Kamis, 20 Juni 2013

Hector Timerman, mungkin akan dicatat dalam sejarah perjalanan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Karena Menteri Luar Negeri Argentina ini menjadi pejabat negara berkembang yang membubuhkan tanda tangan menyetujui Traktat Perdagangan Senjata (Arms Trade Treaty/ATT), Senin (3/6).
Sikap delegasi Argentina berbeda dengan delegasi Indonesia. Saat Majelis Umum PBB menggelar voting untuk menyeujui rancangan traktat, 2 April 2013, Indonesia menjadi satu dari sekian negara yang abstain.
Saat berkesempatan hadir dalam sebuah pertemuan yang dihadiri wakil kementerian dan akademisi Indonesia, Rabu (19/6), Regional Legal Adviser International Committee of the Red Cross (ICRC), Christoper B Harland menyatakan menghargai sikap itu. “Traktat ini ditujukan untuk menghormati hukum humaniter internasional dan hak asasi manusia,” paparnya.
Dia melanjutkan, senjata adalah buatan manusia yang digunakan untuk melukai manusia. Akibatnya, penggunaan senjata menjadikan penderitaan manusia, terutama di daerah konflik. Apalagi, 80 persen senjata otomoatis ringan maupun senjata api yang digunakan di daerah konflik berasal dari pasar gelap. Terkait perjanjian ini, ICRC berkomitmen bersama negara dan organisasi kemanusiaan, agar ATT diterapkan.
ATT berlaku untuk semua senjata konvensional dalam tujuh kategori. Yaitu, kategori tank tempur, kendaraan tempur lapis baja, sistem artileri kaliber besar, pesawat tempur, helikopter tempur, kapal perang, rudal dan peluncur rudal, dan senjata kecil dan senjata ringan.
ATT mencakup ekspor, impor, transit, trans-shipment dan broker. Tapi, ATT tidak berlaku bagi senjata konvensional yang digunakan pasukan internasional, asalkan kepemilikan senjata tetap di negara peserta.
“Penderitaan tersebut harus ditekan dengan mengendalikan perdagangan senjata,” imbuh Christoper.
Christoper menguraikan kewajiban negara untuk tidak memberikan izin transfer senjata konvensional dengan tiga syarat, seperti tertuang dalam Paal 6 ATT. Yaitu, jika melanggar kewajiban negara peserta berdasarkan langkah-langkah yang disetujui Dewan Keamanan PBB. Khususnya embargo senjata.
Kedua, jika transfer senjata akan melanggar kewajiban yang relevan menurut perjanjian internasional. Semisal transfer senjata negara peserta terjadi dalam perdagangan gelap. Ketiga, jika transfer diketahui negara peserta diketahui ddigunakan pembeli untuk genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, menyerang penduduk sipil atau objek sipil yang dilindungi, atau kejahatan perang lain seperti definisi perjanjian internasional.
Kemudian, pada Pasal 7 ATT, tertulis kewajiban negara peserta tak memberikan izin ekspor senjata jika akan bekontribusi atau merusak perdamaian dan keamaan. Atau ekspor senjata yang dapat digunakan untuk melakukan atau memfasilitasi pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional, hukum hak asasi manusia.
Terkait pembelian senjata, diatur dalam Pasal 8 ATT. Juga kewajiban negara peserta untuk mengatur proses perdagangan senjata melalui jasa perantara atau broker. Yang mengharuskan broker untuk mendaftar atau mendapatkan izin tertulis sebelum melakukan kegiatan.
Salah satu anggota delegasi Indonesia dalam pembahasan traktat itu, Daniel TS Simanjuntak menyatakan pemerintah mendukung adanya aturan perdagangan senjata. Terutama mengurangi perdagangan senjata secara tidak sah. “Sepanjang seimbang, transparan dan nondiskriminasi,” paparnya dalam pertemuan yang sama dengan ICRC.
Karena itu, Indonesia bersikap abstain dalam sidang Majelis Umum PBB guna mengesahkan rancangan ATT. Pertimbangan sikap Indonesia dikarenakan jika ikut menyeujui ATT, maka sama saja dengan membangkang Pasal 43 ayat (5) huruf d UU No.16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan, karena Pasal 6 ayat (1) ATT, memuat klausul embargo senjata.

(5) Pengadaan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan produk luar negeri sebagaimana  dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
d. jaminan tidak adanya potensi embargo, kondisionalitas politik dan hambatan penggunaan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan dalam upaya mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara;
Selain itu, ATT dinilai tidak adil karena tidak memuat kepentingan negara importir. Lalu tidak jelas mengenai pembelian senjata guna memerangi kelompok separatis atau untuk melindungi batas kedaulatan territorial. Kemudian, cakupan ATT terlalu luas, karena tak hanya meliputi tujuh jenis senjata konvensional (7+1), tapi mencakup amunisi dan komponen.
Parameter pelanggaran hukum humaniter dan HAM dititikberatkan pada penilaian negara eksportir jika hal ini dibawa ke pengadilan. “Seharusnya ada panel independen jika ada masalah sampai ke tahap pengadilan,” imbuh Daniel.
Sikap abstain Indonesia juga disebabkan karena ATT, imbuh Daniel, tidak mengatur tegas pelarangan jika senjata dimiliki dan digunakan secara melawan hukum. 

Hakim Harusnya Pertimbangkan Bukti Forensik

Pertimbangan hakim yang mengabaikan bukti forensik dalam kasus pembunuhan Dirut PT Rajawali Putra Banjaran Nasrudin Zulkarnaen yang menjerat mantan Ketua KPK Antasari Azhar dinilai sebagai hal yang tidak wajar. Sebab, bukti forensik merupakan alat bukti otentik untuk membuktikan sebuah perkara.
“Itu adalah bukti kuat sebagai alat bukti dalam persidangan. Seharusnya hakim tidak bisa mengabaikan alat bukti forensik yang sudah pernah disampaikan,” ujar Pakar Hukum Pidana Universitas Pelita Harapan Jamin Ginting saat memberikan keterangan ahli dalam sidang lanjutan uji materi Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang dimohonkan Antasari Azhar Dkk di Gedung MK, Kamis (20/6).
Menurut Jamin bukti forensik dapat menjadi faktor penentu apakah seseorang dinyatakan bersalah atau tidak alias dibebaskan. “Itu sebagai bukti yang mengarah pada syarat putusan bebas,” katanya.
Bahkan, lanjut Jamin, seseorang yang didakwa membunuh tetapi ternyata korban dinyatakan sudah mati terlebih dulu sebelum dibunuh berdasarkan bukti forensik. Karenanya, terdakwa bisa mengajukan bukti forensik itu sebagai novum (bukti baru), meski belum pernah dijadikan pertimbangan.
Namun, Jamin mengakui terdapat dilema dalam sistem hukum di Indonesia, yakni hakim dapat memutus perkara dengan menggunakan dua alat bukti yang sah. Sedangkan terkait dengan bukti forensik, terpidana dapat mengajukan upaya hukum lanjutan jika alat bukti diabaikan oleh hakim.
“Memang terpidana bisa mengajukan upaya hukum terhadap alat-alat bukti yang tidak dipertimbangkan hakim,” terang Jamin. 
Dalam persidangan yang dipimpin M. Akil Mochtar, Antasari juga menghadirkan seorang mantan tahanan politik, Muchtar Pakpahan yang menceritakan pengalamannya atas kejanggalan proses hukum yang dialaminya.
“Saya pernah disidangkan dalam kasus unjuk rasa buruh di Medan. Oleh Pengadilan Negeri (PN) Medan saya divonis 3 tahun penjara, kemudian saya mengajukan banding, ditolak dan vonis diperberat menjadi 4 tahun. Di kasasi, saya dibebaskan oleh MA,” tutur Muchtar.
Namun, lanjut Muchtar, atas putusan kasasi itu jaksa mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dan dikabulkan oleh MA. Sehingga, dia kembali dihukum 4 tahun penjara. Muchtar menilai proses peradilan itu penuh kejanggalan. Sebab, PK merupakan hak yang diberikan oleh KUHAP kepada terpidana atau ahli warisnya.
“Jaksa seharusnya tidak berhak mengajukan PK, karena itu merupakan hak terpidana,” kata Mukhtar.
Menurut Mukhtar terdapat kelemahan dalam KUHAP terutama terkait dengan pengajuan PK yang hanya dibatasi satu kali. Jika terpidana memiliki bukti baru, sementara dia sudah pernah PK, tertutup baginya untuk memperoleh keadilan melalui PK kedua kalinya.
“Seharusnya PK tidak boleh dibatasi jika memang ditemukan adanya bukti baru (novum). Mestinya kapan saja bukti ditemukan, terbukalah kesempatan bagi terpidana untuk mengajukan PK,” katanya. pungkas dia.
MK tolak dua saksi
Salah seorang pemohon Boyamin Saiman mengatakan akan menghadirkan mantan Kabareskrim Susno Duadji, dan mantan jaksa Cirus Sinaga. Susno kini mendekam di Lapas Kelas IIA Pondok Rajeg, Cibinong selama 3,5 tahun dalam kasus korupsi PT Salmah Arowana Lestari dan korupsi dana pengamanan Pilkada Jawa Barat 2008. Sementara Cirus Sinaga dihukum penjara selama 5 tahun karena terbukti merekayasa pasal untuk Gayus Tambunan.
”Kalau mungkin diizinkan dengan kewenangan Mahkamah, kami akan mengajukan saksi yang sedang dalam penjara adalah Susno Duadji dan Cirus Sinaga,” Boyamin.
Menurut Boyamin, pihak Lapas telah menyatakan bersedia mendatangkan kedua saksi itu. Namun mereka masih menunggu surat panggilan dari MK. “Dua orang ini sangat ingin sekali hadir dalam persidangan ini,” kata Boyamin.
Sementara itu, Antasari mengatakan pihaknya memiliki kepentingan menghadirkan Cirus dalam persidangan karena pada saat penyelidikan Cirus tidak memberi petunjuk kepada penyidik agar memeriksa ahli IT.
“Kami punya kepentingan karena Cirus yang menangani perkara ini. Yang ingin saya tanyakan ke Cirus adalah mengapa pada saat penyelidikan tidak diterbitkan P-19 yang memberi petunjuk kepada penyidik agar penyidik memeriksa juga ahli IT terhadap sangkaan saya mengancam itu, sehingga tidak panjang begini urusannya,” tegas Antasari.
Selain dua saksi, Antasari juga menyampaikan dokumen tambahan berupa putusan Peninjauan Kembali Jonny Abbas dalam kasus penyelundupan 30 kontainer Blackberry, serta putusan praperadilan Antasari terhadap Mabes Polri, dan laporan dugaan dua saksi palsu ke Mabes Polri.
Atas permintaan pemeriksaan kedua saksi itu, majelis MK menolaknya. Ketua Majelis Hakim Akil Mochtar menyarankan agar Antasari sebaiknya lebih banyak menghadirkan ahli daripada saksi. Hal ini diperlukan untuk memperkuat dalil permohonan bahwa PK perlu dilakukan lebih dari sekali.
“Saksi itu tidak perlu banyak dalam pengujian undang-undang. Saksi itu kan hanya mengantar apa yang sebenarnya ingin Anda lakukan, itu sudah kita tangkap. Maka pendapat ahli seharusnya lebih banyak. Kalau masih memanggil ahli kita beri kesempatan,” kata Akil.
Antasari bersama Andi Syamsuddin Iskandar, dan Boyamin Saiman menguji Pasal 268 ayat (3) KUHAP untuk mengungkap dan mencari pelaku pembunuh Nasrudin sesungguhnya. Soalnya, pihak keluarga Nasrudin belum yakin Antasari adalah otak pembunuhan Nasrudin. Lewat pengujian pasal itu, mereka berharap MK dapat memberi tafsir bersyarat agar ketentuan PK dapat diajukan lebih dari sekali sepanjang ditemukan novum dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), sehingga Antasari bisa mengajukan PK kedua. 

Jumat, 14 Juni 2013

tindak pidana dalam korporasi



1. Korporasi
            Kata korporasi secara etimologis dikenal dari beberapa bahasa, yaitu Belanda dengan istilah corporatie, Inggris dengan istilah corporation, Jerman dengan istilah Korporation, dan bahasa latin dengan istilah corporatio (Muladi dan Dwidja Priyatno, 1991 : 12).
            Korporasi dilihat dari bentuk hukumnya dapat  diberi arti sempit maupun arti luas. Menurut arti sempit, korporasi adalah badan hukum. Dalam arti luas korporasi dapat berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum.
 Dalam artinya yang sempit, yaitu sebagai badan hukum, korporasi merupakan badan hukum yang keberadaan dan kewenangannya untuk dapat atau berwenang melakukan perbuatan hukum diakui oleh hukum perdata. Artinya hukum perdatalah yang mengakui keberadaan korporasi dan memberikannya hidup untuk dapat atau berwenang melakukan figur hukum. Demikian juga halnya dengan matinya korporasi itu diakui oleh hukum.
Keberadaan suatu korporasi sebagai badan hukum tidak lahir begitu saja. Artinya korporasi sebagai suatu badan hukum bukan ada dengan sendirinya, akan tetapi harus ada yang mendirikan, yaitu pendiri atau pendiri-pendirinya yang diakui menurut hukum perdata memiliki kewenangan secara hukum untuk dapat mendirikan korporasi. Menurut hukum perdata, yang diakui memiliki kewenangan hukum untuk dapat mendirikan korporasi adalah orang (manusia) atau natural person dan badan hukum atau legal person.
Seperti halnya dalam hal matinya suatu korporasi. Suatu korporasi hanya dapat dinyatakan mati apabila dinyatakan mati oleh hukum perdata, yaitu tidak ada lagi keberadaan atau eksistensinya (berakhir) sehingga karena tidak ada lagi, maka dengan demikian korporasi tersebut tidak dapat lagi melakukan perbuatan hukum atau dalam istilah hukumnya dikatakan bahwa korporasi tersebut mati atau bubar.
Hukum pidana Indonesia memberikan pengertian korporasi dalam arti luas. Korporasi menurut hukum pidana indonesia tidak sama dengan pengertian korporasi dalam hukum perdata. Pengertian korporasi menurut hukum pidana lebih luas daripada pengertian menurut hukum perdata. Menurut hukum perdata, subjek hukum, yaitu yang dapat atau yang berwenang melakukan perbuatan hukum dalam bidang hukum perdata, misalnya membuat perjanjian, terdiri atas dua jenis, yaitu orang perseorangan (manusia atau natural person) dan badan hukum (legal person).
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, yang dimaksud dengan pengertian korporasi menurut hukum perdata ialah badan hukum (legal person). Namun dalam hukum pidana pengertian korporasi tidak hanya mencakup badan hukum, seperti perseroan terbatas, yayasan, koperasi, atau perkumpulan yang telah disahkan sebagai badan hukum yang digolongkan sebagai korporasi, menurut hukum pidana, firma, perseroan komanditer atau CV, dan persekutuan atau maatschap juga termasuk korporasi. Selain itu yang juga dimaksud sebagai korporasi menurut hukum pidana adalah sekumpulan orang yang terorganisasi dan memiliki pimpinan dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum, seperti melakukan perjanjian dalam rangka kegiatan usaha atau kegiatan sosial yang dilakukan oleh pengurusnya untuk dan atas nama kumpulan orang tersebut.
Beberapa pengertian lain tentang korporasi yang dapat penulis kemukakan di sisni, antara lain seperti pendapat yang disampaikan oleh Andi  Zainal Abidin Farid (Muladi dan Dwidja Priyatno, 1991 : 14) yang mengemukakan bahwa “Korporasi dipandang sebagai realita sekumpulan manusia yang diberikan hak oleh unit hukum, yang diberikan peribadi hukum untuk tujuan tertentu”.
Sedangkan menurut Subekti dan Tjitrosudiro (Muladi dan Dwidja Priyatno, 1991 : 14) mengatakan bahwa “Yang dimaksud dengan korporasi (corporatie) adalah suatu perseroan yang merupakan badan hukum”.
Senada dengan pendapat tersebut di atas, sebagaimana dikemukakan oleh Utrech dan M. Soleh Djindang (Edi Yunara, 2005 ;10), yang mengemukakan :
Korporasi adalah suatu gabungan orang dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai suatu subyek hukum tersendiri sebagai suatu personafikasi. Korporasi adalah badan hukum yang beranggota, tetapi mempunyai hak dan kewajiban tersendiri yang terpisah dari hak dan kewajiban anggota masing-masing.

Sedangkan Rudi Prasetyo (Andi Abu Ayyub Saleh, tanpa tahun (9) : 7) menyatakan :
Kata korporasi sebutan yang lazim dipergunakan dikalangan pakar hukum pidana untuk menyebut apa yang biasa dalam bidang hukum, khususnya bidang hukum perdata, sebagai badan hukum, atau dalam bahasa Belanda disebut rechtspersoon, atau dalam bahasa Inggris disebut legal entities atau corporation.

Wirjono Prodjodikoro (Muladi dan Dwidja Priyatno, 1991 : 15), sehubungan dengan apa yang dimaksud dengan korporasi menyatakan :
Korporasi adalah suatu perkumpulan orang, dalam korporasi biasanya yang mempunyai kepentingan adalah orang-orang manusia yang merupakan anggota dari korporasi itu, anggota-anggota mana juga mempunyai kekuasaan dalam peraturan korporasi berupa rapat anggota sebagai alat kekuasaan yang tertinggi dalam peraturan korporasi.
Kemudian, Chaidir Ali (Arief Amrullah, 2006 : 202) dengan definisinya mengenai korporasi, menulis sebagai berikut :
Hukum memberi kemungkinan dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, bahwa suatu perkumpulan atau badan lain dianggap sebagai orang yang merupakan pembawa hak, dan karenanya dapat menjalankan hak-hak seperti orang serta dapat dipertanggunggugatkan. Namun demikian, badan hukum (korporasi) bertindak harus dengan perantaraan orang biasa. Akan tetapi, orang bertindak itu tidak untuk dirinya sendiri, melainkan untuk dan atas nama pertangunggugatan korporasi.

Satjipto Rahardjo (Dwidja Priyatno, 2004 : 13) mengenai korporasi, menyatakan :
Korporasi adalah suatu badan hasil ciptaan hukum. Badan yang diciptakan itu terdiri dari “corpus”, yaitu struktur fisiknya dan kedalamnya hukum memasukkan unsur “animus” yang membuat badan itu mempunyai kepribadian. Oleh karena badan hukum itu merupakan ciptaan hukum maka kecuali penciptaannya, kematiannyapun juga ditentukan oleh hukum.

Sementara itu korporasi dari perspektif hukum pidana menurut Andi Abu Ayyub Saleh (tanpa tahun (4) : 8), menyatakan :
Persoalan yang dibahas dalam sudut pandang hukum pidana (hukum pidana materiel) lebih pada perbuatan apa saja yang dapat digolongkan sebagai perbuatan dapat dihukum dan unsur-unsur apa yang harus dipenuhi sehingga korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana serta sanksi apa yang dapat dijatuhkan kepada korporasi tersebut.

Dari beberapa pengertian tentang korporasi tersebut di atas dapat disimpulkan betapa luasnya batasan pengertian tentang korporasi tersebut, yang mana dapat lebih luas dari sekedar pengertian badan hukum itu sendiri. Dalam berbagai peraturan perundang-undangan hukum pidana Indonesia dinyatakan bahwa pengertian korporasi itu adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan atau kekayaan baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
2.  Tindak Pidana Korporasi
Tindak pidana korporasi adalah tindak pidana yang bersifat organisatoris. Begitu luasnya, penyebaran tanggung jawab serta struktur hirarkis dari korporasi besar dapat membantu berkembangnya kondisi-kondisi kondusif bagi tindak pidana korporasi. Anatomi tindak pidana yang sangat kompleks dan penyebaran tanggung jawab yang sangat luas demikian bermuara pada motif-motif yang bersifat ekonomis, yaitu tercermin pada tujuan korporasi (organizational goal) dan kontradiksi antara tujuan korporasi dengan kepentingan berbagai pihak.
Konsepsi kejahatan korporasi menurut Mardjono Reksodiputro (Yusuf Sofie, 2002 : 45) adalah :
. . .konsepsi kejahatan korporasi hanya ditujukan kepada kejahatan yang dilakukan  oleh big business dan jangan dikaitkan dengan kejahan oleh small scale business(seperti : penipuan yang dilakukan oleh warung atau toko dilingkungan



pemukiman kita atau oleh bengkel reparasi kendaraan bermotor dan sebagainya).

