Kamis, 04 Juli 2013

test

Terima kasih atas pertanyaannya.
 
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sendiri tidak mendefinisikan secara jelas mengenai kejahatan. Adapun KUHP telah mengatur sejumlah delik kejahatan dalam Pasal 104 hingga Pasal 488 KUHP.
 
Sejumlah pakar hukum pidana mendefinisikan kejahatan berdasarkan pemikiran mereka masing-masing, salah satunya adalah R. Soesilo.
 
Definisi “Kejahatan” menurut R.Soesilo dalam bukunya berjudul “Kitab Undang-Undang Hukum. Pidana serta Komentar-Komentar Lengkap Pasal Demi Pasal” (1985, Penerbit Politeia) membedakan pengertian kejahatan menjadi dua sudut pandang yakni sudut pandang secara yuridis sudut pandang sosiologis.
 
Dilihat dari sudut pandang yuridis, menurut R. Soesilo, pengertian kejahatanadalah suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang.
 
Dilihat dari sudut pandang sosiologis, pengertian kejahatan adalah perbuatan atau tingkah laku yang selain merugikan si penderita, juga sangat merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman dan ketertiban.Demikian menurut R. Soesilo.
 
Kejahatan Internet atau yang sering kita dengar dengan istilah cyber crimedefinisinya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”).
 
Josua Sitompul, S.H., IMM dalam artikel Klinik Hukumonline yang berjudulLandasan Hukum Penanganan Cyber Crime di Indonesia tanggal 18 Januari 2013 telah menjelaskan mengenai delik kejahatan internet yang diatur dalam UU ITE, antara lain:
1. Tindak pidana yang berhubungan dengan aktivitas ilegal, yaitu:
a. Distribusi atau penyebaran, transmisi, dapat diaksesnya konten ilegal, yang terdiri dari:
-      kesusilaan (Pasal 27 ayat [1] UU ITE);
-      perjudian (Pasal 27 ayat [2] UU ITE);
-      penghinaan atau pencemaran nama baik (Pasal 27 ayat [3] UU ITE);
-      pemerasan atau pengancaman (Pasal 27 ayat [4] UU ITE);
-      berita bohong yang menyesatkan dan merugikan konsumen (Pasal 28 ayat [1] UU ITE);
-      menimbulkan rasa kebencian berdasarkan SARA (Pasal 28 ayat [2] UU ITE);
-      mengirimkan informasi yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi (Pasal 29 UU ITE);
b. dengan cara apapun melakukan akses ilegal (Pasal 30 UU ITE);
c. intersepsi ilegal terhadap informasi atau dokumen elektronik dan Sistem Elektronik (Pasal 31 UU ITE);
2. Tindak pidana yang berhubungan dengan gangguan (interferensi), yaitu:
a.    Gangguan terhadap Informasi atau Dokumen Elektronik (data interference – Pasal 32 UU ITE);
b.    Gangguan terhadap Sistem Elektronik (system interference – Pasal 33 UU ITE);
3. Tindak pidana memfasilitasi perbuatan yang dilarang (Pasal 34 UU ITE);
4. Tindak pidana pemalsuan informasi atau dokumen elektronik (Pasal 35 UU ITE);
5. Tindak pidana tambahan (accessoir Pasal 36 UU ITE); dan
6. Perberatan-perberatan terhadap ancaman pidana (Pasal 52 UU ITE).
 
Demikian jawaban singkat kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:

DEFINISI KEJAHATAN INTERNET

Terima kasih atas pertanyaannya.
 
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sendiri tidak mendefinisikan secara jelas mengenai kejahatan. Adapun KUHP telah mengatur sejumlah delik kejahatan dalam Pasal 104 hingga Pasal 488 KUHP.
 
Sejumlah pakar hukum pidana mendefinisikan kejahatan berdasarkan pemikiran mereka masing-masing, salah satunya adalah R. Soesilo.
 
Definisi “Kejahatan” menurut R.Soesilo dalam bukunya berjudul “Kitab Undang-Undang Hukum. Pidana serta Komentar-Komentar Lengkap Pasal Demi Pasal” (1985, Penerbit Politeia) membedakan pengertian kejahatan menjadi dua sudut pandang yakni sudut pandang secara yuridis sudut pandang sosiologis.
 
Dilihat dari sudut pandang yuridis, menurut R. Soesilo, pengertian kejahatanadalah suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang.
 
Dilihat dari sudut pandang sosiologis, pengertian kejahatan adalah perbuatan atau tingkah laku yang selain merugikan si penderita, juga sangat merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman dan ketertiban.Demikian menurut R. Soesilo.
 
Kejahatan Internet atau yang sering kita dengar dengan istilah cyber crimedefinisinya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”).
 
Josua Sitompul, S.H., IMM dalam artikel Klinik Hukumonline yang berjudulLandasan Hukum Penanganan Cyber Crime di Indonesia tanggal 18 Januari 2013 telah menjelaskan mengenai delik kejahatan internet yang diatur dalam UU ITE, antara lain:
1. Tindak pidana yang berhubungan dengan aktivitas ilegal, yaitu:
a. Distribusi atau penyebaran, transmisi, dapat diaksesnya konten ilegal, yang terdiri dari:
-      kesusilaan (Pasal 27 ayat [1] UU ITE);
-      perjudian (Pasal 27 ayat [2] UU ITE);
-      penghinaan atau pencemaran nama baik (Pasal 27 ayat [3] UU ITE);
-      pemerasan atau pengancaman (Pasal 27 ayat [4] UU ITE);
-      berita bohong yang menyesatkan dan merugikan konsumen (Pasal 28 ayat [1] UU ITE);
-      menimbulkan rasa kebencian berdasarkan SARA (Pasal 28 ayat [2] UU ITE);
-      mengirimkan informasi yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi (Pasal 29 UU ITE);
b. dengan cara apapun melakukan akses ilegal (Pasal 30 UU ITE);
c. intersepsi ilegal terhadap informasi atau dokumen elektronik dan Sistem Elektronik (Pasal 31 UU ITE);
2. Tindak pidana yang berhubungan dengan gangguan (interferensi), yaitu:
a.    Gangguan terhadap Informasi atau Dokumen Elektronik (data interference – Pasal 32 UU ITE);
b.    Gangguan terhadap Sistem Elektronik (system interference – Pasal 33 UU ITE);
3. Tindak pidana memfasilitasi perbuatan yang dilarang (Pasal 34 UU ITE);
4. Tindak pidana pemalsuan informasi atau dokumen elektronik (Pasal 35 UU ITE);
5. Tindak pidana tambahan (accessoir Pasal 36 UU ITE); dan
6. Perberatan-perberatan terhadap ancaman pidana (Pasal 52 UU ITE).
 
Demikian jawaban singkat kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:

DEFINISI KEJAHATAN INTERNET

Terima kasih atas pertanyaannya.
 
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sendiri tidak mendefinisikan secara jelas mengenai kejahatan. Adapun KUHP telah mengatur sejumlah delik kejahatan dalam Pasal 104 hingga Pasal 488 KUHP.
 
Sejumlah pakar hukum pidana mendefinisikan kejahatan berdasarkan pemikiran mereka masing-masing, salah satunya adalah R. Soesilo.
 
Definisi “Kejahatan” menurut R.Soesilo dalam bukunya berjudul “Kitab Undang-Undang Hukum. Pidana serta Komentar-Komentar Lengkap Pasal Demi Pasal” (1985, Penerbit Politeia) membedakan pengertian kejahatan menjadi dua sudut pandang yakni sudut pandang secara yuridis sudut pandang sosiologis.
 
Dilihat dari sudut pandang yuridis, menurut R. Soesilo, pengertian kejahatanadalah suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang.
 
