Kamis, 04 April 2013

PERAN DAN FUNGSI ARBITRASE DALAM HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL (REVIEW PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI ARBITRASE DALAM INVESTASI PERDAGANGAN)


PERAN DAN FUNGSI ARBITRASE DALAM HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL (REVIEW PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI ARBITRASE DALAM INVESTASI PERDAGANGAN)
D
I
S
U
S
U
N
OLEH :
  1. ENZI FEBRIANTI                                      10.840.0070
  2. MARTINA PERMATASARI                     10.840.
  3. SUSI LASTRI SITUMEANG                     10.840.
  4. FRI DOLIN SIAHAAN                              10.840.0173
  5. ENNI MARTALENA P                              10.840.0073
  6. NICO                                                             11.840.0253

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MEDAN AREA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A . Pengertian dan Penegasan Judul
Penyelesaian sengketa investasi perdagangan dapat dilakukan melalui dua cara yaitu litigasi dan non litigasi. Salah satu bentuk penyelasain sengketa non litigasi yang biasa digunakan dalam investasi perdagangan adalah arbistrase.
Arbistrase mulai dikenal dalam sistem hukum di Indonesia semenjak diterbitkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase didasarkan pada suatu perjanjian yang bersifat tertulis yang disepakati oleh kedua belah pihak.Terhadap putusan arbitrase pada dasarnya adalah bersifat final dan mengikat sehingga dapat dieksekusi secara sederhana. Akan tetapi apabila salah satu merasa dirugikan dapat mengajukan keberatan kepada ketua Pengadilan Negeri setempat
Pada sekarang ini perdagangan bebas menjadikan negara seakan-akan tanpa batas khususnya dalam bidang perdagangan internasional atau dagang internasional, yaitu yang melibatkan beberapa negara. Dalam menyongsong perdagangan bebas diperlukan suatu perangkat aturan yang jelas dan memadai, yang tidak menimbulkan masalah di kemudian hari dalam mengadakan transaksi dagang.Timbulnya masalah dari perdagangan atau dagang internasional umumnya berkaitan dengan risiko tertentu yang terjadi karena penerapan peraturan hukum yang berbeda, apalagi jika salah satu negara tidak mengakui hukum nasional negara asing.
Dalam menjalin hubungan dagang antara para pihak, baik dalam skala domestik maupun internasional, para pihak senantiasa menghendaki agar segala apa yang telah disepakati dan dituangkan kedalam perjanjian dapat dipenuhi dan dilaksanakan sebagaimana mestinya, yaitu, sesuai dengan tujuan diadakannya kesepakatan dalam kontrak tersebut.
Hal ini mengandung maksud bahwa ikatan dagang yang telah disepakatinya tersebut terdapat kepastian hukum terhadap segala hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian dagang tersebut. Pemenuhan hak dan kewajiban sebagaimana telah diperjanjikn akan menimbulkan prosesresiprositas diantara para pihak, dengan maksud agar para pihak yang telah mencapai kata sepakat untuk mengadakan perjanjian dagang terjalin suatu hubungan yang langgeng, sehingga dapat berlangsung untuk jangka panjang, serta mencegah kemungkinan timbulnya sengketa. Penyelesaian sengketa dagang baik domestik maupun internasional semula diselesaikan oleh lembaga peradilan umum (litigasi), namun dengan pertimbangan pertimbangan tertentu, sengketa dagang internasional tersebut diselesaikan melalui lembaga di luar sidang pengadilan (non litigasi). Penyelesaian dagang melalui lembaga peradilan umum dilangsungkan oleh lembaga pengadilan negeri, sedangkan penyelesaian sengketa dagang melalui lembaga non litigasi diselenggarakan oleh lembaga arbitrase.
Metode Penulisan
1 . Pendekatan Masalah
Penelitian ini tergolong penelitian yuridis normatif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach). Statute approach  yaitu pendekatan yang dilakukan dengan mengidentifikasi serta membahas peraturan perundang-undangan yang berlaku berkaitan dengan materi yang dibahas. Sedangkan conceptual approach yaitu pendekatan dengan cara membahas pendapat para sarjana sebagai landasan pendukung pembahasan.
2 . Sumber Bahan Hukum
a)    Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang sifatnya mengikat berupaperaturan perundang-undangan yang berlaku dan ada kaitannya dengan permasalahan yang dibahas, yaitu, UU No. 30 Tahun 1999 dan peraturan lainnya yang ada kaitannya dengan materi yang dibahas.
b)    Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang sifatnya menjelaskan bahan hukum primer, dalam hal ini bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang berupa buku-buku literatur, catatan kuliah, karya ilmiah dan berbagai media cetak yang berlaku dan ada kaitannya dengan permasalahan yang sedang dibahas.
BAB II
Permasalahan
Penyelesaian melalui lembaga arbitrase di Indonesia diawali pada tahun 2007
dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1968 tentang Persetujuan atas Konvensi tentang Penyelesaian Perselisihan antara Negara dan Warga Negara Asingmengenai Penanaman Modal. Diundangkannya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 (selanjutnya disingkat UU No. 25 Tahun 2007) merupakan suatu bentuk ratifikasi dari Konvensi International Centre for the Settlement of Investment Desputes between States and Nationals of other States (ICSID). Meskipun telah ada ketentuan yang mengaturnya, namun dibentuk juga peraturan yang mengatur masalah arbitrase yaitu Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase (selanjutnya disingkat UU No. 30 Tahun 1999).
Rumusan Masalah
1.      Pengertian dan ciri-ciri arbitrase
2.      Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dalam investasi perdagangan ditinjau dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.
3.      Peran arbitrase dalam penyelesaian sengketa perdagangan internasional.
4.      Upaya hukum para pihak yang menolak putusan arbitrase.
5.      Ruang Lingkup Arbitrase.






BAB III
PEMBAHASAN
1.      Pengertian dan Ciri-ciri Arbitrase
Penyelesaian sengketa bisnis melalui forum arbitrase sekarang ini sudah menjadi cara penyelesaian sengketa bisnis yang disukai. Beberapa pengertian arbitrase, diantaranya sebagai berikut :
·         Arbitrase adalah penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak ketiga yang netral. Pihak ketiga ini bisa individu, arbitrase terlembaga atau arbitrase sementara (ad hoc). (Huala Adolf, 2006).
·         Arbitrase adalah suatu tindakan hukum dimana ada pihak yang menyerahkan sengketa atau selisih pendapat antara dua orang (atau lebih) maupun dua kelompok (atau lebih) kepada seseorang atau beberapa ahli yang disepakati bersama dengan tujuan memperoleh suatu keputusan final dan mengikat. (Priyatna Abdurrasyid, 2002).
·         Chappel mendefinisikan arbitrase sebagai suatu penyelesaian sengketa yang dipilih secara sukarela oleh para pihak yang menginginkan sengketanya diputus oleh hakim yang netral yang dipilih oleh mereka, yang keputusannya berdasarkan kepada pokok sengketa, yang mereka setujui sebelumnya untuk menerima keputusan tersebut sebagai final dan mengikat (Huala Adolf, 2007).
·         Abdul Kadir, Ken Hoyle dan Geoffrey Whitehead memberi batasan lembaga ini yaitu penyerahan sukarela suatu sengketa kepada seseorang yang berkualitas untuk menyelesaikannya dengan suatu perjanjian bahwa keputusan arbitrator akan final dan mengikat (Huala Adolf, 2007).

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesain Sengketa menyatakan bahwa arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Disamping definisi-definisi tersebut di atas, penting juga dikemukakan ciri-ciri arbitrase, yaitu :
1.      Bahwa badan arbitrase ini adalah suatu cara atau metode penyelesaian sengketa. Sengketa tersebut diselesaikan oleh pihak ketiga dan pihak (pihak) netral atau arbitrator yang secara khusus ditunjuk.
2.      Bahwa para arbitrator mempunyai wewenang yang diberikan oleh para pihak. Para arbitrator diharapkan memutuskan sengketa menurut hukum.
3.      Arbitrase merupakan sistem pengadilan perdata, artinya bahwa para pihaklah, dan bukan negara yang mengawasi kewenangan dan kewajiban para pihak.
4.      Keputusan yang dikeluarkan badan ini bersifat final dan mengakhiri persengketaan para pihak.
5.      Keputusan para arbitrator mengikat para pihak berdasarkan persetujuan diantara mereka untuk menyerahkan sengketanya kepada arbitrase, bahwa mereka akan menerima dan secara sukarela memberikan kekuatan kepada keputusan arbitrase tersebut.
6.      Bahwa pada pokoknya proses berperkara melalui badan arbitrase dan putusannyaterlepas dan bebas dari campur tangan negara.

Dalam praktek, biasanya penyerahan sengketa ke suatu badan peradilan tertentu, termasuk arbitrase, termuat dalam klausul penyelesaian sengketa dalam suatu kontrak.
Biasanya judul klausul tersebut ditulis secara langsung dengan ‘Arbitrase’. Kadang istilah lain yang digunakan adalah ‘choice of forumatau’choice of jurisdiction’. Istilah choice of forum berarti pilihan cara untuk mengadili sengketa, dalam hal ini pengadilan atau badan arbitrase. Istilah choice of jurisdiction berarti pilihan tempat dimana pengadilan memiliki kewenangan untuk menangani sengketa. Tempat yang dimaksud misalnya Inggris, Belanda, Indonesia dan lain-lain (Huala Adolf, 2006). Penyerahan suatu sengketa kepada arbitrase dapat dilakukan dengan pembuatan suatu submission clause, yaitu penyerahan kepada arbitrase suatu sengketa yang telah lahir atau melalui pembuatan suatu klausul arbitrase dalam suatu perjanjian sebelum sengketanya lahir (klausul arbitrase atau arbitration clause) dan harus tertulis. Sistem hukum nasional dan internasional mensyaratkan ini sebagai suatu syarat utama untuk arbitrase.
Dalam hukum nasional kita, syarat ini tertuang dalam pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang menyatakan bahwa perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausul arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbulnya sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.
 Dalam instrumen hukum internasional termuat dalam pasal 7 ayat (2) UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration 1985, atau pasal II Konvensi New York 1958. Klausul arbitrase melahirkan yurisdiksi arbitrase, artinya klausul tersebut memberi kewenangan kepada arbitrator untuk menyelesaikan sengketa. Apabila pengadilan menerima suatu sengketa yang di dalam kontraknya terdapat klausul arbitrase, pengadilan harus menolak untuk menangani sengketa (Huala Adolf, 2006).
Peran arbitrase difasilitasi oleh adanya lembaga-lembaga arbitrase internasional.
Badan-badan tersebut adalah :
1. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)
    Badan Arbitrase Nasional Indonesia adalah badan arbitrase yang telah lama berdiri di         
     Indonesia, yaitu sejak tahun 1978. BANI sebagai suatu lembaga penyelesaian      
     sengketa dagang di Indonesia menggariskan tujuan badan ini sebagai berikut : (Huala Adolf,     
      2007)
a.       Dalam rangka turut serta dalam upaya penegakan hukum di Indonesia menyelenggarakan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang terjadi di berbagai sektor perdagangan, industri dan keuangan, melalui arbitrase dan bentukbentuk alternatif penyelesaian sengketa lainnya antara lain di bidang-bidang Korporasi, Asuransi, Lembaga Keuangan, Fabrikasi, Hak Kekayaan Intelektual, Lisensi, Franchise, Konstruksi, Pelayaran/maritime, Lingkungan hidup, Penginderaan Jarak Jauh dan lain-lain dalam lingkup peraturan perundang-undangan dan kebiasaan internasional.
b.      Menyediakan jasa-jasa bagi penyelenggaraan penyelesaian sengketa melalui arbitrase atau bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa lainnya, seperti negosiasi, mediasi, konsiliasi dan pemberian pendapat yang mengikat sesuai dengan Peraturan Prosedur BANI atau peraturan prosedur lainnya yang disepakati oleh oleh para pihak yang berkepentingan.
c.       Bertindak secara otonom dan independen dalam penegakan hukum dan keadilan.
d.      Menyelenggarakan pengkajian dan riset serta program-program pelatihan/pendidikan mengenai arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa.

