Jumat, 19 Februari 2016

Hak Hak Tenaga Kerja Yang di PHK

Dalam dunia kerja, kita lazim mendengar istilah Pemutusan Hubungan Kerja atau yang sering disingkat dengan kata PHK. PHK sering kali menimbulkan keresahan khususnya bagi para pekerja. Bagaimana tidak?  Keputusan PHK ini akan berdampak buruk bagi kelangsungan hidup dan masa depan para pekerja yang mengalaminya. 

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan perusahaan/majikan. Hal ini dapat terjadi karena pengunduran diri, pemberhentian oleh perusahaan atau habis kontrak. 

Menurut pasal 61 Undang – Undang No. 13 tahun 2003 mengenai tenaga kerja, perjanjian kerja dapat berakhir apabila :
  1. pekerja meninggal dunia,
  2. jangka waktu kontak kerja telah berakhir,
  3. adanya putusan pengadilan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap,
  4. adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
Jadi, pihak yang mengakhiri perjanjian kerja sebelum jangka waktu yang ditentukan, wajib membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja. 

Perusahaan dapat melakukan PHK apabila pekerja melakukan pelanggaran terhadap perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama (PKB). Akan tetapi sebelum mem-PHK, perusahaan wajib memberikan surat peringatan secara 3 kali berturut-turut. Perusahaan juga dapat menentukan sanksi yang layak tergantung jenis pelanggaran, dan untuk pelanggaran tertentu, perusahaan bisa mengeluarkan SP 3 secara langsung atau langsung memecat. Semua hal ini diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan masing-masing. Karena setiap perusahaan mempunyai peraturan yang berbeda-beda. 

Selain karena kesalahan pekerja, pemecatan mungkin dilakukan karena alasan lain. Misalnya bila perusahaan memutuskan melakukan efisiensi, penggabungan atau peleburan, dalam keadaan merugi/pailit. PHK akan terjadi karena keadaan diluar kuasa perusahaan. 

Bagi pekerja yang diPHK,  alasan PHK berperan besar dalam menentukan apakah pekerja tersebut berhak atau tidak berhak atas uang pesangon, uang penghargaan dan uang penggantian hak.  Peraturan mengenai uang pesangon, uang penghargaan dan uang penggantian hak diatur dalam pasal 156, pasal 160 sampai pasal 169 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 

Apabila PHK tidak dapat dihindari, maka sesuai dengan alasan yang mendasari terjadinya PHK maka pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon, dan atau uang penghargaan masa kerja  yang disesuaikan dengan masa kerja serta uang penggantian hak. 

Hak Hak Tenaga Kerja Yang di PHK


Ketentuan uang pesangon berdasarkan pasal 156 ayat (2) Undang-Undang 13 Tahun 2003 yaitu :
  1. Masa kerja kurang dari 1 tahun, 1 bulan upah :
  2. Masa kerja 1 tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 tahun, 2 bulan upah;
  3. Masa kerja 2 tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 tahun, 3 bulan upah;
  4. Masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 tahun, 4 bulan upah;
  5. Masa kerja 4 tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 tahun, 5 bulan upah;
  6. Masa kerja 5 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun, 6 bulan upah;
  7. Masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 tahun, 7 bulan upah;
  8. Masa kerja 7 tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 tahun, 8 bulan upah;
  9. Masa kerja 8 tahun atau lebih, 9 bulan upah.
Ketentuan uang penghargaan masa kerja berdasarkan pasal 156 ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 yaitu :
  1. Masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun, 2 bulan upah;
  2. Masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 tahun, 3 bulan upah;
  3. Masa kerja 9 tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 tahun, 4 bulan upah;
  4. Masa kerja 12 tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 tahun, 5 bulan upah;
  5. Masa kerja 15 tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 tahun, 6 bulan upah;
  6. Masa kerja 18 tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 tahun, 7 bulan upah;
  7. Masa kerja 21 tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 tahun, 8 bulan upah;
  8. Masa kerja 24 tahun atau lebih, 10 bulan upah.
Uang penggantian hak yang seharusnya diterima berdasarkan pasal 156 ayat (4) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 meliputi :
  1. Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
  2. Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja;
  3. Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja yang memenuhi syarat;
  4. Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Bentuk Perlindungan Hukum bagi Pekerja yang di PHK karena melakukan kesalahan berat, berdasarkan ketentuan pasal 158 ayat (1) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut:
  1. melakukan penipuan, pencurian atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan;
  2. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;
  3. mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika dan zat aditiktif lainnya di lingkungan kerja;
  4. melakukan perbuatan asusila atau perbuatan perjudian  di lingkungan kerja;
  5. menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;
  6. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
  7. dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik  milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
  8. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
  9. membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara atau
  10. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Sebelas kriteria kesalahan berat yang diatur dalam pasal 158 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 itu pada dasarnya dapat disejajarkan dengan delict (perbuatan melanggar hukum) kejahatan, yang diatur dalam Buku kedua Wetboek van starfrecht. 

Diputuskannya pekerja telah melakukan kesalahan berat, haruslah didasarkan pada prosedur yang diatur dalam pasal 158 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003, yaitu :
  1. pekerja / buruh tertangkap tangan;
  2. ada pengakuan dari pekerja/ buruh yang bersangkutan, atau ;
  3. bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
Tiga syarat yang ditetapkan dalam pasal 158 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 harus bersifat kumulatif, tidak boleh alternatif. Maksudnya adalah kesemua syarat yang ditetapkan dalam pasal 158 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 itu harus ada, tidak adanya salah satu syarat dari ketiga  syarat itu menjadikan putusan pengusaha / majikan bahwa pekerja telah melakukan kesalahan berat tidak dapat diterima. 

Syarat pertama yang menyebutkan bahwa pekerja / buruh telah tertangkap tangan maksudnya adalah pekerja telah dapat dibuktikan bersdasarkan adanya bukti awal bahwa ia telah melakukan salah satu perbuatan yang telah ditetapkan dalam pasal 158 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003. Ada bukti awal yang cukup untuk dinyatakan bahwa pekerja telah melakukan kesalahan berat. 

Syarat yang kedua yaitu adanya pengakuan dari pekerja / buruh yang bersangkutan bahwa ia telah melakukan perbuatan yang telah dituduhkan berdasarkan bukti awal pada saat tertangkap tangan. Pengakuan dari pekerja atau buruh itu dapat dibuat dalam  bentuk lisan maupun bentuk tertulis. Untuk menjamin adanya kepastian hukum sebaiknya pengakuan dari pekerja / buruh yang bersangkutan dibuat dalam bentuk tertulis, lebih baik lagi apabila yang membuat adalah pekerja sendiri (dalam arti tidak dibuatkan oleh personalia sepertia yang terjadi di dalam praktek). Tentunya pembuatan surat pernyataan pengakuan telah melakukan salah satu dari perbuatan yang termasuk dalam kriteria kesalahan berat itu  harus dibuat dengan kesadaran sendiri tidak dalam keadaan adanya paksaan, tekanan, atau tipu muslihat dari pengusaha/ majikan ataupun dari pihak personalia. Intinya tidak boleh dibuat atas dasar adanya kebohongan. 

