Kamis, 18 Februari 2016

Perbedaan Batasan Usia Cakap Hukum dalam Peraturan Perundang-undangan

Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul yang sama,dibuat oleh Diana Kusumasari, S.H., M.H. dan pertama kali dipublikasikan padaSelasa, 27 Desember 2011.

Intisari:


Berdasarkan beberapa ketentuan dalam peraturan perundang-undangan memang masih tidak ditemui keseragaman mengenai usia dewasa seseorang, sebagian memberi batasan 21 (dua puluh satu) tahun, sebagian lagi 18 (delapan belas) tahun, bahkan ada yang 17 (tujuh belas) tahun.

Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini.



Ulasan:

Ketidakseragaman batasan usia dewasa atau batasan usia anak pada berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia memang kerap menimbulkan pertanyaan mengenai batasan yang mana yang seharusnya digunakan. Berikut di bawah ini beberapa pengaturan batasan usia anak dan dewasa menurut peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia, yang juga kami sarikan dari buku Penjelasan Hukum Tentang Batasan Umur (Kecakapan dan Kewenangan Bertindak Berdasar Batasan Umur) terbitan NLRP.

Tabel 1: Umur Anak/belum dewasa

Dasar Hukum
Pasal

Pasal 45

Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat menentukan:.... dstnya

Namun R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 61) menjelaskan bahwa yang dimaksudkan “belum dewasa” ialah mereka yang belum berumur 21 tahun dan belum kawin. Jika orang kawin dan bercerai sebelum umur 21 tahun, ia tetap dipandang dengan dewasa.

Pasal 47

Anak yang dimaksud dalam UU Perkawinan adalah yang belum mencapai 18 tahun.

Pasal 1 angka 26

Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun
Pasal 1 angka 8

Anak didik pemasyarakatan adalah:
a.    Anak pidana, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;
b.    Anak negara, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;
c.    Anak sipil, yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.
Pasal 1 angka 3, angka 4, dan angka 5

  • Anak yang Berkonflik dengan Hukum adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

  • Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahunyang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.

  • Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahunyang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.

Pasal 1 angka 5

Anak adalah setiap manusia yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.

Pasal 1 angka 1

Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Pasal 1 angka 4

Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun.

Pasal 4 huruf h

Warga Negara Indonesia adalah anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin.

Pasal 1 angka 5

Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.



Tabel 2: Umur Dewasa/Belum Dewasa

Dasar Hukum
Pasal
Pasal 330

Yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahundan tidak kawin sebelumnya.

Kompilasi Hukum Islam
Pasal 98 ayat (1)

Batas umur anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

SK Mendagri Dirjen Agraria Direktorat Pendaftaran Tanah (Kadaster) No. Dpt.7/539/7-77, tertanggal 13-7-1977 (“SK Mendagri 1977”)
Mengenai soal dewasa dapat diadakan pembedaan dalam:
a.        dewasa politik, misalnya adalah batas umur17 tahun untuk dapat ikut Pemilu;
b.        dewasa seksuil, misalnya adalah batas umur18 tahun untuk dapat melangsungkan pernikahan menurut Undang-Undang Perkawinan yang baru;
c.        dewasa hukum. Dewasa hukum dimaksudkan adalah batas umur tertentu menurut hukum yang dapat dianggap cakap bertindak dalam hukum.

SK Mendagri 1977 ini dipergunakan sebagai rujukan pertimbangan hakim dalam Penetapan Pengadilan Negeri Kepanjen Nomor : 891/Pdt.P/2013/PN Kpj.


Berdasarkan beberapa ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tersebut di atas memang masih tidak ditemui keseragaman mengenai usia dewasa seseorang, sebagian memberi batasan 21 (dua puluh satu) tahun, sebagian lagi 18 (delapan belas) tahun, bahkan ada yang 17 (tujuh belas) tahun. Ketidakseragaman ini juga kita temui dalam berbagai putusan hakim yang contohnya kami kutip dari buku Penjelasan Hukum Tentang Batasan Umur (Kecakapan dan Kewenangan Bertindak Berdasar Batasan Umur) terbitan NLRP berikut ini:

·         Putusan Pengadilan Negeri Palembang No. 96/1973/PN.Plg tanggal 24 Juli 1974 jis. Putusan Pengadilan Tinggi Sumatera Selatan di Palembang No. 41/1975/PT.PERDATA tanggal 14 Agustus 1975 (hal. 143), dalam amarnya majelis hakim memutuskan bahwa ayah berkewajiban untuk memberi nafkah kepada anak hasil perkawinan yang putus tersebut sampai anaknya berumur 21 tahun. Dalam hal ini, majelis hakim berpendapat bahwa seseorang yang belum berumur 21 tahun dianggap masih di bawah umur atau belum dewasa sehingga ayahnya berkewajiban untuk menafkahinya sampai anak tersebut berumur 21 tahun, suatu kondisi di mana anak tersebut telah dewasa, dan karenanya telah mampu bertanggung jawab penuh dan menjadi cakap untuk berbuat dalam hukum.

Dalam kasasi di Mahkamah Agung, dengan Putusan MA RI No.477/K/ Sip./1976 tanggal 2 November 1976, majelis hakim membatalkan putusan pengadilan tinggi dan mengadili sendiri, di mana dalam amarnya majelis hakim memutuskan bahwa ayah berkewajiban untuk memberian nafkah kepada anak hasil perkawinan yang putus tersebut sampai anaknya berumur 18 tahun. Majelis hakim berpendapat bahwa batasan umur anak yang berada di bawah kekuasaan orang tua atau perwalian ialah 18 tahun, bukan 21 Tahun. Dengan demikian, dalam umur 18 tahun, seseorang telah dianggap mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya, dan karenanya menjadi cakap untuk berbuat dalam hukum. Keputusan ini tepat, mengingat Pasal 47 dan 50 UU No. 1 Tahun 1974 mengatur bahwa seseorang yang berada di bawah kekuasaan orang tua atau perwalian adalah yang belum berumur 18 tahun.

·         Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur No. 1 15/Pdt.P/2009/PN. Jaktim Tanggal 17 Maret 2009 (hal. 145). Hakim menggunakan pertimbangan bahwa batasan umur dewasa seseorang untuk cakap bertindak secara hukum mengacu pada Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan mendasarkan pada Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menunjukkan bahwa hakim berpendapat batasan umur yang digunakan sebagai parameter untuk menentukan kecakapan untuk berbuat dalam hukum adalah telah berumur 18 tahun.

Bahkan di antara para hakim pun belum ada keseragaman dalam menerapkan batasan usia dewasa. Beberapa artikel berikut yang menunjukkan ketidakseragaman batasan usia dewasa dalam peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia dapat Anda simak juga:

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:
1.    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23);
12. Kompilasi Hukum Islam (Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991);
13. SK Mendagri Dirjen Agraria Direktorat Pendaftaran Tanah (Kadaster) No. Dpt.7/539/7-77, tertanggal 13-7-1977.

Referensi:

Pelaksanaan Hukuman Mati Kejahatan Narkotika

Tata cara pelaksanaan hukuman mati atau pidana mati sebagaimana diatur dalam UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan peraturan perundang-undangan lain setingkat undang-undang diatur dalamUU No. 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer (“UU 2/PNPS/1964”).
 
Dalam Pasal 1 UU 2/PNPS/1964 disebutkan antara lain bahwa pelaksanaan pidana mati, yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum atau peradilan militer, dilakukan denganditembak sampai mati.
 
Eksekusi pidana mati dilakukan oleh regu penembak dari Brigade Mobil (Brimob) yang dibentuk oleh Kepala Kepolisian Daerah di wilayah kedudukan pengadilan yang menjatuhkan pidana mati. Regu tembak tersebut terdiri dari seorang Bintara, 12 orang Tamtama, di bawah pimpinan seorang Perwira (lihat Pasal 10 ayat [1] UU 2/PNPS/1964). Dalam UU 2/PNPS/1964 itu juga diatur bahwa jika terpidana hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan 40 hari setelah anaknya dilahirkan (lihatPasal 7).
 
Pengaturan yang lebih teknis mengenai eksekusi pidana mati diatur dalam Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati (“Perkapolri 12/2010”). Dalam Pasal 1 angka 3 Perkapolri 12/2010 disebutkan antara lain bahwa hukuman mati/pidana mati adalah salah satu hukuman pokok yang dijatuhkan oleh hakim kepada terpidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
 
Kemudian, dalam Pasal 4 Perkapolri 12/2010 ditentukan tata cara pelaksanaan pidana mati yang terdiri dari tahapan-tahapan sebagai berikut:
a.    persiapan;
b.    pengorganisasian;
c.    pelaksanaan; dan
d.    pengakhiran.
 
Boks: Proses Pelaksanaan Hukuman Mati
 
Proses pelaksanaan pidana mati secara lebih spesifik diatur dalam Pasal 15 Perkapolri 12/2010 sebagai berikut:
1)    terpidana diberikan pakaian yang bersih, sederhana, dan berwarna putih sebelum dibawa ke tempat atau lokasi pelaksanaan pidana mati;
2)    pada saat dibawa ke tempat atau lokasi pelaksanaan pidana mati, terpidana dapat didampingi oleh seorang rohaniawan;
3)    regu pendukung telah siap di tempat yang telah ditentukan, 2 (dua) jam sebelum waktu pelaksanaan pidana mati;
4)    regu penembak telah siap di lokasi pelaksanaan pidana mati, 1 (satu) jam sebelum pelaksanaan dan berkumpul di daerah persiapan;
5)    regu penembak mengatur posisi dan meletakkan 12 (dua belas) pucuk senjata api laras panjang di depan posisi tiang pelaksanaan pidana mati pada jarak 5 (lima) meter sampai dengan 10 (sepuluh) meter dan kembali ke daerah persiapan;
6)    Komandan Pelaksana melaporkan kesiapan regunya kepada Jaksa Eksekutor dengan ucapan ”LAPOR, PELAKSANAAN PIDANA MATI SIAP”;
7)    Jaksa Eksekutor mengadakan pemeriksaan terakhir terhadap terpidana mati dan persenjataan yang digunakan untuk pelaksanaan pidana mati;
8)    setelah pemeriksaan selesai, Jaksa Eksekutor kembali ke tempat semula dan memerintahkan kepada Komandan Pelaksana dengan ucapan ”LAKSANAKAN” kemudian Komandan Pelaksana mengulangi dengan ucapan ”LAKSANAKAN”;
9)    Komandan Pelaksana memerintahkan Komandan Regu penembak untuk mengisi amunisi dan mengunci senjata ke dalam 12 (dua belas) pucuk senjata api laras panjang dengan 3 (tiga) butir peluru tajam dan 9 (sembilan) butir peluru hampa yang masing-masing senjata api berisi 1 (satu) butir peluru, disaksikan oleh Jaksa Eksekutor;
10) Jaksa Eksekutor memerintahkan Komandan Regu 2 dengan anggota regunya untuk membawa terpidana ke posisi penembakan dan melepaskan borgol lalu mengikat kedua tangan dan kaki terpidana ke tiang penyangga pelaksanaan pidana mati dengan posisi berdiri, duduk, atau berlutut, kecuali ditentukan lain oleh Jaksa;
11) Terpidana diberi kesempatan terakhir untuk menenangkan diri paling lama 3 (tiga) menit dengan didampingi seorang rohaniawan;
12) Komandan Regu 2 menutup mata terpidana dengan kain hitam, kecuali jika terpidana menolak;
13) Dokter memberi tanda berwarna hitam pada baju terpidana tepat pada posisi jantung sebagai sasaran penembakan, kemudian Dokter dan Regu 2 menjauhkan diri dari terpidana;
14) Komandan Regu 2 melaporkan kepada Jaksa Eksekutor bahwa terpidana telah siap untuk dilaksanakan pidana mati;
15) Jaksa Eksekutor memberikan tanda/isyarat kepada Komandan Pelaksana untuk segera dilaksanakan penembakan terhadap terpidana;
16) Komandan Pelaksana memberikan tanda/isyarat kepada Komandan Regu penembak untuk membawa regu penembak mengambil posisi dan mengambil senjata dengan posisi depan senjata dan menghadap ke arah terpidana;
17) Komandan Pelaksana mengambil tempat di samping kanan depan regu penembak dengan menghadap ke arah serong kiri regu penembak; dan mengambil sikap istirahat di tempat;
18) Pada saat Komandan Pelaksana mengambil sikap sempurna, regu penembak mengambil sikap salvo ke atas;
19) Komandan Pelaksana menghunus pedang sebagai isyarat bagi regu penembak untuk membidik sasaran ke arah jantung terpidana;
20) Komandan Pelaksana mengacungkan pedang ke depan setinggi dagu sebagai isyarat kepada Regu penembak untuk membuka kunci senjata;
21) Komandan Pelaksana menghentakkan pedang ke bawah pada posisi hormat pedang sebagai isyarat kepada regu penembak untuk melakukan penembakan secara serentak;
22) Setelah penembakan selesai, Komandan Pelaksana menyarungkan pedang sebagai isyarat kepada regu penembak mengambil sikap depan senjata;
23) Komandan Pelaksana, Jaksa Eksekutor, dan Dokter memeriksa kondisi terpidana dan apabila menurut Dokter bahwa terpidana masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan, Jaksa Eksekutor memerintahkan Komandan Pelaksana melakukan penembakan pengakhir;
24) Komandan Pelaksana memerintahkan komandan regu penembak untuk melakukan penembakan pengakhir dengan menempelkan ujung laras senjata genggam pada pelipis terpidana tepat di atas telinga;
25) Penembakan pengakhir ini dapat diulangi, apabila menurut keterangan Dokter masih ada tanda-tanda kehidupan;
26) Pelaksanaan pidana mati dinyatakan selesai, apabila dokter sudah menyatakan bahwa tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan pada terpidana;
27) Selesai pelaksanaan penembakan, Komandan regu penembak memerintahkan anggotanya untuk melepas magasin dan mengosongkan senjatanya; dan
28) Komandan Pelaksana melaporkan hasil penembakan kepada Jaksa Eksekutor dengan ucapan ”PELAKSANAAN PIDANA MATI SELESAI”.
 
Dalam hal pelaksanaan pidana mati ini dijatuhkan kepada beberapa orang terpidana dalam satu putusan, pidana mati dilaksanakan serempak pada waktu dan tempat yang sama namun dilaksanakan oleh regu penembak yang berbeda (lihat Pasal 16 Perkapolri 12/2010).
 
Tujuan utama diterapkannya hukuman mati di Indonesia, termasuk untuk kejahatan narkotika, adalah untuk menimbulkan efek jera. Mengenai efektifitas hukuman mati dalam menimbulkan efek jera telah lama menjadi perdebatan di antara para ahli hukum serta pegiat hak asasi manusia.
 
Perdebatan tersebut antara lain dapat kita simak dalam kasus pengujian pasal tentang hukuman mati dalam UU Narkotika yang lama yaitu UU No. 22 Tahun 1997 di Mahkamah Konstitusi (“MK”) pada 2007. MK dalam putusan perkara tersebut akhirnya mempertahankan hukuman mati karena kejahatan narkotika termasuk “kejahatan luar biasa serius terhadap kemanusiaan (extra ordinary) sehingga penegakannya butuh perlakuan khusus, efektif dan maksimal”. Salah satu perlakuan khusus itu, menurut MK, antara lain dengan cara menerapkan hukuman berat yakni pidana mati. Lebih jauh mengenai perdebatan seputar hukuman mati dalam kasus narkotika, simak artikel-artikel berikut:
 
Selain itu simak juga Kolom dari Heru Susetyo yang berjudul Legitimasi dan Manajemen Eksekusi Mati di Indonesia.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
3.    Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati

Hukuman Bagi Anak di Bawah Umur Pengguna Sabu

Masih ada proses hukum untuk membuktikan apakah anak tersebut memang merupakan penyalahguna shabu atau memang hanya korban penyalahgunaan shabu. Jika dapat dibuktikan atau terbukti bahwa ia sebagai korban penyalahgunaan narkotika, maka ia wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Namun, jika ternyata ia terbukti sebagai penyalahguna narkotika jenis sabu (Golongan I), maka ia diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun (namun ½ dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa) sebagaimana menurut Pasal 127 ayat (1) huruf a UU Narkotika.

Meski demikian, ada upaya diversiyakni  pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Oleh karena itu, sebisa mungkin aparat penegak hukum mengupayakan diversi sebelum memproses anak tersebut melalui proses peradilan pidana.

Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.



Ulasan:

Terima kasih atas pertanyaan Anda.

Narkotika Jenis Shabu
Shabu shabu merupakan kelompok narkotika yang merupakan stimulans sistem saraf dengan nama kimia methamphetamine hidrochloride, yaitu turunan dari stimulan saraf amfetamin. Shabu shabu umumnya berbentuk kristal berwarna putih seperti gula pasir atau vetsin (bumbu penyedap makanan). Demikian yang dijelaskan dalam artikelMENGENAL “SHABU SHABU” yang kami akses dari laman Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Hal serupa juga disebutkan dalam artikel Methamphetamine / Chrystal-meth / Shabu / Ice yang kami akses dari laman Informasi dan Edukasi Narkoba BNN. Shabu merupakan senyawa turunan dari amphetamine dan ephedrine. Shabu menyebabkan peningkatan secara drastis hormon dopamine, serotonin, dan noradrenalin dalam otak dan saraf. Senyawa methamphetamine sebenarnya sudah lama digunakan oleh para dokter untuk mengobati pasien berpenyakit narcolepsy/kelainan tidur danattention deficit hyperactive disorder. Bahan dasar methamphetamine berbentuk kristal yang dapat dihisap seperti crack. Shabu dapat menimbulkan ketergantungan tingkat tinggi. Penggunaan secara kontinyu dapat merusak organ-organ tubuh seperti paru-paru, liver, dan ginjal.

Dalam Lampiran I Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (“UU Narkotika”), Metamfetamina termasuk jenis narkotika Golongan I.

Narkotika Golongan I adalah Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.[1]

Pasal yang Menjerat Penyalahguna Narkotika Golongan I
Ancaman pidana bagi penyalahguna narkotika golongan I ini terdapat dalam Pasal 127 UU Narkotika yang berbunyi:

(1)  Setiap Penyalah Guna:
a.    Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun;
b.    Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan
c.    Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
(2)  Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103.
(3)  Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

BAGAIMANA HUKUM PACARAN DALAM ISLAM ??

Dalam Islam, hubungan antara pria dan wanita dibagi menjadi dua, yaitu hubungan mahram dan hubungan nonmahram. Hubungan mahram adalah seperti yang disebutkan dalam Surah An-Nisa 23, yaitu mahram seorang laki-laki (atau wanita yang tidak boleh dikawin oleh laki-laki) adalah ibu (termasuk nenek), saudara perempuan (baik sekandung ataupun sebapak), bibi (dari bapak ataupun ibu), keponakan (dari saudara sekandung atau sebapak), anak perempuan (baik itu asli ataupun tiri dan termasuk di dalamnya cucu), ibu susu, saudara sesusuan, ibu mertua, dan menantu perempuan. Maka, yang tidak termasuk mahram adalah sepupu, istri paman, dan semua wanita yang tidak disebutkan dalam ayat di atas.



Uturan untuk mahram sudah jelas, yaitu seorang laki-laki boleh berkhalwat (berdua-duaan) dengan mahramnya, semisal bapak dengan putrinya, kakak laki-laki dengan adiknya yang perempuan, dan seterusnya. Demikian pula, dibolehkan bagi mahramnya untuk tidak berhijab di mana seorang laki-laki boleh melihat langsung perempuan yang terhitung mahramnya tanpa hijab ataupun tanpa jilbab (tetapi bukan auratnya), semisal bapak melihat rambut putrinya, atau seorang kakak laki-laki melihat wajah adiknya yang perempuan. Aturan yang lain yaitu perempuan boleh berpergian jauh/safar lebih dari tiga hari jika ditemani oleh laki-laki yang terhitung mahramnya, misalnya kakak laki-laki mengantar adiknya yang perempuan tour keliling dunia. Aturan yang lain bahwa seorang laki-laki boleh menjadi wali bagi perempuan yang terhitung mahramnya, semisal seorang laki-laki yang menjadi wali bagi bibinya dalam pernikahan.



Hubungan yang kedua adalah hubungan nonmahram, yaitu larangan berkhalwat (berdua-duaan), larangan melihat langsung, dan kewajiban berhijab di samping berjilbab, tidak bisa berpergian lebih dari tiga hari dan tidak bisa menjadi walinya. Ada pula aturan yang lain, yaitu jika ingin berbicara dengan nonmahram, maka seorang perempuan harus didampingi oleh mahram aslinya. Misalnya, seorang siswi SMU yang ingin berbicara dengan temannya yang laki-laki harus ditemani oleh bapaknya atau kakaknya. Dengan demikian, hubungan nonmahram yang melanggar aturan di atas adalah haram dalam Islam. Perhatikan dan renungkanlah uraian berikut ini.



Firman Allah SWT yang artinya, “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (Al-Isra: 32).



“Katakanlah kepada orang-orang mukmin laki-laki: ‘Hendaklah mereka itu menundukkan sebahagian pandangannya dan menjaga kemaluannya ….’ Dan katakanlah kepada orang-orang mukmin perempuan: ‘Hendaknya mereka itu menundukkan sebahagian pandangannya dan menjaga kemaluannya …’.”

(An-Nur: 30–31).



Menundukkan pandangan yaitu menjaga pandangan, tidak dilepas begitu saja tanpa kendali sehingga dapat menelan merasakan kelezatan atas birahinya kepada lawan jenisnya yang beraksi. Pandangan dapat dikatakan terpelihara apabila secara tidak sengaja melihat lawan jenis kemudian menahan untuk tidak berusaha melihat mengulangi melihat lagi atau mengamat-amati kecantikannya atau kegantengannya.



Dari Jarir bin Abdullah, ia berkata, “Saya bertanya kepada Rasulullah saw. tentang melihat dengan mendadak. Maka jawab Nabi, ‘Palingkanlah pandanganmu itu!” (HR Muslim, Abu Daud, Ahmad, dan Tirmizi).



Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. telah bersabda yang artinya, “Kedua mata itu bisa melakukan zina, kedua tangan itu (bisa) melakukan zina, kedua kaki itu (bisa) melakukan zina. Dan kesemuanya itu akan dibenarkan atau diingkari oleh alat kelamin.” (Hadis sahih diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Ibn Abbas dan Abu Hurairah).



“Tercatat atas anak Adam nasibnya dari perzinaan dan dia pasti mengalaminya. Kedua mata zinanya melihat, kedua teling zinanya mendengar, lidah zinanya bicara, tangan zinanya memaksa (memegang dengan keras), kaki zinanya melangkah (berjalan) dan hati yang berhazrat dan berharap. Semua itu dibenarkan (direalisasi) oleh kelamin atau digagalkannya.” (HR Bukhari).



Rasulullah saw. berpesan kepada Ali r.a. yang artinya, “Hai Ali, Jangan sampai pandangan yang satu mengikuti pandangan lainnya! Kamu hanya boleh pada pandangan pertama, adapun berikutnya tidak boleh.” (HR Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi).



Al-Hakim meriwayatkan, “Hati-hatilah kamu dari bicara-bicara dengan wanita, sebab tiada seorang laki-laki yang sendirian dengan wanita yang tidak ada mahramnya melainkan ingin berzina padanya.”



Yang terendah adalah zina hati dengan bernikmat-nikmat karena getaran jiwa yang dekat dengannya, zina mata dengan merasakan sedap memandangnya dan lebih jauh terjerumus ke zina badan dengan, saling bersentuhan, berpegangan, berpelukan, berciuman, dan seterusnya hingga terjadilah persetubuhan.



Ath-Thabarani dan Al-Hakim meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Allah berfirman yang artinya, ‘Penglihatan (melihat wanita) itu sebagai panah iblis yang sangat beracun, maka siapa mengelakkan (meninggalkannya) karena takut pada-Ku, maka Aku menggantikannya dengan iman yang dapat dirasakan manisnya dalam hatinya.”



Ath-Thabarani meriwayatkan, Nabi saw. bersabda yang artinya, “Awaslah kamu dari bersendirian dengan wanita, demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya, tiada seorang lelaki yang bersendirian (bersembunyian) dengan wanita malainkan dimasuki oleh setan antara keduanya. Dan, seorang yang berdesakkan dengan babi yang berlumuran lumpur yang basi lebih baik daripada bersentuhan bahu dengan bahu wanita yang tidak halal baginya.”



Di dalam kitab Dzamm ul Hawa, Ibnul Jauzi menyebutkan dari Abu al-Hasan al-Wa’ifdz bahwa dia berkata, “Ketika Abu Nashr Habib al-Najjar al-Wa’idz wafat di kota Basrah, dia dimimpikan berwajah bundar seperti bulan di malam purnama. Akan tetapi, ada satu noktah hitam yang ada wajahnya. Maka orang yang melihat noda hitam itu pun bertanya kepadanya, ‘Wahai Habib, mengapa aku melihat ada noktah hitam berada di wajah Anda?’ Dia menjawab, ‘Pernah pada suatu ketika aku melewati kabilah Bani Abbas. Di sana aku melihat seorang anak amrad dan aku memperhatikannya. Ketika aku telah menghadap Tuhanku, Dia berfirman, ‘Wahai Habib?’ Aku menjawab, ‘Aku memenuhi panggilan-Mu ya Allah.’ Allah berfirman, ‘Lewatlah Kamu di atas neraka.’ Maka, aku melewatinya dan aku ditiup sekali sehingga aku berkata, ‘Aduh (karena sakitnya).’ Maka. Dia memanggilku, ‘Satu kali tiupan adalah untuk sekali pandangan. Seandainya kamu berkali-kali memandang, pasti Aku akan menambah tiupan (api neraka).”



Hal tersebut sebagai gambaran bahwa hanya melihat amrad (anak muda belia yang kelihatan tampan) saja akan mengalami kesulitan yang sangat dalam di akhirat kelak.



“Semalam aku melihat dua orang yang datang kepadaku. Lantas mereka berdua mengajakku keluar. Maka, aku berangkat bersama keduanya. Kemudian keduanya membawaku melihat lubang (dapur) yang sempit atapnya dan luas bagian bawahnya, menyala api, dan bila meluap apinya naik orang-orang yang di dalamnya sehingga hampir keluar. Jika api itu padam, mereka kembali ke dasar. Lantas aku berkata, ‘Apa ini?’ Kedua orang itu berkata, ‘Mereka adalah orang-orang yang telah melakukan zina.” (Isi hadis tersebut kami ringkas redaksinya. Hadis di ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim).



Di dalam kitab Dzamm ul-Hawa, Ibnul Jauzi menyebutkan bahwa Abu Hurairah r.a. dan Ibn Abbas r.a., keduanya berkata, Rasulullah saw. Berkhotbah, “Barang siapa yang memiliki kesempatan untuk menggauli seorang wanita atau budak wanita lantas dia melakukannya, maka Allah akan mengharamkan surga untuknya dan akan memasukkan dia ke dalam neraka. Barang siapa yang memandang seorang wanita (yang tidak halal) baginya, maka Allah akan memenuhi kedua matanya dengan api dan menyuruhnya untuk masuk ke dalam neraka. Barang siapa yang berjabat tangan dengan seorang wanita (yang) haram (baginya) maka di hari kiamat dia akan datang dalam keadaan dibelenggu tangannya di atas leher, kemudian diperintahkan untuk masuk ke dalam neraka. Dan, barang siapa yang bersenda gurau dengan seorang wanita, maka dia akan ditahan selama seribu tahun untuk setiap kata yang diucapkan di dunia. Sedangkan setiap wanita yang menuruti (kemauan) lelaki (yang) haram (untuknya), sehingga lelaki itu terus membarengi dirinya, mencium, bergaul, menggoda, dan bersetubuh dengannya, maka wanitu itu juga mendapatkan dosa seperti yang diterima oleh lelaki tersebut.”



‘Atha’ al-Khurasaniy berkata, “Sesungguhnya neraka Jahanam memiliki tujuh buah pintu. Yang paling menakutkan, paling panas, dan paling bisuk baunya adalah pintu yang diperuntukkan bagi para pezina yang melakukan perbuatan tersebut setelah mengetahui hukumnya.”



Dari Ghazwan ibn Jarir, dari ayahnya bahwa mereka berbicara kepada Ali ibn Abi Thalib mengenai beberapa perbuatan keji. Lantas Ali r.a. berkata kepada mereka, “Apakah kalian tahu perbuatan zina yang paling keji di sisi Allah Jalla Sya’nuhu?” Mereka berkata, “Wahai Amir al-Mukminin, semua bentuk zina adalah perbuatan keji di sisi Allah.” Ali r.a. berkata, “Akan tetapi, aku akan memberitahukan kepada kalian sebuah bentuk perbuatan zina yang paling keji di sisi Allah Tabaaraka wa Taala, yaitu seorang hamba berzina dengan istri tetangganya yang muslim. Dengan demikian, dia telah menjadi pezina dan merusak istri seorang lelaki muslim.” Kemudian, Ali r.a. berkata lagi, “Sesungguhnya akan dikirim kepada manusia sebuah aroma bisuk pada hari kiamat, sehingga semua orang yang baik maupun orang yang buruk merasa tersiksa dengan bau tersebut. Bahkan, aroma itu melekat di setiap manusia, sehingga ada seseorang yang menyeru untuk memperdengarkan suaranya kepada semua manusia, “Apakah kalian tahu, bau apakah yang telah menyiksa penciuman kalian?” Mereka menjawab, “Demi Allah, kami tidak mengetahuinya. Hanya saja yang paling mengherankan, bau tersebut sampai kepada masing-masing orang dari kita.” Lantas suara itu kembali terdengar, “Sesungguhnya itu adalah aroma alat kelamin para pezina yang menghadap Allah dengan membawa dosa zina dan belum sempat bertobat dari dosa tersebut.”



Bukankah banyak kejadian orang-orang yang berpacaran dan bercinta-cinta dengan orang yang telah berkeluarga? Jadi, pacaran tidak hanya mereka yang masih bujangan dan gadis, tetapi dari uisa akil balig hingga kakek nenek bisa berbuat seperti yang diancam oleh hukuman Allah tersebut di atas. Hanya saja, yang umum kelihatan melakukan pacaran adalah para remaja.



Namun, bukan berarti tidak ada solusi dalam Islam untuk berhubungan dengan nonmahram. Dalam Islam hubungan nonmahram ini diakomodasi dalam lembaga perkawinan melalui sistem khitbah/lamaran dan pernikahan.



“Hai golongan pemuda, siapa di antara kamu yang mampu untuk menikah, maka hendaklah ia menikah, karena menikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih memelihara kemaluan. Tetapi, siapa yang tidak mampu menikah, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu dapat mengurangi syahwat.” (HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmizi, Nasai, Ibnu Majah, Ahmad, dan Darami).



Selain dua hal tersebut di atas, baik itu dinamakan hubungan teman, pergaulan laki perempuan tanpa perasaan, ataupun hubungan profesional, ataupun pacaran, ataupun pergaulan guru dan murid, bahkan pergaulan antar-tetangga yang melanggar aturan di atas adalah haram, meskipun Islam tidak mengingkari adanya rasa suka atau bahkan cinta. Anda bahkan diperbolehkan suka kepada laki-laki yang bukan mahram, tetapi Anda diharamkan mengadakan hubungan terbuka dengan nonmahram tanpa mematuhi aturan di atas. Maka, hubungan atau jenis pergaulan yang Anda sebutkan dalam pertanyaan Anda adalah haram. Kalau masih ingin juga, Anda harus ditemani kakak laki-laki ataupun mahram laki-laki Anda dan Anda harus berhijab dan berjilbab agar memenuhi aturan yang telah ditetapkan Islam.



Hidup di dunia yang singkat ini kita siapkan untuk memperoleh kemenangan di hari akhirat kelak. Oleh karena itu, marilah kita mulai hidup ini dengan bersungguh-sungguh dan jangan bermain-main. Kita berusaha dan berdoa mengharap pertolongan Allah agar diberi kekuatan untuk menjalankan perintah dan meninggalkan larangan-Nya. Semoga Allah menolong kita, amin.



Adapun pertanyaan berikutnya kami jawab bahwa cara mengetahui sifat calon pasangan adalah bisa tanya secara langsung dengan memakai pendamping (penengah) yang mahram. Atau, bisa melalui perantara, baik itu dari keluarga atau saudara kita sendiri ataupun dari orang lain yang dapat dipercaya. Hal ini berlaku bagi kedua belah pihak. Kemudian, bagi seorang laki-laki yang menyukai wanita yang hendak dinikahinya, sebelum dilangsungkan pernikahan, maka baginya diizinkan untuk melihat calon pasangannya untuk memantapkan hatinya dan agar tidak kecewa di kemudian hari.



“Apabila seseorang hendak meminang seorang wanita kemudian ia dapat melihat sebagian yang dikiranya dapat menarik untuk menikahinya, maka kerjakanlah.” (HR Abu Daud).



Hal-hal yang mungkin dapat dilakukan sebagai persiapan seorang muslim apabila hendak melangsungkan pernikahan.

1. Memilih calon pasangan yang tepat.

2. Diproses melalui musyawarah dengan orang tua.

3. Melakukan salat istikharah.

4. Mempersiapkan nafkah lahir dan batin.

5. Mempelajari petunjuk agama tentang pernikahan.

6. Membaca sirah nabawiyah, khususnya yang menyangkut rumah tangga Rasulullah saw.

7. Menyelesaikan persyaratan administratif sesui dengan peraturan daerah tempat tinggal.

8. Melakukan khitbah/pinangan.

9. Memperbanyak taqarrub kepada Allah supaya memperoleh kelancaran.

10. Mempersiapkan walimah.



Demikian uraian jawaban Sya semoga bermanfaat,



Wallaahu a’lam.