BANI biasanya dalam menyelesaikan sengketa membentuk suatu majelis arbitrase, terdiri dari tiga orang arbiter yang dapat dipilih oleh para pihak. Bila para pihak tidak memilih, maka Ketua BANI akan menentukan para arbiter untuk menyelesaikan sengketanya. Dalam menyelesaikan sengketa majelis arbitrase tunduk pada kode etik arbiter BANI dan hukum acara BANI yang terdiri dari 39 pasal mengatur berbagai hal persidangan arbitrase, mulai dari kesepakatan arbitrase, permohonan dan pendaftaran arbitrase, susunan arbiter, putusan arbitrase, hingga ketentuan mengenai pembiayaan.
Kewenangan BANI untuk menangani sengketa lahir karena adanya kesepakatan atau klausul atau perjanjian arbitrase yang disepakati dan ditandatangani oleh para pihak. BANI juga memberi model klausul arbitrase dimana para pihak dapat mengadopsinya dalam kontrak yang mereka buat.

2.International Chamber of Commerce (ICC)
     Kamar Dagang dan Industri berkedudukan di Paris. Asosiasi dagang internasional ini          memiliki badan penyelesaian sengketa dagang, yaitu Peradilan Arbitrase ICC (Court  of Arbitration). ICC juga menyediakan sarana penyelesaian melalui konsiliasi yang memiliki Rules of Conciliation-nya. Sidang arbitrase ICC dapat berlangsung dimana saja, meskipun bermarkas di Paris dan menerapkan hukum yang para pihak telah sepakati. Badan Arbitrase ICC memiliki aturan hukum acara arbitrasenya (Rules of Arbitration) dan merupakan salah satu lembaga arbitrase yang terkenal. Sekitar 400- an kasus yang diserahkan setiap tahunnya kepada badan arbitrase ini. (Huala Adolf, 2006).
Sekretariat badan arbitrase sebelum mengadili sengketa biasanya mensyaratkanpembayaran administrasi dan biaya arbiter, dihitung berdasarkan biaya yang telah ditentukan ICC serta jumlah biaya yang disengketakan. Selain itu mensyaratkan pula biaya deposit sebelum badan arbitrase memulai pekerjaannya.

3. London Court of International Arbitration (LCIA)
LCIA dibentuk pada tahun 1891 dan merupakan salah satu badan arbitrase yang tertua di dunia. Pembentukan badan arbitrase ini diprakarsai dan dibentuk oleh The Court of Common Council of the City of London. Waktu itu badannya sendiri bernama “The City of London Chamber of Arbitration”, diresmikan pada tahun 1892. Tujuan pembentukan badan arbitrase ini adalah lembaga penyelesaian sengketa yang cepat, murah, sederhana dan pencipta perdamaian. Selanjutnya nama ini diubah menjadi the “London Court of Arbitration” (LCA) pada bulan April 1903. Perubahan penting lainnya terjadi pada tahun 1981, nama LCA diubah menjadi “The London Court of International Arbitration”. Hal ini dilakukan untuk lebih merefleksikan lembaga badan arbitrase London menjadi lembaga atau badan arbitrase internasional.

Hukum acara arbitrase LCIA biasanya menggunakan Arbitration Rules yang dikeluarkan oleh UNCITRAL (United Nations Commission on International Trade Law) tahun 1976. Dewasa ini UNCITRAL Arbitration Rules 1976 memang telah menjadi acuan hukum acara arbitrase komersial oleh berbagai badan arbitrase komersial di dunia, termasuk Indonesia.

Sengketa yang diserahkan kepada badan arbitrase LCIA tunduk kepada adanya suatu klausul arbitrase yang menunjuknya sebagai badan penyelesaian sengketa. LCIA juga memberikan model klausul arbitrase yang dapat digunakan oleh para pihak dalam kontrak-kontraknya. Klausula atau perjanjian arbitrase harus memuat : (Catur Irianto : 2007)
a. Masalah yang dipersengketakan;
b. Nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;
c. Nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase;
d. Tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan;
e. Nama lengkap sekretaris;
f. Jangka waktu penyelesaian sengketa;
g. Pernyataan kesediaan dari arbiter, dan
h. Pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala
biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase.

2.      Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dalam investasi perdagangan ditinjau dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
Menurut Black's Law Dictionary: "Arbitration. an arrangement for taking an
abiding by the judgement of selected persons in some disputed matter, instead of
carrying it to establish tribunals of justice, and is intended to avoid the formalities, the
delay, the expense and vexation of ordinary litigation".
Istilah arbitrase (arbitrage = arbitration) berasal dari bahasa Latin, yakni  arbitrari yang berarti suatu penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim (arbitrator) atau para hakim (arbitrator) berdasarkan persetujan bahwa mereka tunduk dan mentaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih atau tunjuk tersebut. H.M.N. Putwosutjipto menerjemahkan istilah arbitration (Inggris) atau arbitrage(Belanda) dengan perwasitan. Kemudian perwasitan itu didefinisikan sebagai suatu peradilan perdamaian dimana para pihak bersepakat agar perselisihan mereka tentang hak pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak memihak, yang ditunjuk oleh  para pihak oleh hakim yang tidak memihak, yang ditunjuk oleh para pihak sendiri dan putusannya mengikat kedua belah pihak.


Arbitrase menurut Subekti diartikan sebagai berikut: “Arbitrase adalah  penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para halim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau mentaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim mereka pilih atau tunjuk tersebut”. Menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 30 Tahun 1999 mengartikan arbitrase sebagai berikut: “Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”.

Memperhatikan definisi arbitrase sebagaimana tersebut di atas dapat dijelaskan  bahwa arbitrase merupakan suatu bentuk penyelesaian sengketa di luar peradilan umum, didasarkan perjanjian, yang dibuat secara tertulis, oleh para pihak yang bersengketa.
Perihal arbitraseterdapat tiga hal yang dapat dikemukakan dari definisi  perjanjian arbitrase, di antaranya:
                  Perjanjian arbitrase merupakan salah satu bentuk perjanjian;
                  Perjanjian arbitrase harus dibuat dalam bentuk tertulis;
               Perjanjian tersebut ditujukan untuk menyelesaikan sengketa yang dilaksanakan diluar                                         peradilan umum.
Penyelesaian perkara perdata melalui lembaga peradilan tidak cukup hanya pada lembaga peradilan dalam arti Pengadilan Negeri saja, karena jika dengan putusan peradilan tingkat pertama tersebut terdapat pihak yang merasa dirugikan, dapat mengajukan upaya hukum pada peradilan yang lebih tinggi yaitu upaya banding pada Pengadilan Tinggi. Jika putusan Pengadilan Tinggi tersebut mengakibatkan salah satu pihak merasa keberatan karena dirugikan, maka dapat mengajukan upaya hukum kasasi pada Mahkamah Agung, dan demikian juga jika salah satu pihak merasa keberatan terhadap putusan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi, dapat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali pada Mahkamah Agung. Pada kondisi yang demikian tentunya penyelesaian melalui lembaga peradilan memerlukan waktu yang cukup lama, tentunya juga menyangkut masalah biaya dan tenaga yang tidak sedikit jumlahnya.Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Sudargo Gautama, bahwa para pedagang pada umumnya takut untuk berperkara bertahun-tahun lamanya. Tentunya banyak biaya yang harus dikeluarkan sebelum dapat diperoleh suatu putusan dengan kekuatan pasti (enforceable), artinya dapat dijalankan melalui eksekusi. Oleh karena itu tentunya
penyelesaian melalui lembaga peradilan khususnya bagi para pedagang kurang diminati, sesuai pula dengan yang dikemukakan oleh Ridwan Khairandy bahwa pada perkembanganya, terutama menyangkut masalah transaksi (kerjasama) bidang dagang internasional, penyelesaian sengketa melalui pengadilan kurang begitu diminati oleh pihak-pihak yang bersengketa.
Hal ini disebakan oleh adanya beberapa faktor, di antaranya:
·         Lamanya proses beracara dalam persidangan penyelesaian perkara perdata;
·         Lamanya penyelesaian sengketa dapat pula disebabkan oleh panjangnya tahapan   penyelesaian sengketa,
·          Lama dan panjangnya proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan tersebut tentunya membawa akibat yang berkaitan dengan tingginya biaya yang diperlukan;
·         Sidang pengadilan di Pengadilan Negeri dilakukan secara terbuka, padahal disisi lain kerahasiaan adalah sesuatu yang diutamakan di dalam kegiatan dagang;
·          Seringkali hakim yang menangani atau menyelesaikan sengketa dalam dagang kurang menguasai substansi hukum sengketa yang bersangkutan atau dengan perkataan lain hakim dianggap kurang profesional, dan
·          Adanya citra yang kurang baik terhadap dunia peradilan Indonesia.
Penyelesaian sengketa dagang dapat dilakukan di luar lemabaga peradilan yaitu penyelesaian dengan menggunakan jasa arbitrase (non litigasi). Pada umumnya pengusaha asing lebih senang menyelesaikan sengketa melalui lembaga arbitrase, dengan pertimbangan:
Pertama, pengusaha asing lebih suka menyelesaikan sengketa melalui perjanjian arbitrase di luar negeri karena menganggap sistem hukum dan pengadilan setempat asing bagi mereka.
Kedua, pengusaha-pengusaha negara maju beranggapan bahwa hakim-hakim negara berkembang tidak menguasai sengketa-sengketa dagang yang melibatkan hubungan-hubungan niaga dan keuangan internasional yang rumit.
Ketiga, pengusaha negara maju beranggapan penyelesaian sengketa melalui pengadilan akan memakan waktu yang lama dan ongkos yang besar, karena proses pengadilan yang panjang dari tingkat pertama sampai dengan tingkat Mahkamah Agung.
Keempat, keengganan pengusaha asing untuk menyelesaikan sengketa di depan Pengadilan bertolak dari anggapan bahwa Pengadilan bersifat subjektif kepada mereka, karena sengketa diperiksa dan diadili berdasarkan bukan hukum negara mereka, oleh hakim bukan dari negara mereka.
Kelima, penyelesaian sengketa di Pengadilan akan mencari siapa yang salah dan siapa yang benar, dan hasilnya akan dapat merenggangkan hubungan dagang antar mereka.
Keenam, penyelesaian sengketa melalui perjanjian arbitrase tertutup sifatnya, sehingga tidak ada publikasi mengenai sengketa yang timbul. Publikasi mengenai sengketa suatu yang tidak disukai oleh para pengusaha.
Dengan kondisi sebagaimana di atas, penyelesaian melalui lembaga arbitrase mempunyai kelebihan-kelebihan jika dibandingkan dengan penyelesaian melalui jalur peradilan umum. Kelebihan tersebut di antaranya adalah:
·         Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak;
·         Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal proseduran dan administrasi;
·         Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil;
·          Para pihak dapat memilih hukum apa yang akan diterapkan untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase;
·          Keputusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) yang sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Arbitrase merupakan salah satu alternatif diantara sekian banyak alternatif forum penyelesaiann sengketa dagang. Arbitrase termasuk dalam model penyelesaian sengketa yang bersifat non ligitigasi (out of court dispute settlement). Selain arbitrase, terdapat pula berbagai alternatif penyelesaian sengketa dagang secara non litigasi, antara lain meliputi: negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan lain sebagainya.
Di antara berbagai model penyelesaian sengketa non litigasi tersebut, maka arbitrase yang memiliki ciri tersendiri yang tergolong unik. Di satu pihak,arbitrase termasuk sebagai model non litigasi, oleh karena menyangkut penyelesaian sengketa dagang di luar lembaga peradilan atas dasar kesukarelaan para pihak.
Para pihak yang bersengketa memiliki otonomi luas (party autonomie) dalam dan menentukan forum, aturan, prosedur, arbitrase, dan lain sebagainya yang dianggap sesuai dengan kehendak bersama para pihak.Termasuk adanya prinsip “private and confidential” yang merupakan ciri yang paling litigasi. Di pihak lain, putusan yang telah dihasilkan melalui proses arbitrase bersifat final dan mengikat (final and binding) sehingga putusannya dimungkinkan untuk dilaksanakan sebagaimana layaknya sebagai putusan lembaga peradilan (enforceable). Putusan arbitrase yang bersifat final dan mengikat memberikan penyelesaian sengketa dagang yang efektif dan efisien kepada pihak yang bersengketa.
Selain dari pada itu, dengan dimungkinkannya pelaksanaan putusan arbitrase melalui lembaga peradilan memberikan efek kepastian hukum kepada pihak yang bersengketa.
Menurut. Subekti bagi dunia perdagangan atau bisnis, penyelesaian sengketa lewat arbitrase atau perwasitan, mempunyai beberapa keuntungan yaitu bahwa ia dilakukan :
a) Dengan cepat;
b) Oleh ahli dari;
c) Secara rahasia.
Sementara itu Purwosutjipto mengemukakan arti pentingnya peradilan wasit (arbitrase) adalah: Penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan dengan cepat. Para wasit terdiri dari orang-orang ahli dalam bidang yang dipersengketakan, yang diharapkan mampu membuat putusan yang memuaskan para pihak. Putusan akan lebih sesuai dengan perasaan keadilan para pihak. Putusan peradilan wasit dirahasiakan, sehingga umum tidak mengetahui tentang kelemahan-kelemahan perusahaan yang bersangkutan.
Sifat rahasia pada putusan perwasitan inilah yang dikehendaki oleh para pengusaha. Namun Lembaga arbitrase masih memiliki ketergantungan pada pengadilan, misalnya dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase, ada keharusan untuk mendaftarkan putusan arbitrase di pengadilan negeri. Hal ini menunjukkan bahwa lembaga arbitrase tidak mempunyai upaya pemaksa terhadap para pihak untuk menaati putusannya.
Apabila hubungan dagang terjadi suatu sengketa, penyelesaian sengketa dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, di antaranya:
·         Model penyelesaian sengketa dagang dilakukan oleh dan melalui lembaga peradilan (in court dispute settlement),
·           Model penyelesaian sengketa dagang dilakukan di luar lembaga peradilan (out of court dispute settlement), yang masing-masing mempunyai karakteristik dan konsekuensi yang berlainan.
 Apabila memperhatikan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa dasar penunjukkan lembaga arbitrase oleh para pihak dalam hubungan dagang adalah kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak dagang tersebut. Hal ini mengandung maksud bahwa penunjukkan penyelesaian sengketa dagang oleh lembaga arbitrase harus dicantumkan secara jelas dalam klausula dagang, sejalan dengan asas yang terkandung dalam kebebasan berkontrak, yaitu semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338 angka 1 KUH Perdata).
Perihal arbitraseterdapat tiga hal yang dapat dikemukakan dari definisi Arbitrase sebagai bentuk perjanjian yang dibuat antara pihak-pihak yang terlibat dalam perdagangan baik nasional maupun internasional, maka harus dibuat memenuhi syarat subjektif dan syarat objektif.
Syarat subjektif 
perjanjian arbitrase, selain perjanjian harus dibuat oleh pihak-pihak yang telah cakap bertindak dalam hukum dan sepakat antara kedua belah pihak, perjanjian tersebut harus dibuat oleh pihak-pihak yang demi hukum dianggap mempunyai kewenangan untuk membuat perjanjian. Para pihak yang membuat perjanjian arbitrase tidak dibatasi hanya untuk subjek hukum menurut hukum perdata, melainkan juga termasuk di dalamnya subjek hukum publik. Meskipun sebagai salah satu pihak adalah subjek hukum publik, tidaklah berarti arbiter dapat mengadili segala sesuatu yang berhubungan dengan hukum publik. Sengketa yang melibatkan subjek hukum publik diselesaikan melalui arbitrase yang sifatnya terbatas.
Syarat objektif 
perjanjian arbitrase atau dalam hal ini adalah sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase (dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya) hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Objek perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya) menurut Pasal 5 ayat 1 UU Arbitrase hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundangundangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual. Sementara itu ayat 5 (2) UU Arbitrase memberikan perumusan negatif bahwa sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian sebagaimana diatur dalam B.W. Buku III bab kedelapan belas Pasal 1851 s/d 1854.
Penyelesaian perselelisihan melalui arbitrase adalah institusi hukum alternatif
bagi penyelesaian sengketa di luar lembaga pengadilan. Sebagian pengusaha lebih suka menyelesaikan sengketa yang timbul di antara mereka melalui perjanjian arbitrase dari pada pengadilan. Pengusaha asing lebih suka menyelesaikan sengketa melalui perjanjian arbitrase di luar pengadilan karena menganggap sistem hukum dan pengadilan setempat asing bagi mereka.
Oleh karenanya bisa saja negara yang bersangkutan mempunyai prasangka yang jelek terhadap sistem hukum negara di mana modal akan ditanamkan, khususnya yang menyangkut masalah kepastian hukum dan keadilan serta kredibilitas hakim penyelesaian sengketa tersebut. Oknum-oknum yang cenderung mempersulit
proses pencarian keadilan, peradilan yang ada di Indonesia saat ini dianggap kurang dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Berdasarkan pembahasan di atas dapat dijelaskan bahwa penyelesaian masalah
secara arbitrase di Indonesia berkembang setelah diundangkannya UU No. 30 Tahun 1999. Penyelesaian melalui arbitrase banyak dipilih karena sifat kerahasiaannya dan waktu yang dibutuhkan jauh lebih pendek bila dibandingkan dengan penyelesaian melalui peradilan umum. Selain itu penyelesaian melalui arbitrase lebih menjaga kerahasiaan pihak-pihak
3.       Peranan Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Kontrak Internasional
Penyelesaian bisnis melalui forum arbitrase sekarang ini sudah menjadi cara penyelesaian sengketa bisnis yang disukai. Forum arbitrase merupakan “pengadilan pengusaha” yang eksis untuk menyelesaikan sengketa-sengketa diantara mereka (kalangan bisnis) dan sesuai kebutuhan/keinginan mereka. Antara para pedagang, arbitrase merupakan suatu cara penyelesaian sengketa yang dianggap jauh lebih baik daripada penyelesaian melalui saluran-saluran Pengadilan biasa. Menurut Prof. Sudargo Gautama cara penyelesaian melalui arbitrase ini logis lebih banyak dipakai. Adapun mengenai mengapa arbitrase mempunyai peranan dalam kontrak-kontrak dagang internasional adalah sebagai berikut :

1. Dihindarkan publisitas
Arbitrase ini karena sifatnya yang agak privat memberi jaminan untuk dihindarkannya publisitas. Sengketa-sengketa yang diadili melalui jalan arbitrase tidak demikian umum sifatnya seperti perkara-perkara di muka Pengadilan yang dapat diketahui oleh semua orang, dimana perkara-perkara perdata dapat diikuti oleh orang-orang luar dan keputusan-keputusan juga diucapkan di dalam sidang terbuka dengan kemungkinan adanya reportase di dalam harian-harian serta publikasi-publikasi massmedia lainnya. Di dalam prosedur arbitrase hal ini tidak demikian. Pertimbangan-pertimbangan dari para arbiter ini sifatnya “confidential” dan juga tidak lazim diumumkan secara lengkap dalam surat-surat kabar atau pers seperti halnya dengan keputusan-keputusan pengadilan. Justru banyak orang takut berperkara di Pengadilan karena adanya unsur publisitas ini. (Sudargo Gautama, 1986). Dengan adanya kerahasiaan ini nama baik atau image para pihak tetap terlindungi, sementara bagi perusahaan, mereka dapat menjaga kerahasiaan informasi-informasi dagang mereka (Huala Adolf, 2006).

2. Tidak banyak formalitas
Prosedur arbitrase tidak mengenal banyak formalitas-formalitas seperti pada cara berperkara di muka pengadilan biasa yang terikat oleh berbagai formalitas, antara lain tentang cara pemanggilan, cara penyampaian exploit-exploit, jangka-jangka waktu untuk melakukan berbagai tindakan-tindakan hukum seperti naik banding, penyampaian panggilan untuk sidang dan sebagainya. Dalam acara arbitrase biasanya tidak demikian banyak formalitas-formalitas yang perlu diperhatikan. Hanya bila pihak yang dikalahkan tidak secara sukarela memenuhi keputusan arbitrase yang bersangkutan, maka perlu diminta bantuan dari Pengadilan untuk eksekusi. Tapi bila keputusan arbitrase ini ditaati, maka tidak perlu adanya campur tangan dari Pengadilan
dengan segala formalitas dan syarat-syarat yang diperlukan lewat hukum acara berperkara (Isaak I. Doore dalam Huala Adolf. 2006).
Dengan demikian lebih fleksibel dan hakim dalam hal ini arbitratornya tidak perlu pula terikat dengan aturan-aturan proses berperkara, tidak ada keharusan untuk berperkara di tempat tertentu, karena para pihak sendirilah yang memiliki kebebasan untuk menentukan tempat arbitrase bersidang, dan sekaligus hukum yang akan dipakai atau bahasa yang akan dipergunakan (manakala sengketa tersebut sifatnya internasional). Karena sifat fleksibilitas inilah nantinya berpengaruh pula pada para pihak yang bersengketa. Mereka menjadi tidak terlalu bersitegang di dalam proses penyelesaian perkara. Iklim seperti ini sudah barang tentu akan sangat konstruktif dan akan mendorong semangat kerja sama para pihak di dalam proses penyelesaian perkara. Hal ini berarti pula akan mempercepat proses penyelesaian perkara yang bersangkutan.

3. Arbitrase lebih murah dan lebih cepat
Bila keputusan para arbiter akan ditaati secara sukarela, maka arbitrase ini memang akan lebih cepat. Karena umumnya para pihak telah menentukan terlebih dahulu, bahwa keputusan arbitrase ini akan merupakan keputusan dalam instansi terakhir yang
akan mengikat para pihak (final and binding), maka tentunya akan lebih cepat daripada berperkara biasa di hadapan pengadilan (Sudargo Gautama, 1986). Telah menjadi rahasia bersama bahwa berperkara melalui pengadilan acapkali memakan waktu yang relatif lama. Hakim yang mengadili tidak hanya berhadapan dengan satu atau dua perkara saja pada waktu yang bersamaan. Akibatnya ia harus membagi-bagikan prioritas dan waktu untuk perkara-perkara mana yang didahulukan dan mana yang tidak terlalu mendesak. Hal ini dipengaruhi pula oleh faktor-faktor lain yang mendukung cepat tidaknya proses penyelesaian suatu perkara. Sehubungan dengan hal tersebut. perlu pula diperhatikan bahwa banyak pengadilan negara tidak mempunyai hakim-hakim yang berkompeten atau yang berspesialisasi hukum komersial internasional (Peter Sclosser dalam Huala Adolf).

Selain itu dengan dikeluarkannya keputusan pengadilan tidaklah otomatis perkara yang bersangkutan telah selesai, sebab pihak-pihak yang kurang puas dengan keputusan tersebut masih punya saluran lain untuk melampiaskan ketidakpuasannya ke pengadilan yang lebih tinggi, yakni tingkat banding. Sehingga tampak bahwa berproses perkara melalui pengadilan bisa memakan waktu yang berlarut-larut. Konsekuensinya biaya yang harus dikeluarkan untuk itu, misalnya biaya ahli hukum dan ongkos lainnya akan bertambah terus (mahal). Akibat lainnya adalah berkurangnya waktu untuk berusaha (dagang). Hal ini akan berpengaruh pula pada kelancaran dan produktivitas perusahaannya. Sebagian penulis berpendapat bahwa berlainan dengan proses pengadilan tersebut, maka berperkara melalui arbitrase lebih murah. Di dalam dunia perdagangan internasional para pedagang tentu tidak dapat menunggu demikian lama sebelum suatu selisih faham antara mereka diputus. Mereka mencari suatu usaha penyelesaian sengketa yang tidak melalui Pengadilan biasa, dan memerlukan instansi arbitrase sebagai cara penyelesaian sengketa “Hakim Partikulir” yang tidak terikat dengan berbagai formalitas, yang cepat dan memberikan keputusan dalam instansi terakhir serta mengikat, yang mudah dilaksanakan karena akan ditaati oleh para pihak itu (Sudargo Gautama, 1986).

4. Arbitrase dipilih karena tidak ada badan pengadilan internasional.
Bagi hubungan perdagangan internasional, satu-satunya cara yang dianggap paling tepat untuk menyelesaikan transaksi yang bersifat internasional ini adalah arbitrase, meskipun terdapat keuntungan dan kerugian dari lembaga arbitrase ini. Di dunia ini tidak ada suatu pengadilan internasional yang dapat memeriksa perkara-perkara dagang internasional, karena itu arbitrase adalah yang paling cocok untuk menyelesaikan sengketa-sengketa internasional ini.

5. Kekhawatiran terhadap forum pengadilan nasional
Perusahaan-perusahaan dagang multinasional dalam usaha transaksi dagang mereka pada kenyataannya selalu memilih arbitrase sebagai jalan penyelesaian sengketa. Menurut Prof. Sudargo Gautama, salah satu sebabnya adalah bahwa pada umumnya mereka tidak suka apabila sengketa-sengketa mereka dengan pengusaha-pengusaha nasional dibawa kepada forum hakim negara nasional bersangkutan. Juga untuk  pedagang-pedagang dari luar negeri yang misalnya mengadakan transaksi dagang dengan usahawan-usahawan Indonesia, kita saksikan bahwa hampir selamanya dipilih clausule arbitrase melalui Arbitration Centres luar negeri, seperti ICC Paris, London Court of Arbitration, dan sebagainya. Hal ini memang mempunyai latar belakang tertentu, pengusaha asing merasa dirinya ‘unsafe’. Mereka khawatir terhadap hakim dan hukum dari negara-negara berkembang. Ini memang suatu tendensi umum dari para usahawan negara-negara yang sudah maju.
Umumnya pengadilan nasional kurang mendapat kepercayaan (confidence) dari masyarakat penguasa (bisnis) internasional, pengadilan nasional identik dengan sistem ekonomi, hukum dan politik dari negara-negara tempat pengadilan nasional tersebut berada yang berbeda dengan sistem para pengusaha (bisnis). Melalui arbitrase ini mereka dapat menentukan bahwa sesuatu sengketa dagang internasional akan ditarik daripada forum nasional negara berkembang bersangkutan itu sendiri. Ini mereka anggap suatu keuntungan yang perlu diperhatikan daripada Lembaga Arbitrase.
6. Para pihak yang bersengketa diberi kesempatan untuk memilih “hakim” (arbiter atau
arbitrator) yang mereka anggap netral dan dapat memenuhi harapan mereka, baik dari segi keahlian atau pengetahuannya pada sesuatu bidang tertentu, tidak selalu harus
sarjana atau ahli hukum, bisa saja ahli ekonomi, ahli perdagangan, insinyur, dan lain-lain.
7.    Tidak adanya pilihan hukum yang kaku dan tidak ditentukan sebelumnya.
8. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini tidak harus melulu diselesaikan menurut proses hukum (tertentu) saja, tetapi juga dimungkinkan suatu penyelesaian secara kompromi diantara para pihak manakala para arbitrator menemui kesulitan untuk memastikan apa yang menjadi sebab atau sebab-sebab timbulnya suatu sengketa dan pihak mana yang bertanggungjawab karenanya. Keadaan ini timbul karena

persidangan arbitrase biasanya diminta dan diadakan setelah beberapa waktu lamanya setelah klaim diajukan oleh para pihak. Karena itu para arbitrator kadangkala menemui kesulitan dalam merekonstruksi fakta-fakta yang relevan dalam keadaan yang aslinya. Cara penyelesaian arbitrase secara kompromi ini disebut conciliatory arbitration (Huala Adolf, 2006).
9. Kekuatan lain dari arbitrase adalah telah diterimanya secara umum penghormatan
terhadap pilihan arbitrase sebagaimana para pihak dalam kontrak telah cantumkan
dalam klausul pilihan forum atau yang lazim disebut juga dengan arbitration clause
(klausul arbitrase).

Berdasarkan alasan-alasan itulah peranan arbitrase dalam penyelesaian sengketa
kontrak dagang internasional sekarang ini lebih disukai dan lebih banyak dipakai. Perjanjian arbitrase atau klausula arbitrase merupakan kesepakatan para pihak tentang cara penyelesaian yang mungkin timbul di masa yang akan datang, sehingga berpengaruh terhadap cara penyelesaian sengketa apabila terjadi perselisihan. Oleh karena itu, klausula arbitrase akan memainkan peranannya manakala benar-benar timbul sengketa mengenai perjanjian pokok dan akan diperiksa serta diputus oleh lembaga arbitrase sesuai wewenang yang diberikan kepadanya sebagaimana diatur dalam klausula arbitrase.

Pada prinsipnya penyelesaian sengketa melalui arbitrase lebih murah dan lebih cepat dan arbitrase hanya bermanfaat untuk para pihak atau pengusaha yang jujur dan dapat dipercaya, karena mereka memiliki kredibilitas dan integritas terhadap kesepakatan. Pihak yang dikalahkan harus secara sukarela melaksanakan putusan arbitrase, namun apabila selalu mencari peluang untuk menolak melaksanakan putusan arbitrase, maka penyelesaian perkara melalui arbitrase justru akan memakan lebih banyak biaya, bahkan lebih lama daripada proses di pengadilan. Pada prakteknya, walaupun para pihak telah memuat klausul arbitrase dalam perjanjian bisnis, namun tetap saja mengajukan perkaranya ke pengadilan dan cukup banyak Pengadilan Negeri menerima gugatan perkara tersebut, padahal Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 menyebutkan bahwa Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase. (Gatot Soemartono : 2006).

Penyelesaian sengketa melalui arbitrase diputus oleh arbiter yang ditunjuk, sehingga putusannya tergantung pada kemampuan teknis arbiter untuk memberikan putusan yang memuaskan dan sesuai dengan rasa keadilan para pihak. Meskipun demikian, bagi majelis arbitrase tidak mudah untuk memuaskan dan memenuhi kehendak para pihak yang bersengketa, pihak yang kalah akan mengatakan bahwa putusan arbitrase tidak adil, sebaliknya pihak yang menang akan mengatakan putusan tersebut adil. Oleh karena itu, ketergantungan terhadap para arbiter merupakan suatu kelemahan, karena
substansi perkara dalam arbitrase tidak dapat diuji kembali melalui proses banding, mengingat putusan arbitrase bersifat final dan mengikat.

4.      UPAYA HUKUM PARA PIHAK YANG MENOLAK PUTUSAN ARBITRASE
Di atas telah dijelaskan bahwa arbitrase diatur dalam Rv., sebagai satu-satunya aturan arbitrase yang berlaku umum pada masa pendudukan Hindia Belanda sampai masa kemerdekaan Republik Indonesia, hingga dikeluarkannya Undang-undang No. 30 tahun 1999 ini.
Sebagaimana telah disinggung pada uraian terdahulu bahwa keberadaan lembaga arbitrase diatur dalam RV mulai Pasal 615 sampai dengan Pasal 651. Pasal 615 ayat (1) Rv. menguraikan: “Adalah diperkenankan kepada siapa saja, yang terlibat dalam suatu sengketa yang mengenai hak-hak yang berada dalam kekuaaannya untuk melepaskannya, untuk menyerahkan pemutusan sengketa tersebut kepada seorang atau beberapa orang wasit.” Kemudian dalam ayat (3) Pasal 615 ayat (3) Rv. ditentukan : “Bahkan adalah diperkenankan mengikatkan diri satu sama lain, untuk menyerahkan sengketa-sengketa yang mungkin timbul dikemudian hari, kepada pemutusan seorang atau beberapa orang wasit.” Ketentuan tersebut jelas bahwa setiap orang atau pihak yang bersengketa berhak untuk menyerahkan penyelesaian sengketa mereka kepada seorang atau beberapa orang arbiter, yang akan memutuskan sengketa mereka tersebut menurut asas-asas dan ketentuan-ketentuan yang dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa.
Para pihak yang bersengketa berhak untuk melakukan penunjukkan itu setelah ataupun sebelum sengketa terjadi, dilakukan dengan pencantuman klausula arbitrase dalam perjanjian pokok mereka (Pactum De Kompromitendo). Sedangkan penunjukan arbitrase sebagai cara penyelesaian sengketa setelah sengketa terbit dilakukan dengan membuat persetujuan arbitrase sendiri (Akta Compromis).
Sehubungan dengan macam-macam arbitrase, secara umum dalam praktek
dikenal dua macam arbitrase dalam praktek, yaitu :
Arbitrase ad-hoc atau volunter arbitrase sifatnya tidak permanen atau insidentil. Arbitrase ini keberadaannya hanya untuk memutus dan menyelesaikan suatu kasus sengketa tertentu saja. Setelah sengketa selesai diputus, maka keberadaan arbitrase ad hoc inipun lenyap dan berakhir dengan sendirinya. Arbiter yang menanganai penyelesaian sengketa ini ditentukan dan dipilih sendiri oleh para pihak yang bersengketa; demikian pula tata cara pengangkatan para arbiter, pemeriksaan dan penyelesaian sengketa, tenggang waktu penyelesaiann sengketa tidak memiliki bentuk yang baku. Hanya saja dalam pemilihan dan penentuan tidak boleh menyimpang dari apa yang telah ditentukan oleh undang-undang.
BATAS WAKTU PROSES PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI LEMBAGA ARBITRASE
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 memberikan maksimum jangka waktu penyelesaian sengketa melalui arbitrase dalam waktu 180 (seratus delapan puluh) hari terhitung sejak arbiter atau majelis arbitrase tersebut. Selain itu Undang-undang juga melahirkan tanggung jawab perdata bagi arbiter atau majelis arbitrase atas pemenuhan perjanjian penyelesaian sengketa diantara arbiter atau majelis arbitrase tersebut denga para pihak yang bersengketa.
Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tatacara (prosedur) yang sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan. Karena para arbitrator ditunjuk oleh masing-masing pihak yang bersengketa, maka logisnya putusan arbitrator harus ditaati oleh kedua belah pihak. Jika salah satu pihak tidak mau tunduk pada putusan tersebut, maka ia menjadi pihak yang melakukan wanprestasi. Putusan arbitrase adalah putusan terakhir, termasuk dalam kesepakatan kedua belah, bahwa putusan wasit maupun putusan terakhir, jadi tidak ada banding atau kasasi, sesuai dengan Pasal 60 UU No. 30 Tahun 1999, bahwa putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa (Pasal 61 UU No. 30 Tahun 1999).
Terhadap putusan Arbitrase Internasional diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, namun penyelesaiannya harus melalui lembaga ICSID dan putusan arbitrase internasional tersebut harus ditempuh dengan syarat-syarat bahwa, putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional, putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan, putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertibann umum, putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan segelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Pasal 66 UU No. 30 Tahun 1999): Permohonan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, penyampaian berkas permohonan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) harus disertai dengan :
 lembar asli atau salinan otentik Putusan Arbitrase Internasional, sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahann resminya dalam Bahasa Indonesia, lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar Putusan Arbitrase Internasional sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam Bahasa Indonesia, keterangan dari perwakilan diplomatik Republik di negara tempat Putusann Arbitrase Internasional tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa negara pemohon terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara Republik Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional, (Pasal 68 UU No. 33 Tahun 1999).
Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaann, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa sebagaimana Pasal 70 UU No. 30 Tahun 1999. Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri sebagaimana Pasal 71 UU No. 30 Tahun 1999.
Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan kepada ketua Pengadilan Negeri. Apabila permohonan dikabulkan, ketua Pengadilan Negeri menentukan lebih lanjut akibat pembatalan seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase.
Putusan atas permohonan pembatalan ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan diterima. Terhadap putusan Pengadilann Negeri dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir. Mahkamah Agung mempertimbangkan serta memutuskan permohonan banding dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan banding tersebut diterima oleh Mahkamah Agung sesuai dengan Pasal 172 UU No. 30 Tahun 1999.
Berdasarkan uraian dan pembahasan sebagaimana tersebut di atas dapat
dijelaskan bahwa putusan arbitrase sifatnya final, namun jika dengan putusan tersebut ada pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan pembatalan atas keputusan arbitrase tersebut. Permohonan pembatalan atas putusan arbitrase diajukan kepada Pengadilan Negeri pada daerah hukum di mana para pihak tersebut bersengketa
5.      RUANG  LINGKUP  ARBITRASE
A. Syarat – Syarat Arbitrase, Pengangkatan Arbiter Dan Hak Ingkar
1. Syarat – Syarat Arbitrase
            Didalam pasal 8 Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa umum, telah disebutkan syarat – syarat arbitrase sebagai berikut :
dalam hal timbul sengketa, pemohon harus memberitahukan dengan surat tercatat, telegram, teleks, faksimili, e-mail atau dengan buku ekspedisi kepada termohon bahwa syarat arbitrase yang di adakan oleh permohon atau termohon berlaku.
surat pemberitahuan untuk mengadakan arbitrase sebagaimana di maksud ayat (1)
memuat dengan jelas:
a.       nama dan alamat para pihak .
b.      penunjukkan kepada klausula atau perjanjian arbitrase berlaku.
c.       perjanjian atau masalah yang menjadi sengketa.
d.      dasar tuntutan dan jumlah yang di tuntut, apabila ada.
e.       cara menyeksaran yang  dikehendaki dan
f.       perjanjian yang diadakan oleh para pihak tentang jumlah arbiter tidak pernah di adakan perjanjian semacam ini, pemohon dapat mengajukan usul dengan jumlah orbiler yang di kehendaki dalam jumlah ganjil.

 Berdasarkan pasal 8 tersebut berarti para pihak yang mengadakan perjanjian, yang dimana di dalam surat perjanjian, klausula para pihak sepakat apabila terjadi sengketa
Di belakang hari akan menggunakan lembaga badan arbitrase. Dalam perjanjian arbitrase, para pihak dapat menyepakati penunjukan badan kuasa arbitrasi institu sional atau arbitrase ad hoc. Serta dapat pula menentukan kesepaka arbiter yang akan berfungsi menyelesaikan sengketa adalah arbiter tunggal atau yang bersifat majelis yang berdiri dari 3 orang.

            Akad kompromis harus memuat uraian tentang masalah yang di perselisihkan nama dan alamat para juru pisah yang di tunjuk tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan, nama lengkap sekretaris, jangka waktu penyelesaian sengketa, pernyataan kesediaan arbiteran, pernyataan kesediaan dipihak yang bersengketa melalui arbitrase, juru pisah ini lazimnya di ambil dari kalangan profesi sehingga terjamin kemampuannya.

            Juru pisah atau arbiter ini tidak boleh mempunyai kepentingan dalam perkara atau mempunyai hubungan keluaga atau dengan pihak yang berselisih, agar tidak memihak.







BAB IV
PENUTUP
A.    Kesimpulan

·      Penyelesaian masalah secara arbitrase di Indonesia didasarkan atas UU No. 30 Tahun 1999 tentang arbitrase yaitu cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar  peradilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Penyelesaian melalui arbitrase dapat menekan lamanya waktu, biaya dan tenaga serta sifatnya tertutup, sehingga sangat tepat untuk para pebisnis dari negara asing.

·       Putusan Arbitrase pada hakikatnya adalah bersifat final dan mengikat secara langsung terhadap pihak yang bersengketa. Karena Penyelesaian menggunakan arbitrase merupakan pilihan kedua belah pihak yang bersengketa dan seharusnya hasil keputusan arbiter tersebut mengikat kedua belah pihak, namun jika hasil keputusan arbitrase tersebut merugikan salah satu pihak, maka upaya hukum para pihak yang menolak putusan arbitrase adalah mengajukan permohonan pembatalan keputusan arbitrase tersebut pada Pengadilan Negeri. 
B. Saran
·                Penyelesaian secara arbitrase di Indonesia nampaknya kurang sosialisasi, sehingga sebagian masyarakat belum mengetahui eksistensi lembaga arbitrase untuk itu hendaknya mengenai eksistensi lembaga arbitrase ini disosialisasikan kepada masyarakat luas.

·                 Penyelesaian secara arbitrase merupakan suatu hasil kesepakatan kedua belah pihak yang ditungkan dalam perjanjian, untuk itu kaitannya dengan upaya hukum permohonan pembatalan keputusan pada Pengadilan Negeri, hendaknya Pengadilan Negeri mempertimbangkan kesepakatan kedua belah pihak dan menekan waktu dalam menerbitkan penetapan atas permohonan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
1.      A. Literatur
2.      Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991.
3.      Boediono, Ekonomi Internasional, BPFE, Yogyakarta, 2001.
4.      Keinichi Ohmal, Berderless Word, Herper Business, Maknesey Company Inc., Printed In USA, 1990 Mariam Darus Badrulzaman, Peranan BAMUI dalam Pembangunan Hukum Nasional, Pradnya Paramita, Jakarta, 1994.
5.      Pitlo, Pitlo, Pembuktian dan Daluwarsa, Intermasa, Jakarta, 1986.
6.      Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jilid 1, Djambatan,
7.      Jakarta, 1992.
8.      Retnowulan Soetantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, 1998.
9.      Ricky W. Griffin dan Michail W. Pustay, Bisnis Internasional, Jilid I, Indeks, Jakarta,
10.  2005.
11.  Ridwan Khairandy, et. all, Pengantar Hukum Dagang Indonesia I, Ghama Media,
12.  Yogyakarta, 1999.
13.  Riduan Syahrani, Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Umum, Pustaka Kartini, Jakarta, 1995._______, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 1989.
14.  Sonny Keraf, Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya, Kanisius, Jakarta 1998.
15.  Subekti, Arbitrase Perdagangan, BPHN-Binacipta, Jakarta, 1981._______,Hukum Perjanjian, , Intermasa, Jakarta, 1991.
16.  Sudargo Gautama, Undang-undang Arbitrase Baru 1999, Citra Aditya Bakti,
17.  Bandung, 1999.
18.  Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 

Selasa, 19 Maret 2013

PRINSIP – PRINSIP DASAR WORD TRADE ORGANISATION (WTO) DALAM HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL


PRINSIP – PRINSIP DASAR WORD TRADE ORGANISATION (WTO) DALAM HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

D
I
S
U
S
U
N

OLEH :
  1. NICO                                                 11.840.0253
  2. M. RIZKY SYAHPUTRA               12.840.
  3. TOMI PRATAMA                           10.840.
  4. ANDI GINTING                              12.840.
  5. BINSAR SIHOTANG                      11.840

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MEDAN AREA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
World Trade Organization (WTO) merupakan satu-satunya badan internasional yang secara   khusus mengatur masalah perdagangan antar negara. Sistem perdagangan multilateral WTO diatur melalui persetujuan yang berisikan aturanaturan dasar perdagangan internasional yang dihasilkan oleh para negara anggota1 melalui proses negosiasi. Persetujuan tersebut merupakan perjanjian antar negara anggota yang mengikat pemerintah negara anggota untuk mematuhinya dalam pelaksanaan kebijakan perdagangan mereka.
Selama ini telah dilakukan delapan periode negosiasi yang disebut dengan perundingan multilateral perdagangan semenjak General Agreement on Tariff and Trade (GATT) didirikan, yang terakhir yaitu Putaran Uruguay yang berakhir pada tahun 1994. Perundingan ini merupakan suatu upaya untuk memperkuat sistem GATT dan mencegah semakin meningkatnya kecenderungan proteksionisme di berbagai negara. Tanggal 31 Desember 1994, negara-negara anggota telah menyetujui untuk mendirikan badan baru, yang disebut WTO pada tanggal 1 Januari 1995. WTO atau Penyebutan istilah negara anggota atau negara anggota WTO digunakan oleh penulis guna mempermudah pemahaman mengenai anggota WTO. Anggota WTO sebenarnya tidak sebatas pada negara karena didalamnya juga terdapat separate customs territory seperti Hong Kong, China; Macau, China; dan Chinese Taipei. Dengan menggunakan istilah negara anggota atau negara anggota WTO, dianggap anggota-anggota WTO tersebut telah tercakup didalamnya dan penulis tidak mengesampingkan keberadaan mereka.
organisasi perdagangan dunia merupakan satu-satunya badan internasional yang mengatur masalah perdagangan antar negara. Sistem perdagangan tersebut diatur melalui suatu persetujuan yang berisi aturan-aturan dasar perdagangan internasional sebagai hasil perundingan yang telah ditandatangani oleh negara-negara anggota. Persetujuan tersebut mengikat setiap negara anggota, sehingga pemerintahan dari negara tersebut harus mematuhinya dalam pelaksanaan kebijakan perdagangannya.
Berdasarkan Deklarasi Punta del Este perundingan perdagangan multilateral atau Putaran Uruguay dilaksanakan dengan prinsip kesepakatan yang diambil secara a single undertaking (satu paket kesepakatan). Dengan demikian negara-negara peserta tidak bisa hanya memilih serta mengambil hasil-hasil kesepakatan yang menguntungkan saja untuk dilaksanakan dengan meninggalkan yang lain. Dalam perdagangan internasional, peraturan-peraturan teknis dan standarstandar industri bervariasi dari negara yang satu dengan negara yang lain. Terlalu banyaknya standar yang berbeda-beda tersebut dapat menimbulkan kesulitan bagi para eksportir dan importir dalam perdagangan antar negara. Sebagai contoh, penetapan standar yang berubah-ubah dapat digunakan sebagai alasan untuk maksud proteksi perdagangan di suatu negara. Untuk menangani peraturan-peraturan teknis dan standar-standar industri bervariasi dari negara yang satu dengan negara yang lain, negara-negara yang aktif terlibat dalam perdagangan internasional membuat perjanjian-perjanjian untuk menghilangkan hambatan teknis perdagangan dengan harapan dapat diperoleh jaminan bahwa peraturan-peraturan, standar, prosedur pengujian dan sertifikasi, termasuk persyaratan kemasan dan labeling, tidak akan menimbulkan hambatanhambatan yang tidak perlu dalam perdagangan. Hal ini tertuang dalam Perjanjian Technical Barrier To Trade (TBT), dimana perjanjian ini merupakan salah satu perjanjian yang dihasilkan dalam perundingan Putaran Uruguay.
Indonesia merupakan salah satu pendiri WTO dan telah meratifikasi persetujuan pembentukan WTO melalui UU No 7/1994. Persetujuan pembentukan WTO merupakan salah satu hasil dari perundingan perdagangan multilateral Putaran Uruguay. Sebagaimana telah diketahui bahwa perundingan ini mempunyai prinsip a single undertaking, dengan demikian maka Indonesia sebagai salah satu anggota WTO harus menerima dan melaksanakan semua isi persetujuan yang telah dihasilkan dalam Putaran uruguay.Salah satu perjanjian yang dihasilkan dalam Putaran Uruguay yaitu hambatan teknis terhadap perdagangan atau TBT.
Dalam menjalankan sistem perdagangan multilateralnya, WTO memiliki beberapa prinsip atau aturan dasar yang menjiwai persetujuan-persetujuan yang ada di dalamnya. Prinsip-prinsip tersebut antara lain adalah: Non-discrimination dan transparency. Prinsip Non-discrimination terdiri atas dua prinsip yaitu Most Favoured Nation (MFN) dan National Treatment. Secara singkat, kedua prinsip ini pada dasarnya mengharuskan setiap negara anggota WTO untuk memberikan perlakuan yang sama atau tidak diskriminatif. Berdasarkan prinsip MFN, setiap negara anggota WTO dilarang untuk memberikan diskriminasi atau perlakuan berbeda diantara mitra dagangnya sebagai sesama negara anggota WTO. Sedangkan prinsip National Treatment mewajibkan setiap negara anggota WTO untuk memperlakukan produk negara anggota WTO lainnya sama seperti produk domestiknya. Jadi berdasarkan prinsip National Treatment, negara anggota WTO dilarang untuk memberikan diskriminasi atau perlakuan berbeda terhadap produk dari negara anggota WTO lainnya disaat produk tersebut telah memasuki teritori negara anggota WTO yang bersangkutan. Untuk prinsip berikutnya yaitu transparency, setiap negara anggota WTO diwajibkan untuk bersikap terbuka atau transparan terhadap berbagai kebijakan perdagangannya sehingga memudahkan pelaku usaha untuk melakukan kegiatan perdagangan.
Peningkatan kesejahteraan rakyat yang berlandaskan pengembangan usaha berkeunggulan kompetitif, termasuk usaha kecil, menengah dan koperasi, perlu diarahkan untuk kemandirian perekonomian nasional, meningkatkan efisiensi, produktivitas masyarakat, dan daya saing dalam menghasilkan barang dan/atau jasa yang makin bernilai tambah tinggi dengan selalu menjaga kelestarian fungsi dan mutu lingkungan hidup. Salah satu alat pendorong untuk menciptakan keunggulan kompetitif adalah peningkatan mutu dan efisiensi perindustrian nasional dengan memfokuskan pada kegiatan standardisasi. Oleh karena itu, kegiatan standardisasi di Indonesia perlu disempurnakan dan disosialisasikan agar yang berkepentingan dengan standardisasi (stakeholders) dan masyarakat lebih menyadari arti penting standardisasi.
Metode Penulisan
1 . Pendekatan Masalah
Penelitian ini tergolong penelitian yuridis normatif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach). Statute approach  yaitu pendekatan yang dilakukan dengan mengidentifikasi serta membahas peraturan perundang-undangan yang berlaku berkaitan dengan materi yang dibahas. Sedangkan conceptual approach yaitu pendekatan dengan cara membahas pendapat para sarjana sebagai landasan pendukung pembahasan.
2 . Sumber Bahan Hukum
a)    Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang sifatnya mengikat berupaperaturan perundang-undangan yang berlaku dan ada kaitannya dengan permasalahan yang dibahas, yaitu, UU No. 30 Tahun 1999 dan peraturan lainnya yang ada kaitannya dengan materi yang dibahas.
b)    Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang sifatnya menjelaskan bahan hukum primer, dalam hal ini bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang berupa buku-buku literatur, catatan kuliah, karya ilmiah dan berbagai media cetak yang berlaku dan ada kaitannya dengan permasalahan yang sedang dibahas.











BAB II
Permasalahan

1.    Jelaskan Prinsip-prinsip Dasar Word Trade Organisation (WTO)?
2.    Bagaimana  Pengaturan Mengenai NON-DISKRIMINASI yang ada didalam WTO?
3.    Peraturan mengenal DISPENSASI DALAM BADAN PERDAGANGAN INTERNASIONA WTO?
4.    Pengecualian-pengecualian Dalam Word Trade Organisation (WTO)













BAB III
PEMBAHASAN
1.      PENGATURAN MENGENAI NON-DISKRIMINASI
a.       Most Favored Nation
Most Favored Nation adalah suatu asas yang mengatur jalannya perdagangan asas non-diskriminasi, yakni tidak boleh membeda-bedakan antara satu negara anggota GATT atau WTO dan anggota lainya. Para anggota tersebut tidak boleh membeda-bedakan antara anggota yang satu dengan anggota yang lainnya atau tidak boleh memberikan kemudahan hanya kepada satu anggota saja tanpa perlakuan yang sama dengan anggota yang lainya baik itu berkenaan dengan tarif ataupun perdagangan.
b.      National Treatment
Prinsip ini melarang perbedaan perlakuan antara produk asing dan produk domestik yang berarti bahwa suatu saat barang impor telah masuk ke pasar dalam negeri suatu negara anggota, dan setelah melalui daerah pabean serta membayar bea masuk barang impor tersebut harus diberlakukan sama dengan barang dalam domestik.
Menurut Mosler dalam Mahmul Siregar, bahwa unsur-unsur terpenting dalam Prinsip National Treatment adalah sebagai berikut:
1)         Adanya kepentingan lebih dari satu Negara
2)         Kepentingan tersebut terletak di wilayah yuridiksi suatu Negara.
3)          Negara tuan rumah harus memberikan perlakuan yang sama baik terhadap kepentingan sendiri maupun kepentingan Negara lain yang berada di wilayahnya.
4)          Perlakuan tersebut tidak boleh menimbulkan keuntungan bagi Negara tuan rumah sendiri akan tetapi menimbulkan kerugian bagi Negara lain.
c.  Tarif Binding atau Tarif Mengikat Tarif Binding adalah sebuah janji oleh suatu  negara untuk tidak menaikkan tarif untuk masa mendatang. 
 Tarif Binding dianggap menguntungkan bagi perdagangan internasional karena memberikan potensi eksportir dan importir dalam hal tingkat kepastian tarif.
Adapun penerapan tarif impor itu sendiri mempunyai beberapa fungsi yang diantaranya, yaitu:
1)    Tarif sebagai pajak adalah tarif terhadap barang impor (pajak barang impor) yang merupakan pungutan dari Negara yang akan dijadikan sebagai kas Negara.
2)      Tarif yang dilakukan untuk melindungi produk domestik dari praktek dumping yang dilakukan Negara pengekspor.
3)    Tarif untuk memberikan balasan (retaliasi) bagi Negara pengekspor yang melakukan proteksi produk melalui praktek subsidi terhadap produk impor.
d.      Persaingan yang Adil
Aturan GATT juga mengandung prinsip persaingan yang adil dan fair competition. Dengan demikian subsidi terhadap ekpor dan dumping, GATT semakin menghadapi masalah. Untuk menghadapi dumping dan subsidi ekspor negara pengimpor diberikan hak untuk mengenakan anti dumping duties dan counter vailing dutiessebagai imbalan ataupun tindakan balasan terhadap dumping atau subsidi ekspor.
e.       Larangan Terhadap Restruksi Kuantitatif
Prinsip lain dalam GATT adalah larangan umum terhadap restruksi yang bersifat kuatitatif, yakni kuata dan jenis pembatasan yang serupa ketentuan ini oleh para pendiri GATT dianggap sangat penting karena pada waktu GATT didirikan halangan ini merupakan halangan yang serius dan paling sering diterima sebagai warisan zaman depresi pada tahun 1930.
2.      PENGATURAN MENGENAL DISPENSASI
a.       Prinsip proteksi melalui tarif
Prinsip proteksi melalui tarif diatur dalam Pasal 11 GATT 1948 dan mensyaratkan bahwa perlindungan atas industri dalam negeri hanya diperkenankan melalui tarif, Proteksi dengan tarif yang diperlukan untuk membangun industri tertentu (infant industry protection) dan proteksi dengan
pembatasan kuantitatif dalam rangka memperbaiki neraca pembayaran. (Governmental assistance to economic development-Pasal 18). Jelasnya setiap Negara peserta yang ingin memperbaiki posisi financial eksternal dan neraca pembayarannya boleh membatasi jumlah atau nilai barang yang diizinkan untuk diimpor dengan persyaratan-persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 11. Misalnya hambatan impor yang dikenakan atau ditingkatkan oleh Negara peserta tidak boleh melebihi apa yang diperlukan untuk mencegah atau menghentikan ancaman penurunan cadangan moneter atau bagi Negara yang memiliki cadangan moneter yang rendah untuk mencapai tingkat pertambahan yang wajar dalam cadangannya.


b.      Prinsip waiver dan pembatasan darurat terhadap impor
Prinsif waiver dan pembatasan darurat terhadap impor yang dituangkan dalam Pasal 19 GATT 1948 (Paragraf 1a) menyebutkan bahwa jika sebagai akibat perkembangan yang tak terduga dan sebagai dampak dari kewajiban negara peserta menurut perjanjian ini (GATT), suatu produk diimpor ke wilayah suatu negara peserta dalam jumlah yang semakin besar atau dalam keadaan sedemikian rupa sehingga menimbulakan atau mengancam untuk menimbulkan kerugian yang serius terhadap para produsen produk serupa atau produk yang kompetitif dalam negara diwilayah tersebut, maka dalam kaitannya dengan produk tersebut negara peserta bebas untuk menangguhkan kewajibannya sebagian atau sepenuhnya akan menarik kembali atau memodifikasi konsensinya, sejauh dan untuk jangka waktu yang diperlukan untuk mencegah atau memulihkan kerugian tersebut.
Tindakan darurat terhadap impor produk tertentu yang terdapat dalam Pasal 19 GATT 1948, adalah sebuah tindakan yang memperkenankan suatu negara untuk mengenakan kuota atas suatu produk impor yang mengalami lonjakan substansial yang merugikan industri dalam negeri.
 Berdasarkan penjelasan tentang definisi di atas, maka dapat diketahui bahwa dalam sebuah tindakan pengamanan industri domestik tidak bisa dilakukan secara anarkis tanpa terpenuhinya unsur-unsur yang ada di dalamnya. Adapun unsur-unsur yang menjadi syarat sahnya tindakan pengamanan tersebut, yaitu:


1)      Tindakan tersebut dilakukan pemerintah.
Sesuatu yang dilakukan pemerintah untuk mengamankan industri lokalnya dari kerugian serius atau ancaman kerugian serius yang terjadi akibat berlimpahnya produk impor yang masuk ke Indonesia. Jelasnya pemerintah memiliki fungsi sebagai alat kontrol dalam mengatur perdagangan dalam dan luar negerinya dengan membuat sebuah kebijakan. Dalam hal ini yang mempunyai peran adalah pemerintah sebagai pembuat  kebijakan, bukan pelaku usaha langsung yang terlibat dalam melakukan tindakan pengamanan tersebut.
2)      Terdapat kerugian serius atau ancaman kerugian serius.
Maksud dari kerugian serius disini adalah kerugian nyata yang diderita oleh industri dalam negeri. Sedangkan yang dimaksud dengan ancaman kerugian serius adalah ancaman terjadinya kerugian serius yang akan diderita dalam waktu dekat oleh industri dalam negeri yang diakibatkan melonjaknya impor dari luar. Dari kacamata ekonomi, kerugian tersebut bisa berupa kerugian langsung  seperti matinya pasar-pasar domestik, matinya industri-industri kecil ataupun potensi kerugian yang akan diterima secara tidak langsung seperti bertambahnya pengangguran, menyempitnya lapangan pekerjaan ataupun meningkatnya kemiskinan.
3)      Tindakan tersebut bertujuan untuk melindungi atau memulihkan industri  dalam negeri.
4)      Terdapat barang sejenis.
Barang sejenis adalah barang produksi dalam negeri yang identik atau sama dalam segala hal dengan barang terselidik atau barang yang memiliki karakteristik fisik, tehnik, kimiawi menyerupai barang terselidik dimaksud.
5)      Terdapat barang yang secara langsung bersaing
Barang yang secara langsung bersaing adalah barang produksi dalam negeri yang merupakan barang sejenis atau substitusi barang terselidik.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat diketahui terdapat dua jenis prinsip dispensasi kepada negara anggota apabila ekonomi atau industri dalam negerinya tersebut dalam keadaan darurat dan terpaksa harus memilih penanganan dengan mengambil langkah proteksi.
B.     Pengecualian-pengecualian Dalam Word Trade Organisation (WTO)
Hukum WTO menyediakan peraturan-peraturan untuk menjembatani liberalisasi perdagangan dengan nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan sosial lainnya. Peraturan-peraturan ini ada dalam wujud pengecualian yang sangat luas terhadap disiplin dasar  dari WTO.
Pengecualian-pengecualian ini memperbolehkan anggota WTO dalam situasi tertentu untuk mengadopsi dan mempertahankan peraturan-peraturan dan tindakan-tindakan guna melindungi nilai-nilai dan kepentingan sosial lainya yang sangat penting, meskipun peraturan atau tindakan tersebut bertentangan dengan disiplin subtansif yang terkandung dalam GATT 1994.
Adapun pengecualian tersebut dapat dikelompokan menjadi beberapa jenis diantaranya, yaitu:


1.      Pengecualian Dalam Pasal 20 GATT 1994
Pengecualian yang paling penting dalam menjembatani liberalisasi perdagangan dengan nilai-nilai dan kepentingan sosial lainnya adalah pengecualian umum yang tercantum dalam Pasal 20 GATT 1994. Dalam menentukan apakan suatu tindakan yang seharusnya tidak konsisten dengan peraturan yang ada di GATT dapat dibenarkan berdasarkan Pasal 20 GATT 1994, haruslah selalu dievaluasi:
a.    Apakah tindakan tersebut sementara dan dibenarkan menurut salah satu pengecualian yang secara spesifik disebutkan dalam ayat (a) sampai (j) dalam Pasal 20 GATT 1994.
b.    Apakah dalam aplikasinya tindakan tersebut telah sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang terdapat dalam kalimat pembukaan dalam pasal tersebut. Pasal 20 GATT 1994 dalam ayat (a) sampai dengan (j) memberikan dasar pembenaran yang jumlahnya terbatas dimana setiap dasar pembenar memiliki aplikasi persyaratan yang berbeda-beda. Pasal 20 GATT 1994 dapat dijadikan dasar pembenaran terhadap tindakan-tindakan proteksi yang dipergunakan untuk:
1.    Perlindungan moral dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat (Pasal 20 (a)).
2.    Untuk melindungi kehidupan dan kesehatan manusia, binatang serta tumbuhan (Pasal 20 (b)).
3.    Untuk menjaga kesesuaian dengan peraturan nasional, seperti peraturan kepabeanan atau hak kekayaan intelektual dimana aturan tersebut pada hakekatnya tidak bertentangan dengan aturan GATT (Pasal 20 (d)).
4.    Serta yang berhubungan dengan sumber daya alam yang habis terpakai (Pasal 20 (g)).
2.      Pengecualian Dalam Pasal 14 GATS
Berdasarkan Pasal 14 GATS General Agrement on Trade in Services (Perjanjian mengenai perdagangan dibidang jasa), anggota WTO bisa membenarkan tindakan yang seharusnya tidak sesuai dengan GATS apabila:
a.    Perlindungan moral dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat (Pasal 14 (a)).
b.    Untuk melindungi kehidupan dan kesehatan manusia, binatang serta tumbuhan (Pasal 14 (b)).
c.     Untuk menjaga kesesuaian dengan peraturan nasional, seperti peraturan kepabeanan atau hak kekayaan intelektual dimana aturan tersebut pada hakekatnya tidak bertentangan dengan aturan GATS (Pasal 14 (c)).
Anggota WTO bisa mendasarkan pada Pasal 14 GATS untuk membenarkan tindakan yang (1) bertentangan dengan Pasal 17 GATS, asalkan perbedaan perlakuan antara jasa dan penyedia jasa dari luar dan dari dalam negeri tersebut ditujukan untuk memastikan pengenaan dan pemungutan pajak langsung yang adil dan efektif (2) bertentangan dengan Pasal 2 GATS, karena perlakuan antara jasa dan penyedia jasa dari berbagai Negara disebabkan dari perjanjian internasional untuk mencegah pengenaan pajak berganda.
3.      Pengecualian Dalam Keadaan Ekonomi Darurat
Emergency Protection adalah sebuah tindakan pengamanan terhadap industri domestik ketika terjadi situasi lonjakan impor yang menyebabkan atau adanya ancaman yang akan menyebabkan kerugian yang serius.
Secara umum, tindakan tersebut bertentangan dengan Pasal 2 dan Pasal 11 GATT 1994. Akan tetapi masih dapat dibenarkan berdasarkan pasal 19 GATT 1994 jika dapat memenuhi segala persyaratan yang terkandung dalam pasal tersebut, tujuan dari suatu tindakan pengamanan perdagangan adalah untuk memberikan kebebasan kepada industri domestik dan untuk memberikan waktu bagi industry domestik untuk dapat beradaptasi terhadap kondisi pasar yang baru. Sebagaimana diatur dalam pasal XIX GATT 1994, tindakan pengamanan perdagangan hanya dapat diterapkan bila tiga persyaratan telah dipenuhi, yaitu:
a.       Lonjakan Impor.
Persyaratan untuk lonjakan impor haruslah terkini, tiba-tiba, dalam jangka waktu yang relatif singkat, tajam dan signifikan. Terlebih lagi lonjakan impor tersebut harus tidak dapat diprediksi sebelumnya. Dengan cara ini dapat ditentukan apakah suatu kondisi dalam kenyataannya merupakansuatu kondisi yang darurat. Jika lonjakan impor telah terjadi beberapa waktu yang lalu atau telah terjadi selama preode yang panjang atau kejadiannya hanya terbatas pada waktu tertentu atau kejadian ini telah dapat diprediksi sebelumnya, maka tidak dapat dikatakan bahwa telah ada kondisi darurat sesuai dengan apa yangn telah disyaratkan dalam pasal XIX GATT 1994.

b.      Kerugian yang Serius
Kerugian yang serius terjadi apabila ada kerugian menyeluruh yang signifikan yang diderita oleh industry domestik. Kerugian yang serius merupakan persyaratan yang lebih ketat daripada persyaratan kerugian material yang diterapkan terhadap pengenaan tindakan anti dumping atau tindakan retaliasi. Ini bukanlah suatu yangmengagetkan dikarenakan tindakan pengamanan perdagangan diterapkan pada perdagangan yang fair, sementara tindakan anti-dumping atau retaliasi diterapkan terhadap perdagangan yang tidak fair. Untuk menentukan apakah terdapat ancaman kerugian yang serius, maka hal-hal yang harus diperhatikan, yaitu:
1)    Nilai dan jumlah dari lonjakan impor dari barang yang dipermasalahkan dilihat secara absolut atau relatif.
2)    Pangsa pasar domestik yang diambil oleh lonjakan impor tersebut
3)     Perubahan tindakan penjualan, produksi, kemampuan untuk berproduksi, kapasitas yang digunakan, keuntungan dan kerugian dan tenaga kerja. 
c.       Hubungan Kausal
Persyaratan ketiga merupakan persyaratan subtantif terakhir dalam suatu tindakan pengamanan perdagangan adalah persyaratan adanya ’hubungan kausal’. Ada dua tes yang harus dilakukan untuk membuktikan adanya hubungan kausal tersebut, yaitu:
1)    Pembuktian adanya hubungan kausal antara lonjakan impor dengan kerugian yang serius atau ancaman untuk itu.
2)    Identifikasi kerugian yang ditimbulakn akibat faktor-faktor lain selain faktor lonjakan impor dan tidak menyebabkan kerugian ini terhadap impor yang dipermasalahkan.
4.      Pengecualian Untuk Pembangunan Ekonomi
Pengecualian terakhir yang diberikan oleh WTO adalah pengecualian pembangunan ekonomi untuk membantu Negara berkembang. Hampir semua perjanjian di WTO mengatur mengenai perlakuan yang khusus dan berbeda (Special and Differential Treatment) untuk anggota Negara berkembang guna memfasilitasi mereka agar dapat masuk ke dalam sistem perdagangan dunia untuk mendorong pembangunan ekonomi mereka. Ketentuan tersebut dapat dibedakan dalam enam kategori:
a.    Ketentuan yang ditujukan untuk meningkatkan peluang perdagangan  anggota dari Negara berkembang.
b.    Ketentuan untuk anggota WTO yang seyogyanya harus melindungi kepentingan Negara berkembang.
c.    Flexibelitas dari komitmen dalam bentuk tindakan dan penggunaan instrument kebijakan.
d.    Jangka waktu transisi
e.    Bantuan teknis
f.     Ketentuan yang berkaitan dengan anggota Negara terbelakang.
Anggota Negara berkembang punya hak untuk mengenakan bea masuk yang lebih tinggi dari batas tarif yang disepakati sementara waktu guna memajukan pembentukan industri baru. Terlebih lagi anggota Negara berkembang bisa mengenakan tindakan pengamanan perdagangan dengan jangka waktu maksimum yang lebih dari delapan tahun dan beberapa Negara berkembang sudah dikecualikan dalam larangan memberikan subsidi yang berkaitan dengan ekspor. Dengan adanya pengecualian tersebut, maka GATT sebagai organisasi perdagangan dunia yang menjunjung liberalisasi ekonomi juga memperbolehkan Negara maju untuk memberikan perlakuan tarif yang lebih menguntungkan bagi produk impor yang berasal dari Negara berkembang. Pengecualian tersebut memperbolehkan anggota untuk bertindak menyimpang dari kewajiban dasar perlakuan MFN dalam GATT 1994 dalam rangka memajukan perekonomian Negara berkembang.
Berdasarkan semua penjelasan di atas, apabila ditinjau dari segi hirarki yang dimulai dari prinsip sampai pada beberapa pengaturan pengecualian, maka dapat diketahui semua dispensasi tersebut memang terpisah secara fungsional, tetapi apabila menengok kembali pada defenisi safeguard dalam Pasal 1 Kepres Nomor 84 Tahun 2002 yang berbunyi:
“Tindakan Pengamanan adalah tindakan yang diambil pemerintah untuk memulihkan kerugian serius dan atau mencegah ancaman kerugian serius dari industri dalam negeri sebagai akibat dari lonjakan impor barang sejenis atau barang yang secara langsung merupakan saingan hasil industri dalam negeri dengan tujuan agar industri dalam negeri yang mengalami kerugian serius dan atau ancaman kerugian serius tersebut dapat melakukan penyesuaian struktural”.
 Definisi di atas mengandung dua  point penting yang menjadi dasar suatu tindakan dapat dikatakan sebagai safeguard, yaitu berupa tindakan pengamanan yang diambil pemerintah serta tindakan tersebut berfungsi untuk memulihkan kerugian serius dan atau mencegah ancaman kerugian serius industri dalam negeri. Dengan melihat point tersebut lalu dikomparasikan dengan beberapa prinsip dan peraturan pengecualian yang telah dipaparkan di atas, maka dapat diketahui bahwa semua tindakan dispensasi baik yang berupa anti-dumping, countervaling dutis, prinsip proteksi melalui tarif sampai pada beberapa pengaturan pengecualian dapat digolongkan menjadi safeguard meskipun secara fungsional berbeda dalam pengaturan WTO akan tetapi dalam hal tujuan sudah dapat memenuhi kreteriasafeguard itu sendiri.
Untuk mempermudah pemahaman tentang bentuk-bentuk safeguards yang ditetapkan oleh World Trade Organization (WTO).











BAB IV
KESIMPULAN
 Pengaturan mengenai non diskriminasi Most Favored NationMost Favored Nation adalah suatu asas yang mengatur jalannya perdagangan asas non-diskriminasi, yakni tidak boleh membeda-bedakan antara satu negara anggota GATT atau WTO dan anggota lainya. Para anggota tersebut tidak boleh membeda-bedakan antara anggota yang satu dengan anggota yang lainnya atau tidak boleh memberikan kemudahan hanya kepada satu anggota saja tanpa perlakuan yang sama dengan anggota yang lainya baik itu berkenaan dengan tarif ataupun perdagangan. pengaturan mengenai disvensasi Prinsip proteksi melalui tarif Prinsip proteksi melalui tarif diatur dalam Pasal 11 GATT 1948 dan mensyaratkan bahwa perlindungan atas industri dalam negeri hanya diperkenankan melalui tarif, Proteksi dengan tarif yang diperlukan untuk membangun industri tertentu (infant industry protection) dan proteksi dengan pembatasan kuantitatif dalam rangka memperbaiki neraca pembayaran. (Governmental assistance to economic development-Pasal 18). Hukum WTO menyediakan peraturan-peraturan untuk menjembatani liberalisasi perdagangan dengan nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan sosial lainnya. Peraturan-peraturan ini ada dalam wujud pengecualian yang sangat luas terhadap disiplin dasar  dari WTO.
SARAN
menurut kami pemerintah lebih memperhatikan perdagangan luar Internasional untuk kemajuan bangsa Indonesia & untuk terwujudnya itu kita harus memberikan penjelasan & pemahaman kepada para pelaku usaha dan badan pemerintahan dalam penyampaian & bagaimana tata cara serta kegunaan badan perdagangan iternasional seperti WTO agar dimengerti oleh pelaku usaha & pemerintah.

DAFTAR PUSTAKA
BUKU :
A.F. Elly Erawati, 1994, Sistem dan Mekanisme Perdagangan Internasional, Pro Justitia, Vol.4.
Abdul Manan, 2005, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta.
Abdul Muis, 1992, RUU Merek : Sistem Deklaratif Kepada Sistem Konstitutif, Mimbar Umum, Medan.
Abdul R. Saliman, Et. Al, 2004, Esensi Hukum Bisnis Indonesia Teori dan
Abdulkadir Muhammad, 2001, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan
Intelektual, Citra Aditya, Bandung,.
Ade Manan Suherman, 2002, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Adi Sulistyono & Muhammad rustamadji, 2009, Hukum Ekonomi Sebagai Panglima, Masmedia Buana Pustaka, Sidoarjo.
Adrian Sutedi, 2009, Hak Atas Kekayaan Intelektual, Sinar Grafika, Jakarta.
Ahmadi Miru, 2005, Hukum Merek Cara Mudah Mempelajari UndangUndang Merek, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Ahmad M. Ramli, 1999, Perlindungan Rahasia Dagang Dalam Era.


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1994
Tentang
Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization
(Persetujuan Pembentukan Oorganisasi Perdagangan Dunia)
Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa,
Presiden Republik Indonesia,
Menimbang:
a.    bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan  makmur yang merata materiel dan spiritual berdassarkan Pancasila dan Undang-Undang  Dasar 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tenteram, tertib, dan dinamis dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, adil, bersahabat, tertib, dan damai;
b.    bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, khususnya di bidang ekonomi, diperlukan upaya-upaya untuk antara lain terus meningkatkan, memperluas, memantapkan dan mengamankan pasar bagi segala produk baik barang maupun jasa, termasuk aspek investasi dan hak atas kekayaan intelektual yang berkaitan dengan perdagangan, serta meningkatkan kemampuan daya saing terutama dalam perdagangan internasional;
c.    bahwa seiring dengan cita-cita sebagaimana disebutkan huruf a dan b di atas, Indonesia selalu berusaha menegakkan prinsip-prinsip pokok yang dikandung dalam General Agreement on Tariff and Trade/GATT 1947 (Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan Tahun 1947), berikut persetujuan susulan yang telah dihasilkan sebelum perundingan Putaran Uruguay;
d.    bahwa dari rangkaian perundingan Putaran Uruguay yang dimulai sejak Tahun 1986, telah dihasilkan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) yang selanjutnya akan mengadministrasikan, mengawasi dan memberikan kepastian bagi pelaksanaan seluruh persetujuan General Agreement on Tariff and Trade/GATT serta hasil perundingan Putaran Uruguay;
e.    bahwa dalam Pertemuan Tingkat Menteri peserta Putaran Uruguay pada tanggal 15 April 1994 di Marrakesh, Maroko, Pemerintah Indonesia telah ikut serta menandatangani Agreement Establishing The World Trade Organization (persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) beserta seluruh persetujuan yang dijadikan Lampiran 1, 2 dan 3 sebagai bagian Persetujuan tersebut;
f.     bahwa sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan di atas, dipandang perlu mengesahkan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) dengan UndangUndang;
Mengingat:
Pasal 5 ayat (1). Pasal 11, dan Pasal 20 ayat ( I ) Undang-Undang Dasar 1945; 
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT ESTABLISHING THE
WORLD TRADE ORGANIZATION (PERSETUJUAN PEMBENTUKAN ORGANISASI
PERDAGANGAN DUNIA).

Pasal 1
Mengesahkan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan
Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) beserta Lampiran 1, 2 dan 3. Persetujuan tersebut, yang salinan naskah astinya dalam bahasa lnggris serta terjemahannya dalam bahasa Indonesia dilampirkan, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dan Undang-undang ini.
Pasal 2
Undang-undang ini mulai berlaku pada saat berlakunya secara efektif Persetujuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang- undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.