Syarat yang ketiga adalah adanya bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan di dukung olh sekurang-kurangnya dua orang saksi.  Syarat ketiga ini pada dasarnya merupakan kelanjutan dari telah dipenuhinya syarat pertama dan syarat kedua. Syarat ketiga pada hakekatnya memperkuat sayarat pertama dan syarat kedua. 

Hal ini berlainan dengan rumusan dari ketentuan pasal 158 ayat 2 yang dapat ditafsirkan hanya menentukan ketiga syarat itu sebagai syarat alternatif dan bukan sebagai syarat kumulatif (garis bawah dari penulis). Dikatakan secra penafsiran bahwa itu menunjukkan sebagai syarat alteranatif karena antara  pasal 158 ayat (2) b dan pasal 158 ayat (2) c UU No. 13 Tahun 2003 menyebutkan kata atau bukan dan. 

Penggunaan kata dan dengan kata atau dalam konteks bahasa hukum membawa akibat yang berlainan. Seharusnya redaksional pasal 158 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 itu tertulis dan Kekhawatiran akan terjadinya penyalahgunaan yang akan terjadi di masyarakat dapat dipahami.  Mengingat apabila syarat yang terdapat dalam pasal 158 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 dapat hanya dipakai salah satu saja. Misalnya A pekerja di PT X, pada saat akan pulang dan menjalani check body ( pemeriksaan oleh petugas keamanan di pintu keluar tempat kerja) kedapatan telah membawa barang milik perusahaan tanpa alas hak yang dapat dibenarkan. Atas dasar telah terpenuhinya syarat pertama yaitu pekerja telah tertangkap tangan dengan tanpa diikuti syarat kedua dan ketiga maka A saat itu juga dapat diPHK secara sepihak. Misalnya kenyataannya A tidak pernah mengambil barang milik perusahaan. Atau karena ada orang lain yang sengaja ingin mencelakakan A supaya ia dapat di PHK. Tidak adan gunanya apabila A bersikeras menolak tuduhan itu. Begitu juga apabila A tidak pernah mau mengakui bahwa ia telah mencuri apalagi mau membuat surat pengakuan bahwa ia telah mencuri. 

Kekurang cermatan dalam merumuskan norma hukum tanpa memahami konsep bahasa hukum memang dapat berpengaruh pada keberlakuan hukum. Apabila dilakukan analisis maka ketentuan pasal 158 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 itu tidak memenuhi syarat keberlakuan yuridis dari Bruggink. 

Sebagai bahan telaah dapat diteliti kembali norma hukum PHK yang diatur dalam UU No. 12 Tahun 1964 tentang PHK di perusahaan swasta, yang dengan  tegas menetapkan bahwa PHK termasuk juga PHK karena telah melakukan kesalahan berat harus dengan izin P4D atau P4P. Hal itu tidak terdapat di dalam ketentuan UU No. 13 Tahun 2003, yang tidak mensyaratkan adanya izin bagi PHK karena pekerja telah melakukan kesalahan berat. 

Apabila pekerja mengalami PHK karena telah melakukan kesalahan berat  maka pekerja itu mempunyai hak sesuai dengan ketentuan Pasal 158 ayat (3) dan ayat (4)  Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 yaitu :
Pekerja / buruh yang diputus hubungan kerjanya berdasrkan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat memperoleh uang penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (4)

Bagi pekerja / buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Ketentuan uang pisah memang belum ada peraturan pelaksananya. Dalam hal ini Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia) menghimbau agar anggotanya yang terdiri dari para pengusaha memberikan uang pisah minimal sebesar satu bulan upah. Hal ini dilakukan dengan tujuan memberikan masukan pada pengusaha untuk segera merumuskan besarnya uang pisah yang dapat diberikan kepada pekerja bersama dengan serikat pekerja / buruh. Rumusan kesepakatan tentang besarnya uang pisah itu dapat dituangkan dalam perjanjian kerja bersama.

Setiap pekerja/buruh yang di PHK oleh majikan karena melakukan kesalahan beratsesuai dengan ketentuan Pasal 158 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003, harus disertai tiga syarat secara kumulatif. Syarat itu adalah bukti tertangkap tangan, pengakuan dari pekerja yang bersangkutan dan laporan pengusaha yang didukung 2 orang saksi.

Apabila keputusan perusahaan melakukan PHK karena pekerja melakukan kesalahan berat dibenarkan oleh hukum maka pekerja harus mendapatkan uang penggantian hak dan uang pisah.

Apabila hak diatas tidak dapat diperoleh oleh pekerja maka pekerja dapat melakukan upaya penyelesaian hukum secara sukarela melalui bipatrid atau secara wajib yang didahului lapor ke pegawai perantara untuk mendapatkan anjuran Depnaker diteruskan ke P4D, P4P atau Hak Veto Menaker untuk dapat dilakukan fiat eksekusi di Pengadilan Negeri. Apabila tidak dilaksanakan maka dapat banding ke PTTUN atau cara lainnya dapat dilakukan gugat ganti rugi ke Pengadilan Negeri berdasarkan pasal 1365 BW.

Apabila pengadilan hubungan industrial yang dibentuk berdasarkan UU No. 2 Tahun 2004 sudah terbentu maka upaya hukum dapat dilakukan meliputi upaya bipartid, mediasi, konsiliasi, arbitrasi atau ke kepadilan hubungan industrial. 

Sumber Hukum :
  1. Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
  2. UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
  3. Kepmen Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 78/2001 tentang Perubahan Kepmenaker No. 150/2000 tentang PHK, Pesangon, dan lainnya

Unsur-unsur Hubungan Kerja

Unsur-unsur Hubungan Kerja ~Hukum Ketenagakerjaan telah berkembang seiring dengan perkembangan lapangan dan kesempatan kerja. Awalnya, lapangan pekerjaan terbatas pada sektor pemenuhan kebutuhan primer, seperti pertanian. Namun secara perlahan sektor pemenuhan kebutuhan mulai bergeser ke arah industri dan perdagangan, sehingga kesempatan kerja semakin terbuka lebar. Pertumbuhan sektor industri dan perdagangan yang pesat, mengakibatkan berdirinya perusahaan-perusahaan yang menyerap banyak tenaga kerja.

Hubungan antara perusahaan tersebut dengan tenaga kerjanya, disebut dengan hubungan kerja (hubungan antara pemberi kerja dengan pekerjanya atau bahkan dengan calon pekerja). Dengan demikian diperlukan adanya suatu aturan (hukum) yang dapat menjadi pengontrol dalam hubungan tersebut, terlebih lagi jika timbul suatu perselisihan dalam hubungan kerja tersebut.

Unsur-unsur Hubungan Kerja
Unsur-Unsur Hubungan Kerja
Lahirnya hubungan hukum antara pengusaha dengan pekerja didasari oleh suatu perjanjian kerja yang memiliki unsur pekerjaan, upah dan perintah. Hubungan kerja menurut Pasal 1 (15) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan "Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah".