Sementara itu menurut Marshall B. Clinard dan Petter C Yeager (Setiyono, 2005 : 20) “tindak pidana korporasi ialah setiap tindakan yang dilakukan oleh korporasi yang bisa diberi hukuman oleh negara, entah di bawah hukum administrasi negara, hukum perdata, maupun hukum pidana.”
Dalam pengertian yang kurang lebih sama juga dinyatakan oleh Box (Muladi, 2002 : 144) sebagai berikut :
Kejahatan korporasi adalah kejahatan, terlepas dari apakah yang hanya diancam hukuman di bawah badan administratif, atau apakah hanya sekedar melanggar hak-hak sipil. . .mungkin menjadi pertanyaan mengapa banyak kejahatan korporasi ditangani badab-badan administratif bukan pengadilan pidana. Tetapi itu tidak menjastifikasi pengecualian tindakan-tindakan korporasi yang diatur oleh badan-badan administratif dari kajian kejahatan korporasi

Mengenai actio pauliana


Mengenai actio pauliana
Menurut Munir Fuady dalam bukunya “Hukum Pailit 1998 (Dalam teori dan Praktek)”, actio pauliana adalah upaya hukum untuk membatalkan transaksi yang dilakukan oleh debitur untuk kepentingan debitur tersebut yang dapat merugikan kepentingan para krediturnya. Tindakan ini diatur dalam pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UUK”).

“Untuk kepentingan harta pailit, kepada Pengadilan dapat dimintakan pembatalan segala perbuatan hukum Debitor yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan Kreditor, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan

Pasal 16 ayat (1) UUK menyatakan bahwa Kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembal. Oleh karena itu, kewenangan kurator untuk melakukan actio pauliana dimulai sejak putusan pailit diucapkan oleh Pengadilan Niaga, tidak perlu menunggu sampai putusan pailit tersebut berkekuatan hukum tetap. 
Mengenai perdamaian
1.      Menurut pasal 144 UUK, debitur yang telah dinyatakan pailit berhak untuk menawarkan perdamaian kepada semua kreditor. Merujuk pada pasal 1 angka 4 UUK, debitor pailit adalah debitor yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan. Jadi, perdamaian yang dimaksud dalam pasal 144 UUK adalah perdamaian yang dilakukan setelah ada putusan yang menyatakan bahwa si debitur tersebut pailit.
2.      Dalam proses kepailitan, putusan pernyataan pailit bersifat uitvoerbaar bij vorrad, artinya dapat langsung dilaksanakan walaupun ada upaya hukum terhadap putusan tersebut. Dengan demikian, rencana perdamaian dapat diajukan begitu putusan pernyataan pailit diucapkan di Pengadilan Niaga, tidak harus menunggu putusan tersebut berkekuatan hukum tetap.

Demikian pendapat kami. Semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Mengenai actio pauliana
Menurut Munir Fuady dalam bukunya “Hukum Pailit 1998 (Dalam teori dan Praktek)”, actio pauliana adalah upaya hukum untuk membatalkan transaksi yang dilakukan oleh debitur untuk kepentingan debitur tersebut yang dapat merugikan kepentingan para krediturnya. Tindakan ini diatur dalam pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UUK”).

“Untuk kepentingan harta pailit, kepada Pengadilan dapat dimintakan pembatalan segala perbuatan hukum Debitor yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan Kreditor, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan

Pasal 16 ayat (1) UUK menyatakan bahwa Kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembal. Oleh karena itu, kewenangan kurator untuk melakukan actio pauliana dimulai sejak putusan pailit diucapkan oleh Pengadilan Niaga, tidak perlu menunggu sampai putusan pailit tersebut berkekuatan hukum tetap.

Mengenai perdamaian
1.      Menurut pasal 144 UUK, debitur yang telah dinyatakan pailit berhak untuk menawarkan perdamaian kepada semua kreditor. Merujuk pada pasal 1 angka 4 UUK, debitor pailit adalah debitor yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan. Jadi, perdamaian yang dimaksud dalam pasal 144 UUK adalah perdamaian yang dilakukan setelah ada putusan yang menyatakan bahwa si debitur tersebut pailit.
2.      Dalam proses kepailitan, putusan pernyataan pailit bersifat uitvoerbaar bij vorrad, artinya dapat langsung dilaksanakan walaupun ada upaya hukum terhadap putusan tersebut. Dengan demikian, rencana perdamaian dapat diajukan begitu putusan pernyataan pailit diucapkan di Pengadilan Niaga, tidak harus menunggu putusan tersebut berkekuatan hukum tetap.

Demikian pendapat kami. Semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Mengenai actio pauliana
Menurut Munir Fuady dalam bukunya “Hukum Pailit 1998 (Dalam teori dan Praktek)”, actio pauliana adalah upaya hukum untuk membatalkan transaksi yang dilakukan oleh debitur untuk kepentingan debitur tersebut yang dapat merugikan kepentingan para krediturnya. Tindakan ini diatur dalam pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UUK”).

“Untuk kepentingan harta pailit, kepada Pengadilan dapat dimintakan pembatalan segala perbuatan hukum Debitor yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan Kreditor, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan

Pasal 16 ayat (1) UUK menyatakan bahwa Kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembal. Oleh karena itu, kewenangan kurator untuk melakukan actio pauliana dimulai sejak putusan pailit diucapkan oleh Pengadilan Niaga, tidak perlu menunggu sampai putusan pailit tersebut berkekuatan hukum tetap.

Mengenai perdamaian
1.      Menurut pasal 144 UUK, debitur yang telah dinyatakan pailit berhak untuk menawarkan perdamaian kepada semua kreditor. Merujuk pada pasal 1 angka 4 UUK, debitor pailit adalah debitor yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan. Jadi, perdamaian yang dimaksud dalam pasal 144 UUK adalah perdamaian yang dilakukan setelah ada putusan yang menyatakan bahwa si debitur tersebut pailit.
2.      Dalam proses kepailitan, putusan pernyataan pailit bersifat uitvoerbaar bij vorrad, artinya dapat langsung dilaksanakan walaupun ada upaya hukum terhadap putusan tersebut. Dengan demikian, rencana perdamaian dapat diajukan begitu putusan pernyataan pailit diucapkan di Pengadilan Niaga, tidak harus menunggu putusan tersebut berkekuatan hukum tetap.

Demikian pendapat kami. Semoga bermanfaat.

Dasar hukum:

Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Mengenai actio pauliana
Menurut Munir Fuady dalam bukunya “Hukum Pailit 1998 (Dalam teori dan Praktek)”, actio pauliana adalah upaya hukum untuk membatalkan transaksi yang dilakukan oleh debitur untuk kepentingan debitur tersebut yang dapat merugikan kepentingan para krediturnya. Tindakan ini diatur dalam pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UUK”).

“Untuk kepentingan harta pailit, kepada Pengadilan dapat dimintakan pembatalan segala perbuatan hukum Debitor yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan Kreditor, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan

Pasal 16 ayat (1) UUK menyatakan bahwa Kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembal. Oleh karena itu, kewenangan kurator untuk melakukan actio pauliana dimulai sejak putusan pailit diucapkan oleh Pengadilan Niaga, tidak perlu menunggu sampai putusan pailit tersebut berkekuatan hukum tetap. 
Mengenai perdamaian
1.      Menurut pasal 144 UUK, debitur yang telah dinyatakan pailit berhak untuk menawarkan perdamaian kepada semua kreditor. Merujuk pada pasal 1 angka 4 UUK, debitor pailit adalah debitor yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan. Jadi, perdamaian yang dimaksud dalam pasal 144 UUK adalah perdamaian yang dilakukan setelah ada putusan yang menyatakan bahwa si debitur tersebut pailit.
2.      Dalam proses kepailitan, putusan pernyataan pailit bersifat uitvoerbaar bij vorrad, artinya dapat langsung dilaksanakan walaupun ada upaya hukum terhadap putusan tersebut. Dengan demikian, rencana perdamaian dapat diajukan begitu putusan pernyataan pailit diucapkan di Pengadilan Niaga, tidak harus menunggu putusan tersebut berkekuatan hukum tetap.

