem Elektronik (Pasal 31 UU ITE);
2. Tindak pidana yang berhubungan dengan gangguan (interferensi), yaitu:
a.    Gangguan terhadap Informasi atau Dokumen Elektronik (data interference – Pasal 32 UU ITE);
b.    Gangguan terhadap Sistem Elektronik (system interference – Pasal 33 UU ITE);
3. Tindak pidana memfasilitasi perbuatan yang dilarang (Pasal 34 UU ITE);
4. Tindak pidana pemalsuan informasi atau dokumen elektronik (Pasal 35 UU ITE);
5. Tindak pidana tambahan (accessoir Pasal 36 UU ITE); dan
6. Perberatan-perberatan terhadap ancaman pidana (Pasal 52 UU ITE).
 
Demikian jawaban singkat kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:

DEFINISI KEJAHATAN INTERNET

Terima kasih atas pertanyaannya.
 
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sendiri tidak mendefinisikan secara jelas mengenai kejahatan. Adapun KUHP telah mengatur sejumlah delik kejahatan dalam Pasal 104 hingga Pasal 488 KUHP.
 
Sejumlah pakar hukum pidana mendefinisikan kejahatan berdasarkan pemikiran mereka masing-masing, salah satunya adalah R. Soesilo.
 
Definisi “Kejahatan” menurut R.Soesilo dalam bukunya berjudul “Kitab Undang-Undang Hukum. Pidana serta Komentar-Komentar Lengkap Pasal Demi Pasal” (1985, Penerbit Politeia) membedakan pengertian kejahatan menjadi dua sudut pandang yakni sudut pandang secara yuridis sudut pandang sosiologis.
 
Dilihat dari sudut pandang yuridis, menurut R. Soesilo, pengertian kejahatanadalah suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang.
 
Dilihat dari sudut pandang sosiologis, pengertian kejahatan adalah perbuatan atau tingkah laku yang selain merugikan si penderita, juga sangat merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman dan ketertiban.Demikian menurut R. Soesilo.
 
Kejahatan Internet atau yang sering kita dengar dengan istilah cyber crimedefinisinya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”).
 
Josua Sitompul, S.H., IMM dalam artikel Klinik Hukumonline yang berjudulLandasan Hukum Penanganan Cyber Crime di Indonesia tanggal 18 Januari 2013 telah menjelaskan mengenai delik kejahatan internet yang diatur dalam UU ITE, antara lain:
1. Tindak pidana yang berhubungan dengan aktivitas ilegal, yaitu:
a. Distribusi atau penyebaran, transmisi, dapat diaksesnya konten ilegal, yang terdiri dari:
-      kesusilaan (Pasal 27 ayat [1] UU ITE);
-      perjudian (Pasal 27 ayat [2] UU ITE);
-      penghinaan atau pencemaran nama baik (Pasal 27 ayat [3] UU ITE);
-      pemerasan atau pengancaman (Pasal 27 ayat [4] UU ITE);
-      berita bohong yang menyesatkan dan merugikan konsumen (Pasal 28 ayat [1] UU ITE);
-      menimbulkan rasa kebencian berdasarkan SARA (Pasal 28 ayat [2] UU ITE);
-      mengirimkan informasi yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi (Pasal 29 UU ITE);
b. dengan cara apapun melakukan akses ilegal (Pasal 30 UU ITE);
c. intersepsi ilegal terhadap informasi atau dokumen elektronik dan Sistem Elektronik (Pasal 31 UU ITE);
2. Tindak pidana yang berhubungan dengan gangguan (interferensi), yaitu:
a.    Gangguan terhadap Informasi atau Dokumen Elektronik (data interference – Pasal 32 UU ITE);
b.    Gangguan terhadap Sistem Elektronik (system interference – Pasal 33 UU ITE);
3. Tindak pidana memfasilitasi perbuatan yang dilarang (Pasal 34 UU ITE);
4. Tindak pidana pemalsuan informasi atau dokumen elektronik (Pasal 35 UU ITE);
5. Tindak pidana tambahan (accessoir Pasal 36 UU ITE); dan
6. Perberatan-perberatan terhadap ancaman pidana (Pasal 52 UU ITE).
 
