Jumat, 14 Juni 2013

Mengenai actio pauliana


Mengenai actio pauliana
Menurut Munir Fuady dalam bukunya “Hukum Pailit 1998 (Dalam teori dan Praktek)”, actio pauliana adalah upaya hukum untuk membatalkan transaksi yang dilakukan oleh debitur untuk kepentingan debitur tersebut yang dapat merugikan kepentingan para krediturnya. Tindakan ini diatur dalam pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UUK”).

“Untuk kepentingan harta pailit, kepada Pengadilan dapat dimintakan pembatalan segala perbuatan hukum Debitor yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan Kreditor, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan

Pasal 16 ayat (1) UUK menyatakan bahwa Kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembal. Oleh karena itu, kewenangan kurator untuk melakukan actio pauliana dimulai sejak putusan pailit diucapkan oleh Pengadilan Niaga, tidak perlu menunggu sampai putusan pailit tersebut berkekuatan hukum tetap. 
Mengenai perdamaian
1.      Menurut pasal 144 UUK, debitur yang telah dinyatakan pailit berhak untuk menawarkan perdamaian kepada semua kreditor. Merujuk pada pasal 1 angka 4 UUK, debitor pailit adalah debitor yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan. Jadi, perdamaian yang dimaksud dalam pasal 144 UUK adalah perdamaian yang dilakukan setelah ada putusan yang menyatakan bahwa si debitur tersebut pailit.
2.      Dalam proses kepailitan, putusan pernyataan pailit bersifat uitvoerbaar bij vorrad, artinya dapat langsung dilaksanakan walaupun ada upaya hukum terhadap putusan tersebut. Dengan demikian, rencana perdamaian dapat diajukan begitu putusan pernyataan pailit diucapkan di Pengadilan Niaga, tidak harus menunggu putusan tersebut berkekuatan hukum tetap.

Demikian pendapat kami. Semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Mengenai actio pauliana
Menurut Munir Fuady dalam bukunya “Hukum Pailit 1998 (Dalam teori dan Praktek)”, actio pauliana adalah upaya hukum untuk membatalkan transaksi yang dilakukan oleh debitur untuk kepentingan debitur tersebut yang dapat merugikan kepentingan para krediturnya. Tindakan ini diatur dalam pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UUK”).

“Untuk kepentingan harta pailit, kepada Pengadilan dapat dimintakan pembatalan segala perbuatan hukum Debitor yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan Kreditor, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan

Pasal 16 ayat (1) UUK menyatakan bahwa Kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembal. Oleh karena itu, kewenangan kurator untuk melakukan actio pauliana dimulai sejak putusan pailit diucapkan oleh Pengadilan Niaga, tidak perlu menunggu sampai putusan pailit tersebut berkekuatan hukum tetap.

Mengenai perdamaian
1.      Menurut pasal 144 UUK, debitur yang telah dinyatakan pailit berhak untuk menawarkan perdamaian kepada semua kreditor. Merujuk pada pasal 1 angka 4 UUK, debitor pailit adalah debitor yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan. Jadi, perdamaian yang dimaksud dalam pasal 144 UUK adalah perdamaian yang dilakukan setelah ada putusan yang menyatakan bahwa si debitur tersebut pailit.
2.      Dalam proses kepailitan, putusan pernyataan pailit bersifat uitvoerbaar bij vorrad, artinya dapat langsung dilaksanakan walaupun ada upaya hukum terhadap putusan tersebut. Dengan demikian, rencana perdamaian dapat diajukan begitu putusan pernyataan pailit diucapkan di Pengadilan Niaga, tidak harus menunggu putusan tersebut berkekuatan hukum tetap.

Demikian pendapat kami. Semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Mengenai actio pauliana
Menurut Munir Fuady dalam bukunya “Hukum Pailit 1998 (Dalam teori dan Praktek)”, actio pauliana adalah upaya hukum untuk membatalkan transaksi yang dilakukan oleh debitur untuk kepentingan debitur tersebut yang dapat merugikan kepentingan para krediturnya. Tindakan ini diatur dalam pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UUK”).

“Untuk kepentingan harta pailit, kepada Pengadilan dapat dimintakan pembatalan segala perbuatan hukum Debitor yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan Kreditor, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan

Pasal 16 ayat (1) UUK menyatakan bahwa Kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembal. Oleh karena itu, kewenangan kurator untuk melakukan actio pauliana dimulai sejak putusan pailit diucapkan oleh Pengadilan Niaga, tidak perlu menunggu sampai putusan pailit tersebut berkekuatan hukum tetap.

Mengenai perdamaian
1.      Menurut pasal 144 UUK, debitur yang telah dinyatakan pailit berhak untuk menawarkan perdamaian kepada semua kreditor. Merujuk pada pasal 1 angka 4 UUK, debitor pailit adalah debitor yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan. Jadi, perdamaian yang dimaksud dalam pasal 144 UUK adalah perdamaian yang dilakukan setelah ada putusan yang menyatakan bahwa si debitur tersebut pailit.
2.      Dalam proses kepailitan, putusan pernyataan pailit bersifat uitvoerbaar bij vorrad, artinya dapat langsung dilaksanakan walaupun ada upaya hukum terhadap putusan tersebut. Dengan demikian, rencana perdamaian dapat diajukan begitu putusan pernyataan pailit diucapkan di Pengadilan Niaga, tidak harus menunggu putusan tersebut berkekuatan hukum tetap.

Demikian pendapat kami. Semoga bermanfaat.

Dasar hukum:

Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Mengenai actio pauliana
Menurut Munir Fuady dalam bukunya “Hukum Pailit 1998 (Dalam teori dan Praktek)”, actio pauliana adalah upaya hukum untuk membatalkan transaksi yang dilakukan oleh debitur untuk kepentingan debitur tersebut yang dapat merugikan kepentingan para krediturnya. Tindakan ini diatur dalam pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UUK”).

“Untuk kepentingan harta pailit, kepada Pengadilan dapat dimintakan pembatalan segala perbuatan hukum Debitor yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan Kreditor, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan

Pasal 16 ayat (1) UUK menyatakan bahwa Kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembal. Oleh karena itu, kewenangan kurator untuk melakukan actio pauliana dimulai sejak putusan pailit diucapkan oleh Pengadilan Niaga, tidak perlu menunggu sampai putusan pailit tersebut berkekuatan hukum tetap. 
Mengenai perdamaian
1.      Menurut pasal 144 UUK, debitur yang telah dinyatakan pailit berhak untuk menawarkan perdamaian kepada semua kreditor. Merujuk pada pasal 1 angka 4 UUK, debitor pailit adalah debitor yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan. Jadi, perdamaian yang dimaksud dalam pasal 144 UUK adalah perdamaian yang dilakukan setelah ada putusan yang menyatakan bahwa si debitur tersebut pailit.
2.      Dalam proses kepailitan, putusan pernyataan pailit bersifat uitvoerbaar bij vorrad, artinya dapat langsung dilaksanakan walaupun ada upaya hukum terhadap putusan tersebut. Dengan demikian, rencana perdamaian dapat diajukan begitu putusan pernyataan pailit diucapkan di Pengadilan Niaga, tidak harus menunggu putusan tersebut berkekuatan hukum tetap.

Demikian pendapat kami. Semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Mengenai actio pauliana
Menurut Munir Fuady dalam bukunya “Hukum Pailit 1998 (Dalam teori dan Praktek)”, actio pauliana adalah upaya hukum untuk membatalkan transaksi yang dilakukan oleh debitur untuk kepentingan debitur tersebut yang dapat merugikan kepentingan para krediturnya. Tindakan ini diatur dalam pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UUK”).

“Untuk kepentingan harta pailit, kepada Pengadilan dapat dimintakan pembatalan segala perbuatan hukum Debitor yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan Kreditor, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan

Pasal 16 ayat (1) UUK menyatakan bahwa Kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembal. Oleh karena itu, kewenangan kurator untuk melakukan actio pauliana dimulai sejak putusan pailit diucapkan oleh Pengadilan Niaga, tidak perlu menunggu sampai putusan pailit tersebut berkekuatan hukum tetap.

Mengenai perdamaian
1.      Menurut pasal 144 UUK, debitur yang telah dinyatakan pailit berhak untuk menawarkan perdamaian kepada semua kreditor. Merujuk pada pasal 1 angka 4 UUK, debitor pailit adalah debitor yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan. Jadi, perdamaian yang dimaksud dalam pasal 144 UUK adalah perdamaian yang dilakukan setelah ada putusan yang menyatakan bahwa si debitur tersebut pailit.
2.      Dalam proses kepailitan, putusan pernyataan pailit bersifat uitvoerbaar bij vorrad, artinya dapat langsung dilaksanakan walaupun ada upaya hukum terhadap putusan tersebut. Dengan demikian, rencana perdamaian dapat diajukan begitu putusan pernyataan pailit diucapkan di Pengadilan Niaga, tidak harus menunggu putusan tersebut berkekuatan hukum tetap.

Demikian pendapat kami. Semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Mengenai actio pauliana
Menurut Munir Fuady dalam bukunya “Hukum Pailit 1998 (Dalam teori dan Praktek)”, actio pauliana adalah upaya hukum untuk membatalkan transaksi yang dilakukan oleh debitur untuk kepentingan debitur tersebut yang dapat merugikan kepentingan para krediturnya. Tindakan ini diatur dalam pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UUK”).

“Untuk kepentingan harta pailit, kepada Pengadilan dapat dimintakan pembatalan segala perbuatan hukum Debitor yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan Kreditor, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan

Pasal 16 ayat (1) UUK menyatakan bahwa Kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembal. Oleh karena itu, kewenangan kurator untuk melakukan actio pauliana dimulai sejak putusan pailit diucapkan oleh Pengadilan Niaga, tidak perlu menunggu sampai putusan pailit tersebut berkekuatan hukum tetap.

Mengenai perdamaian
1.      Menurut pasal 144 UUK, debitur yang telah dinyatakan pailit berhak untuk menawarkan perdamaian kepada semua kreditor. Merujuk pada pasal 1 angka 4 UUK, debitor pailit adalah debitor yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan. Jadi, perdamaian yang dimaksud dalam pasal 144 UUK adalah perdamaian yang dilakukan setelah ada putusan yang menyatakan bahwa si debitur tersebut pailit.
2.      Dalam proses kepailitan, putusan pernyataan pailit bersifat uitvoerbaar bij vorrad, artinya dapat langsung dilaksanakan walaupun ada upaya hukum terhadap putusan tersebut. Dengan demikian, rencana perdamaian dapat diajukan begitu putusan pernyataan pailit diucapkan di Pengadilan Niaga, tidak harus menunggu putusan tersebut berkekuatan hukum tetap.

Demikian pendapat kami. Semoga bermanfaat.

Dasar hukum:

Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Sebab-Sebab Berakhirnya Suatu Perjanjian

Sebab-Sebab Berakhirnya Suatu Perjanjian

Terpenuhinya prestasi atau perikatan yang disepakati dan syarat-syarat tertentu dalam perjanjian dapat menjadi sebab berakhirnya perjanjian, misalnya habisnya jangka waktu yang telah disepakati dalam perjanjian atau dalam loan agreement, semua hutang dan bunga atau denda jika ada telah dibayarkan. Secara keseluruhan, KUHPerdata mengatur faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan berakhirnya perjanjian, diantaranya karena:

1. Pembayaran
Pembayaran tidak selalu diartikan dalam bentuk penyerahan uang semata, tetapi terpenuhinya sejumlah prestasi yang diperjanjikan juga memenuhi unsur pembayaran.

2. Penawaran pembayaran, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
Pemenuhan prestasi dalam suatu perjanjian sepatutnya dilaksanakan sesuai hal yang diperjanjikan termasuk waktu pemenuhannya, namun tidak jarang prestasi tersebut dapat dipenuhi sebelum waktu yang diperjanjikan. Penawaran dan penerimaan pemenuhan prestasi sebelum waktunya dapat menjadi sebab berakhirnya perjanjian, misalnya perjanjian pinjam meminjam yang pembayarannya dilakukan dengan cicilan, apabila pihak yang berhutang dapat membayar semua jumlah pinjamannya sebelum jatuh tempo, maka perjanjian dapat berakhir sebelum waktunya.

3. Pembaharuan hutang
Pembaharuan utang dapat menyebabkan berakhirnya perjanjian, sebab munculnya perjanjian baru menyebabkan perjanjian lama yang diperbaharui berakhir. Perjanjian baru bisa muncul karena berubahnya pihak dalam perjanjian, misalnya perjanjian novasi dimana terjadi pergantian pihak debitur atau karena berubahnya perjanjian pengikatan jual beli menjadi perjanjian sewa, karena pihak pembeli tidak mampu melunasi sisa pembayaran.

4. Perjumpaan Hutang atau kompensasi
Perjumpaan hutang terjadi karena antara kreditur dan debitur saling mengutang terhadap yang lain, sehingga utang keduanya dianggap terbayar oleh piutang mereka masing-masing.

5. Percampuran Hutang
Berubahnya kedudukan pihak atas suatu objek perjanjian juga dapat menyebabkan terjadinya percampuran hutang yang mengakhiri perjanjian, contohnya penyewa rumah yang berubah menjadi pemilik rumah karena dibelinya rumah sebelum waktu sewa berakhir sementara masih ada tunggakan sewa yang belum dilunasi.

6. Pembebasan Hutang
Pembebasan hutang dapat terjadi karena adanya kerelaan pihak kreditur untuk membebaskan debitur dari kewajiban membayar hutang, sehingga dengan terbebasnya debitur dari kewajiban pemenuhan hutang, maka hal yang disepakati dalam perjanjian sebagai syarat sahnya perjanjian menjadi tidak ada padahal suatu perjanjian dan dengan demikian berakhirlah perjanjian.

7. Musnahnya barang yang terhutang
Musnahnya barang yang diperjanjikan juga menyebabkan tidak terpenuhinya syarat perjanjian karena barang sebagai hal (objek) yang diperjanjikan tidak ada, sehingga berimplikasi pada berakhirnya perjanjian yang mengaturnya.

8. Kebatalan atau pembatalan
Tidak terpenuhinya syarat sah perjanjian dapat menyebabkan perjanjian berakhir, misalnya karena pihak yang melakukan perjanjian tidak memenuhi syarat kecakapan hukum. Tata cara pembatalan yang disepakati dalam perjanjian juga dapat menjadi dasar berakhirnya perjanjian. Terjadinya pembatalan suatu perjanjian yang tidak diatur perjanjian hanya dapat terjadi atas dasar kesepakatan para pihak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata atau dengan putusan pengadilan yang didasarkan pada Pasal 1266 KUHPerdata.

9. Berlakunya suatu syarat batal
Dalam Pasal 1265 KUHPerdata diatur kemungkinan terjadinya pembatalan perjanjian oleh karena terpenuhinya syarat batal yang disepakati dalam perjanjian.

10. Lewatnya waktu
Berakhirnya perjanjian dapat disebabkan oleh lewatnya waktu (daluarsa) perjanjian.

Senin, 03 Juni 2013

Asas Lex Specialis Vs. Lex Superior

Pengaturan mengenai tindak pidana korupsi di Indonesia saat ini diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU 31/1999”) sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 (“UU 20/2001”) yang selanjutnya untuk mempermudah kami akan sebut sebagai UU Tipikor.
 
Dahulu, sebelum adanya undang-undang yang khusus mengatur tindak pidana korupsi, tindak pidana yang serupa dengan tindak pidana korupsi memang dikenakan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) terutama Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, dan 435 KUHP. Setelah adanya UU tersendiri yang mengatur tindak pidana korupsi, maka yang harus diberlakukan adalah ketentuan UU Tipikor sebagaimana diaturPasal 63 ayat (2) KUHP:
“Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.”
 
Bunyi Pasal 63 ayat (2) KUHP inilah yang juga dikenal dalam ilmu hukum sebagai asas lex specialis derogat legi generalisyaitu aturan hukum yang lebih khusus mengesampingkan aturan hukum yang lebih umum.
 
Kemudian, Anda menanyakan bagaimana kedudukan KUHP terhadap UU Tipikor terkait asas lex superior derogat legi inferior yang mengatakan bahwa hukum yang lebih tinggi tingkatannya didahulukan keberlakuannya daripada hukum yang lebih rendah. Mengenai hal tersebut, akan kami jelaskan dalam uraian berikut ini.
 
Wetboek van Strafrecht atau yang biasa kita kenal dengan sebutan KUHP merupakan salah satu ketentuan hukum peninggalan zaman Hindia Belanda yang masih berlaku hingga saat ini. Lantas bagaimana kedudukan KUHP terhadap peraturan perundang-undangan saat ini?
 
Menurut Maria Farida Indrati Soeprapto dalam buku Ilmu Perundang-Undangan: Jenis Fungsi dan Materi Muatan (hal. 205), beberapa wet yang masih berlaku di Indonesia misalnya wetboek van strafrecht yang diterjemahkan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Terjemahan tersebut masih merupakan terjemahan dari beberapa ahli hukum maupun lembaga pemerintah yaitu Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), namun belum ada yang dinyatakan sebagai terjemahan resmi Pemerintah. Berbagai wet yang masih ada dan berlaku di Indonesia saat ini dalam pemakaiannya disetingkatkan dengan undang-undang, sehingga perubahan dan pencabutannya dilakukan dengan undang-undang. Penjelasan selengkapnya Anda bisa simak dalam artikel KUHP (Pasal-pasalnya yang Sudah Tidak Berlaku).
 
Untuk memperjelas penjelasan Maria Farida, kami akan sajikan pula diagram yang dimuat dalam bukunya.
 
 
 
 
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, jelas bahwa kedudukan KUHP sama dengan undang-undang, terutama dalam hal ini UU Tipikor. Pemberlakuan KUHP di Indonesia pun didasarkan pada UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Oleh karena itu, pengenaan ketentuan UU Tipikor untuk tindak pidana korupsi tidak bertentangan dengan asas lex superior derogat legi inferiorkarena KUHP dan UU Tipikor setara, dan ketentuan UU Tipikor harus didahulukan karena merupakan aturan hukum yang lebih khusus.
 
Salah satu bukti bahwa ketentuan KUHP yang mengatur tindak pidana korupsi sudah tidak lagi dipakai terdapat pada Pasal I angka 2 UU 20/2001 yang menyatakan ketentuan Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 (UU 31/1999) rumusannya diubah dengan tidak mengacu pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tetapi langsung menyebutkan unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing pasal Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang diacu.
 
Jadi, kedudukan KUHP dalam peraturan perundang-undangan Indonesia disetarakan dengan undang-undang sehingga baik perubahan maupun pencabutannya harus melalui undang-undang. Penggunaan UU Tipikor untuk menghukum pelaku tindak pidana korupsi tidak bertentangan dengan asas lex superior derogat legi inferior karena KUHP dan UU Tipikor setingkat dan dalam hal ini UU Tipikor harus didahulukan karena merupakan aturan hukum yang lebih khusus.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
1.    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) Staatsblad Nomor 732 Tahun 1915
 
Referensi:
Soeprapto, Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, 2007, Yogyakarta: Penerbit Kanisius

PRAPERADILAN

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) persoalan praperadilan ini secara spesifik diatur dalam pasal 77 � 81. Dalam praperadilan berlaku azas tidak dapat dibanding. (ps. 83 ayat 1), karena putusan praperadilan merupakan putusan akhir, yang terhadapnya tidak dapat dilakukan upaya banding. Hal ini sesuai dengan azas tata cara pemeriksaan praperadilan yang dilakukan dengan acara cepat. Selain itu tujuan dibentuknya lembaga praperadilan ialah untuk mewujudkan putusan dan kepastian hukum dalam waktu yang relatif singkat. 

Terdapat putusan praperadilan yang dapat dimintakan putusan akhir ke Pengadilan tinggi yakni menyangkut putusan praperadilan yang menetapkan sah tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan atas permintaan penyidik atau penuntut umum (pasal 83 ayat 2 KUHAP).

Untuk upaya hukum lainnya yakni kasasi, terdapat dua pendapat, 1) tidak dapat, karena apa yang diperiksa dan diputus bukan suatu materi pidana, 2) tidak dapat karena setiap pemeriksaan dan putusan yang dijatuhkan badan peradilan dengan sendirinya termasuk tindakan judisial.

Dalam keputusan Menteri kehakiman No. M/14/PW.07.03. Tahun 1983 pada intinya :
        Terhadap putusan praperadilan tidak dimungkinkan kasasi, karena azas peradilan yang cepat tidak terpenuhi jika kasasi dimungkinkan.
        Pasal 244 KUHAP tidak membuka kemungkinan untuk kasasi.

Namun dalam kasus praperadilan yang diajukan oleh Hendra Raharja dan kasus Buyat (PT. Newmont), MA menerima permohonan kasasi yang diajukan oleh Mabes POLRI.

Untuk Peninjauan Kembali (PK), juga tidak diatur dalam KUHAP, tetapi dalam praktek ada dan MA menerimanya.

Demikianlah semoga bermanfaat