Jumat, 19 Februari 2016

Tindak Pidana Ketenagakerjaan

Penyelesaian perselisihan hubungan industrial umumnya menjadi pilihan utama bagi pekerja atau serikat pekerja. Namun tak jarang dalam perselisihan itu mengandung unsur pelanggaran pidana, terutama yang dilakukan pengusaha, seperti pemberangusan atau menonaktifkan aktifitas serikat pekerja (anti union) dan penggelapan upah.

I. PENDAHULUAN

Yang dimaksud dengan tindak pidana (delik) atau menurut Prof. Moeljatno, S.H., perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar ketentuan tersebut, sedangkan menurut Prof. Wirjono Projodikoro, S.H. yang dimaksud dengan tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.
Tindak Pidana Ketenagakerjaan
Tindak Pidana Ketenagakerjaan
Adapun yang dimaksud tidak pidana ketenagakerjaan, adalah pelanggaran terhadap aturan-aturan hukum ketenagakerjaan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.

Pada umumnya pekerja lebih memilih kasus perselisihan yang bernuansa pelanggaran pidana lewat ketukan palu di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) terlebih dahulu. Setelah itu baru melaporkan kasus pelanggaran pidananya ke pihak kepolisian. Menurut hemat Penulis hal ini adalah cara yang terbalik, meski tak sepenuhnya salah, perkara pelanggaran pidana harus lebih didahulukan ketimbang kasus perselisihan. Sebab itu pekerja harus mampu membedakan antara perselisihan dan pelanggaran pidana ketenagakerjaan.

Untuk itu, hemat saya sebelum mengadvokasi suatu kasus, seyogyanya perlu melakukan bedah kasus dengan melibatkan akademisi. Tujuannya selain dapat dipetakan antara perselisihan dan pelanggaran, hasilnya dapat dijadikan senjata dalam melakukan advokasi, sarannya.

Sekedar mengingatkan, paket hukum ketenagakerjaan memang membedakan antarapelanggaran dan perselisihan. Pelanggaran terdapat dalam pasal yang sifatnya memaksa (dwingen recht), contohnya adalah pasal yang melarang pengusaha membayar upah pekerja di bawah upah minimum. Salah satu ciri khas dari pasal pelanggaran adalah adanya ancaman sanksi pidana bagi mereka yang melanggar.

Sementara perselisihan diatur dalam pasal-pasal yang sifatnya mengatur (aanvullent recht), contohnya adalah pasal yang melarang penerapan masa percobaan bagi pekerja kontrak. Memang tak ada ancaman sanksi pidana bagi pelanggarnya. Namun demikian biasanya pasal lain sudah mengatur sanksinya, misalnya adalah batal demi hukum masa percobaan bagi pekerja kontrak.

A. Keuntungan dan Kelemahan

Berperkara di PHI (Pengadilan Hubungan Industrial) ternyata tidak menyelesaikan masalah, malahan menambah masalah. Buruh bolak-balik ke PHI tidak saja hanya bersidang, tetapi juga untuk mempertanyakan keberlanjutan kasusnya. Akibatnya buruh selalu dirugikan. Hak-hak yang dituntutnya tidak pernah dapat diperolehnya. Tidak jarang perkara buruh yang diajukan melalui proses PHI, akhirnya gantung begitu saja karena proses penyelesaian yang sangat lama. Bertahun-tahun penyelesaian perkara belum diputuskan final (incraacht van gewisde) tentu menimbulkan keputus-asaan.

Melihat realitas penyelesaian melalui PHI di atas, maka sesuai dengan UU Ketenagakerjaan (UUK) UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan harapan buruh untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum adalah melalui penegakan Tindak Pidana Ketenagakerjaan.

UUK menegaskan bahwa institusi yang memiliki kewenangan melakukan penegakan Tindak Pidana Ketenagakerjaan (penyelidikan dan penyidikan) adalah Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan (PPK) dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Sesuai Pasal 176 UUK PPK/PPNS mempunyai kompetensi dan independen guna menjamin pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagkerjaan. Untuk menjaga kompetensi dan independesi inilah maka UUK menetapkan bahwa pengangkatan PPK ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuknya. Dengan demikian PPK dapat independen dari pengaruh-pengaruh kebijakan politik yang berkembang di daerah-daerah (termasuk kabupaten/kota). Jadi PPK dapat "menolak" kepentingan-kepentingan yang dipesan oleh siapapun pejabat di daerahnya.

Bagi Penulis, mengedepankan penyelesaian kasus pelanggaran lebih penting ketimbang perselisihan. Salah satu keuntungannya adalah jika mendahulukan penyelesaian lewat proses pelanggaran pidana, putusannya bisa dijadikan bukti kuat dalam penyelesaian perkara perselisihannya lewat jalur PHI.

Hal ini akan bagus, karena kalau pidananya terbukti, itu akan mempermulus gugatan perselisihannya, tapi kalau gugatan perselisihannya mulus belum tentu pidananya akan mulus.

B. Kriminalisasi Pekerja

Pengusaha menjadi terdakwa di persidangan pidana bisa jadi adalah hal yang uar biasa. Lain halnya dengan kriminalisasi pekerja yang seolah menjadi sesuatu yang biasa' lantaran seringnya media memberitakan pekerja yang menjadi terdakwa. Ketika menjadi terdakwa, biasanya pengusaha sudah mem-PHK pekerja terlebih dulu.

Kita menyayangkan sikap pengusaha yang sudah mem-PHK pekerja dengan tuduhan kesalahan berat sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan pekerja bersalah. Kita merujuk pada putusan MK yang menganulir Pasal 158 UU No 13 Tentang Ketenagakerjaan.

Jadi konsekuensinya, kasusnya harus diproses pidana dulu demi menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah.

Hal ini mengakibatkan pengusaha berada dalam posisi terjepit. Sebab, ini prosesnya lama (polisi, jaksa, pengadilan, pengadilan tinggi, MA, -Red) bisa bertahun-tahun. Akibatnya, pengusaha harus membayar upah karyawan yang melakukan pidana tadi bertahun-tahun, sehingga pengusaha akan terbebani.

Meski demikian halnya, SE Menakertrans No. 13/2005 memberi kelonggaran dengan alasan mendesak jika hubungan kerja tak mungkin dilanjutkan lagi. Alasan tersebut diadopsi dari Pasal 1603 KUHPerdata. Untuk itu, Penulis menyarankan pengusaha tetap menempuh jalur penyelesaian lewat PHI. Jadi jika mau mem-PHK terkait kesalahan berat, pakailah proses penyelesaian hubungan industrial, sarannya. 

II. JENIS TINDAK PIDANA DI BIDANG KETENAGAKERJAAN

Tindak pidana di bidang ketenagakerjaan terdiri dari 2 (dua) dua jenis, yaitu, tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelangggaran.

A. Tindak Pidana Kejahatan

Tindak Pidana Kejahatan, terdiri dari :
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang ketenagakerjaan, yaitu :
  1. Pelanggaran atas Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2) (larangan pekerja asing tanpa ijin dan perorangan yang mempekerjakan pekerja asing);
  2. Pelanggaran Pasal 68 (larangan mempekerjakan anak);
  3. Pelanggaran Pasal 69 ayat (2) (mempekerjakan anak tanpa ijin orang tuanya);
  4. Pelanggaran atas Pasal 74 UUK (larangan mempekerjakan anak-anak pada pekerjaan terburuk) ;
  5. Pelanggaran Pasal 80 (jaminan kesempatan beribadah yang cukup);
  6. Pelanggaran Pasal 82 (cuti karena melahirkan dan keguguran);
  7. Pelanggaran Pasal 90 ayat (1) (pembayaran upah di bawah Upah Minimum)
  8. Pelanggaran atas Pasal 167 ayat (5) UUK (buruh yang diphk karena pensiun tetapi pengusaha tidak mau membayar pesangonnya 2 x ketentuan Pasal 156 UUK;
  9. Pelanggaran Pasal 143 (menghalang-halangi kebebasan buruh utk berserikat);
  10. Pelanggaran Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7) (mempekerjakan buruh yang tidak bersalah dalam 6 bulan sebelum perkara pidana diadili dan kewajiban pengusaha membayar uang penghargaan masa kerja bagi buruh yang diphk karena diadili dalam perkara pidana);
  11. Pasal 183 ayat (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima ) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
  12. Pasal 184 ayat (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 167 ayat (5), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
  13. Pasal 185 ayat (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 90 ayat (1), Pasal 143 dan Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (lempat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (lempat ratus juta rupiah);
  • Tindak pidana kejahatan atas pelanggaran hak-hak buruh juga diatur pada UU No. 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja;
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, yaitu : Pasal 43 ayat (1) Barang siapa menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Segala perbuatan pengusaha yang melanggar ketentuan-ketentuan tersebut di atas diancam dengan hukum pidana (penjara) bervariasi sekurangnya satu (1) tahun dan paling lama lima (lima) tahun. Juga ada ancaman denda sekurang-kurangnya 100 juta rupiah dan 500 juta rupiah.

    B. Tindak Pidana Pelanggaran

    Tindak Pidana Pelanggaran, terdiri dari :
    • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, yaitu :
    1. Pelanggaran Pasal 35 ayat (2) UUK (kewajiban pelaksana penempatan tenaga kerja memberi perlindungan sejak rekruitment sampai penempatan tenaga kerja);
    2. Pelanggaran Pasal 35 ayat (3) UUK (perlindungan oleh pemberi kerja atas kesejahteraan, keselamatan dan kesehatan mental dan fisik);
    3. Pelanggaran Pasal 37 ayat (2) UUK (lembaga penempatan tenaga kerja tanpa ijin tertulis dari Menteri/pejabat yg ditunjuk);
    4. Pelanggaran Pasal 44 ayat (1) UUK (pemberi tenaga kerja asing wajib menaati standart dan kompetensi yang berlaku);
    5. Pelanggaran Pasal 45 ayat (1) UUK (tenaga kerja WNI sebagai pendamping tenaga kerja asing);
    6. Pelanggaran Pasal 67 ayat (1) UUK (pembayaran pesangon bagi buruh yang pensiun);
    7. Pelanggaran Pasal 71 ayat (2) UUK (syarat-syarat mempekerjakan anak);
    8. Pelanggaran Pasal 76 UUK (perlindungan bagi buruh perempuan);
    9. Pelanggaran Pasal 78 ayat (2) UUK (wajib bayar upah pada jama kerja jembur);
    10. Pelanggaran Pasal 79 ayat (1) dan ayat (2) UUK (waktu istirahat bagi buruh);
    11. Pelanggaran Pasal 85 ayat (3) UUK (pembayaran upah lembur pada hari libur resmi);
    12. Pelanggaran Pasal 144 UUK (mengganti buruh yang mogok dengan buruh yan baru);
    13. Pelanggaran atas Pasal 14 ayat (2) UUK (perijinan bagi lembaga pelatihan kerja swasta);
    14. Pelanggaran Pasal 38 ayat (2) UUK (biaya penempatan tenaga kerja oleh swasta);
    15. Pelanggaran Pasal 63 ayat (1) UUK (PKWT secara lisan, pengusaha wajib membuat surat pengangkatan);
    16. Pelanggaran atas Pasal 78 ayat (1) UUK (syarat-syarat mempekerjakan buruh di luar jam kerja);
    17. Pelanggaran Pasal 108 ayat (1) UUK (wajib membuat peraturan perusahaan dengan 10 orang buruh);
    18. Pelanggaran Pasal 111 ayat (3) UUK (masa berlaku Peraturan 2 tahun dan wajib diperbaharui);
    19. Pelanggaran Pasal 114 UUK (peraturan perusahaan wajib dijelaskan kepada buruh dan perubahannya);
    20. Pelanggaran Pasal 148 UUK (syarat-syarat lock out ).
    21. Pelanggaran Pasal 93 ayat (2) UUK (pembayaran upah karena sakit/karena tugas negara/pengusaha tdk mau mempekerjakan buruh sesuai perjanjian/hak istirahat buruh/tugas melaksanakan fungsi serikat);
    22. Pelanggaran Pasal 137 UUK (hak mogok);
    23. Pelangaran Pasal 138 ayat (1) UUK (menghalangi maksud serikat buruh untuk mogok kerja);
    24. Pasal 186 ayat (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 35 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 93 ayat (2), Pasal 137 dan Pasal 338 ayat (1), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (lempat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (lempat ratus juta rupiah);
    25. Pasal 187 ayat (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 37 ayat (2), Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 71 ayat (2), Pasal 76, Pasal 78 ayat (2), Pasal 79 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 85 ayat (3), fsn Pasal 144, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000,00 (lseratus ratus juta rupiah);
    26. Pasal 188 ayat (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 14 ayat (2), Pasal 38 ayat (2), Pasal 63 ayat (1), Pasal 78 ayat (1), Pasal 108 ayat (1), Pasal 111 ayat (3), Pasal 114, dan Pasal 148., dikenakan sanksi pidana denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000,00 (lseratus ratus juta rupiah).
    • Pelanggaran di bidang ketenagakerjaan juga diatur pada UU No. 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
    • PelanggaranUU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
    Segala perbuatan pengusaha yang melanggar pasal-pasal tersebut diatas diancam dengan ancaman hukuman kurungan sekurang-kurangnya 1 bulan dan paling lama 4 bulan. Juga diancam dengan hukuman denda sekurang-kurangnya 10 juta rupiah dan sebanyak-banyaknya 100 juta rupiah.

    III. CARA MENEGAKKAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KETENAGAKERJAAN

    Berdasarkan ketentuan Pasal 176 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan diamanahkan bahwa pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan yang mempunyai kompetensi dan independen guna menjamin pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.

    Untuk itu apabila terjadi tindak pidana ketenagakerjaan, maka yang harus dilakukan adalah melaporkan kepada Pegawai Pengawas ketenagakerjaan pada instasi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.

    Adapun Proses penangan perkara di bidang ketenagakerjaan secara garis besar, dapat diuraikan sebaai berikut :
    1. PELAPOR melaporkan adanya dugaan tindak pidana ketenagakerjaan kepada Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan pada Dinas Tenagakerja;
    2. Atas dasar laporan PELAPOR tersebut, PEGAWAI PENGAWAS, melakukan serangkaian kegiatan pengawasan/pemeriksaan terhadap adanya dugaan tindak pidana ketenagakerjaan;
    3. Setelah dilakukan pemeriksaan ternyata ditemukan adanya tidak pidana ketenagakerjaan, maka PEGAWAI PENGAWAS memberikan Nota Pembinaan;
    4. Apabila setelah diberi Nota pembinaan ternyata tidak dilaksankan, maka PENGAWAI PENGAWAS menyerahkan perkaranya kepada PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL untuk dilakukan penyidikan;
    5. PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL mengirim Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan kepada PENYIDIK POLRI;
    6. Setelah PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL telah selesai melakukan penyidikan, kemudian dibuat Berkas Perkaranya;
    7. Setelah selesai pemberkasan PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL melimpahkan kepada Jaksa Penuntut Umum melalui PENYIDIK POLRI;
    8. Setelah Jaksa Penuntut Umum menerima Berkas Perkara dan menyatakan sudah lengkap, Jaksa Penuntut Umum melimpahkan kepada Pengadilan Negeri untuk disidangkan. 

    IV. KEWENANGAN PPK/PPNS

    Kewenangan PPK sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) secara khusus adalah melakukan penyidikan di bidang ketenagakerjaan (sama dengan kewenangan dari Penyidik Pejabat POLRI) sebagaimana diatur pada pasal 182 (2) UUK, yaitu :
    1. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
    2. Melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
    3. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
    4. Melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam pekara tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
    5. Melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
    6. Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas penyidikan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan: dan
    7. Menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membuktikan tentang adanya tindak pidana di bidang ketenagakerjaan.
    Menjalankan kewenangan tersebut tentulah tidak mudah, karena yang diawasi adalah pengusaha yang memiliki kekayaan (uang). Sehingga dengan kekayaan yang dimiliki pengusaha dapat mempengaruhi berbagai pihak demi kepentingannya. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa selama ini pengusaha mengeluarkan biaya siluman demi kelancaran usahanya baik secara terpaksa maupun dengan sukarela.

    Oleh karena itu dalam menjalankan peran dan fungsinya PPK/PPNS harus memiliki komitment yang kuat dan konsistensi melakukan tugas-tugas pengawasannya. Kekecewaan terhadap praktek PHI akhir-akhir ini akan memaksa buruh mencari alternatif untuk menemukan keadilan dan kepastian hukum khususnya mengenai pelanggaran hak-hak buruh sebagaimana diatur oleh UU.

    Paran PPK/PPNS tak perlu kuatir atas hal ini, karena serikat-serikat buruh pastilah mendukung kerja PPK/PPNS untuk menegakkan pelaksanaan hak-hak buruh yang diabaikan oleh pengusaha selama ini. Begitu banyak pelanggaran hak-hak buruh yang terjadi selama ini, misalnya : upah dibawah UMP/UMK, buruh tidak didaftarkan menjadi peserta Jamsostek, penggelapan dana jamsostek, dll, tetapi sampai sekarang sangat jarang (bisa dikatakan tak pernah ada) pengusaha yang diperiksa dan diadili di pengadilan. Tumpuan harapan ini tentulah tidak berlebihan jika ditujukan kepada PPK/PPNS.

    V. PERLU KOORDINASI PPK/PPNS DENGAN SERIKAT BURUH

    Pengaturan tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran di bidang ketenagakerjaan tersebut adalah merupakan suatu peluang bagi kalangan buruh untuk memperjuangkan hak-hak dari kaum buruh. Oleh karena itu aktivis buruh jangan terfokus pada penyelesaian ala PPHI, tetapi setiap pelanggaran hak-hak buruh harus didorong melalui jalur pidana yaitu PPK/PPNS ataupun langsung kepada Polri selaku penyidik tindak pidana sesuai dengan KUHAP (UU No. 8 tahun 1981).

    Memang pengaturan tindak pidana dalam UU tersebut belum mengatur semua kejahatan - kejahatan yang terjadi terhadap buruh, seperti : penerapan outsourcing, kontrak, borongan dan harian lepas secara berlebihan (tidak sesuai dengan UU).

    Tetapi apa yang menjadi kewenangan dari PPK/PPNS tersebut, jika dimaksimalkan akan dapat memberikan shock therapy bagi pengusaha untuk menghargai hukum dan buruh sebagai tulang punggung perekonomian suatu bangsa.

    Pada prakteknya pelaksanaan tugas PPK/PPNS tidak mudah. Banyak situasi internal pemerintahan yang mengakibatkan tugas PPK tidak dapat berjalan. Misalnya : lemahnya dukungan pemerintah mengenai fasilitas dan rendahnya tingkat profesionalisme dan militansi PPK dalam berhadapan dengan pengusaha (sumber : notulensi pendidikan dan pelatihan bagi PPNS se Sumut kerja sama KOMNAS HAM dan KPS di Hotel Garuda Plaza Medan tgl 30 - 31 Juli 2007). Untuk itu, pemerintah perlu serius mendukung dan membenahi kinerja PPK/PPNS .

    Di samping itu dalam melaksanakan tugasnya, PPK diharapkan mau bekerja sama atau meminta informasi dan data-data secara rutin (reguler) kepada pengurus-pengurus serikat buruh tingkat kabupaten/kota termasuk serikat buruh pada tingkat perusahaan. Informasi dan data-data dari serikat-serikat buruh tentu akan menjadi informasi yang sangat penting tentang ada atau tidak adanya pelanggaran hak-hak buruh di perusahaan-perusahaan.

    Tugas pengawasan dan penyidikan atas pelanggaran hak-hak dari buruh di perusahaan-perusahaan yang dilakukan oleh PPK tentu akan semakin efektif jika PPK mampu membangun koordinasi dan kerjasama dengan Kepolisian dan Kejaksaan.

    Harapan buruh kepada PPK saat ini sangat besar untuk berani bertindak tegas kepada pengusaha-pengusaha nakal yang selalu melanggar / melawan ketentuan UU. UU mengatakan pengusaha dapat dipenjara karena melanggar UU, bukan hanya buruh yang dapat dipenjara. Semua orang sama kedudukannya dihadapan hukum.

    VI. PROSES PERSIDANGAN

     A. Proses Persidangan

    Proses persidangan dalam perkara pidana, secara garis besar adalah sebagai berikut :
    1. Sidang Pertama (Pembacaan Dakwaan). Jaksa Penuntut Umum membacakan Surat Dakwaannya.
    2. Sidang Kedua (Eksepsi Atas Dakwaan). Terdakwa / Penasehat Hukum Terdakwa membacakan eksepsi/nota keberatan atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum.
    3. Sidang Ketiga (Tanggapan Atas Eksepsi).
    4. Jaksa Penuntut Umum membacakan tanggapan atas eksepsi terdakwa/penasehat hukum terdakwa.
    5. Putusan Sela. Majelis Hakim membacakan Putusan Sela atas eksepsi terdakwa/ penasehat hukum terdakwa.
    6. Pemeriksaan Saksi/Ahli. Dalam persidangan ini diperiksa baik saksi/ahli Verbalisem yang diajukan Jaksa Penuntut Umum maupun saksi adecharge yang diajukan oleh Terdakwa/Penasehat Hukum Terdakwa.
    7. Tuntutan. Jaksa Penuntut Umum membacakan tututan pidana.
    8. Pembelaan. Terdakwa/Penasehat Hukum Terdakwa membacakan pledooi/ pembelaan atas tuntutan pidana Jaksa Penuntut Umum.
    9. Repliek. Jaksa Penuntut Umum membacakan repliek atas pledooi/ pembelaan Terdakwa/Penasehat Hukum Terdakwa.
    10. Dupliek. Terdakwa/Penasehat Hukum Terdakwa membacakan dupliek atas repliek Jaksa Penuntut Umum.
    11. Putusan. Majelis Hakim membacakan putusan hakim.

    B. Upaya Hukum

    • Upaya Hukum biasa :
    1. Pemeriksaan Tingkat Banding Pengadilan Tinggi; dan
    2. Kasasi Tingkat Kasasi Mahkamah Agung.
    • Upaya hukum luar biasa :
    1. Pemeriksaan Tingkat Kasasi Demi Kepentingan Hukum; dan
    2. Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan Yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap. 

    Dasar Hukum :

    1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
    2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
    3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
    4. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
    5. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( UU No. 8 Tahun 1981 KUHAP).
    6. Surat Edara (SE) Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi RI Nomor : SE-13/MEN/SJ-H/I/2005 Tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Atas Uji Materil UU No. 13 Tentang Ketenagakerjaan.

    Referensi : 

    1. Cole, Roland A. Industrial Safrty Techniques. Sydney : West Publishing Corporation PTY Ltd,1975’ 
    2. Hammer, Willie. Product Safely Management and Engineering. Englewood Cilffs, N.J. : Prentice-Hall Inc. 1980
    3. Iman Soepomo, 1985, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta.
    4. G. Karta Sapoetra, dan R.G. Widianingsih, 1992, Pokok-pokok Hukum Perburuhan, Armico, Bandung.
    5. Lalu Husni, 2004, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan dan Di Luar Pengadilan, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004.
    6. Zainal Asikin, Agusfian Wahab, Lalu Husni, Zaeni Asyhedie, 2004, Dasar-Dasar HukumPerburuhan, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
    7. Notulensi pendidikan dan pelatihan bagi PPNS se Sumut kerja sama KOMNAS HAM dan KPS di Hotel Garuda Plaza Medan tgl 30 - 31 Juli 2007). Untuk itu, pemerintah perlu serius mendukung dan membenahi kinerja PPK/PPNS

    Sejarah Outsourcing

    Sejarah Outsourcing. Berdasarkan prinsip ekonomi, setiap individu menginginkan pengeluaran yang minimal untuk pendapatan yang maksimal, begitupun dengan perusahaan. Melalui outsourcing, perusahaan mengharapkan laba yang maksimal dengan pembayaran faktor produksi berupa SDM yang minimal. Dengan kata lain, prinsip perusahaan yang berlandaskan atas prinsip ekonomi ialah mendapatkan high quality production dengan low price production. Kebijakan outsourcing menjadi salah satu solusi tepat bagi perusahaan untuk mencapai hal tersebut.

    Outsourcing, belakangan menjadi sebuah topik berita yang marak terdengar dan menjadi penyebab unjuk rasa oleh berbagai satuan buruh yang menentangnya. Outsourcing bagi mereka merupakan suatu kebijakan yang menguntungkan perusahaan namun mengakibatkan ketidaksejahteraan nasib mereka. Masalah ini kian menjadi rumit saat pemerintah yang seharusnya bertindak sebagai pembela nasib mereka, justru membuat peraturan baru yang mencerminkan dukungannya terhadap tindakan outsourcing, yakni pengerapan sistem ANS.
    Sejarah Outsourcing
    Sejarah Outsourcing

    a. Outsourcing di Tingkat Internasional


    Praktek dan prinsip-prinsip outsourcing telah ditetapkan dijaman Yunani dan Romawi. Pada zaman tersebut, akibat kekurangan dan kemampuan pasukan dan tidak terkendalinya ahli-ahli bangunan, bangsa Yunani dan Romawi menyewa prajurit asing untuk berperang dan para ahli-ahli bangunan untuk membangun kota dan istana.

    Sejalan dengan adanya revolusi industri, maka perusahaan-perusahaan berusaha untuk menemukan terobosan-terobosan baru dalam memenangkan persaingan. Pada tahap ini untuk mengerjakan sesuatu tidak cukup untuk menang secara kompetitif, melainkan harus disertai dengan kesanggupan untuk menciptakan produk paling bermutu dengan biaya terendah.

    Sebelum Perang Dunia II, Kerajaan Inggris merekrut serdadu Gurkha yang terkenal dengan keberaniannya. Saat Perang Dunia II berlangsung, 1945-1950, Amerika Serikat adalah negara yang paling banyak menerapkan outsourcing untuk keperluan perang. Praktik outsourcing kemudian berkembang luas di perusahaan multinasional sejalan dengan perlunya mereka beroperasi secara efisien dan fokus terhadap bisnis mereka. Perancis kini merupakan negara yang paling berkembang dalam menerapkan outsourcing. Hampir seluruh perusahaan Perancis, dalam berbagai skala, menerapkan praktek outsourcing dalam menjalankan usaha.

    Dikarenakan adanya pasar global dan godaan tenaga kerja murah, dunia industri manufaktur mengalami peningkatan tenaga kerja pada dekade 1980an pada tahun-tahun berikutnya, praktek outsourcing didorong oleh Satu dari sepuluh butir kesepakatan dalam Washington Consensus yang mengindikasikan bahwa pasar tenaga kerja harus bersifat fleksibel sebagai sebuah syarat investasi. Secara sederhana berarti, tenaga kerja hanya dijadikan sebuah fungsi produksi yang bersifat variabel. Ketika produksi meningkat, jumlah pekerja ikut terungkit, namun ketika produksi menurun, pekerja harus dikurangi.

    b. Outsourcing Dalam Indonesia


    Di Indonesia Sendiri perkembangan outsourcing dibagi kedalam dua masa, yaitu zaman pra-kemerdekaan dan masa pasca kemerdekaan. 

    1. Masa Hindia Belanda (Pra-kemerdekaan)

    a. Deli Planters Vereeniging

    Outsourcing sudah diperkenalkan pada warga bumiputra pada masa pendudukan Belanda. Seiring maraknya sistem tanam paksa (monokultur) seperti tebu, kopi, tembakau, sekitar tahun 1879, pemerintah kolonial Hindia Belanda membuat program besar-besaran dalam upaya menghasilkan barang-barang devisa di pasar internasional. Salah satu upayanya adalah membuka investasi di sektor perkebunan di daerah Deli Serdang. Kebijakan itu diatur oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda dalam peraturan No. 138 tentang Koeli Ordonantie. Peraturan tersebut kemudian direvisi lagi dengan dikeluarkannya surat keputusan Gubernur Jendral Pemerintah Hindia Belanda Nomor 78.

    Peraturan tersebut dikeluarkan untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif seraya membuka lapangan kerja bagi para penganggur yang miskin. Regulasi ini kemudian mampu mendorong laju investasi sektor perkebunan tembakau di Deli sesuai regulasi yang sudah dikeluarkan yang mengatur tentang ketentuan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja (koeli) perkebunan maka pada tahun 1879 dibentuklah organisasi yang diberi nama ‘Deli Planters Vereeniging.‘ Organisasi tersebut bertugas untuk mengordinasikan perekrutan tenaga kerja yang murah. Selanjutnya, Deli Planters Vereeniging ini membuat kontrak dengan sejumlah biro pencari tenaga kerja untuk mendatangkan buruh-buruh murah secara besar-besaran terutama dari daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur.

    Deli Planters Vereeniging bekerjasama dengan para Lurah, para Kepala Desa, para calo tenaga kerja, untuk mengangkut kaum Bumi Putra meninggalkan kampung halamannya menuju tanah perkebunan. Mereka kemudian diangkut ke Batavia, dan di Batavia mereka wajib “menandatangani” perjanjian kontrak yang saat itu disebut sebagai Koeli Ordonantie. kononetos orang jawa lah yang saat itu tepat untuk melakukan pekerjaan tersebut, sifat yang mudah mengalah dan mudah diajak kompromi adalah pilihan utama dari orang-orang tersebut, tetapi juga perlu diingat bahwa saat itupun sudah ada perjanjian kontrak kerja yang sama-sama menyetujui tentang hak dan kewajiban masing-masing, hal ini terlepas apakah kemudian terdengar bahwa kontrak (ordonantie) tersebut banyak dilanggar oleh si pelaksana itu sendiri, kononjustru si pelaksana itulah yang lebih berkuasa dari pada si pemilik investasi.

    Setelah tiba di perkebunan (onderneming), para koeli orang Jawa tersebut dipekerjakan di bawah pengawasan mandor yang bertanggung-jawab atas disiplin kerja. Para mandor ini mendapatkan upah sebesar 7,5% dari hasil kelompok upah para koeli yang dipimpinnya. Pada umumnya, para pemilik perkebunan menerapkan suatu bentuk organisasi dengan hirarki dimana kinerja para mandor ini diawasi oleh mandor kepala, dan selanjutnya para mandor kepala ini diawasi oleh asisten pengawas. Para asisten pengawas ini bertanggungjawab kepada administratur perkebunan. Selanjutnya, para administratur bertanggungjawab kepada tuan juragannya, yaitu para investor yang memiliki perkebunan itu. Pada masa itu, yang paling berpengaruh dan paling berkuasa atas para koeli adalah para atasan langsungnya yaitu para mandor dan mandor kepala, mereka ini yang paling sering melakukan pemerasan terhadap para koeli. Begitu berkuasanya sehingga para koeli jika ditanya dimana dia bekerja, maka jawabannya bukan menyebutkan nama onderneming tempat bekerjanya, akan tetapi akan menyebutkan siapa nama mandor dan nama mandor kepalanya.

    Pemerasan yang dialami oleh para koeli bukan hanya dari pemerasan langsung yang dilakukan oleh mandor dan mandor kepalanya saja. Para calo dan tuan juragan atau ondernemer secara tak langsung juga melakukan pemerasan. Hutang dan biaya yang diangggap sebagai hutang seperti biaya transportasi dari Jawa ke Deli, biaya makan, biaya pengobatan, biaya tempat tinggal, dengan upahnya yang minim itu seringkali baru dapat terbayarkan lunas setelah para koeli bekerja selama lebih dari 3 tahun kontrak kerja.

    b. Animer

    Masih pada massa pendudukan Belanda sekitar Abad XIX, sistem outsourcing juga sudah dikenal dalam kehidupan buruh (koeli) pelabuhan di Tanjung Priok. Menurut penelitian yang dilakukan Razif, aktivis Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), para buruh Pelabuhan Tanjung Priok direkrut oleh kelompok buruh yang disebut sebagai “animer”. Oleh para animer, tenaga kerja itu biasanya didatangkan dari Jawa Barat. Secara getok-tular, dari mulut ke mulut, kaum muda di perkampungan Lebak, Banten, Cianjur, mereka berbondong-bondong menjual tenaganya. Di kampungnya, produksi pertanian tidak lebih menjanjikan dibanding migrasi ke Tanjung Priok dimana bisa memperoleh “uang” dari upah memburuh.

    2. Masa Kemerdekaan Indonesia

    a. Sebelum Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

    Pengaturan tentang pemborongan pekerjaan, sebenarnya sudah diatur sejak zaman belanda. Sebelum diundangkannya Undang-Undang No 13 Tahun 2003, Outsourcing diatur dalam KUH Perdata Pasal 1601 b, Pasal tersebut mengatur bahwa pemborongan suatu pekerjaan adalah kesepakatan dua belah pihak yang saling mengikatkan diri, untuk menyerahkan suatu pekerjaan kepada pihak yang saling mengikatkan diri, untuk menyerahkan suatu pekerjaan kepada pihak lain dan pihak lainnya membayarkan sejumlah harga. Tetapi pengaturan dalam KUH Perdata masih belum lengkap karena belum diatur terkait pekerjaan yang dapat dioutsourcingkan, tanggung jawab perusahaan pengguna dan penyedia tenaga kerja outsourcing dan jenis perusahaan yang dapat menyediakan tenaga kerja outsourcing.

    b. Outsourcing Berdasarkan Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

    Berdasarkan hasil penelitian PPM (Riset Manajemen: 2008 terhadap 44 perusahaan dari berbagai industri terdapat lebih dari 50% perusahaan di Indonesia menggunakan tenaga outsourcing, yaitu sebesar 73%. Sedangkan sebanyak 27%-nya tidak menggunakan tenaga outsourcing dalam operasional di perusahaannya. Hal ini menunjukkan perkembangan outsourcing di Indonesia begitu pesat Perkembangan outsourcing ini didorong dengan adanya Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003, dalam Undang-Undang tersebut tersebut, kebutuhan tenaga kerja untuk menjalankan produksi disuplai oleh perusahaan penyalur tenaga kerja (outsourcing). Di satu sisi tenaga kerja (buruh) harus tunduk dengan perusahaan penyalur, di sisi lain harus tunduk juga pada perusahaan tempat ia bekerja.

    Kesepakatan mengenai upah ditentukan perusahaan penyalur dan buruh tidak bisa menuntut pada perusahaan tempat ia bekerja. Sementara itu, di perusahaan tempat ia bekerja, harus mengikuti ketentuan jam kerja, target produksi, peraturan bekerja, dan lain-lain. Setelah mematuhi proses itu, baru ia bisa mendapat upah dari perusahaan penyalur. Hubungan sebab akibat antara bekerja dan mendapatkan hasil yang dialami buruh tidak lagi mempunyai hubungan secara langsung. Bila tanpa lembaga penyalur, buruh memperoleh upah dari perusahaan tempat ia bekerja sebagai majikan, kini harus menunggu perusahaan tempat ia bekerja membayar management fee kepada perusahaan penyalur sebagai majikan kedua, baru ia memperoleh kucuran upah.

    Selain hal di atas, dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenaga kerjaan jelas diatur bahwa adanya perusahaan penyedia tenaga kerja outsourcing, yang berbentuk badan hukum, dan bertanggung jawab atas hak-hak tenaga kerja. Selain itu, diatur juga bahwa hanya pekerjaan penunjang saja yang dapat di outsourcingkan.

    Sumber Hukum

    Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan 

    Daftar Pustaka

    1. 1. Lalu,S.H,M.Hum.2008.Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia.Jakarta
    2. Jehani Libertus,2008 Hak-Hak Karyawan Kontrak, Forum sahabat, Jakarta, 2008:1-2)

    Teknik Memahami Perhitungan Upah Lembur (Overtime)

    Lembur atau overtime, kadang seperti sisi permukaan uang logam, diinginkan saat ingin mengejar target produksi, namun disisi lainnya dalam jumlah tertentu juga bisa menjadi indikator rendahnya volume produksi saat jam kerja normal. Apapun latar belakangnya, seorang manager mutlak harus mengetahui  regulasi atau ketentuan yang mengatur tentang mekanisme pelaksanaan hingga perhitungan nominal upah lebur yang harus dibayarkan.Saya akan lebih banyak memberikan sudut pandang normatif yang menjadi  pegangan bagi semua pihak terkait.
    Banyak diantara pekerja yang masih belum mengetahui secara detail mengenai perhitungan upah lembur. Terkadang pekerja hanya menerima saja upah lembur yang ditetapkan perusahaan atau kadang masih banyak yang tidak mendapat uang lembur.
    Upah Kerja Lembur adalah upah yang diterima pekerja atas pekerjaannya sesuai dengan jumlah waktu kerja lembur yang dilakukannya.
    Waktu kerja lembur adalah waktu kerja yang melebihi 7 jam sehari untuk 6 hari kerja dan 40 jam dalam seminggu atau 8 jam sehari untuk 8 hari kerja dan 40 jam dalam seminggu atau waktu kerja pada hari istirahat mingguan dan atau pada hari libur resmi yang ditetapkan Pemerintah (Pasal 1 ayat 1 Peraturan Menteri No.102/MEN/VI/2004).
    Waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 jam/hari dan 14 jam dalam 1 minggu diluar istirahat mingguan atau hari libur resmi.
    Ketentuan tentang waktu kerja lembur dan upah kerja lembur diatur dalam Undang –Undang no.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 78 ayat (2),(4), Pasal 85 dan lebih lengkapnya diatur dalam Kepmenakertrans No.102/MEN/VI/2004 mengenai Waktu dan Upah Kerja Lembur.
    Perhitungan Upah Lembur didasarkan upah bulanan dengan cara menghitung upah sejam adalah 1/173 upah sebulan.

    Ketentuan Jam kerja lembur


    Pengertian tentang waktu kerja lembur mengacu pada Pasal 1 Kep-102/MEN/VI/2004, adalah :
    • Waktu kerja yang melebihi 7 jam dalam 1 hari dan 40 jam dalam seminggu untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu,
    • Waktu kerja 8 jam dalam 1 hari dan 40 jam dalam 1 minggu untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu,
    • Waktu kerja pada hari istirahat mingguan dan atau pada hari libur resmi yang ditetapkan pemerintah.

    Namun tidak berlaku bagi pekerja yang termasuk golongan jabatan tertentu yaitu tidak berhak atas upah kerja lembur alasannya karena pekerja tersebut mendapatkan upah yang tinggi. Pekerja yang termasuk golongan jabatan tertentu tersebut memiliki tanggung jawab sebagai pemikir, perencana, pelaksana dan pengendali jalannhya perusahaan dimana waktu kerjanya tidak dapat dibatasi menurut waktu kerja yang ditetapkan perusahaan sesuai dengan peraturan undang-undang yang berlaku.

    Pemerintah memberikan batasan maksimal bagi perusahaan dalam menginstruksikan karyawan dalam melakukan kerja lembur, batasan ini yaitu ;
    1. Waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.
    2. Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak termasuk kerja lembur yang dilakukan pada waktu istirahat mingguan atau hari libur resmi.
    Syarat melakukan kerja lebur,antara lain ; (1) Ada perintah tertulis, (2) Pekerja setuju untuk melaksanakan kerja lembur, (3) Adanya rincian pelaksanaan kerja lembur, (4) Adanya bukti tanda tangan kedua belah pihak.

    Perusahaan yang mempekerjakan pekerja/buruh selama waktu kerja lembur berkewajiban :
    1. membayar upah kerja lembur; memberi kesempatan untuk istirahat secukupnya; memberikan makanan dan minuman sekurang-kurangnya 1.400 kalori apabila kerja lembur dilakukan selama 3 (tiga) jam atau lebih,
    2. Pemberian makan dan minum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c tidak boleh diganti dengan uang.

    Mekanisme Perhitungan Upah Lembur


    Upah lembur dihitung per-jam. Untuk mengetahui berapa upah lembur per-jam, maka harus diketahui dulu berapa upah pokok kita:
    1. Jika upah pekerja/buruh dibayar secara harian, maka penghitungan besarnya upah sebulan adalah upah sehari dikalikan 25 (dua puluh lima) bagi pekerja/buruh yang bekerja 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau dikalikan 21 (dua puluh satu) bagi pekerja/buruh yang bekerja 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
    2. Jika upah pekerja/buruh dibayar berdasarkan satuan hasil, maka upah sebulan adalah upah rata-rata 12 (dua belas) bulan terakhir.
    3. Dalam hal pekerja/buruh bekerja kurang dari 12 (dua belas), maka upah sebulan dihitung berdasarkan upah rata-rata selama bekerja dengan ketentuan tidak boleh lebih rendah dari upah minimum.

    Cara perhitungan upah kerja lembur sebagai berikut :

    Upah sejam adalah 1/173 kali upah sebulan.
    Angka 1/173 didasarkan pada perhitungan sbb:
    Dalam satu tahun  ada  52 minggu
    Jadi dalam 1 bulan =  52/12  = 4,333333  minggu.
    Total jam kerja/minggu = 40 jam
    Jadi  Total jam kerja dalam 1 bulan =  40 X 4,33  =  173,33 dibulatkan menjadi 173 jam maka  untuk menghitung upah per jam yaitu upah perbulan / 173
    Misal Upah jam sebulan Mr. Togar adalah Rp. 1.300.000,- maka upah se-jam Mr. Togaradalah 1.300.000 / 173 = 7.514.,5

    Upah yang dijadikan patokan dalam penghitungan upah lembur adalah GP (Gaji Pokok) ditambah Tunjangan Tetap, sementara Tunjangan Tidak Tetap tidak bisa dipakai sebagai dasar perhitungan upah lembur.
    Untuk memudahkan perumusan maka secara simpel boleh kita rumuskan sbb:
    L1 = 1,5 kali upah sejam
    L2 = 2 kali upah sejam.
    L3 = 3 kali upah sejam.
    L4 = 4 kali upah sejam


    Melihat rumusan diatas maka perhitungan upah lembur untuk yang hari kerjanya 6 hari dapat dilihat sbb;
    1. Apabila kerja lembur dilakukan pada hari kerja maka perhitungannya adalah: 1 Jam pertama dihitung (L1), 6 jam berikutnya dihitung (L2),
    2. Apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/atau hari libur resmi maka : 7 (tujuh) jam pertama dihitung (L2) jam ke 8 (delapan) dihitung (L3) dan jam ke 9 (sembilan) dst dihitung (L4)

    Sementara perhitungan upah lembur untuk yang hari kerjanya 5 hari dapat dilihat sbb;
    1. Apabila kerja lembur dilakukan pada hari kerja maka perhitungannya adalah: 1 Jam pertama dihitung (L1), jam berikutnya dihitung (L2),
    2. Apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/atau hari libur resmi maka : 8 (delapan) jam pertama dihitung (L2) jam ke 9 (sembilan) dibayar (L3) dan jamke 10 (sepuluh) dst dihitung (L4)
    Contoh penghitungan:
    Gaji pokok Si Togar adalah Rp.1.250.000 tunjangan tetapnya sebesar Rp.50.000,-. Togarbekerja dengan sistem 6 hari kerja. Bulan ini Togar lembur terusan (lembur pada hari kerja) sebanyak 3 hari masing-masing 4 jam, serta pada saat hari libur kerja si Togar lembur 1 hari selama 10 jam! Dari pernyataan tsb didapat:

    L1 sebanyak 3 jam
    L2 sebanyak 16 jam
    L3 sebanyak 1 jam
    L4 sebanyak 2 jam
    Upah sejam mono adalah = 1.300.000/173 = Rp.7.514,5
    Dengan demikian maka:
    L1 = 3 x 1.5 x 7.514,5 = 33.815,5
    L2= 16 x 2 x 7.514,5 = 240.464,0
    L3= 1 x 3 x 7.514,5 = 22.543.5
    L4= 2 x 4 x 7.514,5 = 60.116,0
    Jadi total upah lembur mono adalah:
    = L1 + L2 + L3 + L4
    = 33.815,5 + 240.464,0 + 22.543,5 + 60.116,0
    = Rp. 356.939,0


    Pasal 11 KEP.102/MEN/VI/2004, menyatakan :
    1. Apabila kerja lebur dilakukan pada hari kerja maka upah lembur jam kerja pertama dibayar 1.5 x upah sejam, untuk setiap jam kerja lembur berikutnya dibayar sebesar 2 x upah sejam,
    2. Bila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/atau hari libur resmi untuk waktu 6 hari kerja dan 40 jam seminggu maka upah lembur untuk 7 jam kerja pertama dibayar 2x upah sejam dan jam ke 8 dibayar 3x upah sejam dan jam ke 9 dan ke 10 dibayar 4x upah sejam. Kalau hari libur resmi jatuh pada kerja terpendek maka upah lembur 5 jam pertama dibayar 2x upah sejam dan jam ke 6 dibayar 3x upah sejam dan upah lembur ke 7 dan ke 8 dibayar 4 x upah sejam,
    3. Bila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/atau hari libur resmi untuk waktu kerja 5 hari kerja dan 40 jam seminggu maka perhitungan upah kerja lembur untuk 8 jam kerja pertama dibayar 2x upah sejam, jam kerja ke 9 dibayar 3x upah sejam dan jam kerja ke 10 dan ke 11 dibayar 4x upah sejam.
    Dasar perhitungan upah lembur merupakan upah pokok ditambah tunjangan tetap. Tetapi jika komponen upah keseluruhan terdiri dari upah pokok, tunjangan tetap, dan tunjangan tidak tetap dimana upah pokok ditambah tunjangan tetap kurang dari 75% maka dasar perhitungan upah lembur adalah 75% dari jumlah secara keseluruhan.


    Sumber Hukum :


    1.      Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1945 Tentang Ketenagakerjaan
    2.      Kepmenakertrans No.102/MEN/VI/2004 mengenai Waktu dan Upah Kerja Lembur

    Pengertian, Sifat Dan Tujuan Serikat Pekerja/Serikat Buruh ~

    Keberadaan Serikat Buruh mutlak dibutuhkan oleh pekerja. Berkumpul untuk bersatunya buruh dalam Serikat Buruh secara filosofi diibaratkan Muchtar Pakpahan, seperti sapu lidi, kendaraan umum, burung gelatik, main catur, memancing ikan, solidaritas atau berani mati.

    Melalui Serikat Buruh, diharapkan akan terwujud hak berserikat buruh dengan maksimal. Buruh dapat memperjuangkan kepentingannya. Sayangnya hak berserikat yang merupakan bagian dari hak asasi manusia yang sudah bersifat universal belum dipahami oleh pengusaha dan pemerintah.

    Pengusaha seringkali menganggap keberadaan Serikat Buruh sebagai pengganggu untuk melaksanakan hak prerogratifnya dalam mengatur jalannya usaha. Pemerintah seringkali menganggap aktivitas Serikat Buruh dalam mengembangkan organisasinya merupakan ancaman stabilitas dan keamanan nasional.
    Pengertian, Sifat  Dan Tujuan Serikat Pekerja/Serikat Buruh
    Serikat Pekerja/Serikat Buruh
    Menjadi anggota serikat pekerja adalah kekuatan pekerja untuk menghilangkan permasalahan yang dihadapi seperti gaji yang rendah, buruknya kondisi pelayanan kesehatan dan perlindungan kerja, PHK sepihak dan sebagainya. Karena sebagai individu mereka tidak akan mampu melawan kombinasi yang hebat antara pemodal dan manajemen. Melalui serikat pekerja mereka terlindungi kepentingannya, dapat menyuarakan aspirasinya kepada pengusaha, peningkatan kondisi-kondisi kerja melalui perjanjian kerja bersama.

    Hak menjadi anggota Serikat Pekerja/Serikat Buruh merupakan hak asasi pekerja yang telah dijamin didalam Pasal 28 Undang Undang Dasar 1945 dan untuk mewujudkan hak tersebut, kepada setiap pekerja/buruh diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk mendirikan dan menjadi anggota serikat pekerja, dimana Serikat Pekerja/Serikat Buruh berfungsi sebagai sarana untuk memperjuangkan, melindungi dan membela kepentingan dan juga meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya, dimana dalam menggunakan haknya tersebut pekerja/buruh dituntut bertanggung jawab untuk menjamin kepentingan yang lebih luas yaitu kepentingan Bangsa dan Negara oleh karena itu penggunaan hak tersebut dilaksanakan dalam kerangka hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan.

    Hak berserikat bagi pekerja/buruh sebagaimana diatur dalam Konvensi International Labour Organization ( ILO ) Nomor 87 Tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Untuk Berorganisasi dan Konvensi ILO Nomor 98 Tentang Hak Untuk Berorganisasi dan Berunding Bersama. Konvensi tentang hak berserikat bagi pekerja/buruh ini telah diratifikasi oleh Indonesia menjadi bagian dari peraturan perundang-undangan nasional.

    Berlakunya dasar-dasar daripada hak untuk berorganisasi dan untuk berunding bersama sudah diratifikasi oleh Indonesia menjadi bagian dari Peraturan PerUndang-Undangan Nasional yakni Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja dimana Pekerja merupakan mitra kerja Pengusaha yang sangat penting dalam proses produksi dalam meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya serta menjamin kelangsungan perusahaan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia pada umumnya.

    Undang-undang No.21 Tahun 2000 menggunakan istilah serikat pekerja/serikat buruh bukan serikat pekerja atau serikat buruh saja. Kedua istilah itu sebenarnya sama saja dan tidak ada perbedaan. Judul semula yang diajukan oleh Presiden ke DPR melalui suratnya No.R.01/PU/I/2000 adalah RUU tentang serikat pekerja. Dalam proses pembahasan di DPR penggunaan istilah serikat pekerja disetujui menjadi serikat pekerja/serikat buruh. Penggunaan kedua istilah tersebut dilakukan untuk mengadopsi keinginan dari berbagai organisasi pekerja/buruh yang menggunakan kedus istilah alternatif tersebut untuk menyebut nama organisasinya masing-masing. 

    A. Pengertian Serikat Pekerja/Serikat Buruh

    Secara umum pekerja/buruh adalah warga negara yang mempunyai persamaan kedudukan dalam hukum, hal untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak mengeluarkan pendapat, berkumpul dalam suatu organisasi serta mendirikan dan menjadi anggota Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

    Pekerja/buruh merupakan mitra kerja pengusaha yang sangat penting dalam proses produksi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya, menjamin kelangsungan perusahaan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia pada umumnya.

    Sehubungan dengan hal itu Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang merupakan sarana untuk memperjuangkan kepentingan pekerja haruslah memiliki rasa tanggung-jawab atas kelangsungan perusahaan dan begitu pula sebaliknya, pengusaha harus memperlakukan pekerja sebagai mitra sesuai harkat dan martabat kemanusiaan. Serikat pekerja/serikat buruh didirikan secara bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan juga bertanggung jawab oleh pekerja/buruh untuk memperjuangkan kepentingan pekerja/buruh dan keluarganya.

    Pengertian Serikat Pekerja/Serikat Buruh menurut Pasal 1 ayat 1 Undang- Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.

    Didalam Undang-Undang No.21 tahun 2000, Serikat Pekerja/Serikat Buruh terbagi menjadi dua yaitu Serikat Pekerja/Serikat Buruh di perusahaan dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh di luar perusahaan. Pada Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No.21 tahun 2000, Serikat Pekerja/Serikat Buruh di perusahaan ialah serikat pekerja/serikat buruh yang didirikan oleh para pekerja/buruh di satu perusahaan atau di beberapa perusahaan. Pada Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No.21 tahun 2000, Serikat Pekerja/Serikat Buruh di luar perusahaan ialah serikat pekerja/serikat buruh yang didirikan oleh para pekerja/buruh yang tidak bekerja di perusahaan.

    Serikat Pekerja/Buruh dapat membentuk Federasi Serikat Pekerja/Buruh maupun Konferensi Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Pada Pasal 1 angka 4 Undang- Undang No.21 tahun 2000, Federasi serikat pekerja/serikat buruh ialah gabungan serikat pekerja/serikat buruh. Adapun pada Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No.21 tahun 2000, Konfederasi serikat pekerja/serikat buruh ialah gabungan federasi serikat pekerja/serikat buruh.

    Pekerja/buruh menurut UU No.21 tahun 2000 ialah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Dari definisi tersebut terdapat dua unsur yaitu orang yang bekerja dan unsur menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Hal ini berbeda dengan definisi tenaga kerja yaitu setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa, baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat. 

    B. Sifat Serikat Pekerja/Serikat Buruh

    Serikat pekerja/serikat buruh bebas dalam menentukan asas organisasinya tetapi tidak boleh menggunakan asas yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dikarenakan Pancasila sebagai dasar negara dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

    Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh mempunyai sifat antara lain :
    1. Bebas ialah sebagai organisasi dalam melaksanakan hak dan kewajibannya, serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh tidak dibawah pengaruh ataupun tekanan dari pihak manapun.
    2. Terbuka ialah dalam menerima anggota ataupun dalam memperjuangkan kepentingan pekerja/buruh tidak membedakan aliran politik, agama, suku bangsa, dan jenis kelamin.
    3. Mandiri ialah dalam mendirikan, menjalankan dan juga mengembangkan organisasi ditentukan oleh kekuatan sendiri tidak dikendalikan oleh pihak lain di luar organisasi.
    4. Demokratis ialah dalam melakukan pembentukan organisasi, pemilihan pengurus, memperjuangkan dan juga melaksanakan hak dan kewajiban organisasi dilakukan sesuai dengan prinsip demokrasi.
    5. Bertanggung jawab ialah untuk mencapai tujuan dan melaksanakan hak dan kewajibannya, serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh bertanggung jawab kepada anggota, masyarakat, dan negara.

    C. Tujuan Serikat Pekerja/Serikat Buruh

    Berdasarkan ketentuan Pasal 4 Undang-undang No.21 Tahun 2000, Serikat Pekerja /Buruh, federasi dan konfederasi Serikat Pekerja/Buruh bertujuan untuk memberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan, serta meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi pekerja/buruh dan keluarganya.

    Berdasarkan ketentuan umum Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, serikat pekerja merupakan organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja serta meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya.

    Sesuai dengan Pasal 102 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, dalam melaksanakan hubungan industrial, pekerja dan serikat pekerja mempunyai fungsi menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan keterampilan, dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya.

    Sedangkan menurut UU No.21 tahun 2000 mengenai Serikat Buruh/Serikat Pekerja, Fungsi serikat mencakup pembuatan Perjanjian Kerja Bersama (PKB), penyelesaian perselisihan industrial, mewakili pekerja di dewan atau lembaga yang terkait dengan urusan perburuhan, serta membela hak dan kepentingan anggota serikat.

    Sumber hukum :

    1. Undang Undang Dasar 1945,
    2. Konvensi International Labour Organization ( ILO ) Nomor 87 Tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Untuk Berorganisasi,
    3. Konvensi ILO Nomor 98 Tentang Hak Untuk Berorganisasi dan Berunding Bersama,
    4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja,
    5. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

    Referensi : 

    1. Maimun, Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar, Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta, Cet. II, 2007,
    2. Hardijan Rusli, Hukum Ketenagakerjaan 2003, Penerbit Ghalia Indonesia, 2004,
    3. Sentanoe Kertonegoro, Hubungan Industrial, Hubungan Antara Pengusaha dan Pekerja (Bipartid) dan Pemerintah (Tripartid), 1999, Yayasan Tenaga Kerja Indonesia, Jakarta,
    4. Hammer, Willie. Product Safely Management and Engineering. Englewood Cilffs, N.J. : Prentice-Hall Inc. 1980.