Demikian jawaban singkat kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:

Arti Pidana Bersyarat dan Pembebasan Bersyarat

Pertama, kami akan menjelaskan mengenai Pidana Bersyarat terlebih dahulu.Pidana bersyarat adalah Pidana dengan syarat-syarat tertentu, yang dalam praktik hukum disebut dengan pidana/hukuman percobaan. Pidana bersyarat adalah suatu sistem penjatuhan pidana oleh hakim yang pelaksanaannya bergantung pada syarat-syarat tertentu atau kondisi tertentu.
 
Dalam buku “Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya” (Kanter E.Y & S.R. Sianturi, 2002, Storia Grafika) dijelaskan bahwa pidana bersyarat adalah “Sekedar suatu istilah umum, sedangkan yang dimaksud bukanlah pemidanaannya yang bersyarat, melainkan pemidanaannya pidana itu yang digantungkan pada syarat-syarat tertentu.”
 
Pidana bersyarat diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(“KUHP”) pada Pasal 14 a yang berbunyi:
 
(1) Apabila hakim menjatuhkan pidana paling lama satu tahun atau pidana kurungan, tidak termasuk pidana kurungan pengganti maka dalam putusnya hakim dapat memerintahkan pula bahwa pidana tidak usah dijalani, kecuali jika dikemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan karena si terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut diatas habis, atau karena si terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat khusus yang mungkin ditentukan lain dalam perintah itu.
(2) Hakim juga mempunyai kewenangan seperti di atas, kecuali dalam perkara-perkara yang mangenai penghasilan dan persewaan negara apabila menjatuhkan pidana denda, tetapi harus ternyata kepadanya bahwa pidana denda atau perampasan yang mungkin diperintahkan pula akan sangat memberatkan si terpidana . Dalam menerapkan ayat ini, kejahatan dan pelanggaran candu hanya dianggap sebagai perkara mengenai penghasilan negara, jika terhadap kejahatan dan pelanggaran itu ditentukan bahwa dalam hal dijatuhkan pidana denda, tidak diterapkan ketentuan pasal 30 ayat 2.
(3) Jika hakim tidak menentukan lain, maka perintah mengenai pidana pokok juga mengenai pidana pokok juga mengenai pidana tambahan.
(4) Perintah tidak diberikan, kecuali hakim setelah menyelidiki dengan cermat berkeyakinan bahwa dapat diadakan pengawasan yang cukup untuk dipenuhinya syarat umum, bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, dan syarat-syarat khusus jika sekiranya ditetapkan.
(5) Perintah tersebut dalam ayat 1 harus disertai hal-hal atau keadaan-keadaan yang menjadi alasan perintah itu.
 
Pidana bersyarat pernah kita dengar pada suatu kasus yang terkenal yakni pemidanaan Rasyid Amrullah Rajasa. Dalam kasus ini, majelis hakim menerapkan Pasal 14 a KUHP yang bertujuan sebagai wujud pencegahan agar tidak melakukan hal yang sama. Ketua Majelis Hakim yang menjatuhkan vonis, Suharjono, berpandangan bahwa telah terwujud prinsip teori hukum restorative justice dalam putusan hakim sehingga setimpal dengan perbuatan Rasyid. Selain itu, Suharjono juga mengatakan “Terdakwa berlaku sopan, tidak mempersulit persidangan, masih muda, dan keluarga bertanggung jawab. “ Baca berita selengkapnya disini.
 
Penjelasan lain yang dapat melengkapi jawaban atas pidana bersyarat ini adalah artikel jawaban Sdr. Anggara yang berjudul Pidana Bersyarat.
 
Kedua, mengenai Pembebasan Bersyarat. Pembebasan bersyarat adalah bebasnya Narapidana setelah menjalani sekurang-kurangnya dua pertiga masa pidananya dengan ketentuan dua pertiga tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan. Pengertian ini terdapat dalam Penjelasan Pasal 12 huruf k UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan..
 
Mengenai prosedur dan syarat suatu Pembebasan Bersyarat, dapat dilihat pada artikel jawaban dari Sdri. Diana Kusumasari yang berjudul Syarat dan Prosedur Pengajuan Pembebasan Bersyarat.
 
Terima kasih, semoga bermanfaat.