Senin, 03 Juni 2013

Miranda Rules’ dalam Hukum Acara Pidana Indonesia

Perlu diluruskan terlebih dahulu bahwa dalam KUHAP atau UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), tidak dikenal istilah Miranda Rules.
 
Istilah Miranda Rules sebenarnya adalah suatu prinsip hukum acara pidana di Amerika Serikat yang berasal dari kasus Miranda vs Arizona tahun 1966 yang akhirnya memunculkan Amandemen Kelima Bill of Rights:
 
“No person shall be held to answer for a capital, or otherwise infamous crime, unless on a presentment or indictment of a Grand Jury, except in cases arising in the land or naval forces, or in the Militia, when in actual service in time of War or public danger; nor shall any person be subject for the same offence to be twice put in jeopardy of life or limb; nor shall be compelled in any criminal case to be a witness against himself, nor be deprived of life, liberty, or property, without due process of law; nor shall private property be taken for public use, without just compensation.”
 
Terjemahan bebasnya adalah:
Tiada seorangpun diharuskan menjawab untuk suatu tindak pidana umum atau tindak pidana yang belum dikenal, tanpa penjelasan atau penggambaran dakwaan dari Juri, kecuali untuk kasus yang timbul di Angkatan Darat atau Angkatan laut, atau di dalam Milisi, ketika sedang bertugas dalam perang atau bahaya umum; juga tidak seorangpun menjadi terdakwa dan didakwa dua kali untuk kasus yang sama sehingga membahayakan hidupnya, juga tidak akan dipaksa dalam setiap kasus pidana untuk menjadi saksi melawan dirinya sendiri, juga tidak akan dikurangi kehidupan, kebebasan, atau harta bendanya, tanpa proses hukum; juga kepemilikan pribadi tidak akan diambil untuk kepentingan umum, tanpa kompensasi yang adil.
 
Bentuk nyata dari penerapan Miranda Rules adalah Miranda Warning yang minimal harus diberikan oleh polisi ketika menangkap tersangka dan sebelum dilakukan interogasi. Umumnya Polisi akan berkata:
 
You have the right to remain silent. Anything you say can and will be used against you in a court of law. You have the right to speak to an attorney, and to have an attorney present during any questioning. If you cannot afford a lawyer, one will be provided for you at government expense.
(Kamu memiliki hak untuk diam. Apapun yang kamu katakan dapat dan akan digunakan untuk melawanmu di pengadilan. Kamu memiliki hak untuk bicara kepada penasehat hukum dan dihadiri penasehat hukum selama interogasi. Apabila kamu tidak mampu menyewa penasehat hukum, maka akan disediakan satu untukmu yang ditanggung oleh Pemerintah.)

 
Di Indonesia, hukum acara pidana diatur dalam KUHAPAkan tetapi, kita dapat menemukan beberapa prinsip yang serupa dengan Miranda Warning sebagaimana diatur dalam beberapa pasal berikut ini:
 
 
1.  Pasal 18 ayat (1) KUHAPPelaksanaan tugas penangkapan. dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa.
 
2.    Pasal 51 KUHAP
Untuk mempersiapkan pembelaan:
a.   tersangka berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai;
b.   terdakwa berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang didakwakan kepadanya.
 
3.    Pasal 52 KUHAP: Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim.
 
4.    Pasal 54 KUHAP : Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini.
 
5.    Pasal 55 KUHAP : Untuk mendapatkan penasihat hukum tersebut dalam Pasal 54, tersangka atau terdakwa berhak memilih sendiri penasihat hukumnya.
 
6.    Pasal 56 KUHAP :
(1)   Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka;
(2)   Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), memberikan bantuannya dengan cuma-cuma.
 
7.    Pasal 57 KUHAP
(1) Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi penasihat hukumnya sesuai dengan ketentuan undang-undang ini;
(2) Tersangka atau terdakwa yang berkebangsaan asing yang dikenakan penahanan berhak menghubungi dan berbicara dengan perwakilan negaranya dalam menghadapi proses perkaranya.
 
 
 
Upaya hukum yang dapat dilakukan apabila terjadi pelanggaran pasal-pasal tersebut adalah dengan melakukan permohonan praperadilan (lihat Pasal 77-Pasal 83 KUHAP). Lebih jauh, Saudara bisa menyimak artikel Praperadilan,Praperadilan (2)Praperadilan (3).
 
Selain upaya praperadilan, tersangka dapat pula mengadukan petugas polisi yang sewenang-wenang pada saat penangkapan dan penahanan kepada Divisi Profesi dan Pengamanan (Divpropam) Polri karena telah terjadi pelanggaran Kode Etik Profesi Polri yang terutama diatur dalam Pasal 15 Perkapolri No. 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Perkapolri 14/2011”).
 
Penegakan kode etik profesi Polri dilakukan oleh Komisi Kode Etik Profesi (KKEP). Petugas Polri yang dinyatakan bersalah dapat dikenakan sanksi (Pasal 21 Perkapolri 14/2011):
a.    perilaku Pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela;
b.    kewajiban Pelanggar untuk meminta maaf secara lisan dihadapan Sidang KKEP dan/atau secara tertulis kepada pimpinan Polri dan pihak yang dirugikan;
c.    kewajiban Pelanggar untuk mengikuti pembinaan mental kepribadian, kejiwaan, keagamaan dan pengetahuan profesi, sekurang-kurangnya 1 (satu) minggu dan paling lama 1 (satu) bulan;
d.    dipindahtugaskan ke jabatan berbeda yang bersifat Demosi sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun;
e.    dipindahtugaskan ke fungsi berbeda yang bersifat Demosi sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun;
f.     dipindahtugaskan ke wilayah berbeda yang bersifat Demosi sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun; dan/atau
g.    Pemberhentian Tidak Dengan Hormat sebagai anggota Polri.
 
Dengan demikian, sanksi yang diberikan oleh KKEP kepada petugas Polri adalahberupa sanksi administratif. Kecuali, jika petugas polisi melakukan penganiayaan terhadap tersangka/terdakwa, maka bisa diproses secara hukum karena penganiayaan.
 
Di samping upaya-upaya tersebut, ketika hasil penyidikan dan penuntutan sudah dilimpahkan ke persidangan, pada beberapa kasus pelanggaran hak tersangka, seperti tidak dipenuhinya haknya untuk didampingi penasehat hukum atau tidak diberikan bantuan hukum bagi tersangka yang tidak mampu, hakim kemudian memutuskan dakwaan penuntut umum batal demi hukum. Lebih jauh simak artikelPenyidikan Tidak Sah Batalkan Dakwaan. Seperti juga ditulis advokat Anggara dalam tulisannya berjudul Hak atas Bantuan Hukum Sebagai Bagian Dari Eksepsi dan Pembelaan dalam Perkara PidanaPutusan Mahkamah Agung RI No 1565 K/Pid/1991 tertanggal 16 September 1993menyatakan pada pokoknya, “apabila syarat – syarat permintaan tidak dipenuhi seperti halnya penyidik tidak menunjuk penasihat hukum bagi Tersangka sejak awal penyidikan, maka tuntutan penuntut umum dinyatakan tidak dapat diterima.
 
Jadi, walaupun tidak dikenal di Indonesia, tetapi prinsip-prinsip yang serupadengan Miranda Rules juga dapat ditemukan dalam KUHAP. Jika terjadi pelanggaran oleh Polisi terhadap prinsip-prinsip tersebut dapat diajukan ke Praperadilan dan petugas polisi yang melanggar dapat diadukan ke KKEP melalui Divpropam Polri. Ketika sudah masuk dalam tahap persidangan, pelanggaran-pelanggaran hak tersangka/terdakwa tersebut dapat dituangkan dalam eksepsi.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:

Proses Hukum Oknum Polisi yang Melakukan Tindak Pidana

Menurut Pasal 29 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tunduk pada kekuasaan peradilan umum. Hal ini menunjukkan bahwa anggota polri merupakan warga sipil dan bukan termasuk subjek hukum militer.
 
Walaupun anggota kepolisian termasuk warga sipil, namun terhadap mereka juga berlaku ketentuan Peraturan Disiplin dan Kode Etik Profesi. Peraturan Disiplin Polri diatur dalam PP No. 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (“PP 2/2003”). Sedangkan, kode etik kepolisian diatur dalam Perkapolri No. 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Perkapolri 14/2011”).
 
Oknum polisi yang menggunakan narkotika berarti telah melanggar aturan disiplin dan kode etik karena setiap anggota polri wajib menjaga tegaknya hukum serta menjaga kehormatan, reputasi, dan martabat Kepolisian Republik Indonesia (lihatPasal 5 huruf a PP 2/2003 jo. Pasal 6 dan Pasal 7 Perkapolri 14/2011).
 
Pelanggaran terhadap aturan disiplin dan kode etik akan diperiksa dan bila terbukti akan dijatuhi sanksi. Penjatuhan sanksi disiplin serta sanksi atas pelanggaran kode etik tidak menghapus tuntutan pidana terhadap anggota polisi yang bersangkutan (Pasal 12 ayat [1] PP 2/2003 jo. Pasal 28 ayat [2] Perkapolri 14/2011). Oleh karena itu, oknum polisi yang menggunakan narkotika tetap akan diproses hukum acara pidana walaupun telah menjalani sanksi disiplin dan sanksi pelanggaran kode etik.
 
Oknum polisi disangkakan menggunakan narkotika dan diproses penyidikan tetap harus dipandang tidak bersalah sampai terbukti melalui putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (asas praduga tidak bersalah) sebagaimana diatur Pasal 8 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Mengenai sanksi pidana terhadap penyalahgunaan narkotika untuk diri pribadi diatur Pasal 127 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika:
Setiap Penyalah Guna:
a.    Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun;
b.    Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan
c.    Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
 
Ketentuan ini berlaku untuk semua orang yang menyalahgunakan narkotika untuk diri sendiri
 
Apabila putusan pidana terhadap oknum polisi tersebut telah berkekuatan hukum tetap, ia terancam diberhentikan tidak dengan hormat berdasarkan Pasal 12 ayat (1) huruf a PP No. 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (“PP 1/2003”):
“Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia diberhentikan tidak dengan hormat dari dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia apabila: dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan menurut pertimbangan pejabat yang berwenang tidak dapat dipertahankan untuk tetap berada dalam dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia.”
 
Dengan demikian, walaupun si oknum polisi sudah dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, oknum polisi tersebut baru dapat diberhentikan dengan tidak hormat apabila menurut pertimbangan pejabat yang berwenang dia tidak dapat dipertahankan untuk tetap berada dalam dinas kepolisian .
 
Pemberhentian anggota kepolisian dilakukan setelah melalui sidang Komisi Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Pasal 12 ayat [2] PP 1/2003).
 
Jadi, walaupun anggota polisi juga merupakan warga sipil, tetapi terdapat perbedaan proses penyidikan perkaranya dengan warga negara lain karena selain tunduk pada peraturan perundang-undangan, anggota polri juga terikat pada aturan disiplin dan kode etik yang juga harus dipatuhi.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
 

Mengenai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)

Kami asumsikan yang Anda maksud dengan pemerintahan dalam hal ini adalah semua kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
 
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (“PPNS”) merupakan penyidik yang berasal dari PNS untuk melakukan penyidikan tindak pidana tertentu. Biasanya tindak pidana tersebut bukan tindak pidana umum yang biasa ditangani oleh penyidik Kepolisian.
 
Berdasarkan Pasal 1 angka 5 PP No. 43 Tahun 2012, yang dimaksud dengan PPNS adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang berdasarkan peraturan perundang-undangan ditunjuk selaku Penyidik dan mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam lingkup undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.
 
Untuk lebih memperjelas, kami akan jelaskan contoh tugas dan kewenangan penyidik PPNS pada beberapa instansi/lembaga atau badan pemerintah.
 
1.    PPNS pada Kementerian Perhubungan atau Dinas Perhubungan di tingkat Provinsi
 
Berdasarkan ketentuan Pasal 259 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Jalan Raya (“UU LLAJ”) penyidikan terhadap tindak pidana lalu lintas dan angkutan jalan juga dapat dilakukan oleh PPNS tertentu yang diberi kewenangan khusus.
 
Kemudian, siapakah PPNS lalu lintas dan angkutan jalan itu? Hal ini ternyata dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 19 PP No. 80 Tahun 2012 bahwa PPNS lalu lintas dan angkutan jalan merupakan PNS yang berada di bawah Menteri yang membidangi lalu lintas dan angkutan jalan. Kewenangan PNS untuk PPNS dapat diberikan oleh Menteri, Kepala Dinas Provinsi yang membidangi sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan, atau Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang membidangi sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
 
PPNS lalu lintas memiliki kewenangan yang diatur dalam Pasal 262 ayat (1) UU LLAJ. Kewenangan PPNS lalu lintas dilakukan di Terminal dan/atau tempat alat penimbangan yang dipasang secara tetap (Pasal 262 ayat [2] UU LLAJ).
 
Pelaksanaan kewenangan PPNS lalu lintas dapat dikatakan bersifat subordinatif dengan penyidik Kepolisian, hal ini terlihat dari ketentuan bahwa apabila PPNS lalu lintas ingin melakukan razia kendaraan maka harus didampingi oleh penyidik Kepolisian (Pasal 266 ayat [4] UU LLAJ) serta dalam melaksanakan kewenangannya, PPNS lalu lintas wajib berkoordinasi dengan penyidik Kepolisian (Pasal 263 ayat [2] UU LLAJ).
 
2.    PPNS pada Kementerian Kehutanan
 
Ketentuan hukum mengenai hutan diatur terutama dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19 Tahun 2004 jo. Perpu No. 1 Tahun 2004 (“UU Kehutanan”).
 
Penyidikan terhadap tindak pidana di bidang kehutanan tidak hanya dapat ditangani oleh penyidik Kepolisian, tetapi juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengurusan hutan, diberi wewenang khusus sebagai penyidik (Pasal 77 ayat [1] UU Kehutanan). Kewenangan PPNS di bidang kehutanan selanjutnya diatur dalam Pasal 77 ayat (2) UU Kehutanan.
 
3.    PPNS pada Kementerian Komunikasi dan Informatika
 
Berdasarkan Pasal 44 ayat (1) UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (“UU Telekomunikasi”), penyidikan terhadap tindak pidana telekomunikasi, juga dapat dilakukan oleh Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik. Kewenangan PPNS telekomunikasi diatur dalam Pasal 44 ayat (2) UU Telekomunikasi.
 
Pada dasarnya, setiap penyidikan harus mengacu pada ketentuan UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) dan dalam melaksanakan kewenangannya, PPNS dalam bidang apapun harus berkoordinasi dengan penyidik Kepolisian. Untuk mengatur kewenangan PPNS diterbitkanlahPerkapolri No. 6 Tahun 2010 tentang Manajemen Penyidikan Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
 
Jadi, PPNS merupakan pejabat PNS yang ditunjuk dan diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan dalam tindak pidana tertentu yang menjadi lingkup peraturan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya. Oleh karena itu, instansi/lembaga atau badan pemerintah tertentu memiliki PPNS masing-masing. Dalam melaksanakan tugasnya PPNS diawasi serta harus berkoordinasi dengan penyidik Kepolisian.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
7.    Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010 tentang Manajemen Penyidikan Penyidik Pegawai Negeri Sipil
 
 

Jerat Hukum Penyelenggara Radio Ilegal

Di Indonesia sendiri terdapat sejumlah peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pelaksanaan penegakan hukum terhadap penyelenggaraan penyiaran, khususnya penggunaan spektrum frekuensi radio. Hal ini sesuai dengan yang terdapat dalam Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 4 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Penegakan Hukum Terhadap Penyelenggaraan Penyiaran Tanpa Izin Serta Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio Tanpa Izin Untuk Keperluan Penyiaran.
 
Tujuan surat edaran tersebut adalah sebagai bentuk nyata komitmen Pemerintah untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan dalam melindungi masyarakat pada umumnya dan pengguna spektrum frekuensi radio yang sudah memiliki izin pada khususnyaSurat Edaran ini ditetapkan dalam rangka penegakan hukum terhadap penyelenggara penyiaran tanpa izin dan/atau pengguna spektrum frekuensi radio untuk keperluan penyiaran yang belum memiliki Izin Stasiun Radio (ISR) demi terciptanya kepastian hukum dan tertib administrasi.
 
Definisi spektrum frekuensi radio itu sendiri dapat kita temukan dalam Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (“UU Penyiaran”) yang berbunyi:
“Spektrum frekuensi radio adalah gelombang elektromagnetik yang dipergunakan untuk penyiaran dan merambat di udara serta ruang angkasa tanpa sarana penghantar buatan, merupakan ranah publik dan sumber daya alam terbatas.”
 
Mengutip dari laman resmi Ditjen Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan InformasiSpektrum Frekuensi Radio merupakan sumber daya alam yang terbatas yang mempunyai nilai strategis dalam penyelenggaraan telekomunikasi dan dikuasi oleh negara. Pemanfaatan Spektrum Frekuensi Radio sebagai sumber daya alam tersebut perlu dilakukan secara tertib, efisien dan sesuai dengan peruntukannya sehingga tidak menimbulkan gangguan yang merugikan.
 
Masih dalam laman yang sama, disebutkan bahwa penggunaan spektrum frekuensi radio harus sesuai dengan peruntukannya serta tidak saling menganggu mengingat sifat spektrum frekuensi radio dapat merambat ke segala arah tanpa mengenal batas wilayah negara. Penggunaan spektrum frekuensi radio antara lain untuk keperluan penyelenggaraan jaringan telekomunikasi, penyelenggaraan telekomunikasi khusus, penyelenggaraan penyiaran, navigasi dan keselamatan, Amatir Radio dan KRAP, serta sistem peringatan dini bencana alam yang sangat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Pelaksanaan pelayanan perizinan spektrum frekuensi radio dilaksanakan dengan dukungan teknologi informasi berupa sistem data processing dan database penggunaan frekuensi radio nasional (Sistem Informasi Manajemen Frekuensi/SIMF), serta sistem pengawasan/monitoring penggunaan frekuensi radio yang tersebar di seluruh ibu kota propinsi.
 
Menjawab pertanyaan Anda mengenai aturan khusus yang dapat menjerat pelaku yang tidak memiliki izin resmi dari pemerintah perihal perizinan penggunaan spektrum frekuensi radio, maka kita mengacu pada ketentuan dalam Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (“UU Telekomunikasi”) yang berbunyi:
Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit wajib mendapatkan izin Pemerintah.”
 
Sanksi bagi mereka yang melanggar ketentuan pasal tersebut adalah sanksi administrasi berupa pencabutan izin (Pasal 45 UU Telekomunikasi). Selain itu, pelanggar juga dikenakan sanksi pidana berupa pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp400 juta (Pasal 53 ayat [1] UU Telekomunikasi). Kemudian, apabila tindak pidana dalam Pasal 33 ayat (1) UU Telekomunikasi tersebut mengakibatkan matinya seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun (Pasal 53 ayat [2] UU Telekomunikasi).
 
Contoh kasus tindak pidana penggunaan frekuensi radio tanpa izin dapat kita ambil antara lain dari Laporan Balai Monitor Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit Kelas II Jayapura yang juga kami dapat dari laman resmi Ditjen Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informasi. Salah satunya adalah kasus tindak pidana penggunaan frekuensi radio tanpa izin dengan terdakwa Simron Tangkepayung, pemilik radio Move FM pada 2006. Putusan Pengadilan Negeri Klas IA Jayapura Nomor 133/Pid.B/2006/PN-JPR tanggal 15 Juni 2006, telah menjatuhkan hukuman pidana kepada terdakwa Simron Tangkepayung alias Ruben yang terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana “Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit Tanpa Izin Pemerintah”. Hukuman tersebut berupa pidana penjara selama 3 (tiga) bulan dengan denda masa percobaan 6 (enam) bulan dan membayar biaya perkara sebesar Rp1.000.- (seribu rupiah), sedang barang bukti berupa 1 (satu) unit pemancar radio siaran FM warna abu-abu bertulis exiter, dengan penutup atas berwarna hitam dan kuning dikembalikan kepada yang berhak. 

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:

3.   Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 4 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Penegakan Hukum Terhadap Penyelenggaraan Penyiaran Tanpa Izin Serta Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio Tanpa Izin Untuk Keperluan Penyiaran.
 
Referensi:
http://www.postel.go.id/artikel_c_3_p_93.htm, diakses pada 24 Mei 2013 pukul 11.05 WIB
http://www.postel.go.id/info_view_c_6_p_1476.htm, diakses pada 24 Mei 2013 pukul 11.10 WIB