Dilihat dari sudut pandang sosiologis, pengertian kejahatan adalah perbuatan atau tingkah laku yang selain merugikan si penderita, juga sangat merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman dan ketertiban.Demikian menurut R. Soesilo.
 
Kejahatan Internet atau yang sering kita dengar dengan istilah cyber crimedefinisinya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”).
 
Josua Sitompul, S.H., IMM dalam artikel Klinik Hukumonline yang berjudulLandasan Hukum Penanganan Cyber Crime di Indonesia tanggal 18 Januari 2013 telah menjelaskan mengenai delik kejahatan internet yang diatur dalam UU ITE, antara lain:
1. Tindak pidana yang berhubungan dengan aktivitas ilegal, yaitu:
a. Distribusi atau penyebaran, transmisi, dapat diaksesnya konten ilegal, yang terdiri dari:
-      kesusilaan (Pasal 27 ayat [1] UU ITE);
-      perjudian (Pasal 27 ayat [2] UU ITE);
-      penghinaan atau pencemaran nama baik (Pasal 27 ayat [3] UU ITE);
-      pemerasan atau pengancaman (Pasal 27 ayat [4] UU ITE);
-      berita bohong yang menyesatkan dan merugikan konsumen (Pasal 28 ayat [1] UU ITE);
-      menimbulkan rasa kebencian berdasarkan SARA (Pasal 28 ayat [2] UU ITE);
-      mengirimkan informasi yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi (Pasal 29 UU ITE);
b. dengan cara apapun melakukan akses ilegal (Pasal 30 UU ITE);
c. intersepsi ilegal terhadap informasi atau dokumen elektronik dan Sistem Elektronik (Pasal 31 UU ITE);
2. Tindak pidana yang berhubungan dengan gangguan (interferensi), yaitu:
a.    Gangguan terhadap Informasi atau Dokumen Elektronik (data interference – Pasal 32 UU ITE);
b.    Gangguan terhadap Sistem Elektronik (system interference – Pasal 33 UU ITE);
3. Tindak pidana memfasilitasi perbuatan yang dilarang (Pasal 34 UU ITE);
4. Tindak pidana pemalsuan informasi atau dokumen elektronik (Pasal 35 UU ITE);
5. Tindak pidana tambahan (accessoir Pasal 36 UU ITE); dan
6. Perberatan-perberatan terhadap ancaman pidana (Pasal 52 UU ITE).
 
Demikian jawaban singkat kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:

Arti Pidana Bersyarat dan Pembebasan Bersyarat

Pertama, kami akan menjelaskan mengenai Pidana Bersyarat terlebih dahulu.Pidana bersyarat adalah Pidana dengan syarat-syarat tertentu, yang dalam praktik hukum disebut dengan pidana/hukuman percobaan. Pidana bersyarat adalah suatu sistem penjatuhan pidana oleh hakim yang pelaksanaannya bergantung pada syarat-syarat tertentu atau kondisi tertentu.
 
Dalam buku “Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya” (Kanter E.Y & S.R. Sianturi, 2002, Storia Grafika) dijelaskan bahwa pidana bersyarat adalah “Sekedar suatu istilah umum, sedangkan yang dimaksud bukanlah pemidanaannya yang bersyarat, melainkan pemidanaannya pidana itu yang digantungkan pada syarat-syarat tertentu.”
 
Pidana bersyarat diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(“KUHP”) pada Pasal 14 a yang berbunyi:
 
(1) Apabila hakim menjatuhkan pidana paling lama satu tahun atau pidana kurungan, tidak termasuk pidana kurungan pengganti maka dalam putusnya hakim dapat memerintahkan pula bahwa pidana tidak usah dijalani, kecuali jika dikemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan karena si terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut diatas habis, atau karena si terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat khusus yang mungkin ditentukan lain dalam perintah itu.
(2) Hakim juga mempunyai kewenangan seperti di atas, kecuali dalam perkara-perkara yang mangenai penghasilan dan persewaan negara apabila menjatuhkan pidana denda, tetapi harus ternyata kepadanya bahwa pidana denda atau perampasan yang mungkin diperintahkan pula akan sangat memberatkan si terpidana . Dalam menerapkan ayat ini, kejahatan dan pelanggaran candu hanya dianggap sebagai perkara mengenai penghasilan negara, jika terhadap kejahatan dan pelanggaran itu ditentukan bahwa dalam hal dijatuhkan pidana denda, tidak diterapkan ketentuan pasal 30 ayat 2.
(3) Jika hakim tidak menentukan lain, maka perintah mengenai pidana pokok juga mengenai pidana pokok juga mengenai pidana tambahan.
(4) Perintah tidak diberikan, kecuali hakim setelah menyelidiki dengan cermat berkeyakinan bahwa dapat diadakan pengawasan yang cukup untuk dipenuhinya syarat umum, bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, dan syarat-syarat khusus jika sekiranya ditetapkan.
(5) Perintah tersebut dalam ayat 1 harus disertai hal-hal atau keadaan-keadaan yang menjadi alasan perintah itu.
 
Pidana bersyarat pernah kita dengar pada suatu kasus yang terkenal yakni pemidanaan Rasyid Amrullah Rajasa. Dalam kasus ini, majelis hakim menerapkan Pasal 14 a KUHP yang bertujuan sebagai wujud pencegahan agar tidak melakukan hal yang sama. Ketua Majelis Hakim yang menjatuhkan vonis, Suharjono, berpandangan bahwa telah terwujud prinsip teori hukum restorative justice dalam putusan hakim sehingga setimpal dengan perbuatan Rasyid. Selain itu, Suharjono juga mengatakan “Terdakwa berlaku sopan, tidak mempersulit persidangan, masih muda, dan keluarga bertanggung jawab. “ Baca berita selengkapnya disini.
 
Penjelasan lain yang dapat melengkapi jawaban atas pidana bersyarat ini adalah artikel jawaban Sdr. Anggara yang berjudul Pidana Bersyarat.
 
Kedua, mengenai Pembebasan Bersyarat. Pembebasan bersyarat adalah bebasnya Narapidana setelah menjalani sekurang-kurangnya dua pertiga masa pidananya dengan ketentuan dua pertiga tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan. Pengertian ini terdapat dalam Penjelasan Pasal 12 huruf k UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan..
 
Mengenai prosedur dan syarat suatu Pembebasan Bersyarat, dapat dilihat pada artikel jawaban dari Sdri. Diana Kusumasari yang berjudul Syarat dan Prosedur Pengajuan Pembebasan Bersyarat.
 
Terima kasih, semoga bermanfaat.

Kamis, 20 Juni 2013

SURAT PERJANJIAN SEWA KIOS

SURAT PERJANJIAN SEWA KIOS


Kami yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama      : ILHAM PARINDURI
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Alamat    : Jln. Karya Selamat Gg. Karya Selamat I No. 1-B
            Kel. Pangkalan Mansyur, Kec. Medan Johor
            Kota Medan
Untuk selanjutnya disebut --------------------- PIHAK PERTAMA

Nama      : YAKMALUDDIN
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat    : Jln. Letda Sujono Gg. Perwira No. 16 Kel. Tembung         
  Kec. Medan Tembung, Kota Medan
Untuk selanjutnya disebut ----------------------- PIHAK KEDUA


Kedua belah pihak dengan ini menerangkan bahwa PIHAK PERTAMA selaku pemilik sah telah setuju menyewakan kepada PIHAK KEDUA berupa sebidang tanah berikut kios yang terletak di atasnya di Jalan Karya Jaya No. 154 Kel. Pangkalan Mansyur, Kec. Medan Johor, Kota Medan.

Selanjutnya kedua belah pihak bersepakat bahwa perjanjian sewa-menyewa antara PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA ini berlaku sejak tanggal penandatanganan surat perjanjian ini. Adapun syarat-syarat serta ketentuan-ketentuan dalam surat perjanjian ini diatur dalam 10 (sepuluh) pasal, sebagai berikut :

Pasal 1

PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA telah sepakat untuk menentukan harga sewa kios tersebut di atas dengan nilai sewa Rp. 5.500.000,- (lima juta lima ratus ribu rupiah) untuk jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal 3 Januari 2013 sampai dengan tanggal 2 Januari 2014.

Pasal 2

PIHAK PERTAMA menjamin bahwa kios yang disewakan tersebut di atas adalah hak miliknya dan bebas dari segala tuntutan hukum dan persoalan-persoalan yang dapat mengganggu PIHAK KEDUA atas penggunaannya selama jangka waktu berlakunya surat perjanjian ini.



Pasal 3

PIHAK KEDUA tidak dibenarkan sama sekali untuk mengalihkan hak atau mengontrakkan kios kepada PIHAK KETIGA tanpa izin dan persetujuan dari PIHAK PERTAMA.

Pasal 4

a. PIHAK KEDUA tidak dibenarkan untuk mengubah struktur dan instalasi kios tanpa izin dan persetujuan dari PIHAK PERTAMA.
Yang dimaksud dengan struktur dan instalasi  adalah sistem konstruksi yang menunjang berdirinya bangunan rumah tersebut, seperti: pondasi, balok, kolom, lantai dan dinding.
b. PIHAK KEDUA bertanggung jawab atas kerusakan struktur  sebagai akibat pemakaian.

Pasal 5

Dalam perjanjian sewa ini sudah termasuk hak atas pemakaian aliran listrik yang telah terpasang sebelumnya pada kios yang disewa. Selama jangka waktu kontrak berlangsung, PIHAK KEDUA berkewajiban untuk membayar semua tagihan-tagihan maupun rekening-rekening serta biaya-biaya lainnya atas penggunaanya. Segala kerugian yang timbul akibat kelalaian PIHAK KEDUA dalam memenuhi kewajibannya menjadi tanggung jawab PIHAK KEDUA.

Pasal 6

PIHAK KEDUA berkewajiban untuk menjaga kebersihan, keamanan, ketertiban dan ketenteraman lingkungan.

Pasal 7

Setelah berakhirnya jangka waktu kontrak sesuai dengan pasal 1 surat perjanjian ini, PIHAK KEDUA segera mengosongkan kios dan menyerahkannya kembali kepada PIHAK PERTAMA serta telah memenuhi semua kewajibannya sesuai dengan pasal 5 surat perjanjian ini.

Pasal 8
Apabila PIHAK KEDUA bermaksud memperpanjang masa penyewaan kios tersebut di atas maka minimal 2 (dua) bulan sebelum jangka waktu kontrak berakhir, PIHAK KEDUA harus memberitahukan terlebih dahulu kepada PIHAK PERTAMA.



Pasal 9

a. Hal-hal yang belum tercantum dalam perjanjian ini akan dimusyawarahkan bersama oleh kedua belah pihak.
b. Mengenai perjanjian ini dan segala akibatnya, kedua belah pihak bersepakat memilih domisili hukum yang tetap pada Pengadilan Negeri Medan.

Pasal 10

Surat perjanjian ini ditandatangani di Medan pada hari Kamis tanggal 3 Januari 2013 dan berlaku sejak tanggal tersebut sampai dengan tanggal 2 Januari 2014.

Demikian perjanjian sewa-menyewa ini dibuat rangkap 2 (dua) dan ditandatangani kedua belah pihak.


                                                                                                 
Medan, 3 Januari 2013


        Pihak Pertama,                    Pihak Kedua,
      






       ILHAM PARINDURI                  YAKMALUDDIN