Mantan guru besar hukum ketenagakerjaan Universitas IndonesiaProf. Imam Soepomo secara rinci menjelaskan pengertian dan unsur-unsur hubungan kerja sebagai berikut: Pada dasarnya hubungan kerja, yaitu hubungan antara buruh dan majikan, terjadi setelah diadakan perjanjian, dimana buruh menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada majikan dengan menrima upah dan dimana majikan menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan buruh dengan membayar upah.

Perjanjian yang sedemikian itu disebut perjanjian kerja. Istilah perjanjian kerja menyatakan bahwa perjanjian ini mengenai kerja, yakni dengan adanya perjanjian kerja timbul kewajiban suatu pihak untuk bekerja, jadi berlainan dengan Peraturan ketenagakertaan yang tidak menimbulkan hak atas dan kewajiban untuk melakukan pekerjaan, tetapi memuat tentang syarat-syarat ketenagakerjaan.

Bekerja pada pihak lainnya, menunjukkan bahwa pada umumnya hubungan itu sifatnya ialah bekerja dibawah pimpinan pihak lain. Sifat ini perlu dikemukakan untuk membedakannya dari hubungan antara dokter misalnya, dengan seorang yang berobat, dimana dokter itu melakukan pekerjaan untuk orang yang berobat, tetapi tidak dibawah pimpinannya. karena itu perjanjian antara seorang dokter dengan orang yang berobat, bukanlah perjanjian kerja, tetapi perrjanjian untuk melakukan pekerjaan tertentu; jadi dokter bukanlah buruh dan orang yang berobat bukanlah majikan dan hubungan antara mereka bukanlah hubungan hubungan-kerja.

Adanya buruh ialah hanya jika ia bekerja dibawah pimpinan pihak lainnya dan adanya pengusaha hanya, jika dia memimpin pekerjaan yang dilakukan oleh pihak kesatu. Hubungan pekerja/buruh dan pengusaha tidak juga terdapat pada perjanjian pemborongan-pekerjaan, yang ditujukan kepada hasil pekerjaan.

Bedanya perjanjian pemborongan-pekerjaan dengan perjanjian melakukan pekerjaan tertentu ialah bahwa perjanjian ini tidak melihat hasil yang dicapai. Jika yang berobat itu, tidak menjadi sembuh bahkan akhirnya misalnya meninggal dunia, namun dokter itu telah memenuhi kewajibannya menurut perjanjian.

Perjanjian dapat dibedakan menjadi dua yaitu :
  1. Perjanjian dalam arti luas adalah setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagaimana yang dikendaki oleh para pihak, misalnya perjanjian tidak bernama atau perjanjian jenis baru.
  2. Perjanjian dalam arti sempit adalah hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan seperti yang dimaksud dalam Buku III KUHPerdata yang diatur dalam BAB II dan BAB V sampai dengan BAB XVIII Buku III KuhPerdata misalnya perjanjian bernama.
Suatu perjanjian harus memenuhi azas-azas hukum perjanjian Dalam hukum perjanjian ada beberapa azas, namun secara umum azas perjanjian ada lima, yaitu :

1. Azas Kebebasan Berkontrak

Kebebasan mengadakan perjanjaian adalah salah satu azas dalam hukum umum yang berlaku didunia, azas ini memberikan kebebasan kepada setiap warga negara untuk mengadakan perjanjian tentang apa saja, asalkan tidak bertentangan atau sejauh tidak melanggar peraturan perundang-undangan, keteriban umum, dan kesusilaan. Dalam perkembangannya hal ini tidak lagi besifat mutlak tetapi relatif (kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab). Azas inilah yang menyebabkan hukum perjanjian bersistem terbuka.

Jika dipahamin secara seksama maka azas kebebasan berkontrak memberikan kebebasan kepada para pihak untuk :
  • Membuat atau tidak membuat perjanjian;
  • Mengadakan perjanjian dengan siapapu;
  • Menentukan isi perjanjain, pelaksanaan, dan persyaratan;
  • Menentukan bentuknya perjanjian yang secara tertulis atau secara lisa; dan
  • Namun keempat syarat tersebut diatas boleh dilakukan dengan syarat tidak melanggar Undang-undang, ketertiban dan kesusilaan.

2. Azas Konsensualisme

Perjanjian lahir atau terjadi dengan adanya kata sepakat (Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUHPerdata). Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkam kemauan para pihak. Azas konsensualisme dapat ditelusuri dalam rumusan Pasal 1320 ayat 1, dalam pasal ini ditentuka bahwa salah satu syarat syahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan kedua belah pihak, dengan kata lain perjanjian itu syah jika jika sudah tercapai kesepakatan mengenai hal-hal pokok dan tidak diperlukan lagi formalitas.

3. Azas Mengikatnya Suatu Perjanjain (Azas Pacta Suntservanda)

Perjanjian yang dibuat secara syah berlaku sebagai Undang-undang bagi yang membuatnya Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata.

4. Azas Itikad Baik (Togoe Dentrow)

Perjanjian harus dilaksnakan dengan itikad baik (Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata . Itikad baik ada dua yakni :
  • Bersifat obyektif, artinya mengindahkan kepatutan dan kesusilaan. Contoh, Arman melakukan perjanjian dengan Budi membangun rumah, Arman ingin memakai keramik cap gajah namun dipasaran habis, maka diganti cap semut oleh Budi;
  • Bersifat subjektif, artinya ditentukan sikap batin seseorang contohnya, Adi ingin membeli motor kemudian datanglah Badu (berpenampilan preman) yang mau menjual motor tanpa surat-surat dengan harga sangat murah, Adi tidak mau membeli karena takut bukan barang halal atau barang tidak legal.

5. Azas Kepribadian (Personalitas)

Pada umunya tidak seorangpun dapat mengadakan perjanjian, kecuali untuk dirinya sendiri. Pengecualiannya terdapat dalam pasal 1317 KUHPerdata tentang janji untuk pihak ketiga.

Syarat syahnya perjanjain menurut Pasal 1320 KUHPerdata adalah sebagai berikut : Sepakat (Toestemming)Kesesuaian, kecocokan, pertemuan kehendakdari yang mengadakan perjanjian atau pernyataan kehendak yang di setujui antara pihak-pihak.

Unsur-Unsur kesepakatan adalah adanya Offerte (penawaran) yaitu pernyataan dari pihak yang menawarkan danAcceptasi (penerimaan) adalah pernyataan pihak yang menerima penawaran. Kecakapan di dalan dunia hukum, perkataan orang (persoon) berarti pendukung hak dan kewajiban yang juga disebut subyek hukum. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa setiap manusia baik warga Negara maupun orang asing adalah pembawa hak (subyek hukum) yang memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan perbuatan hukum namun, kewenangan tersebut harus didukung oleh kecakapan hukum dan kewenangan hukum. Kecakapan berbuat adalah kewenangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum sendiri.

Suatu hal tertentu Suatu hal tertentu disini berbicara tentang objek perjanjian (Pasal 1332 – 1334 KUHPerdata) objek perjanjian yang dapat dikatagorikan dalam pasal tersebut yaitu Objek yang akan ada (kecuali warisan) asalkan dapat ditentukan jenis dapat dihitung dan objek yang dapat diperdagangkan (barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum tidak dapat menjadi objek perjanjian).

Suatu sebab yang halal Sebab yang dimaksud adalah isi perjanjian itu sendiri atau tujuan dari para pihak mengadakan perjanjian (Pasal 1337 KUHPerdata). Halal adalah tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Selain Syarat Pasal 1320 KHUPerdata, sering ditentukan syarat atau formalitas tertentu dengan peraturaan perundang-undangan.

Syarat kesepakatan dan kecakapan diatas biasanya disebut syarat subyektif, yakni mengenai subyeknya, bila syarat ini tidak dipenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan (untuk membatalkan perjanjian itu harus ada inisiatif dari salah satu pihak yang dirugikan untuk membatalkannya). Batas waktu untuk membatalkan 5 tahun (Pasal 1454 KUHPerdata

Syarat suatu hal tertentu dan sebab yang halal disebut syarat obyektif , yaitu mengenai obyeknya, bila syarat ini tidak dipenuhi maka perjanjian batal demi hukum (sejak semula dianggap tidak pernah ada perjanjian sehingga tidak perlu pembatalan). Terhadap perjanjian formil apabila tidak dipenuhi formalitasnya yang telah ditetapkan undang-undang maka perjanjian itu juga batal demi hukum. Contoh perjanjian formil : Perjanjian penghibahan benda tidak bergerak haarus menggunakan akta notaris, perjanjian perdamaian harus secara tertulis

Di dalam hukum ada tiga macam pembatalan, yaitu : 
  1. Batal demi hukum (Kembali ke keadaan semula) artinya akibat dari perbuatan itu untuk sebagian atau seluruhnya bagi hukum dianggap tidak ada, tanpa diperlukan lagi putusan hakim untuk pembatalan.
  2. Batal, Perbuatan dan akibatnya dianggap tidak pernah ada Tetapi memerlukan keputusan hakim untuk pembatalan.
  3. Selanjutnya dapat dibatalkan yaitu Perbuatan dan akibatnya dianggap ada sampai saat adanya pembatalan tetapi memerlukan keputusan hakim untuk pembatalan. Perkataan batal dalam hukum di dalam Pasal 1446 KUHPerdata artinya adalah dapat dibatalkan
Perjanjian menurut namanya, dibedakan menjadi perjannjian bernama/nominaat dan perjanjian tidak bernama/innominaat/perjanjian jenis baru (Pasal 1319 KUHPerdata).
  1. Perjanjian khusus/ bernama/nominaat adalah perjanjian yang memiliki nama dan diatur dalam KUHPerdata. Contoh perjanjian-perjanjian yang terdapat dalam buku III Bab V-XVIII KUHPerdata antara lain perjanjian jual beli, perjanjian tukar menukar, perjanjian sewa menyewa, perjanjian untuk elakukan pekerjaan, perjanjian persekutuan, perjanjian tentang perkumpulan, perjanjian hibah, perjanjian penitipan barang, perjanjian pinjam pakai, perjanjian pinjam-meminjam, perjanjian bunga tetap atau bunga abadi, perjanjian untung-ungtungan, perjanjian pemberian kuasa, perjanjian penanggungan, perjanjian perdamaian.
  2. Perjanjian tidak bernama/innominaat/perjanjian jenis baru adalah perjanjian yang timbul tumbuh dan hidup dalam masyarakat karena azas kebebasan berkontrak dan perjanjian ini belum dikenal pada saat KUHPerdata di undangkan. Perlu diingat bahwa KUHD dan KUHPerdata pada awal pembentukannya merupakan satu paket, maka perjanjian yang terdapat dalam KUHD misalnya perjanjian perwakilan khusus (makelar, agen, komisoner, ) perjanjian pengakutan, atau perjanjian asuransi, secara otomatis merupakan Perjanjian nominaat karena dikenal disaat KUHPerdata diundangkan.
Perjanjian innominaat didasarkan pada azas kebebasan berkontrak maka system pengaturan hukum perjanjian innominaat adalah sistem terbuka (open system), dan lain sebagainya. Innominaat dibibedakan menjadi dua, yaitu :
  1. Perjanjian innominat yang diatur secara khusus dan dituangkan dalam bentuk undang-undang dan/atau telah diatur dalam pasal pasal tersendiri, misalnya Kontrak production sharing yang diatur dalam UU NO 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi;contract joint venture yang diatur dalam UU NO 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing; kontrak karya yang diatur dalam UU N0 11 tahun 1967 tentang Pertambangan; kontrak konstruksi yang diatur dalan UU 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dan lain-lain.
  2. Perjanjian innominaat yang diatur dalam peraturan pemerintah, misalnya tentang waralaba/frinchise yang diatur dalam Peraturan Pemerintah N0 42 tahun 2007 tentang Waralaba.
Perjanjian innominaat bersifat khusus sebagaimana tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan perjanjian nominaat bersifat umum sehingga disini azas lex spesialis derogate legi generale berlaku. Dengan demikian karena perjanjian kerja diatur secara khusus oleh peraturan-perundang-undangan ketenagakerjaan maka perjanjian kerja termasuk perjanjian innominat yang diatur dalam perundang-undangan ketenagakerjaan.

Sumber Hukum :

  1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan;
  2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Referensi :

  1. Farianto & Darmanto Law firm Himpunan Putusan Mahkamah Agung dalam perkara PHI tentang Pemutusan Hubungan Kerja disertai Ulasan Hukum. Jakarta PT.RajaGrafindo persada, 2009,
  2.  Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan,Djambatan, Jakarta, Cet. XI; 1995,
  3. Salim HS. Perkembangan hukum kontrak innominaat di Indonesia Buku Kesatu. Jakarta : Sinar Grafika . 2003,
  4. BN. Marbun Membuat Perjanjian yang Aman dan Sesuai Hukum . Jakarta.Wisma hijau. 2009,
  5. FX. Suhardana. Hukum Perdata I ,Jakarta, Prenhallindo. 1987,
  6. Juni Raharjo Hukum Adminitrasi Indonesia Pengetahuan Dasar ,Yokyakarta, Atma jaya. 1995. 
  7. http://artonang.blogspot.co.id/2014/12/hubungan-kerja.html

Peraturan Pekerja Harian Lepas

Dalam Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang dimaksud dengan:

Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja

Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.

Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Tenaga Kerja adalah penduduk yang berumur di dalam batas usia kerja. Batas usia kerja di Indonesia  ialah minimum 10 Tahun, tanpa batas usia maksimum.
Buruh adalah mereka yang berkerja pada usaha perorangan dan di berikan imbalan kerja secara harian maupun borongan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak, baik lisan maupun tertulis, yang biasanya imbalan kerja tersebut diberikan secara harian. Buruh ada 2 yaitu Tenaga Kerja Harian ( Harian Tetap dan Harian Lepas) dan Tenaga Kerja  Borongan, yaitu :

1.        Tenaga Kerja Tetap
Tenaga kerja tetap (permanent employee) yaitu pekerja yang memiliki perjanjian kerja dengan pengusaha untuk jangka waktu tidak tertentu (permanent). Tenaga kerja tetap, menurut PMK-252 ditambahkan menjadi sebagai berikut : Pegawai tetap adalah pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam jumlah tertentu secara teratur, termasuk anggota dewan komisaris dan anggota dewan pengawas yang secara teratur terus menerus ikut mengelola kegiatan perusahaan secara langsung, serta pegawai yang bekerja berdasarkan kontrak untuk suatu jangka waktu tertentu sepanjang pegawai yang bersangkutan bekerja penuh (full time) dalam pekerjaan tersebut.


2.        Tenaga Kerja Lepas
Pegawai tidak tetap/tenaga kerja lepas adalah pegawai yang hanya menerima penghasilan apabila pegawai yang bersangkutan bekerja, berdasarkan jumlah hari bekerja, jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan atau penyelesaian suatu jenis pekerjaan yang diminta oleh pemberi kerja. Yang di dapat atau Hak Teanaga kerja Lepas yaitu mendapat gaji sesuai kerjanya atau waktu kerja mereka, tanpa mendapat jaminan sosial. Karena Tenaga Kerja tersebut bersifat kontrak, setelah kontrak selesai, hubungan antara pekerja dan pemberi kerja pun juga selesai.

Jenis Penghasilan Pegawai Tidak Tetap
Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan;
  1. Upah harian adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan secara harian.
  2. Upah mingguan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan secara mingguan.
  3. Upah satuan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan berdasarkan jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan.
  4. Upah borongan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan berdasarkan penyelesaian suatu jenis pekerjaan tertentu.
3.        Tenaga Kerja Borongan
Borongan atau pocokan yaitu hubungan kerja berdasarkan kerja borongan lepas dengan pembagian hasil menurut upah atas satuan hasil kerja atau upah yang diterima berdasarkan barang yang dapat diselesaikannya.

Ketentuan untuk karyawan harian atau karyawan lepas diatur dalam Kepmen 100 tahun 2004 tentang "etentuan pelaksanaan perjanjian kerja waktu tertentu", sebagai berikut:

Pasal 10 ayat;
  1. Untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran, dapat dilakukan dengan perjanjian kerja harian atau lepas.
  2. Perjanjian kerja harian lepas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan ketentuan         pekerja/buruh bekerja kurang dari 21 hari dalam 1 bulan.
  3. Dalam hal pekerja/buruh bekerja 21 hari atau lebih selama 3 bulan berturut-turut atau lebih maka perjanjian kerja harian lepas berubah menjadi PKWTT (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu/kontrak kerja).
Pasal 11 
Perjanjian kerja harian lepas yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat; (1) dan ayat (2) dikecualikan dari ketentuan jangka waktu PKWT pada umumnya (dengan kata lain tidak ada ketentuan mengenai jangka waktu).
Pasal 12
  1. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh pada pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 wajib membuat perjanjian kerja harian lepas secara tertulis dengan para pekerja/buruh.
  2. Perjanjian kerja harian lepas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibuat berupa daftar pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 sekurang-kurangnya memuat:
a.         Nama/alamat perusahaan atau pemberi kerja.
b.         Mama/alamat pekerja/buruh.
c.         Jenis pekerjaan yang dilakukan.
d.        Besarnya upah dan/atau imbalan lainnya.

Ketentuan mengenai PKWT diatur di dalam UUK dari Pasal 56 s.d Pasal 59, yang mana di bagian akhir dari Pasal 59 yaitu pada ayat (8) disebutkan bahwa: “Hal-hal lain yang belum diatur dalam Pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri”. Ketentuan inilah yang kemudian mendasari terbitnya Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep-100/Men/Vi/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“KEPMEN No. 100 Tahun 2004”).
KEPMEN No. 100 Tahun 2004 tersebut merupakan peraturan pelaksanaan dari UUK mengenai PKWT, yang di dalamnya mengatur juga mengenai Perjanjian Kerja Harian Lepas. Dengan demikian, Perjanjian Kerja Harian Lepas menurut KEPMEN ini merupakan bagian dari PKWT (lihat Pasal 10 s.d. Pasal 12 KEPMEN No. 100 Tahun 2004). Namun demikian, Perjanjian Kerja Harian Lepas ini mengecualikan beberapa ketentuan umum PKWT, yang mana dalam Perjanjian Kerja Harian Lepas dimuat beberapa syarat antara lain:
  1. Perjanjian Kerja Harian Lepas dilaksanakan untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-ubah   dalam hal waktu dan volume pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran;
  2. Perjanjian kerja harian lepas dilakukan dengan ketentuan pekerja/buruh bekerja kurang dari 21 (dua  puluh satu) hari dalam 1 (satu) bulan;
  3. Dalam hal pekerja/buruh bekerja 21 (dua puluh satu) hari atau lebih selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih maka perjanjian kerja harian lepas berubah menjadi PKWTT.

Demikian semoga bermanfaat.

Dasar hukum:

2.    Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep-100/Men/Vi/2004  Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

Tindak Pidana Ketenagakerjaan

Penyelesaian perselisihan hubungan industrial umumnya menjadi pilihan utama bagi pekerja atau serikat pekerja. Namun tak jarang dalam perselisihan itu mengandung unsur pelanggaran pidana, terutama yang dilakukan pengusaha, seperti pemberangusan atau menonaktifkan aktifitas serikat pekerja (anti union) dan penggelapan upah.

I. PENDAHULUAN

Yang dimaksud dengan tindak pidana (delik) atau menurut Prof. Moeljatno, S.H., perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar ketentuan tersebut, sedangkan menurut Prof. Wirjono Projodikoro, S.H. yang dimaksud dengan tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.
Tindak Pidana Ketenagakerjaan
Tindak Pidana Ketenagakerjaan
Adapun yang dimaksud tidak pidana ketenagakerjaan, adalah pelanggaran terhadap aturan-aturan hukum ketenagakerjaan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.

Pada umumnya pekerja lebih memilih kasus perselisihan yang bernuansa pelanggaran pidana lewat ketukan palu di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) terlebih dahulu. Setelah itu baru melaporkan kasus pelanggaran pidananya ke pihak kepolisian. Menurut hemat Penulis hal ini adalah cara yang terbalik, meski tak sepenuhnya salah, perkara pelanggaran pidana harus lebih didahulukan ketimbang kasus perselisihan. Sebab itu pekerja harus mampu membedakan antara perselisihan dan pelanggaran pidana ketenagakerjaan.

Untuk itu, hemat saya sebelum mengadvokasi suatu kasus, seyogyanya perlu melakukan bedah kasus dengan melibatkan akademisi. Tujuannya selain dapat dipetakan antara perselisihan dan pelanggaran, hasilnya dapat dijadikan senjata dalam melakukan advokasi, sarannya.

Sekedar mengingatkan, paket hukum ketenagakerjaan memang membedakan antarapelanggaran dan perselisihan. Pelanggaran terdapat dalam pasal yang sifatnya memaksa (dwingen recht), contohnya adalah pasal yang melarang pengusaha membayar upah pekerja di bawah upah minimum. Salah satu ciri khas dari pasal pelanggaran adalah adanya ancaman sanksi pidana bagi mereka yang melanggar.

Sementara perselisihan diatur dalam pasal-pasal yang sifatnya mengatur (aanvullent recht), contohnya adalah pasal yang melarang penerapan masa percobaan bagi pekerja kontrak. Memang tak ada ancaman sanksi pidana bagi pelanggarnya. Namun demikian biasanya pasal lain sudah mengatur sanksinya, misalnya adalah batal demi hukum masa percobaan bagi pekerja kontrak.

A. Keuntungan dan Kelemahan

Berperkara di PHI (Pengadilan Hubungan Industrial) ternyata tidak menyelesaikan masalah, malahan menambah masalah. Buruh bolak-balik ke PHI tidak saja hanya bersidang, tetapi juga untuk mempertanyakan keberlanjutan kasusnya. Akibatnya buruh selalu dirugikan. Hak-hak yang dituntutnya tidak pernah dapat diperolehnya. Tidak jarang perkara buruh yang diajukan melalui proses PHI, akhirnya gantung begitu saja karena proses penyelesaian yang sangat lama. Bertahun-tahun penyelesaian perkara belum diputuskan final (incraacht van gewisde) tentu menimbulkan keputus-asaan.

Melihat realitas penyelesaian melalui PHI di atas, maka sesuai dengan UU Ketenagakerjaan (UUK) UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan harapan buruh untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum adalah melalui penegakan Tindak Pidana Ketenagakerjaan.

UUK menegaskan bahwa institusi yang memiliki kewenangan melakukan penegakan Tindak Pidana Ketenagakerjaan (penyelidikan dan penyidikan) adalah Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan (PPK) dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Sesuai Pasal 176 UUK PPK/PPNS mempunyai kompetensi dan independen guna menjamin pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagkerjaan. Untuk menjaga kompetensi dan independesi inilah maka UUK menetapkan bahwa pengangkatan PPK ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuknya. Dengan demikian PPK dapat independen dari pengaruh-pengaruh kebijakan politik yang berkembang di daerah-daerah (termasuk kabupaten/kota). Jadi PPK dapat "menolak" kepentingan-kepentingan yang dipesan oleh siapapun pejabat di daerahnya.

Bagi Penulis, mengedepankan penyelesaian kasus pelanggaran lebih penting ketimbang perselisihan. Salah satu keuntungannya adalah jika mendahulukan penyelesaian lewat proses pelanggaran pidana, putusannya bisa dijadikan bukti kuat dalam penyelesaian perkara perselisihannya lewat jalur PHI.

Hal ini akan bagus, karena kalau pidananya terbukti, itu akan mempermulus gugatan perselisihannya, tapi kalau gugatan perselisihannya mulus belum tentu pidananya akan mulus.

B. Kriminalisasi Pekerja

Pengusaha menjadi terdakwa di persidangan pidana bisa jadi adalah hal yang uar biasa. Lain halnya dengan kriminalisasi pekerja yang seolah menjadi sesuatu yang biasa' lantaran seringnya media memberitakan pekerja yang menjadi terdakwa. Ketika menjadi terdakwa, biasanya pengusaha sudah mem-PHK pekerja terlebih dulu.

Kita menyayangkan sikap pengusaha yang sudah mem-PHK pekerja dengan tuduhan kesalahan berat sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan pekerja bersalah. Kita merujuk pada putusan MK yang menganulir Pasal 158 UU No 13 Tentang Ketenagakerjaan.

Jadi konsekuensinya, kasusnya harus diproses pidana dulu demi menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah.

Hal ini mengakibatkan pengusaha berada dalam posisi terjepit. Sebab, ini prosesnya lama (polisi, jaksa, pengadilan, pengadilan tinggi, MA, -Red) bisa bertahun-tahun. Akibatnya, pengusaha harus membayar upah karyawan yang melakukan pidana tadi bertahun-tahun, sehingga pengusaha akan terbebani.

Meski demikian halnya, SE Menakertrans No. 13/2005 memberi kelonggaran dengan alasan mendesak jika hubungan kerja tak mungkin dilanjutkan lagi. Alasan tersebut diadopsi dari Pasal 1603 KUHPerdata. Untuk itu, Penulis menyarankan pengusaha tetap menempuh jalur penyelesaian lewat PHI. Jadi jika mau mem-PHK terkait kesalahan berat, pakailah proses penyelesaian hubungan industrial, sarannya. 

II. JENIS TINDAK PIDANA DI BIDANG KETENAGAKERJAAN

Tindak pidana di bidang ketenagakerjaan terdiri dari 2 (dua) dua jenis, yaitu, tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelangggaran.

A. Tindak Pidana Kejahatan

Tindak Pidana Kejahatan, terdiri dari :
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang ketenagakerjaan, yaitu :
  1. Pelanggaran atas Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2) (larangan pekerja asing tanpa ijin dan perorangan yang mempekerjakan pekerja asing);
  2. Pelanggaran Pasal 68 (larangan mempekerjakan anak);
  3. Pelanggaran Pasal 69 ayat (2) (mempekerjakan anak tanpa ijin orang tuanya);
  4. Pelanggaran atas Pasal 74 UUK (larangan mempekerjakan anak-anak pada pekerjaan terburuk) ;
  5. Pelanggaran Pasal 80 (jaminan kesempatan beribadah yang cukup);
  6. Pelanggaran Pasal 82 (cuti karena melahirkan dan keguguran);
  7. Pelanggaran Pasal 90 ayat (1) (pembayaran upah di bawah Upah Minimum)
  8. Pelanggaran atas Pasal 167 ayat (5) UUK (buruh yang diphk karena pensiun tetapi pengusaha tidak mau membayar pesangonnya 2 x ketentuan Pasal 156 UUK;
  9. Pelanggaran Pasal 143 (menghalang-halangi kebebasan buruh utk berserikat);
  10. Pelanggaran Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7) (mempekerjakan buruh yang tidak bersalah dalam 6 bulan sebelum perkara pidana diadili dan kewajiban pengusaha membayar uang penghargaan masa kerja bagi buruh yang diphk karena diadili dalam perkara pidana);
  11. Pasal 183 ayat (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima ) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
  12. Pasal 184 ayat (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 167 ayat (5), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
  13. Pasal 185 ayat (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 90 ayat (1), Pasal 143 dan Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (lempat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (lempat ratus juta rupiah);
  • Tindak pidana kejahatan atas pelanggaran hak-hak buruh juga diatur pada UU No. 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja;
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, yaitu : Pasal 43 ayat (1) Barang siapa menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Segala perbuatan pengusaha yang melanggar ketentuan-ketentuan tersebut di atas diancam dengan hukum pidana (penjara) bervariasi sekurangnya satu (1) tahun dan paling lama lima (lima) tahun. Juga ada ancaman denda sekurang-kurangnya 100 juta rupiah dan 500 juta rupiah.

    B. Tindak Pidana Pelanggaran

    Tindak Pidana Pelanggaran, terdiri dari :
    • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, yaitu :
    1. Pelanggaran Pasal 35 ayat (2) UUK (kewajiban pelaksana penempatan tenaga kerja memberi perlindungan sejak rekruitment sampai penempatan tenaga kerja);
    2. Pelanggaran Pasal 35 ayat (3) UUK (perlindungan oleh pemberi kerja atas kesejahteraan, keselamatan dan kesehatan mental dan fisik);
    3. Pelanggaran Pasal 37 ayat (2) UUK (lembaga penempatan tenaga kerja tanpa ijin tertulis dari Menteri/pejabat yg ditunjuk);
    4. Pelanggaran Pasal 44 ayat (1) UUK (pemberi tenaga kerja asing wajib menaati standart dan kompetensi yang berlaku);
    5. Pelanggaran Pasal 45 ayat (1) UUK (tenaga kerja WNI sebagai pendamping tenaga kerja asing);
    6. Pelanggaran Pasal 67 ayat (1) UUK (pembayaran pesangon bagi buruh yang pensiun);
    7. Pelanggaran Pasal 71 ayat (2) UUK (syarat-syarat mempekerjakan anak);
    8. Pelanggaran Pasal 76 UUK (perlindungan bagi buruh perempuan);
    9. Pelanggaran Pasal 78 ayat (2) UUK (wajib bayar upah pada jama kerja jembur);
    10. Pelanggaran Pasal 79 ayat (1) dan ayat (2) UUK (waktu istirahat bagi buruh);
    11. Pelanggaran Pasal 85 ayat (3) UUK (pembayaran upah lembur pada hari libur resmi);
    12. Pelanggaran Pasal 144 UUK (mengganti buruh yang mogok dengan buruh yan baru);
    13. Pelanggaran atas Pasal 14 ayat (2) UUK (perijinan bagi lembaga pelatihan kerja swasta);
    14. Pelanggaran Pasal 38 ayat (2) UUK (biaya penempatan tenaga kerja oleh swasta);
    15. Pelanggaran Pasal 63 ayat (1) UUK (PKWT secara lisan, pengusaha wajib membuat surat pengangkatan);
    16. Pelanggaran atas Pasal 78 ayat (1) UUK (syarat-syarat mempekerjakan buruh di luar jam kerja);
    17. Pelanggaran Pasal 108 ayat (1) UUK (wajib membuat peraturan perusahaan dengan 10 orang buruh);
    18. Pelanggaran Pasal 111 ayat (3) UUK (masa berlaku Peraturan 2 tahun dan wajib diperbaharui);
    19. Pelanggaran Pasal 114 UUK (peraturan perusahaan wajib dijelaskan kepada buruh dan perubahannya);
    20. Pelanggaran Pasal 148 UUK (syarat-syarat lock out ).
    21. Pelanggaran Pasal 93 ayat (2) UUK (pembayaran upah karena sakit/karena tugas negara/pengusaha tdk mau mempekerjakan buruh sesuai perjanjian/hak istirahat buruh/tugas melaksanakan fungsi serikat);
    22. Pelanggaran Pasal 137 UUK (hak mogok);
    23. Pelangaran Pasal 138 ayat (1) UUK (menghalangi maksud serikat buruh untuk mogok kerja);
    24. Pasal 186 ayat (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 35 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 93 ayat (2), Pasal 137 dan Pasal 338 ayat (1), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (lempat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (lempat ratus juta rupiah);
    25. Pasal 187 ayat (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 37 ayat (2), Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 71 ayat (2), Pasal 76, Pasal 78 ayat (2), Pasal 79 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 85 ayat (3), fsn Pasal 144, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000,00 (lseratus ratus juta rupiah);
    26. Pasal 188 ayat (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 14 ayat (2), Pasal 38 ayat (2), Pasal 63 ayat (1), Pasal 78 ayat (1), Pasal 108 ayat (1), Pasal 111 ayat (3), Pasal 114, dan Pasal 148., dikenakan sanksi pidana denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000,00 (lseratus ratus juta rupiah).
    • Pelanggaran di bidang ketenagakerjaan juga diatur pada UU No. 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
    • PelanggaranUU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
    Segala perbuatan pengusaha yang melanggar pasal-pasal tersebut diatas diancam dengan ancaman hukuman kurungan sekurang-kurangnya 1 bulan dan paling lama 4 bulan. Juga diancam dengan hukuman denda sekurang-kurangnya 10 juta rupiah dan sebanyak-banyaknya 100 juta rupiah.

    III. CARA MENEGAKKAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KETENAGAKERJAAN

    Berdasarkan ketentuan Pasal 176 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan diamanahkan bahwa pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan yang mempunyai kompetensi dan independen guna menjamin pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.

    Untuk itu apabila terjadi tindak pidana ketenagakerjaan, maka yang harus dilakukan adalah melaporkan kepada Pegawai Pengawas ketenagakerjaan pada instasi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.

    Adapun Proses penangan perkara di bidang ketenagakerjaan secara garis besar, dapat diuraikan sebaai berikut :
    1. PELAPOR melaporkan adanya dugaan tindak pidana ketenagakerjaan kepada Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan pada Dinas Tenagakerja;
    2. Atas dasar laporan PELAPOR tersebut, PEGAWAI PENGAWAS, melakukan serangkaian kegiatan pengawasan/pemeriksaan terhadap adanya dugaan tindak pidana ketenagakerjaan;
    3. Setelah dilakukan pemeriksaan ternyata ditemukan adanya tidak pidana ketenagakerjaan, maka PEGAWAI PENGAWAS memberikan Nota Pembinaan;
    4. Apabila setelah diberi Nota pembinaan ternyata tidak dilaksankan, maka PENGAWAI PENGAWAS menyerahkan perkaranya kepada PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL untuk dilakukan penyidikan;
    5. PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL mengirim Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan kepada PENYIDIK POLRI;
    6. Setelah PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL telah selesai melakukan penyidikan, kemudian dibuat Berkas Perkaranya;
    7. Setelah selesai pemberkasan PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL melimpahkan kepada Jaksa Penuntut Umum melalui PENYIDIK POLRI;
    8. Setelah Jaksa Penuntut Umum menerima Berkas Perkara dan menyatakan sudah lengkap, Jaksa Penuntut Umum melimpahkan kepada Pengadilan Negeri untuk disidangkan. 

    IV. KEWENANGAN PPK/PPNS

    Kewenangan PPK sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) secara khusus adalah melakukan penyidikan di bidang ketenagakerjaan (sama dengan kewenangan dari Penyidik Pejabat POLRI) sebagaimana diatur pada pasal 182 (2) UUK, yaitu :
    1. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
    2. Melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
    3. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
    4. Melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam pekara tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
    5. Melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
    6. Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas penyidikan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan: dan
    7. Menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membuktikan tentang adanya tindak pidana di bidang ketenagakerjaan.
    Menjalankan kewenangan tersebut tentulah tidak mudah, karena yang diawasi adalah pengusaha yang memiliki kekayaan (uang). Sehingga dengan kekayaan yang dimiliki pengusaha dapat mempengaruhi berbagai pihak demi kepentingannya. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa selama ini pengusaha mengeluarkan biaya siluman demi kelancaran usahanya baik secara terpaksa maupun dengan sukarela.

    Oleh karena itu dalam menjalankan peran dan fungsinya PPK/PPNS harus memiliki komitment yang kuat dan konsistensi melakukan tugas-tugas pengawasannya. Kekecewaan terhadap praktek PHI akhir-akhir ini akan memaksa buruh mencari alternatif untuk menemukan keadilan dan kepastian hukum khususnya mengenai pelanggaran hak-hak buruh sebagaimana diatur oleh UU.

    Paran PPK/PPNS tak perlu kuatir atas hal ini, karena serikat-serikat buruh pastilah mendukung kerja PPK/PPNS untuk menegakkan pelaksanaan hak-hak buruh yang diabaikan oleh pengusaha selama ini. Begitu banyak pelanggaran hak-hak buruh yang terjadi selama ini, misalnya : upah dibawah UMP/UMK, buruh tidak didaftarkan menjadi peserta Jamsostek, penggelapan dana jamsostek, dll, tetapi sampai sekarang sangat jarang (bisa dikatakan tak pernah ada) pengusaha yang diperiksa dan diadili di pengadilan. Tumpuan harapan ini tentulah tidak berlebihan jika ditujukan kepada PPK/PPNS.

    V. PERLU KOORDINASI PPK/PPNS DENGAN SERIKAT BURUH

    Pengaturan tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran di bidang ketenagakerjaan tersebut adalah merupakan suatu peluang bagi kalangan buruh untuk memperjuangkan hak-hak dari kaum buruh. Oleh karena itu aktivis buruh jangan terfokus pada penyelesaian ala PPHI, tetapi setiap pelanggaran hak-hak buruh harus didorong melalui jalur pidana yaitu PPK/PPNS ataupun langsung kepada Polri selaku penyidik tindak pidana sesuai dengan KUHAP (UU No. 8 tahun 1981).

    Memang pengaturan tindak pidana dalam UU tersebut belum mengatur semua kejahatan - kejahatan yang terjadi terhadap buruh, seperti : penerapan outsourcing, kontrak, borongan dan harian lepas secara berlebihan (tidak sesuai dengan UU).

    Tetapi apa yang menjadi kewenangan dari PPK/PPNS tersebut, jika dimaksimalkan akan dapat memberikan shock therapy bagi pengusaha untuk menghargai hukum dan buruh sebagai tulang punggung perekonomian suatu bangsa.

    Pada prakteknya pelaksanaan tugas PPK/PPNS tidak mudah. Banyak situasi internal pemerintahan yang mengakibatkan tugas PPK tidak dapat berjalan. Misalnya : lemahnya dukungan pemerintah mengenai fasilitas dan rendahnya tingkat profesionalisme dan militansi PPK dalam berhadapan dengan pengusaha (sumber : notulensi pendidikan dan pelatihan bagi PPNS se Sumut kerja sama KOMNAS HAM dan KPS di Hotel Garuda Plaza Medan tgl 30 - 31 Juli 2007). Untuk itu, pemerintah perlu serius mendukung dan membenahi kinerja PPK/PPNS .

    Di samping itu dalam melaksanakan tugasnya, PPK diharapkan mau bekerja sama atau meminta informasi dan data-data secara rutin (reguler) kepada pengurus-pengurus serikat buruh tingkat kabupaten/kota termasuk serikat buruh pada tingkat perusahaan. Informasi dan data-data dari serikat-serikat buruh tentu akan menjadi informasi yang sangat penting tentang ada atau tidak adanya pelanggaran hak-hak buruh di perusahaan-perusahaan.

    Tugas pengawasan dan penyidikan atas pelanggaran hak-hak dari buruh di perusahaan-perusahaan yang dilakukan oleh PPK tentu akan semakin efektif jika PPK mampu membangun koordinasi dan kerjasama dengan Kepolisian dan Kejaksaan.

    Harapan buruh kepada PPK saat ini sangat besar untuk berani bertindak tegas kepada pengusaha-pengusaha nakal yang selalu melanggar / melawan ketentuan UU. UU mengatakan pengusaha dapat dipenjara karena melanggar UU, bukan hanya buruh yang dapat dipenjara. Semua orang sama kedudukannya dihadapan hukum.

    VI. PROSES PERSIDANGAN

     A. Proses Persidangan

    Proses persidangan dalam perkara pidana, secara garis besar adalah sebagai berikut :
    1. Sidang Pertama (Pembacaan Dakwaan). Jaksa Penuntut Umum membacakan Surat Dakwaannya.
    2. Sidang Kedua (Eksepsi Atas Dakwaan). Terdakwa / Penasehat Hukum Terdakwa membacakan eksepsi/nota keberatan atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum.
    3. Sidang Ketiga (Tanggapan Atas Eksepsi).
    4. Jaksa Penuntut Umum membacakan tanggapan atas eksepsi terdakwa/penasehat hukum terdakwa.
    5. Putusan Sela. Majelis Hakim membacakan Putusan Sela atas eksepsi terdakwa/ penasehat hukum terdakwa.
    6. Pemeriksaan Saksi/Ahli. Dalam persidangan ini diperiksa baik saksi/ahli Verbalisem yang diajukan Jaksa Penuntut Umum maupun saksi adecharge yang diajukan oleh Terdakwa/Penasehat Hukum Terdakwa.
    7. Tuntutan. Jaksa Penuntut Umum membacakan tututan pidana.
    8. Pembelaan. Terdakwa/Penasehat Hukum Terdakwa membacakan pledooi/ pembelaan atas tuntutan pidana Jaksa Penuntut Umum.
    9. Repliek. Jaksa Penuntut Umum membacakan repliek atas pledooi/ pembelaan Terdakwa/Penasehat Hukum Terdakwa.
    10. Dupliek. Terdakwa/Penasehat Hukum Terdakwa membacakan dupliek atas repliek Jaksa Penuntut Umum.
    11. Putusan. Majelis Hakim membacakan putusan hakim.

    B. Upaya Hukum

    • Upaya Hukum biasa :
    1. Pemeriksaan Tingkat Banding Pengadilan Tinggi; dan
    2. Kasasi Tingkat Kasasi Mahkamah Agung.
    • Upaya hukum luar biasa :
    1. Pemeriksaan Tingkat Kasasi Demi Kepentingan Hukum; dan
    2. Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan Yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap. 

    Dasar Hukum :

    1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
    2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
    3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
    4. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
    5. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( UU No. 8 Tahun 1981 KUHAP).
    6. Surat Edara (SE) Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi RI Nomor : SE-13/MEN/SJ-H/I/2005 Tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Atas Uji Materil UU No. 13 Tentang Ketenagakerjaan.

    Referensi : 

    1. Cole, Roland A. Industrial Safrty Techniques. Sydney : West Publishing Corporation PTY Ltd,1975’ 
    2. Hammer, Willie. Product Safely Management and Engineering. Englewood Cilffs, N.J. : Prentice-Hall Inc. 1980
    3. Iman Soepomo, 1985, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta.
    4. G. Karta Sapoetra, dan R.G. Widianingsih, 1992, Pokok-pokok Hukum Perburuhan, Armico, Bandung.
    5. Lalu Husni, 2004, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan dan Di Luar Pengadilan, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004.
    6. Zainal Asikin, Agusfian Wahab, Lalu Husni, Zaeni Asyhedie, 2004, Dasar-Dasar HukumPerburuhan, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
    7. Notulensi pendidikan dan pelatihan bagi PPNS se Sumut kerja sama KOMNAS HAM dan KPS di Hotel Garuda Plaza Medan tgl 30 - 31 Juli 2007). Untuk itu, pemerintah perlu serius mendukung dan membenahi kinerja PPK/PPNS