Jumat, 19 Februari 2016

Sampai Kapan Orang Tua Berkewajiban Menafkahi Anaknya?

Ada anak perempuan 18 tahun melakukan kekerasan verbal kepada ibu kandungnya. Saya ingin menanyakan beberapa hal mengenai keadaan ini. Apakah ada landasan hukum untuk (ibunya atau saudara kandungnya) melarang anak itu pulang ke rumah ibunya dan/atau menghubungi ibunya lagi? Anak ini tinggal sendirian di luar kota untuk kuliah, tapi kadang-kadang pulang ke rumah ibunya. Apakah orang tua masih wajib menafkahi anak berusia 18 tahun? Mereka masih punya satu anak 14 tahun yang harus dinafkahi. Selain itu, orang tua sudah bercerai, tinggal terpisah, dan masing-masing berpenghasilan di bawah UMR. "Rumah ibunya" secara hukum adalah milik ayahnya, tapi ayahnya tidak tinggal di situ lagi Terima kasih atas perhatiannya.
Jawaban :
Terima kasih atas pertanyaan Anda.

Intisari:


Tidak ada landasan hukum bagi ibu atau saudara kandungnya untuk melarang anak itu pulang ke rumah ibunya dan/atau menghubungi ibunya lagi. Bagaimanapun juga, hubungan hukum antara orang tua dengan anak adalah hubungan yang terjadi secara alamiah (karena hubungan darah), sehingga tidak dapat diputus seperti (misalnya) perjanjian.

Kemudian, mengenai memberikan nafkah untuk anak, selama anak itu belum kawin atau belum dapat berdiri sendiri, kewajiban orang tua memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya terus berlaku, termasuk memberikan nafkah bagi anaknya.

Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.



Ulasan:

Terima kasih atas pertanyaan Anda.

Sebelumnya, kami jelaskan terlebih dahulu hak dasar anak yang diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 (“UU 35/2014”). Pada dasarnya setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.[1] Ini berarti orang tua memiliki kewajiban untuk mengasuh anaknya dan tidak menelantarkannya.

Penelantaran dalam Lingkup Rumah Tangga
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (“UU PKDRT”) diatur mengenai penelantaran. Pada dasarnya, setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara:[2]
a.    kekerasan fisik;
b.    kekerasan psikis;
c.    kekerasan seksual; atau
d.    penelantaran rumah tangga.

Terkait penelantaran, setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.[3]

Lingkup rumah tangga yang dimaksud meliputi:[4]
a.    suami, isteri, dan anak;
b.    orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau
c.    orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

Yang dimaksud dengan anak dalam lingkup rumah tangga adalah termasuk anak angkat dan anak tiri.[5] Sedangkan pengertian “anak” dapat dilihat dalam UU 35/2014, yaitu seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.[6]

Sanksi bagi orang yang menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) UU PKDRT adalah pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).[7]

Menjawab pertanyaan Anda, jika dilihat dari umur si anak perempuan tersebut, memang ia bukan lagi termasuk sebagai “anak”. Akan tetapi, sebenarnya tidak ada landasan hukum bagi ibu atau saudara kandungnya untuk melarang anak itu pulang ke rumah ibunya dan/atau menghubungi ibunya lagi. Bagaimanapun juga, hubungan hukum antara orang tua dengan anak adalah hubungan yang terjadi secara alamiah (karena hubungan darah), sehingga tidak dapat diputus seperti memutuskan hubungan hukum yang terjadi karena misalnya perjanjian. Selengkapnya soal hubungan hukum antara orang tua dan anak dapat Anda simak dalam artikel Apakah Orangtua Bisa Memutuskan Hubungan Hukum dengan Anak?

Dalam praktiknya, pengusiran keluarga dari rumah dapat dikenakan pidana. Sebagai contoh soal pengusiran anak yang dilakukan oleh terdakwa dapat kita lihat dalamPutusan Pengadilan Negeri Sekayu Nomor : 659/Pid.Sus/2014/PN.Sky. Diketahui bahwa Terdakwa mengusir istri dan anak-anaknya. Terdakwa tidak pernah memberikan nafkah baik lahir maupun bathin baik kepada saksi sebagai istrinya maupun untuk anak-anak semenjak saksi diusir pergi oleh Terdakwa.

Rekaman Perselingkuhan sebagai Bukti di Sidang Perceraian

Selamat siang, saya seorang istri dengan 2 orang anak (10 tahun dan 7 tahun). Saya non muslim dan saya ingin menggugat cerai suami saya yang terbukti berselingkuh dengan 2 orang perempuan. Pertanyaan saya: 1. Apakah rekaman suara suami saya yang berbicara dengan perempuan II bisa saya jadikan bukti di persidangan nanti? Atau apa yang bisa membuat rekaman itu layak menjadi bukti di persidangan? 2. Apakah inisiatif saya merekam suara suami saya yang berbicara dengan perempuan II ini melanggar Undang-Undang ITE? Jika ya, apakah saya bisa dituntut/mendapat sanksi dari tindakan tersebut dan apa sanksinya serta siapa yang berhak untuk menuntut? Apakah hanya suami saya atau bisa juga si perempuan II? 3. Sebelum saya mengajukan gugatan cerai terhadap suami, kami sudah membuat surat perjanjian yang dia tandatangani di atas materai 6000 bahwa semua harta bersama yang ada sampai perceraian diputuskan oleh pengadilan otomatis akan menjadi milik anak-anak dan kalaupun dalam proses pengadilan ternyata ada harta bersama yang diputuskan untuk menjadi bagian suami saya, itu akan tetap dia serahkan kepada anak-anak. Apakah surat perjanjian ini dianggap sah dan bisa dijadikan pedoman oleh hakim dalam mengambil keputusan tentang harta gono gini? 4. Bagaimana dengan pemberian nafkah kepada anak-anak? Apakah saya bisa mengajukan tuntutan besaran persentase tunjangan untuk anak-anak saya tiap bulannya atau adakah undang-undang yang sudah mengatur tentang persentase besaran tunjangan anak tersebut? Demikian pertanyaan saya mohon penjelasannya dan terima kasih.
Jawaban :
Intisari:


Rekaman suara bisa dijadikan alat bukti. Merekam tidak termasuk sebagai pidana dalam UU ITE, terutama terkait penyadapan.

Kemudian mengenai perjanjian Anda dengan suami terkait pembagian harta bersama, selama perjanjian tersebut memenuhi syarat sah perjanjian, maka perjanjian tersebut sah dan berlaku.

Mengenai biaya nafkah untuk anak-anak Anda, tidak peraturan yang eksplisit mengatur besarnya nafkah tersebut. Undang-Undang hanya mengatur bahwa dalam hal terjadi perceraian, Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu.

Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini.



Ulasan:

Terima kasih atas pertanyaan yang Anda sampaikan. Untuk menjawab pertanyaan yang Anda sampaikan, kami akan menjelaskannya sebagai berikut.

Rekaman Telepon Sebagai Alat Bukti
Alat bukti dalam perkara perdata diatur dalam ketentuan Pasal 164 Herzien Inlandsch Reglement yang mengenal 5 (lima) macam alat bukti yang sah, yaitu:
1.    Surat
2.    Saksi
3.    Persangkaan
4.    Pengakuan
5.    Sumpah

Dalam bukunya “Hukum Acara Perdata”M. Yahya Harahap mengemukakan bahwa tidak selamanya sengketa perdata dapat dibuktikan dengan alat bukti tulisan atau akta. Dalam kenyataan bisa terjadi penggugat sama sekali tidak memiliki alat bukti tulisan untuk membuktikan dalil gugatan. Dalam peristiwa yang demikian, jalan keluar yang dapat ditempuh penggugat untuk membuktikan dalil gugatannya ialah dengan jalan menghadirkan saksi-saksi yang kebetulan melihat, mengalami, atau mendengar sendiri kejadian yang diperkarakan.

Lalu dimana posisi bukti rekaman suara telepon? Kita dapat merujuk pada ketentuan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik “UU ITE”), yang berbunyi:

(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti  hukum yang sah;
(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia;
(3)  Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini;
(4)  Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
a.    surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan
b.    surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.”

Berdasarkan ketentuan di atas, UU ITE telah mempertegas kedudukan rekaman telepon sebagai salah satu Dokumen Elektronik yang dapat dijadikan sebagai alat bukti yang merupakan perluasan dari alat bukti yang sah. Oleh karena itu, rekaman telepon dapat saja dijadikan sebagai alat bukti dalam perkara perdata. Masuknya rekaman telepon sebagai salah satu bentuk Dokumen Elektronik adalah sebagaimana yang diatur dalam ketentuanPasal 1 butir 2 UU ITE, yang menyatakan:

“Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik,termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.”

Apakah Merekam Dapat Dipidana?
Terkait mengenai inisiatif Anda merekam percakapan suami Anda dengan perempuan lain,menurut hemat kami tidak dapat dituntut secara hukum, karena Anda dan suami Anda merupakan suami istri yang sudah selayak dan sepantasnya saling mengetahui kehidupan pribadi masing-masing. Perbuatan yang Anda lakukan semata-mata bertujuan mencari kebenaran terkait dugaan Anda yang mencium adanya aroma perselingkuhan suami Anda dengan wanita lain.

Berbeda halnya jika Anda melakukan penyadapan (interception), karena yang berhak melakukan penyadapan adalah penegak hukum, harus dibedakan antara Penyadapan dan Perekaman dalam hal ini. Lebih lanjut, Anda dapat juga membaca artikel Bolehkah Merekam Suatu Peristiwa Secara Sembunyi-Sembunyi? dan Hukum Merekam Pembicaraan di Handphone.

Perjanjian Terkait Pembagian Harta
Mengenai perjanjian yang telah Anda sepakati dengan suami Anda tentang perjanjian harta bersama yang dituangkan dalam perjanjian tertulis dan ditandatangani di atas materai 6000, maka kita merujuk pada pengaturan mengenai perjanjian. Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) mengatur sebagai berikut:

Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya.
Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh Undang-Undang dikatakan cukup untuk itu.
Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik,

Maka berdasarkan ketentuan pasal tersebut, mengenai perjanjian yang Anda buat bersama suami Anda, secara hukum sah dan dapat dijadikan sebagai alat bukti di persidangan guna kepentingan persidangan nantinya, sepanjang memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUHPeryang berbunyi:

Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :
a.    Sepakat yang mereka yang mengikatkan dirinya
b.    Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
c.    Suatu hal tertentu
d.    Suatu sebab yang halal

Jadi, perjanjian itu tetap dapat dianggap sah dan berlaku sehingga dapat dijadikan sebagai alat bukti nantinya kepada Hakim dalam memutus perkara Anda.

Besarnya Tunjangan Nafkah untuk Anak
Mengenai tuntutan persentase biaya nafkah yang harus dikeluarkan suami Anda unutuk anaknya ketika sudah bercerai, secara hukum undang-undang tidak mengatur. Yang ada hanyalah ketika perkawinan sudah diputus oleh pengadilan, ayah wajib menafkahi anaknya semampunya sampai si anak berusia dewasa.[1]
  
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

Bolehkah Tidak Menafkahi Mantan Istri Pasca Bercerai?

Intisari:
 
Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri. Jadi, kewajiban mantan suami menafkahi mantan istri itu ditentukan oleh pengadilan. Hal ini bergantung pada pertimbangan hakim.
 
Jadi, jika perceraian merupakan kehendak istri, bisa saja hakim tidak mewajibkan mantan suami untuk menafkahi mantan istrinya itu. Dapat pula hakim menghukum mantan suami untuk menafkahi mantan istrinya meskipun perceraian itu merupakan kehendak mantan istrinya.
 
Tapi jika hakim telah memutuskan mantan suami berkewajiban menafkahi mantan istrinya pasca bercerai namun ia menolaknya, maka ini termasuk pembangkangan atas putusan pengadilan dan ada langkah hukum yang dapat dilakukan oleh mantan istrinya.
 
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
 
 
Ulasan:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
 
Kewajiban Mantan Suami Menafkahi Mantan Istrinya Pasca Perceraian
Kewajiban mantan suami pasca memberi nafkah pasca perceraian merupakan salah satu akibat perceraian yang pengaturannya dapat kita lihat dalam Pasal 41 c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”):
 
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
 
Dari bunyi pasal tersebut dapat kita ketahui bahwa kewajiban mantan suami menafkahi mantan istri itu ditentukan oleh pengadilan. Hal ini bergantung pertimbangan hakim. Jadi, menjawab pertanyaan Anda, jika pengadilan tidak mewajibkan mantan suami untuk menafkahi mantan istrinya, maka mantan suami itu tidak menafkahi mantan istrinya.
 
Lebih khusus lagi, dalam Islam diatur bahwa bila perkawinan putus karena talak (karena kehendak suami), maka bekas suami wajib memberi nafkah dan kiswah (pakaian) kepada bekas istri selama dalam iddah. Kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba'in (talak yang tidak bisa rujuk sebelum istri menikah dengan orang lain terlebih dulu) atau nusyuz (istri durhaka kepada suami) dan dalam keadaan tidak hamil.[1]
 
Ini artinya, secara a contrario, jika memang perceraian karena kehendak istri, hakim dapat saja memutus untuk tidak mewajibkan suami memberi nafkah kepada bekas istrinya. Sebagai contoh dapat kita lihat dalam Putusan Pengadilan Agama Lamongan Nomor 1110/Pdt.G/2012/PA.Lmg. Penggugat (istri) menggugat cerai suaminya selaku Tergugat karena alasan kurangnya nafkah yang diberikan suami kepada istrinya. Tergugat kurang mampu memberi nafkah belanja Penggugat, Tergugat bekerja namun Penggugat tidak pernah merasakan hasil kerja Tergugat. Keadaan ini menimbulkan perselisihan dan pertengkaran terus menerus yang tidak dapat didamaikan lagi antara keduanya. Hakim dalam putusannya tidak menghukum tergugat untuk menafkahi penggugat. Hakim akhirnya mengabulkan gugatan Pengugat dan menjatuhkan talak satu ba'in sughro Tergugat terhadap Penggugat.
 
Sementara, ada pula putusan pengadilan yang menghukum mantan suami untuk memberikan nafkah kepada mantan istrinya pasca bercerai meskipun perceraian itu merupakan kehendak istrinya,  seperti sebagaimana yang dapat kita lihat dalam Putusan Pengadilan Tinggi Agama Samarinda12/Pdt.G/2012/PTA. Smd. Penggugat (istri) menggugat cerai suaminya selaku Tergugat. Tergugat selama lebih 2 (dua) tahun ini tidak memberi nafkah kepada Penggugat, Tergugat sering melontarkan kata-kata kotor kepada Penggugat padahal ia seorang guru, dan Tergugat apabila bertengkar dengan Penggugat sering mengancam Penggugat dengan senjata tajam. Hakim akhirnya menghukum Tergugat untuk memberikan nafkah/biaya pemeliharaan dan pendidikan kepada ketiga orang anaknya.

Bolehkah Para Ahli Waris Tidak Mengindahkan Surat Wasiat?

Pertanyaan :
Bolehkah Para Ahli Waris Tidak Mengindahkan Surat Wasiat?
Lebih kuat mana antara surat wasiat dan hukum waris? Bagaimana kalau keluarga tidak melaksanakan surat wasiat tapi lebih memilih hukum waris? Terima kasih
Jawaban :
 
Intisari:
 
 
Segala harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia, adalah kepunyaan para ahli warisnya menurut undang-undang.Sejauh mengenai hal itu belum ada surat wasiat.
 
Ketetapan pewarisan berdasarkan undang-undang baru berlaku, kalau pewaris tidak membuat surat wasiat. Dengan kata lain kehendak pewaris dalam surat wasiat harus didahulukan.
 
Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini.
 
 
 
Ulasan:
 
Anda tidak menyebutkan hukum waris yang Anda maksud. Oleh karena itu kami akan menjelaskan berdasarkan hukum waris perdata yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata(“KUHPerdata”).
 
Pada dasarnya menurut Pasal 874 KUHPerdata, segala harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia, adalah kepunyaan para ahli warisnya menurut undang-undang, sejauh mengenai hal itu dia belum mengadakan ketetapan yang sah. Ketetapan yang sah yang dimaksud adalah surat wasiat. Surat wasiat atau testamen adalah sebuah akta berisi pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya terjadi setelah ia meninggal, yang dapat dicabut kembali olehnya.[1] Mengenai surat wasiat dapat dibaca dalam artikel Diberikan Warisan oleh Pewaris Tanpa Ada Surat Wasiat.
 
Ini berarti jika tidak ada ketetapan yang sah dalam bentuk surat wasiat, maka semua harta peninggalan pewaris adalah milik segenap ahli waris. Sedangkan jika ada surat wasiat yang sah, surat wasiat tersebut harus dijalankan oleh para ahli waris.
 
Hal serupa juga dijelaskan oleh J. Satrio dalam bukunya Hukum Waris. J. Satrio (hal. 179),bahwa di dalam Pasal 874 KUHPerdata tersimpul suatu asas penting hukum waris.Yaitu bahwa ketetapan pewarisan berdasarkan undang-undang baru berlaku, kalau pewaris, tidak/telah mengambil suatu ketetapan yang menyimpang mengenai harta peninggalannya, ketetapan mana harus dituangkan dalam bentuk surat wasiat. Dengan kata lain kehendak pewaris didahulukan.
 
Lebih lanjut J. Satrio menjelaskan, di sini nampak bahwa hukum waris menurut KUHPerdata pada asasnya bersifat hukum yang mengatur (mengisi), walaupun sebagian kecil dari ketentuan-ketentuannya mempunyai sifat yang memaksa.
 
Akan tetapi perlu diingat juga bahwa surat wasiat pun ada pembatasannya. Pembatasan tersebut dapat dibaca dalam artikel Pembatasan-pembatasan Dalam Membuat Surat Wasiat. Selain itu, wasiat juga harus memperhatikan bagian mutlak (legitieme portie) dari para ahli waris. Para ahli waris yang mempunyai bagian mutlak (legitieme portie) disebut legitimaris. Wasiat tidak boleh melanggar bagian mutlak para legitimaris.
 
Legitieme portie atau bagian warisan menurut undang-undang ialah bagian dan harta benda yang harus diberikan kepada para ahli waris dalam garis lurus menurut undang-undang, yang terhadapnya orang yang meninggal dunia tidak boleh menetapkan sesuatu, baik sebagai hibah antara orang-orang yang masih hidup, maupun sebagai wasiat (Pasal 913 KUHPerdata). Mengenai besarnya bagian mutlak, dapat dilihat dalam Pasal 914 – Pasal 916 KUHPerdata.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum: