Jumat, 19 Februari 2016

TATA CARA PEMBUATAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA (PKB)

Menurut Undang-Undang Nomor13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, PKB adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja atau beberapa serikat pekerja (yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan) dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.

Adapun yang menjadi latar belakang pembuatan PKB adalah, sebagai berikut :
  • Peraturan Pasal 108 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaanmengharuskan pengusaha yang mempekerjakan pekerja sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang wajib membuat Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang mulai berlaku setelah disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
  • Konvensi ILO No. 98 Tentang Berlakunya Dasar-Dasar Dari Hak Untuk Bernegosiasi dan Berunding Bersama.
  • Perlunya ada kejelasan yang menyeluruh mengenai hak dan kewajiban antara pengusaha dan pekerja serta tata tertib dalam bekerja dan di lingkungan kerja.
Dalam “Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Per.16/Men/Xi/2011 Tentang Tata Cara Pembuatan Dan Pengesahan Peraturan Perusahaan Serta Pembuatan Dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama Pada BAB III”diterangkan pembuatan Kerja Bersama, yaitu :

TATA CARA PEMBUATAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA (PKB)
PERJANJIAN KERJA BERSAMA
Bagian Kesatu
Persyaratan Pembuatan Perjanjian Kerja Bersama
Pasal 12

1)        PKB dirundingkan oleh serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha.
2)        Perundingan PKB harus didasari itikad baik dan kemauan bebas kedua belah pihak.
3)        Perundingan PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan secara musyawarah untuk mufakat.
4)        Lamanya perundingan PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan kesepakatan para pihak dan dituangkan dalam tata tertib perundingan.

 Pasal 13

1)        Dalam satu perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu) PKB yang berlaku bagi seluruh pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
2)        Dalam hal perusahaan yang bersangkutan memiliki cabang, dibuat PKB induk yang berlaku di semua cabang perusahaan serta dapat dibuat PKB turunan yang berlaku di masing-masing cabang perusahaan.
3)        PKB induk memuat ketentuan-ketentuan yang berlaku umum di seluruh cabang perusahaan dan PKB turunan memuat pelaksanaan PKB induk yang disesuaikan dengan kondisi cabang perusahaan masing-masing.
4)        Dalam hal PKB induk telah berlaku di perusahaan namun dikehendaki adanya PKB turunan di cabang perusahaan, maka selama PKB turunan belum disepakati tetap berlaku PKB induk.

Pasal 14

Dalam hal beberapa perusahaan tergabung dalam satu grup dan masingmasing perusahaan merupakan badan hukum sendiri-sendiri, maka PKB dibuat dan dirundingkan oleh masing-masing pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh masing-masing perusahaan.

Pasal 15

Pengusaha harus melayani serikat pekerja/serikat buruh yang mengajukan permintaan secara tertulis untuk merundingkan PKB dengan ketentuan apabila:
1.        serikat pekerja/serikat buruh telah tercatat berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh; dan
2.        memenuhi persyaratan pembuatan PKB sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Pasal 16

1)        Dalam hal di perusahaan terdapat 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh, tetapi tidak memiliki jumlah anggota lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan, maka serikat pekerja/serikat buruh dapat mewakili pekerja/buruh dalam perundingan pembuatan PKB dengan pengusaha apabila serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan telah mendapat dukungan lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan melalui pemungutan suara.
2)        Pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh panitia yang terdiri dari pengurus serikat pekerja/serikat buruh dan wakil-wakil dari pekerja/buruh yang bukan anggota serikat pekerja/serikat buruh.
3)        Dalam waktu 30 hari setelah pembentukannya, panitia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah mengumumkan hasil pemungutan suara.
4)        Pemungutan suara dapat dilakukan paling cepat 7 (tujuh) hari setelah pemberitahuan pemungutan suara oleh panitia.
5)        Panitia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memberitahukan tanggal pelaksanaan pemungutan suara kepada pejabat yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dan pengusaha, untuk menyaksikan pelaksanaan pemungutan suara.
6)        Panitia harus memberi kesempatan kepada serikat pekerja/serikat buruh untuk menjelaskan program kerjanya kepada pekerja/buruh di perusahaan untuk mendapatkan dukungan dalam pembuatan PKB.
7)        Penjelasan program kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan di luar jam kerja pada tempat-tempat yang disepakati oleh panitia pemungutan suara dan pengusaha.
8)        Tempat dan waktu pemungutan suara ditetapkan oleh panitia dengan mempertimbangkan jadwal kerja pekerja/buruh agar tidak mengganggu proses produksi.
9)        Penghitungan suara disaksikan oleh perwakilan dari pengusaha.

Pasal 17

1)        Dalam hal di perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh, maka serikat pekerja/serikat buruh yang berhak mewakili pekerja/buruh dalam melakukan perundingan dengan pengusaha adalah maksimal 3 (tiga) serikat pekerja/serikat buruh yang masing-masing anggotanya minimal 10% (sepuluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan.
2)        Jumlah 3 (tiga) serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan sesuai peringkat berdasarkan jumlah anggota yang terbanyak.
3)        Setelah ditetapkan 3 (tiga) serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ternyata masih terdapat serikat pekerja/serikat buruh yang anggotanya masing-masing minimal 10% (sepuluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan, maka serikat pekerja/serikat buruh tersebut dapat bergabung pada serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Pasal 18

1)        Dalam hal serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 mengajukan permintaan berunding dengan pengusaha, maka pengusaha dapat meminta verifikasi keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh.
2)        Verifikasi keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan bukti kartu tanda anggota.

Pasal 19

Perundingan pembuatan PKB dimulai dengan menyepakati tata tertib perundingan yang sekurang-kurangnya memuat:
1.      tujuan pembuatan tata tertib;
2.      susunan tim perunding;
3.      lamanya masa perundingan;
4.      materi perundingan;
5.      tempat perundingan;
6.      tata cara perundingan;
7.      cara penyelesaian apabila terjadi kebuntuan perundingan;
8.      sahnya perundingan; dan
9.      biaya perundingan.


Pasal 20

1)        Dalam menentukan tim perunding pembuatan PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b pihak pengusaha dan pihak serikat pekerja/serikat buruh menunjuk tim perunding sesuai kebutuhan dengan ketentuan masing-masing paling banyak 9 (sembilan) orang dengan kuasa penuh.
2)        Anggota tim perunding pembuatan PKB yang mewakili serikat pekerja/serikat buruh harus pekerja/buruh yang masih terikat dalam hubungan kerja di perusahaan tersebut.

Pasal 21

1)        Tempat perundingan pembuatan PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf e, dilakukan di kantor perusahaan yang bersangkutan atau kantor serikat pekerja/serikat buruh atau di tempat lain sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.
2)        Biaya perundingan pembuatan PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf i, menjadi beban pengusaha, kecuali disepakati lain oleh kedua belah pihak.

Pasal 22

PKB sekurang-kurangnya harus memuat:
1.      nama, tempat kedudukan serta alamat serikat pekerja/serikat buruh;
2.      nama, tempat kedudukan serta alamat perusahaan;
3.      nomor serta tanggal pencatatan serikat pekerja/serikat buruh pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota;
4.      hak dan kewajiban pengusaha;
5.      hak dan kewajiban serikat pekerja/serikat buruh serta pekerja/buruh;
6.      jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya PKB; dan
7.      tanda tangan para pihak pembuat PKB.

Pasal 23

1)        Dalam hal perundingan pembuatan PKB tidak selesai dalam waktu yang disepakati dalam tata tertib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 maka kedua belah pihak dapat menjadwal kembali perundingan dengan waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah perundingan gagal.
2)        Dalam hal perundingan pembuatan PKB masih belum selesai dalam waktu yang disepakati dalam tata tertib dan penjadwalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), para pihak harus membuat pernyataan secara tertulis bahwa perundingan tidak dapat diselesaikan pada waktunya, yang memuat:
a.         materi PKB yang belum dicapai kesepakatan;
b.         pendirian para pihak;
c.         risalah perundingan; dan
d.        tempat, tanggal, dan tanda tangan para pihak.
3)        Dalam hal perundingan pembuatan PKB tidak mencapai kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka salah satu pihak atau kedua belah pihak mencatatkan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan untuk dilakukan penyelesaian.
4)        Instansi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) adalah:
a.         instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota apabila lingkup berlakunya PKB hanya mencakup satu kabupaten/kota;
b.         instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di provinsi, apabila lingkup berlakunya PKB lebih dari satu kabupaten/kota di satu provinsi;
c.         Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja pada Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi apabila lingkup berlakunya PKB meliputi lebih dari satu provinsi.
5)      Penyelesaian oleh instansi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dilakukan sesuai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004.
6)      Instansi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dan huruf c, menyelesaikan perselisihan PKB tersebut berdasarkan kesepakatan tertulis dari serikat pekerja/serikat buruh yang menjadi perunding dengan pengusaha.
7)      Kesepakatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (6) memuat syarat:
a.         pihak-pihak yang melakukan perundingan;
b.         wilayah kerja perusahaan; dan
c.         tempat, tanggal, dan tanda tangan para pihak.

Pasal 24

Apabila PKB ditandatangani oleh wakil, harus ada surat kuasa khusus yang dilampirkan pada PKB tersebut.

Pasal 25

1)      Apabila penyelesaian oleh instansi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4) dilakukan melalui mediasi dan para pihak atau salah satu pihak tidak menerima anjuran mediator, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial di daerah hukum tempat pekerja/buruh bekerja.
2)      Dalam hal daerah hukum tempat pekerja/buruh bekerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melebihi 1 (satu) daerah hukum Pengadilan Hubungan Industrial, maka gugatan diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial yang daerah hukumnya mencakup domisili perusahaan.

Pasal 26

1)        Dalam hal serikat pekerja/serikat buruh dan pengusaha akan melakukan perubahan PKB yang sedang berlaku, maka perubahan tersebut harus berdasarkan kesepakatan.
2)        Perubahan PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari PKB yang sedang berlaku.

Bagian Kedua
Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama
Pasal 27

1)        Pengusaha mendaftarkan PKB kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
2)        Pendaftaran PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan:
1.    sebagai alat monitoring dan evaluasi pengaturan syarat-syarat kerja yang dilaksanakan di perusahaan; dan
2.    sebagai rujukan utama dalam hal terjadi perselisihan pelaksanaan PKB.
3)        Pengajuan pendaftaran PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melampirkan naskah PKB yang dibuat dalam rangkap 3 (tiga) bermaterai cukup yang telah ditandatangani oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh.

Pasal 28

1)        Pendaftaran PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dilakukan oleh:
1.      kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota untuk perusahaan yang terdapat hanya dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota;
  1. kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di provinsi untuk perusahaan yang terdapat pada lebih dari 1 (satu) kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi;
  2. Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja untuk perusahaan yang terdapat pada lebih dari 1 (satu) provinsi.
2)        Pengajuan pendaftaran PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dibuat dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV Peraturan Menteri ini.
3)        Pejabat yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan harus meneliti kelengkapan persyaratan formal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau materi naskah PKB.
4)        Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menerbitkan surat keputusan pendaftaran PKB dalam waktu paling lama 6 (enam) hari kerja sejak diterimanya permohonan pendaftaran.
5)        Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak terpenuhi dan/atau terdapat materi PKB yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, maka pejabat instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberi catatan pada surat keputusan pendaftaran.
6)        Catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) memuat mengenai pasal-pasal yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.

Pasal 29

1)        Pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan pekerja/buruh wajib melaksanakan ketentuan yang ada dalam PKB.
2)        Pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan isi PKB atau perubahannya kepada seluruh pekerja/buruh.
Adapun yang menjadi  manfaat Perjanjian Kerja Bersama bagi Perusahaan dan Pekerja/Buruh adalah sebagai berikut :
  • Dengan adanya PKB, perusahaan akan mendapat penilaian positif dari Pemerintah karena dianggap sudah mampu menjalankan satu hubungan yang harmonis dengan pekerjanya yang diwakili oleh pengurus serikat pekerja.
  • Akan tercipta suatu hubungan industrial yang kondusif antara perusahaan dan pekerja  karena berkurangya perselisihan kerja yang terjadi.
  • Pekerja akan mempunyai kinerja yang lebih produktif dan termotivasi karena semua aturan di jalankan dengan baik sesuai kesepakatan bersama.
  • Kepuasan akan hak, memicu pekerja untuk berterima kasih dan menjaga semua aset-aset yang di miliki oleh Perusahaan

Sumber :
1.        Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan,
2.        Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh
3.        Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Per.16/Men/Xi/2011 Tentang Tata Cara Pembuatan Dan Pengesahan Peraturan Perusahaan Serta Pembuatan Dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama,
4.        Konvensi ILO No. 98 Tentang Berlakunya Dasar-Dasar Dari Hak Untuk Bernegosiasi dan Berunding Bersama.

Pengertian, Dasar, Ruang Lingkup Dan Sumber Hukum Tenaga Kerja

Pengertian Hukum Ketenagakerjaan sangat tergantung pada hukum positif masing-masing negara. Oleh sebab itu tidak mengherankan kalau definisi hukum ketenagakerjaan yang dikemukakan oleh para ahli hukum juga berlainan, juga yang menyangkut keluasannya.

Pengertian, Dasar, Ruang Lingkup Dan Sumber Hukum Tenaga Kerja
Hukum Ketenagakerjaan
Hukum merupakan sekumpulan peraturan-peraturan yang dibuat oleh pihak yang berwenang, dengan tujuan mengatur kehidupan bermasyarakat dan terdapat sanksi. Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja. Dengan demikian, yang dimaksud dengan hukum ketenagakerjaan adalah seluruh peraturan-peraturan yang dibuat oleh pihak yang berwenang, mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.

Pendapat-pendapat ahli hukum mengenai Pengertian Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia :

NEH van Asveld menegaskan bahwa Pengertian Hukum Ketenagakerjaan adalah hukum yang bersangkutan dengan pekerjaan di dalam hubungan kerja dan di luar hubungan kerja.

Menurut Molenaar Pengertian Hukum Ketenagakerjaan ialah bagian dari hukum yang berlaku di suatu negara, yang pada pokoknya mengatur hubungan antara buruh dengan buruh dan antara buruh dan penguasa.

Menurut Soetiksno memberikan pendapat mengenai Pengertian Hukum Ketenagakerjaan merupakan keseluruhan peraturan-peraturan hukum mengenai hubungan kerja yang mengakibatkan seorang secara pribadi ditempatkan di bawah pimpinan (perintah) orang lain dan keadaan-keadaan penghidupan yang langsung bersangkut-paut dengan hubungan kerja tersebut.

Pengertian Hukum Ketenagakerjaan menurut Prof. Imam soepomo diartikan sebagai himpunan dari peraturan-peraturan, baik peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang berkenaan dengan kejadian di mana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah.

Hukum Ketenagakerjaan telah berkembang seiring dengan perkembangan lapangan dan kesempatan kerja. Awalnya, lapangan pekerjaan terbatas pada sektor pemenuhan kebutuhan primer, seperti pertanian. Namun secara perlahan sektor pemenuhan kebutuhan mulai bergeser ke arah industri dan perdagangan, sehingga kesempatan kerja semakin terbuka lebar. Pertumbuhan sektor industri dan perdagangan yang pesat, mengakibatkan berdirinya perusahaan-perusahaan yang menyerap banyak tenaga kerja. Hubungan antara perusahaan tersebut dengan tenaga kerjanya, disebut dengan hubungan kerja (hubungan antara pemberi kerja dengan pekerjanya atau bahkan dengan calon pekerja). Dengan demikian diperlukan adanya suatu aturan (hukum) yang dapat menjadi pengontrol dalam hubungan tersebut, terlebih lagi jika timbul suatu perselisihan dalam hubungan kerja tersebut

Dalam segi apapun dan bidang manapun hukum selalu ikut berperan aktif. Selain hukum sebagai aturan, hukum juga berperan sebagai perlindungan.

Di dalam pemahaman hukum ketenagakerjaan yang ada dapat diketahui adanya unsur-unsur hukum ketenagakerjaan, meliputi :
  1. Serangkaian aturan yang berkembang kedalam bentuk lisan mauun tulisan
  2. Mengatur hubungan antara pekerja dan pemilik perusahaan.
  3. Adanya tingkatan pekerjaan, yang pada akhirnya akan diperolah balas jasa.
  4. Mengatur perlindungan pekerja/ buruh, meliputi masalah keadaan sakit, haid, hamil, melahirkan, keberadaan organisasi pekerja/ buruh dsb.
Dari uraian di atas perlu diketahui bahwa beberapa ahli mengungkapkan pendapatnya mengenai pengertian dari hukum ketenagakerjaan meliputi :
  • Menurut Mok, hukum perburuan adalah hukum yang berkenaan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh swapekerja yang melakukan pekerjaan atas tanggung jawab dan risiko sendiri.
  • Menurut M.G. Levenbach, hukum perburuhan adalah hukum yang berkenaan dengan hubungan kerja, yakni pekerja di bawah pimpinan dan dengan keadaan penghidupan yang langsung bersangkutpaut dengan hubungan kerja itu.
  • Menurut N.E.H. Van Esveld, hukum perburuhan adalah tidak hanya meliputi hubungan kerja dengan pekerjaan dilakukan di bawah pimpinan, tetapi juga meliputi pekerjaan yang dilakukan oleh swapekerja atas tanggung jawab dan risiko sendiri.
  • Menurut Halim, hukum perburuhan adalah peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan kerja yang harus diindahkan oleh semua pihak, baik pihak buruh/pekerja maupun pihak majikan.
  • Menurut Daliyo, hukum perburuhan adalah himpunan peraturan, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur hubungan kerja antara buruh dan majikan dengan mendapat upah sebagai balas jasa.
  • Menurut Syahrani, hukum perburuhan adalah keseluruhan peraturan hukum yang mengatur hubungan-hubungan perburuhan, yaitu hubungan antara buruh dan majikan dengan perintah (penguasa).
Setelah mengungat kembali bahwa hukum tenaga kerja memiliki arti dan makna yang sangat luas dan sebagai upaya untuk menghindari kesalahan persepsi terhadap penggunanan istilah yang ada, oleh karenanya dalam artikel kali ini akan digunakan istilah yaitu istilah hukum perburuan sebagai pengganti istilah hukum ketenagakerjaan.
  • Dasar Hukum Ketenagakerjaan

Indonesia adalah negara hukum dan menganut sistem hukum Eropa Kontinental. Oleh sebab itu, segala sesuatu harus didasarkan pada hukum tertulis. Sumber hukum ketenagakerjaan saat ini (s/d tahun 2011) terdiri dari peraturan perundang-undangan dan diluar peraturan perundang-undangan. Namun payung hukum utama bagi urusan ketenagakerjaan di Indonesia adalah Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Secara umum, Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 28, dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 juga menjadi payung hukum utama. Berdasarkan pondasi tersebut, maka terbentuklah Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut UU Ketenagakerjaan) yang menjadi dasar hukum utama dalam bidang ketenagakerjaan. Selain UUD 1945 dan UU Ketenagakerjaan, terdapat sumber hukum lain yang menjadi tonggak pengaturan bagi urusan ketenagakerjaan, baik sumber hukum formil maupun sumber hukum materiil.

Menurut Logemann, ruang lingkup suatu hukum perburuan ialah suatu keadaan dimana berlakunya hukum itu sendiri. Menurut teori yang dijelaskan beliau ada empat ruang lingkup yang dapat dijabarkan dibawah ini, meliputi :

1. Lingkup Laku Pribadi (Personengebied)

Dalam lingkup laku pribadi memiliki kaitannya dengan siapa atau dengan apa kaidah hukum tersebut berlaku. Siapa-siapa saja yang dibatasi oleh hukum tersebut, meliputi :
  • Buruh/ Pekerja
  • Pengusaha/ Majikan
  • Penguasa (Pemerintah)

2. Lingkup Laku Menurut Waktu (Tijdsgebied)

Disini ditunjukkan kapan sutu peristiwa tertentu diatur oleh suatu hukum yang berlaku.

3. Lingkup Laku Menurut Wilayah (Ruimtegebied)

Lingkup laku menurut wilayah berkaitan dengan terjadinya suatu peristiwa hukum yang di beri batas – batas / dibatasi oleh kaedah hukum.

4. Lingkup Waktu Menurut Hal Ikhwal

Lingkup Laku menurut Hal Ikwal di sini berkaitan dengan hal – hal apa saja yang menjadi objek pengaturan dari suatu kaedah.
  • Sumber Hukum Tenaga Kerja

Pada dasarnya sumber hukum terbagi atas sumber hukum formil dan sumber hukum materiil. Jika didasarkan pada teori sumber hukum, maka sumber hukum ketenagakerjaan secara umum adalah sebagai berikut:

a. Sumber Hukum materiil (tempat dari mana materi hukum itu diambil) 

Yang dimaksud dengan sumber hukum materiil atau lazim disebut sumber isi hukum (karena sumber yang menentukan isi hukum) ialah kesadaran hukum masyarakat yakni kesadaran hukum yang ada dalam masyarakat mengenai sesuatu yang seyogyanya atau seharusnya. Soedikno Mertokusumo menyatakan bahwa sumber hukum materiil merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum. Sumber Hukum Materiil Hukum Ketenagakerjaan ialah Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum dimana setiap pembentukan peraturan perundang-undangan bidang ketenagakerjaan harus merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai Pancasila.

b. Sumber Hukum formil (tempat atau sumber dari mana suatu peraturan itu memperoleh kekuatan hukum).

Sumber hukum formil merupakan tempat atau sumber dimana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. Sumber formil hukum ketenagakerjaan yaitu :
  1. Peraturan perundang-undangan,
  2. Peraturan lainnya, seperti Instruksi Presiden; Keputusan Menteri; Peraturan Menteri; Surat Edaran Menteri; Keputusan Dirjen; dsb,
  3. Kebiasaan,
  4. Putusan,
  5. Perjanjian, baik perjanjian kerja atau peraturan perusahaan

Sumber :

  • Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

Referensi :

  • Abdul Rachmad Budiono, 1995. HUKUM PERBURUHAN DI INDONESIA. Yang menerbitkan PT Raja Grafindo Persada: Jakarta.

Apakah Pesangon Harus Dikurangi Pensiun (DPLK)?

Apakah dalam perhitungan pesangon karena PHK (bukan karena usia pensiun) harus dikurangi dengan perhitungan pensiun/DPLK (asuransi pensiun) yang ada?
Jawaban :
Alasan pemutusan hubungan kerja atau pengakhiran hubungan kerja (PHK), dapat dikelompokkan dalam empat macam sebab, yakni :
a.      PHK yang dilakukan atas kehendak (sebab) pengusaha/manajemen perusahaan, seperti PHK karena adanya corporate action, efisiensi ataudown-sizing;
b.      PHK karena kehendak pekerja (misalnya resign);
c.      PHK yang terjadi demi hukum, seperti pekerja meninggal dunia, atau pekerja mencapai batas usia pensiun (BUP) sesuai yang diatur/diperjanjikan;
d.      PHK karena putusan pengadilan, seperti PHK karena “kesalahan berat”.
 
Berkaitan dengan itu, PHK yang terjadi sebelum batas usia pensiun (BUP), harus dilihat penyebab atau alasannya, apakah atas inisiatif dan kehendak dari pengusaha, atau atas kemauan –- sukarela -- dari pekerjanya sendiri. Karena penyebab dan alasan terjadinya PHK menentukan ada-tidaknya dan/atau besar-kecinya hak/kompensasi akibat PHK dimaksud.
 
Artinya, tidak semua hak yang timbul karena PHK (khususnya uanga pesangondan uang pengharagaan masa kerja) harus dikurangi dan diperhitungkan dengan “manfaat pensiun”, termasuk manfaat pensiun (iuran pasti) pada DPLK (dana pensiun lembaga keuangan), karena ada beberapa alasan PHK dimana pekerja tidak berhak atas “pesangon”.
 
Misalnya, pada PHK yang terjadi atas kemauan –- sukarela -- dalam hal pekerja mengundurkan diri (resign), maka berdasarkan pasal 162 ayat (2) UU No.13/2003, pekerja yang bersangkutan tidak berhak atas uang pesangon (UP) dan uang penghargaan masa kerja (UPMK), akan tetapi hanya berhak atas uang penggantian hak (UPH) dan uang pisah (jika memenuhi syarat) yang besarnya dan pelaksanaan (pemberian)nya diatur dalam perjanjian kerja (PK) dan/atauperaturan perusahaan (PP) atau perjanjian kerja bersama (PKB). Itupun jumlahnya biasanya relatif (sangat) kecil dibandingkan dengan “pesangon”.
 
Oleh karena itu, dalam hal pekerja resign, karena tidak berhak UP dan UPMK, maka tentunya “pesangon” tidak dapat diperhitungkan dengan manfaat pensiunyang sudah terakumulasi pada account DPLK (masing-masing) pekerja yang bersangkutan. Terlebih, bila jumlah account DPLK –- mungkin -- lebih besar dari perhitungan uang pisah dan hak lainnya (kalau ada). Artinya, jika hak “dana pensiun“ jumlahnya ternyata lebih besar daripada perhitungan hak atas uang pisah, maka akumulasi dana pensiun pada DPLK tentunya sudah sulit untuk ditarik kembali dari account masing-masing pekerja. Kecuali telah diperjanjikan sebelumnya, bahwa apabila pekerja/buruh mengundurkan diri, maka jumlahmanfaat pensiun yang sudah terakumulasi pada account DPLK masing-masing diberikan (dihadiahkan) sebagai uang pisah yang seharusnya diterima oleh pekerja (vide pasal 18 ayat [1] PP No. 77 Tahun 1992 jo. pasal 24 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 11 Tahun 1992 dan pasal 26 ayat (1) Kepmenkeu No.343/KMK.017/1998).
 
Dengan demikian, dalam hal pekerja di-PHK oleh dan atas kehendak manajemen/pengusaha, ataukah di-PHK dengan alasan lainnya di mana pekerja berhak “pesangon”, maka berdasarkan pasal 167 ayat (2) UU No.13/2003, UP dan UPMK yang akan diterima terkait dengan PHK tersebut, dapat diperhitungkan (dikurangi) dengan jumlah “iuran pasti” atas manfaat pensiun pada account DPLK pekerja yang bersangkutan, kecuali telah diperjanjikan dan diatur lain oleh para pihak, termasuk pengaturan bilamanamanfaat pensiun lebih besar dari pada hak  “pesangon” yang timbul sebagai akibat PHK (pasal 167 ayat (3) dan ayat (4) UU No. 13/2003).
 
Demikian jawaban kami, semoga dapat dimengerti.
 
 
Dasar Hukum:
1.      Undang-Undang No. 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun;
2.      Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
3.      Peraturan Pemerintah No. 77 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun Lembaga Keuangan;
4.      Keputusan Menteri Keuangan RI No.343/KMK.017/1998 tentang Iuran dan Manfaat Pensiun.

Pensiun Dini yang Tidak Sah

Pada 12 Mei 2013 saya dipanggil secara lisan oleh HRD, dan saya datang. Saya kira penggilan biasa ternyata saya disuruh membuat surat pensiun dini, kata halus dari PHK (kata managemen PHK ekslusive) tanpa ada surat apapun. Selama 16 tahun bekerja pada perusahaan yang saya tempati, saya tidak pernah mendapat SP, tiba-tiba saya dpanggil untuk membuat surat tersebut. Alasan HRD: "karena diperintahkan direksi." Masalah pensiun dini itu memang ada diatur dalam PKB kami yaitu dalam pasal 57 ayat 1.c yang berbunyi: “Bagi pekerja yang telah bekerja dengan masa kerja minimal 15 tahun dapat di pensiun dini oleh perusahaan atau dapat mengajukan pensiun dini kepada perusahaan.” Untuk mendapatkan persetujuan managemen kata-kata "perusahaan dapat mempensiun-dinikan karyawan" maksudnya di sini jika ada karyawan yang melakukan kesalahan berat dan sudah mendapat SP. Sedangkan saya tidak ada surat sama sekali, sementara alasannya managemen "karena saya sudah tidak mau pakai." Sementara, saya saat ini aktif dalam organisasi serikat pekerja dan anehnya lagi saya harus keluar bulan ini juga. Bagaimana sikap saya? Mohon tanggapannya. Atas semua bantuan dan pencerahannya saya ucapkan terima kasih.
Jawaban :
Saudara Penanya yang kami hormati,
 
Sebelumnya, kami mengucapkan terima kasih atas pertanyaan yang disampaikan kepada kami. Kami berdoa semoga Saudara segera mendapatkan solusi dan jalan keluar terbaik atas masalah yang sekarang Saudara hadapi.
 
Sehubungan dengan pertanyaan Saudara di atas, maka ketentuan pemutusan hubungan kerja (“PHK”) terhadap buruh/pekerja yang memasuki masa pensiun secara umum diatur di dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”), yang mana di dalam Pasal 167 ayat (1) disebutkan bahwa:
 
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena memasuki usia pensiun dan apabila pengusaha telah mengikutkan pekerja/buruh pada program pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh pengusaha, maka pekerja/buruh tidak berhak mendapatkan uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), tetapi tetap berhak atas uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4)
 
Di samping itu, perlu dilihat dan diperhatikan pula Peraturan Menteri Tenaga Kerja R.I. Nomor: PER.02/MEN/1993 tentang Usia Pensiun Normal dan Batas Usia Pensiun Maksimum Bagi Peserta Peraturan Dana Pensiun, terkait ketentuan lebih lanjut dan teknis mengenai pensiun tersebut.
 
Ketentuan pensiun di dalam UUK adalah ketentuan umum dan merupakan standar minimum perlindungan, yang mana dalam praktiknya ketentuan ini diatur lebih lanjut di dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau dalam Perjanjian Kerja Bersama (“PKB”).
 
Jika dikaitkan dengan pernyataan dan pertanyaan Saudara, maka pengaturan pensiun dini di perusahaan tempat Saudara bekerja adalah diatur di dalam PKB, di mana di dalam Pasal 57 ayat 1.c PKB tersebut dinyatakan “bagi pekerja yang telah bekerja dengan masa kerja minimal 15 tahun dapat dipensiun dini oleh perusahaan atau dapat mengajukan pensiun dini kepada perusahaan untuk mendapatkan persetujuan managemen”. Dengan demikian, maka pensiun dini di perusahaan tempat Saudara bekerja dapat dilakukan oleh pihak perusahaan atau oleh pekerja. Lebih lanjut, Saudara mengatakan bahwa syarat Perusahaan dapat melakukan pensiun dini adalah jika karyawan melakukan kesalahan berat dan sudah mendapat Surat Peringatan (“SP”).
 
Berdasarkan keterangan Saudara yang menyatakan bahwa Saudara tidak mendapatkan surat sama sekali (baca: SP) ketika perusahaan mempensiunkan dini Saudara, dan alasan pensiun dini yang dilakukan oleh perusahaan karena perusahaan sudah tidak mau “pakai” Saudara di perusahaan, adalah bertentangan dengan syarat “mempensiunkan dini” sebagaimana ketentuan PKB yang Saudara sampaikan tersebut di atas. Oleh karenanya, menurut kami, pensiun yang dilakukan oleh perusahaan sebagai dasar PHK Saudara tersebut tidak sah. Saudara dapat mengajukan keberatan atas pensiun dini (PHK) yang tidak sah tersebut dengan mengajukan gugatan ke pengadilan hubungan industrial yang mewilayahi tempat Saudara bekerja. Namun, dengan ketentuan telah menempuh terlebih dahulu dan gagal, perundingan bipartit dengan perusahaan dan perundingan tripartit di dinas ketenagakerjaan setempat, sebagaimana Saudara bisa lihat di dalam UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
 
Adapun terkait dengan perlindungan terhadap pengurus dan anggota serikat pekerja, Saudara dapat melihat dan menelitinya di dalam UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
 
Demikian semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja R.I. Nomor: PER.02/MEN/1993 tentang Usia Pensiun Normal dan Batas Usia Pensiun Maksimum Bagi Peserta Peraturan Dana Pensiun