Demikian pendapat kami. Semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Mengenai actio pauliana
Menurut Munir Fuady dalam bukunya “Hukum Pailit 1998 (Dalam teori dan Praktek)”, actio pauliana adalah upaya hukum untuk membatalkan transaksi yang dilakukan oleh debitur untuk kepentingan debitur tersebut yang dapat merugikan kepentingan para krediturnya. Tindakan ini diatur dalam pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UUK”).

“Untuk kepentingan harta pailit, kepada Pengadilan dapat dimintakan pembatalan segala perbuatan hukum Debitor yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan Kreditor, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan

Pasal 16 ayat (1) UUK menyatakan bahwa Kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembal. Oleh karena itu, kewenangan kurator untuk melakukan actio pauliana dimulai sejak putusan pailit diucapkan oleh Pengadilan Niaga, tidak perlu menunggu sampai putusan pailit tersebut berkekuatan hukum tetap.

Mengenai perdamaian
1.      Menurut pasal 144 UUK, debitur yang telah dinyatakan pailit berhak untuk menawarkan perdamaian kepada semua kreditor. Merujuk pada pasal 1 angka 4 UUK, debitor pailit adalah debitor yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan. Jadi, perdamaian yang dimaksud dalam pasal 144 UUK adalah perdamaian yang dilakukan setelah ada putusan yang menyatakan bahwa si debitur tersebut pailit.
2.      Dalam proses kepailitan, putusan pernyataan pailit bersifat uitvoerbaar bij vorrad, artinya dapat langsung dilaksanakan walaupun ada upaya hukum terhadap putusan tersebut. Dengan demikian, rencana perdamaian dapat diajukan begitu putusan pernyataan pailit diucapkan di Pengadilan Niaga, tidak harus menunggu putusan tersebut berkekuatan hukum tetap.

Demikian pendapat kami. Semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Mengenai actio pauliana
Menurut Munir Fuady dalam bukunya “Hukum Pailit 1998 (Dalam teori dan Praktek)”, actio pauliana adalah upaya hukum untuk membatalkan transaksi yang dilakukan oleh debitur untuk kepentingan debitur tersebut yang dapat merugikan kepentingan para krediturnya. Tindakan ini diatur dalam pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UUK”).

“Untuk kepentingan harta pailit, kepada Pengadilan dapat dimintakan pembatalan segala perbuatan hukum Debitor yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan Kreditor, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan

Pasal 16 ayat (1) UUK menyatakan bahwa Kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembal. Oleh karena itu, kewenangan kurator untuk melakukan actio pauliana dimulai sejak putusan pailit diucapkan oleh Pengadilan Niaga, tidak perlu menunggu sampai putusan pailit tersebut berkekuatan hukum tetap.

Mengenai perdamaian
1.      Menurut pasal 144 UUK, debitur yang telah dinyatakan pailit berhak untuk menawarkan perdamaian kepada semua kreditor. Merujuk pada pasal 1 angka 4 UUK, debitor pailit adalah debitor yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan. Jadi, perdamaian yang dimaksud dalam pasal 144 UUK adalah perdamaian yang dilakukan setelah ada putusan yang menyatakan bahwa si debitur tersebut pailit.
2.      Dalam proses kepailitan, putusan pernyataan pailit bersifat uitvoerbaar bij vorrad, artinya dapat langsung dilaksanakan walaupun ada upaya hukum terhadap putusan tersebut. Dengan demikian, rencana perdamaian dapat diajukan begitu putusan pernyataan pailit diucapkan di Pengadilan Niaga, tidak harus menunggu putusan tersebut berkekuatan hukum tetap.

Demikian pendapat kami. Semoga bermanfaat.

Dasar hukum:

Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang