Kamis, 18 Februari 2016

P18-P19-P20-P21------kode-kode dalam pidana

Kode-kode tersebut didasarkan pada Keputusan Jaksa Agung RI No. 518/A/J.A/11/2001 tanggal 1 Nopember 2001 tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung RI No. 132/JA/11/1994 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana. Kode-kode tersebut adalah kode formulir yang digunakan dalam proses penanganan dan penyelesaian perkara tindak pidana.
Selengkapnya rincian dari kode-kode Formulir Perkara adalah:
P-1
Penerimaan Laporan (Tetap)
P-2
Surat Perintah Penyelidikan
P-3
Rencana Penyelidikan
P-4
Permintaan Keterangan
P-5
Laporan Hasil Penyelidikan
P-6
Laporan Terjadinya Tindak Pidana
P-7
Matrik Perkara Tindak Pidana
P-8
Surat Perintah Penyidikan
P-8A
Rencana Jadwal Kegiatan Penyidikan
P-9
Surat Panggilan Saksi / Tersangka
P-10
Bantuan Keterangan Ahli
P-11
Bantuan Pemanggilan Saksi / Ahli
P-12
Laporan Pengembangan Penyidikan
P-13
Usul Penghentian Penyidikan / Penuntutan
P-14
Surat Perintah Penghentian Penyidikan
P-15
Surat Perintah Penyerahan Berkas Perkara
P-16
Surat Perintah Penunjukkan Jaksa Penuntut Umum untuk Mengikuti Perkembangan Penyidikan Perkara Tindak Pidana
P-16A
Surat Perintah Penunjukkan Jaksa Penuntut Umum untuk Penyelesaian Perkara Tindak Pidana
P-17
Permintaan Perkembangan Hasil Penyelidikan
P-18
Hasil Penyelidikan Belum Lengkap
P-19
Pengembalian Berkas Perkara untuk Dilengkapi
P-20
Pemberitahuan bahwa Waktu Penyidikan Telah Habis
P-21
Pemberitahuan bahwa Hasil Penyidikan sudah Lengkap
P-21A
Pemberitahuan Susulan Hasil Penyidikan Sudah Lengkap
P-22
Penyerahan Tersangka dan Barang Bukti
P-23
Surat Susulan Penyerahan Tersangka dan Barang Bukti
P-24
Berita Acara Pendapat
P-25
Surat Perintah Melengkapi Berkas Perkara
P-26
Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan
P-27
Surat Ketetapan Pencabutan Penghentian Penuntutan
P-28
Riwayat Perkara
P-29
Surat Dakwaan
P-30
Catatan Penuntut Umum
P-31
Surat Pelimpahan Perkara Acara Pemeriksaan Biasa (APB)
P-32
Surat Pelimpahan Perkara Acara Pemeriksaan Singkat (APS) untuk Mengadili
P-33
Tanda Terima Surat Pelimpahan Perkara APB / APS
P-34
Tanda Terima Barang Bukti
P-35
Laporan Pelimpahan Perkara Pengamanan Persidangan
P-36
Permintaan Bantuan Pengawalan / Pengamanan Persidangan
P-37
Surat Panggilan Saksi Ahli / Terdakwa / Terpidana
P-38
Bantuan Panggilan Saksi / Tersngka / terdakwa
P-39
Laporan Hasil Persidangan
P-40
Perlawanan Jaksa Penuntut Umum terhadap Penetapan Ketua PN / Penetapan Hakim
P-41
Rencana Tuntutan Pidana
P-42
Surat Tuntutan
P-43
Laporan Tuntuan Pidana
P-44
Laporan Jaksa Penuntut Umum Segera setelah Putusan
P-45
Laporan Putusan Pengadilan
P-46
Memori Banding
P-47
Memori Kasasi
P-48
Surat Perintah Pelaksanaan Putusan Pengadilan
P-49
Surat Ketetapan Gugurnya / Hapusnya Wewenang Mengeksekusi
P-50
Usul Permohanan Kasasi Demi Kepentingan Hukum
P-51
Pemberitahuan Pemidanaan Bersyarat
P-52
Pemberitahuan Pelaksanaan Pelepasan Bersyarat
P-53
Kartu Perkara Tindak Pidana
 
Demikian yang kami ketahui. Semoga bermanfaat.
 

Mekanisme Penanganan Perkara Tindak Pidana Narkotika

III. Mekanisme Penanganan Perkara Tindak Pidana Narkotika
Bahwa di dalam penanganan tindak pidana narkotika sesuai UU No. 35 Tahun 2009 tentang narkotika banyak mengalami perubahan dan perubahan yang paling menonjol adalah terbentuknya Badan Narkotika Nasional (BNN) dibanding dengan UU sebelumnya yaitu UU No. 22 Tahun 1997.
Bahwa di dalam pencegahan dan pemberantasan narkotika dalam pasal 64 UU No. 35 Tahun 2009 ayat;
(1) Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika, dengan undang-undang ini dibentuk Badan Narkotika Nasional yang selanjutnya disingkat BNN;
(2) BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga pemerintah non-kementerian yang berkedudukan di bawah presiden dan bertanggungjawab kepada presiden;

Pasal 65 UU No. 35 Tahun 2009 berbunyi, ayat:
(1) BNN berkedudukan di ibukota negara dengan wilayah kerja meliputi seluruh wilayah negara RI;

Bunyi pasal 68, ayat:
(1) Kepala BNN diangkat dan diberhentikan oleh presiden.

Sesuai dengan bunyi pasal 71:
Dalam melaksanakan tugas pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika, BNN berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika.

Kemudian tata cara penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika maupun prekursor narkotika tetap mengacu pada hukum acara pidana yang berlaku, namun apabila ditentukan lain maka ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU RI No. 35 Tahun 2009 tersebut yang diberlakukan sesuai dengan pasal 73 yang berbunyi:
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan precursor narkotika dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.

Tugas  dan kewenangan BNN diatur dalam pasal 70 dan 75 UU No. 35 Tahun 2009. Adapun kewenangan penangkapan yang dilakukan oleh penyidik BNN didasarkan pada pasal 76 ayat (1) bahwa penangkapan dilakukan paling lama 3x24 jam sejak penangkapan diterima penyidik, sedangkan ayat (2) berbunyi penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang paling lama 3x24 jam.
Kemudian, didalam UU tersebut diatur mengenai beberapa penyidik terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika:
1. Badan Narkotika Nasional;
2. Penyidik Kepolisian Negara RI;
3. Penyidik Pegawai Negeri Sipil;
Adapun khususnya penyidik pegawai negeri sipil diatur dalam pasal 82 yang berbunyi:
(1) Penyidik pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana dimaksud dalam UU tentang hukum acara pidana berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan prekursor narkotika;
(2) Penyidik pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di lingkungan kementerian  atau lembaga pemerintah non-kementerian yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya di bidang narkotika dan prekursor narkotika berwenang:
a. Memeriksa kebenaran laporan serta keterangan tentang adanya dugaan penyalahgunaan narkotika dan prekursor narkotika;
b. Memeriksa orang yang diduga melakukan penyalahgunaan narkotika dan prekursor narkotika;
c. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan penyalahgunaan narkotika dan prekursor narkotika;
d. Memeriksa bahan bukti atau barang bukti perkara penyalahgunaan narkotika dan prekursor narkotika;
e. Menyita bahan bukti atau barang bukti perkara penyalahgunaan narkotika dan prekursor narkotika;
f. Memeriksa surat dan atau dokumen lain tentang adanya dugaan penyalahgunaan narkotika dan prekursor narkotika;
g. Meminta bantuan tenaga ahli untuk tugas penyidikan penyalahgunaan narkotika dan prekursor narkotika;
h. Menangkap orang yang diduga melakukan penyalahgunaan narkotika dan prekursor narkotika.

Sedangkan bunyi pasal 84 yaitu:
Dalam melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan narkotika dan prekusor narkotika, penyidik Kepolisian Negara RI memberitahukan secara tertulis dimulainya penyelidikan kepada penyidik BNN begitu pula sebaliknya.

Apabila di atas yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan adalah tiga institusi yaitu penyidik kepolisian negara RI, BNN, dan penyidik pegawai negeri sipil tertentu namun dalam kewenangannya terjadi dualisme tata cara maupun kewenangan dalam melakukan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika, sebagaimana diatur dalam pasal 81 UU No. 35 Tahun 2009 bahwa penyidik kepolisian negara RI dan penyidik BNN berwenang melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan precursor narkotika berdasarkan undang-undang ini. Yang dimaksud adalah UU No. 35 Tahun 2009.

Sedangkan bagi penyidk pegawai negeri sipil melakukan penyidikan mendasarkan pada UU tentang hukum acara pidana sebagaimana pasal 85 yang Berbunyi:
Dalam melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan narkotika, penyidik pegawai negeri sipil tertentu berkoordinasi dengan penyidik BNN atau penyidik Kepolisian Negara RI sesuai dengan UU tentang hukum acara pidana.

Mengenai alat bukti, bahwa alat bukti di dalam penanganan tentang penyalahgunaan dan peredaran narkotika dan prekursor narkotika sama dengan alat bukti yang diperlukan di dalam perkara korupsi maupun perkara tindak pidana terorisme. Bahwa alat bukti di dalam UU No. 35 Tahun 2009 pasal 86 berbunyi:
(1) Penyidik dapat memperoleh alat bukti selain sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang hukum acara pidana;
(2) Alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. Informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu;
b. Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan sesuatu sarana baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik termasuk tetapi tidak terbatas pada:
1. Tulisan, suara, dan atau gambar;
2. Peta, rancangan, photo atau sejenisnya;
3. Huruf, tanda, angka, simbol, dan sandi.
Penyidik Kepolisian RI atau penyidik BNN yang melakukan penyitaan narkotika dan precursor narkotika wajib memberitahukan penyitaan yang dilakukannya kepada Kepala Kejaksaan Negeri setempat dalam waktu paling lama 3x24 jam sejak dilakukannya penyitaan dan tembusannya disampaikan kepada:
Ketua Pengadilan Negeri setempat, Menteri, dan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM).
Sedangkan apabila Pegawai negeri Sipil tertentu yang melakukan penyitaan terhadap narkotika dan prekursor narkotika wajib membuat berita acara penyitaan dan menyerahkan barang sitaan tersebut beserta berita acaranya kepada penyidik BNN atau penyidik Kepolisian Negara RI setempat dalam waktu 3x24 jam sejak dilakukan penyitaan dan tembusan berita acaranya disampaikan kepada: Kepala Kejaksaan Negeri setempat, Ketua Pengadilan Negeri setempat, Menteri, dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Kemudian masyarakat mempunyai peran serta sebagaimana bunyi pasal 104:
Bahwa masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta membantu pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika.
Apabila tahapan-tahapan dalam lingkup penyidikan sebagaimana telah diuraikan pada uraian sebelumnya, maka sesuai dengan pasal 80 yang berbunyi: 
Penyidik BNN sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 75 juga berwenang: 
a. Mengajukan langsung berkas perkara, tersangka dan barang bukti, termasuk harta kekayaan yang disita kepada Jaksa Penuntut Umum;
b. Memerintahkan kepada pihak bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga dari hasil penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika milik tersangka atau pihak lain yang terkait;
c. Untuk mendapat keterangan dari pihak bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka yang sedang diperiksa.

Hal ini bagi tersangka atau terdakwa bisa memberikan keterangan dengan sistem pembuktian terbalik sesuai dengan bunyi pasal 97 UU No. 35 tahun 2009 yang Berbunyi:
Untuk kepentingan penyidikan atau pemeriksaan di sidang pengadilan, tersangka atau terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta kekayaan dan harta benda isteri, suami, anak, dan setiap orang atau korporasi yang diketahui atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika yang dilakukan tersangka atau terdakwa.
Sedangkan pasal 98 berbunyi:
Hakim berwenang meminta terdakwa membuktikan bahwa seluruh harta kekayaan dan harta benda isteri, suami, anak, dan setiap orang atau korporasi bukan berasal dari hasil tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika yang dilakukan terdakwa. 

Hal-hal lain yang diatur didalam UU narkotika atau UU No. 35 tahun 2009 selain orang atau korporasi bisa dijadikan subjek hukum yang telah melakukan tindak pidana narkotika atau prekursor narkotika adalah:
1. Pengurus industri farmasi yang tidak melaksanakan kewajiban untuk mencantumkan label pada kemasan narkotika baik dalam bentuk obat jadi maupun bahan baku narkotika;
2. Nahkoda atau kapten penerbang yang secara melawan hukum tidak melaksanakan tentang tata cara pengangkutan, penyimpanan maupun penyegelan dan pengangkutan narkotika;
3. Penyidik pegawai negeri sipil yang secara melawan hukum tidak membuat berita acara penyitaan dan tidak mematuhi tenggang waktu untuk paling lama 3x24 jam tentang penyerahan benda sitaan dan berita acaranya kepada penyidik BNN dan penyidik Kepolisian Negara RI;
4. Penyidik Kepolisian Negara RI dan penyidik BNN yang tidak melakukan penyegelan dan tidak membuat berita acara penyitaan pada hari penyitaan serta tidak memberitahukan penyitaan paling lama 3x24 jam kepada Kepala Kejaksaan;
5. Kepala Kejaksaan Negeri yang secara melawan hukum setelah menerima pemberitahuan tentang penyitaan barang narkotika dan precursor narkotika yang dikirim oleh penyidik Kepolisian Negara RI atau penyidik BNNdalam waktu paling lama 7 hari tidak menetapkan status barang sitaan narkotika dan precursor narkotika tersebut untuk kepentingan pembuktian perkara, kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi, kepentingan pendidikan dan pelatihan, dan atau dimusnahkan.
6. Petugas laboratorium yang memalsukan hasil pengujian atau secara melawan hukum tidak melaksanakan kewajiban melaporkan hasil pengujiannya kepada penyidik atau penuntut umum;
7. Saksi yang memberikan keterangan yang tidak benar dalam pemeriksaan perkara tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika di muka sidang pengadilan;
8. Pimpinan rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, apotik, yang mengedarkan narkotika golongan II dan III bukan untuk kepentingan kesehatan;
9. Pimpinan lembaga ilmu pengetahuan yang menanam, membeli, menyimpan, atau menguasai tanaman narkotika bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan.

Untuk selanjutnya dalam penanganan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang diatur dengan UU RI No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga maupun tentang perlindungan anak yang diatur dengan UU RI No. 23 Tahun 2002 tata cara dan mekanisme penanganan perkaranya tetap mengacu pada hukum acara pidana yang berlaku, adapun ada hal lain seperti perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, tata cara perlindungan maupun pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga diatur dalam UU No. 23 Tahun 2004. Demikian pula tentang perlindungan anak diatur mengenai kewajiban dan tanggung jawab masyarakat serta kewajiban dan tanggungjawab keluarga dan orang tua tentang perwalian, kuasa asuh, penyelengaaraan perlindungan menyangkut masalah agama, kesehatan, pendidikan, sosial, dan perlindungan khusus terhadap anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, anak yang menjadi korban penculikan, anak yang menyandang cacat, anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

SEJARAH PERKEMBANGAN VIKTIMOLOGI

Hans von Hentig dalam jurnal Kriminologi yang berjudul remarks on the interaction of perpetrator and victim (1941 merupakan sebuah jurnal pertama yang mana di dalamnya memaparkan mengenai hubungan interaksi antara perlaku(kajian kromonologi) dan korban (kajian victimologi))”.
Dalm karya han von hentig yang berjudul the criminal and his victim lebih mefokuskan pada korban kejahatan. Hubungan antara pelaku dan korban (victim-offender relationship) dipelajari tidak saja dari aspek penderitaan korban, akan tetapi juga mengkaji bagaimana korban sering pula memicu dan mengakibatkan terjadinya kerjahatan. Dalam suatu peristiwa pidana semestinya dipandang ada interaksi yang bukan saja disebabkan oleh pelaku, akan tetapi terdapat interrelationship atau dual relationship antara pelaku dan korban.
Setelah van Hentig tahun 1947 Benjamin mendelshon juga memperkenalkan victimology. Dan istiliah victimoligy kemudian diikuti oleh sarjana-sarjana lain.

MANFAAT VIKTIMOLOGI
Mempelajari sebuah ilmu pengatahuan pastilah ada manfaat tersendiri, berdasarkan pendapat Arif Gosita adapun manfaat mempelajari ilmu viktimologi yaitu sebagai berikut:
1. Di dalam kajian viktimologi kita bisa mengetahui siapa itu korban dan siapa yang menjadikan korban, apa artinya viktimisasi dan proses viktimisasi bagi mereka yang terlibat dalam proses viktimisasi. Dari hal tersebut maka muncullah upaya-upaya preventif, represif, dan tindak lanjut dalam menghadapi dan menanggulangi permasalahan viktimisasi kriminal di berbagai bidang kehidupan dan penghidupan.
2. Viktimologi memberikan sumbangan dalam mengerti lebih baik tentang korban akibat tindakan manusia yang menimbulkan penderitaan fisik, mental, dan sosial. Disini kita akan mengetahui mengenai kedudukan dan peran korban serta hubungannya dengan pihak pelaku serta pihak lain. Hal ini sangat penting untuk menegakkan keadilan dan kesejahteraan terhadap orang-orang yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam eksistensi suatu vitimisasi.

HUBUNGAN VIKTIMOLOGI DAN KRIMINOLOGI
Jika dikaji lebih dalam, tidak berlibihan apabila sebuah ilmu pengetahun viktimologi merupakan bagian dari kriminologi yang hilang. dengan kata lain viktimologi akan membahas tentang kajian-kajian yang ada luar kriminologi.
Akan tetapi dalam hal ini banyak pendapat yang mengatakan bahwa kajian viktimologi merupakan kajian yang tidak terpisah dari kajian kriminologi, diantaranya yaitu von Hentig, H.Manheim an Paul Cornil. Mereka berpendapat bahwa kriminologi adalah kajian mengenai analisis terhadap kejahatan secara keseluruhan, maka tidak dipungkuri dengan adanya viktimologi akan dapat membantu menjelaskan bagaimana korban memicu terjadinya sebuah kejahatan tersebut.
Dalam kajian viktimologi seharusnya yang dikehendaki di dalam sistem peradilan pidana kedudukan korban dengan pelaku harus sama-sama mendapatkan perhatian bukan hanya fokus terhadap pelaku (offender-centered), akan tetapi di dalam KUHAP terbukti hanya beberapa pasal yang mencerminkan perlindungan terhadap korban, diantaranya yaitu:
1. Pasal 80
2. Pasal 108 ayat 1
3. Pasal 133 ayat 1
4. Pasal 134 ayat 1
5. Pasal 160 ayat 1b

HAK-HAK Korban
Permasalahan hak korban diantaranya termuat dalam pasal 5 Undang-undang NNo 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban, diantanya hak-hak korban yaitu:
a. Memperoleh perlindungan tas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau tealh diberikannya;
b. Ikut serta dalam proses memilh dan menentukan perlindugan dan dukungan keamanan;
c. Memberikan keerangan tanpa tekanan
d. Mendapat penerjemah;
e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f. Mendapatkan infomasi mengenai perkembangan kasus;
g. Mendapatkan infomasi mengenai ptuusan pengadilan;
h. Mengetahu dalam hal terpidana dibebaaskan;
i. Mendapatkan identtas baru;
j. Mendapatkan tempat kediaman baru;
k. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
l. Mendapat nasihat; dan
m. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.

PEMBAGIAN WARISAN MENURUT BW



PEMBAGIAN WARISAN MENURUT BW
A.      Pengertian hukum waris
Hukum waris diatur di dalam Buku II KUHP perdata.  Pasal yang mengatur tentang waris sebanyak 300 pasal, yang dimulai dari pasal 830 KUH perdata sampai dengan pasal 1130 KUH perdata. Di samping itu waris juga diatur di dalam inpres No 1 Tahun 1991.
Hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, mengenai pemindahan kekayaan yang di tinggalkan oleh si mati. Terdapat tiga unsur di dalam warisan yaitu:
1.       Adanya pewaris
2.       Harta warisan
3.       Adanya ahli waris
Harta warisan berupa hak dan kewajiban yang dapat di nilai dengan uang.
B.      Orang-orang yang berhak menjadi ahli waris
Pada dasarnya ahli waris itu berhak mendapatkan warisan, akan tetapi ada hal-hal yang dapat membatalkan ahli waris dalam mendapatkan warisan.
1.       Ahli waris yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pewaris. (pasal 838 ayat 1 KUH perdata).
2.       Orang pernah menfitnah perwaris, dan dengan putusan hakim si pewaris tersebut dianacma dengan hukuman penjara 5 tahun atau hukumann yang lebih berat lagi (pasal 838 ayat 2 KUH perdata).
3.       Orang yang menghalangi atau dengan kekerasan memaksa pewaris mencabut kembali wasiatnya (pasal 838 ayat 3 KUH perdata).
4.       Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat yang meninggal (pasal 838 ayat 4 KUH perdata)
 Orang-orang yang berhak menerima warisan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
1.       Ditentukan oleh undang-undang /ab-istentato.
a.       Mewaris berdasarkan kedudukan sendiri.
b.      Mewaris berdasarkan penggantian tempat
2.       Wasiat/ad-testamento.
Ahli waris yang ditentukan oleh Undang-undang adalah orang yang berhak menerima warisan, sebagaimana yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di dalam pasal 832 KUH perdata yang ditentukan sebagi ahli waris adalah
a.       Para keluarga sedarah, baik syah maupun luar kawin (Pasal 852 KUH perdata)
b.      Suami atau istri yang hidup terlama.
Berdasarkan interprestasinya membagi ahli wris menurut UU menjadi empat golongan, yaitu:
1.       Golongan pertama, terdiri dari suami/istri dan keturunannya;
2.       Golongan kedua, terdiri dari orang tua, saudara dan keturunan saudara;
3.       Golongan ketiga, terdiri dari sanak keluarga lain-lainnya;
4.       Golongan keempat, terdiri dari sanak keluarga lain-lainnya dalam garis menyimpang sampai dengan derajat keenam.
Apabila golongan pertama masih ada maka golongan selanjutnya tidak mendapatkan apa-apa.

C.      Bagian yang diterima ahli waris
Masing-masing sistem hukum mempunyai konsepsi yang berbeda-beda tentang kapan warisan bisa di bagikan kepada ahli waris. KUH perdata dan Hukum Islam menganut prinsip bahwa warisan itu baru dapat dibagikan kepada hali warisnya apabila pewaris telah meninggal dunia, sedangkan menurut prinsip hukum adat adalah warisan itu bisa dibagikan baik sebelum dan sesudah pewaris meninggal dunia.  Begitu juga dalam masalah pembagian harta warisan, masing-masing sistem mempunyai cara yang berbeda-beda.
1.        

PEMBAGIAN WARISAN MENURUT BW



PEMBAGIAN WARISAN MENURUT BW
A.      Pengertian hukum waris
Hukum waris diatur di dalam Buku II KUHP perdata.  Pasal yang mengatur tentang waris sebanyak 300 pasal, yang dimulai dari pasal 830 KUH perdata sampai dengan pasal 1130 KUH perdata. Di samping itu waris juga diatur di dalam inpres No 1 Tahun 1991.
Hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, mengenai pemindahan kekayaan yang di tinggalkan oleh si mati. Terdapat tiga unsur di dalam warisan yaitu:
1.       Adanya pewaris
2.       Harta warisan
3.       Adanya ahli waris
Harta warisan berupa hak dan kewajiban yang dapat di nilai dengan uang.
B.      Orang-orang yang berhak menjadi ahli waris
Pada dasarnya ahli waris itu berhak mendapatkan warisan, akan tetapi ada hal-hal yang dapat membatalkan ahli waris dalam mendapatkan warisan.
1.       Ahli waris yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pewaris. (pasal 838 ayat 1 KUH perdata).
2.       Orang pernah menfitnah perwaris, dan dengan putusan hakim si pewaris tersebut dianacma dengan hukuman penjara 5 tahun atau hukumann yang lebih berat lagi (pasal 838 ayat 2 KUH perdata).
3.       Orang yang menghalangi atau dengan kekerasan memaksa pewaris mencabut kembali wasiatnya (pasal 838 ayat 3 KUH perdata).
4.       Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat yang meninggal (pasal 838 ayat 4 KUH perdata)
 Orang-orang yang berhak menerima warisan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
1.       Ditentukan oleh undang-undang /ab-istentato.
a.       Mewaris berdasarkan kedudukan sendiri.
b.      Mewaris berdasarkan penggantian tempat
2.       Wasiat/ad-testamento.
Ahli waris yang ditentukan oleh Undang-undang adalah orang yang berhak menerima warisan, sebagaimana yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di dalam pasal 832 KUH perdata yang ditentukan sebagi ahli waris adalah
a.       Para keluarga sedarah, baik syah maupun luar kawin (Pasal 852 KUH perdata)
b.      Suami atau istri yang hidup terlama.
Berdasarkan interprestasinya membagi ahli wris menurut UU menjadi empat golongan, yaitu:
1.       Golongan pertama, terdiri dari suami/istri dan keturunannya;
2.       Golongan kedua, terdiri dari orang tua, saudara dan keturunan saudara;
3.       Golongan ketiga, terdiri dari sanak keluarga lain-lainnya;
4.       Golongan keempat, terdiri dari sanak keluarga lain-lainnya dalam garis menyimpang sampai dengan derajat keenam.
Apabila golongan pertama masih ada maka golongan selanjutnya tidak mendapatkan apa-apa.

C.      Bagian yang diterima ahli waris
Masing-masing sistem hukum mempunyai konsepsi yang berbeda-beda tentang kapan warisan bisa di bagikan kepada ahli waris. KUH perdata dan Hukum Islam menganut prinsip bahwa warisan itu baru dapat dibagikan kepada hali warisnya apabila pewaris telah meninggal dunia, sedangkan menurut prinsip hukum adat adalah warisan itu bisa dibagikan baik sebelum dan sesudah pewaris meninggal dunia.  Begitu juga dalam masalah pembagian harta warisan, masing-masing sistem mempunyai cara yang berbeda-beda.
1.