Jumat, 20 Maret 2015

Money Laundering

Money laundering, atau disebut juga laundering, menurut Black's Law Dictionary 7th Edition adalah:
 
“the federal crime of transferring illegally obtained money through legitimate persons or accounts so that its original source cannot be traced.”
 
Di Indonesia, money laundering ini disebut sebagai pencucian uang, dan diatur dalam UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (“UU No. 8/2010”). Menurut pasal 1 ayat (1) UU No. 8/2010, yang dimaksud dengan pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai ketentuan UU No. 8/2010 ini. Adapun perbuatan-perbuatan yang menjadi tindak pidana menurut UU No. 8/2010 adalah:
 
1.      Menempatkan, mentransfer, mengalihkan membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan (pasal 3)
2.      Menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntkan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana (pasal 4)
3.      Menerima, menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana (pasal 5)
 
Dari rumusan-rumusan di atas, hal-hal penting yang perlu diperhatikan adalah:
 
1.      Adanya harta kekayaan yang diketahui/patut diduga merupakan hasil tindak pidana;
2.      Untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan.
 
Jadi, anda harus mempertimbangkan kedua faktor di atas. Apakah harta kekayaan (dalam hal ini uang yang akan anda terima) diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana? Jika ya, maka tindakan anda menerima uang untuk diinvestasikan tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pencucian uang.

Doktrin Gugatan Wanprestasi dan PMH

http://images.hukumonline.com/frontend/lt4b9a1eb24a495/lt4f82909856ae8.jpg


Larangan untuk menggabungkan gugatan perbuatan melawan hukum (“PMH”) dan wanprestasi dalam 1 gugatan antara lain dikemukakan oleh M. Yahya Harahap, S.H. dalam bukunya “Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan”.
 
Menurut Yahya Harahap, antara PMH dan wanprestasi terdapat perbedaan prinsip, yaitu:
 
Ditinjau dari
Wanprestasi
PMH
Sumber hukum
Wanprestasi menurut Pasal 1243 KUHPer timbul dari persetujuan (agreement)
PMH menurut Pasal 1365 KUHPer timbul akibat perbuatan orang
Timbulnya hak menuntut
Hak menuntut ganti rugi dalam wanprestasi timbul dari Pasal 1243 KUHPer, yang pada prinsipnya membutuhkan pernyataan lalai (somasi)
Hak menuntut ganti rugi karena PMH tidak perlu somasi. Kapan saja terjadi PMH, pihak yang dirugikan langsung mendapat hak untuk menuntut ganti rugi
Tuntutan ganti rugi
KUHPer telah mengatur tentang jangka waktu perhitungan ganti rugi yang dapat dituntut, serta jenis dan jumlah ganti rugi yang dapat dituntut dalam wanprestasi
KUHPer tidak mengatur bagaimana bentuk dan rincian ganti rugi. Dengan demikian, bisa dgugat ganti rugi nyata dan kerugian immateriil
 
Oleh karena itu, Yahya Harahap berpendapat bahwa tidak dapat dibenarkan mencampuradukkan wanprestasi dan PMH dalam gugatan. Yahya selanjutnya juga mengutip putusan Mahkamah Agung (“MA”) No. 879 K/Pdt/1997 mengenai penggabungan wanprestasi dan PMH dalam satu gugatan. Dalam putusan ini dijelaskan bahwa penggabungan demikian melanggar tata tertib beracara, atas alasan bahwa keduanya harus diselesaikan tersendiri. Posita gugatan mendasarkan pada perjanjian, akan tetapi dalam petitum menuntut mengenai PMH. Konstruksi gugatan seperti ini dinilai mengandung kontradiksi, dan gugatan dinyatakan obscuur libel (tidak jelas).
 
Selain putusan di atas, MA juga pernah mengeluarkan yurisprudensi mengenai masalah penggabungan ini, yaitu dalam putusan MA No. 1875 K/Pdt/1984 tanggal 24 April 1986. Dalam putusan MA itu disebutkan:
 
“Penggabungan gugatan perbuatan melawan hukum dengan perbuatan ingkar janji tidak dapat dibenarkan dalam tertib beracara dan harus diselesaikan secara tersendiri pula “
Selanjutnya tentang penggabungan wanprestasi dan PMH dapat Anda baca di artikel hukumonline berikut:
 
  1. Penggabungan Gugatan Wanprestasi dan PMH Tak Dapat Dibenarkan
  2. Hakim Tolak Penggabungan Gugatan PMH dan Wanprestasi
  3. Gugatan Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi Harus Dipisahkan
 
Demikian yang kami ketahui, semoga bermanfaat.

Pidana atau Perdata?

Permasalahan Anda berawal dari jual beli, oleh karena itu sengketa ini masuk pada ranah hukum perdata. Dalam permasalahan Anda, konsumen Anda melakukan wanprestasi (ingkar janji).
 
Untuk wanprestasi, upaya yang dapat Anda lakukan adalah mengajukan gugatan atas dasar wanprestasi. Namun sebelumnya, Anda perlu memberikan somasi pada konsumen Anda tersebut. Somasi diberikan sebagai peringatan bahwa konsumen Anda lalai melakukan prestasi/kewajibannya membayar barang yang sudah diambilnya, dan untuk itu mengingatkan pada konsumen untuk segera melakukan prestasi/kewajibannya.
 
Apabila setelah diberikan somasi, konsumen Anda tetap tidak memenuhi kewajibannya, maka Anda bisa mengajukan gugatan pada pada Pengadilan Negeri yang wilayahnya meliputi tempat tinggal konsumen Anda. MenurutPasal 1267 KUHPerdata, ada beberapa hal yang dapat Anda gugat atau tuntut dari pihak yang wanprestasi, yaitu:
 
1.      Pemenuhan perikatan, artinya Anda bisa menuntut agar konsumen Anda untuk membayar utangnya terhadap anda;
2.      Pemenuhan perikatan dengan ganti kerugian;
3.      Ganti kerugian. Ganti kerugian terdiri dari tiga unsur, yaitu biaya, rugi, dan bunga. Biaya adalah segala pengeluaran yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh satu pihak. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang milik kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian debitur. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur;
4.      Pembatalan perjanjian. Dengan pembatalan perjanjian, kedua belah pihak kembali pada keadaan semula sebelum perjanjian diadakan. Apabila suatu pihak sudah menerima sesuatu dari pihak yang lain, baik itu uang atau barang, harus dikembalikan;
5.      Pembatalan perjanjian dengan ganti kerugian.
 
Demikian penjelasan kami, semoga dapat dipahami.
 
Dasar hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek Voor Indonesieatau BW, Staatsblad 1847 No. 23)

Hukum Perjanjian

Berdasarkan pada asas kebebasan berkontrak dalam pasal 1338 KUHPer, para pihak dalam kontrak bebas untuk membuat perjanjian, apapun isi dan bagaimanapun bentuknya:
 
Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
 
Akan tetapi, yang perlu kita ingat bahwa asas kebebasan berkontrak tersebut tetap tidak boleh melanggar syarat-syarat sahnya perjanjian dalam KUHPer. Syarat sahnya perjanjian diatur dalam pasal 1320 – pasal 1337 KUHPer, yaitu:
 
1.      Kesepakatan para pihak. Kesepakatan berarti ada persesuaian kehendak yang bebas antara para pihak mengenai hal-hal pokok yang diinginkan dalam perjanjian. Dalam hal ini, antara para pihak harus mempunyai kemauan yang bebas (sukarela) untuk mengikatkan diri, di mana kesepakatan itu dapat dinyatakan secara tegas maupun diam-diam. Bebas di sini artinya adalah bebas dari kekhilafan (dwaling, mistake), paksaan (dwang,dures), dan penipuan (bedrog, fraud). Secara a contrario, berdasarkan pasal 1321 KUHPer, perjanjian menjadi tidak sah, apabila kesepakatan terjadi karena adanya unsur-unsur kekhilafan, paksaan, atau penipuan.
2.      Kecakapan para pihak. Menurut pasal 1329 KUHPer, pada dasarnya semua orang cakap dalam membuat perjanjian, kecuali ditentukan tidak cakap menurut undang-undang.
3.      Mengenai suatu hal tertentu. Hal tertentu artinya adalah apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak, yang paling tidak barang yang dimaksudkan dalam perjanjian ditentukan jenisnya. Menurut pasal 1333 KUHPer, objek perjanjian tersebut harus mencakup pokok barang tertentu yang sekurang-kurangnya dapat ditentukan jenisnya. Pasal 1332 KUHPer menentukan bahwa objek perjanjian adalah barang-barang yang dapat diperdagangkan.
4.      Sebab yang halal. Sebab yang halal adalah isi perjanjian itu sendiri, yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh para pihak. Isi dari perjanjian itu tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, maupun dengan ketertiban umum. Hal ini diatur dalam pasal 1337 KUHPer.
 
Dari butir no. 4, dapat kita lihat bahwa suatu perjanjian tidak boleh melanggar undang-undang. Selanjutnya, bila kita lihat pada pasal 31 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan (“UU 24/2009”), kita temui kewajiban menggunakan Bahasa Indonesia dalam kontrak:
 
Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia.
 
Jadi, untuk kontrak yang para pihaknya merupakan WNI, wajib untuk menggunakan Bahasa Indonesia.
 
Hal demikian juga ditegaskan oleh Marianna Sutadi, mantan Wakil Ketua Mahkamah Agung RI. Menurutnya, ketentuan pasal 31 ayat (1) UU 24/2009 tidak hanya berlaku terhadap perjanjian antarnegara tetapi juga antarlembaga swasta Indonesia atau perseorangan WNI. Hal demikian dia sampaikan dalam Seminar Hukumonline 2009 yang bertajuk “Pembatalan Kontrak Berbahasa Asing” pada 16 Desember 2009.
 
Begitu pula dinyatakan oleh Rosa Agustina, Guru Besar Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Menurutnya, pasal 31 ayat (1) UU 24/2009 tidak bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak yang berlaku di hukum perdata. Rosa menjelaskan asas kebebasan berkontrak tetap memiliki batasan, salah satunya undang-undang (lihat pasal 1337 KUHPer). Dia juga memandang rumusan pasal tersebut dapat meminimalisir selisih paham mengenai penafsiran serta istilah-istilah dalam perjanjian.
 
Tidak dipenuhinya ketentuan pasal 31 ayat (1) UU 24/2009, bisa menjadi alasan bagi salah satu pihak untuk menuntut kebatalan demi hukum perjanjian yang tidak menggunakan Bahasa Indonesia tersebut. Alasannya, kontrak tidak memenuhi unsur ‘sebab atau kausa yang halal’ sebagaimana disyaratkan pasal 1320 jo pasal 1337 KUHPer.
 
Demikian penjelasan kami. Semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
1.      Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek Voor Indonesie atau BW, Staatsblad 1847 No. 23)
2.      Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan
 

Pembatalan Perjanjian yang Batal demi Hukum

Berdasarkan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata(“KUHPerdata”), syarat sahnya perjanjian adalah sebagai berikut:
 
 
SYARAT SAHNYA PERJANJIAN
1.   Kesepakatan para pihak dalam perjanjian
2.   Kecakapan para pihak dalam perjanjian
Syarat SUBJEKTIF
3.   Suatu hal tertentu
4.   Sebab yang halal
Syarat OBJEKTIF
 
Kecakapan para pihak merupakan salah satu syarat subjektif dari sahnya perjanjian. Dan yang termasuk tidak cakap oleh KUHPer adalah orang-orang yang belum cukup umur, orang-orang yang ditempatkan di bawah pengampuan dan wanita bersuami. Akan tetapi berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 tanggal 5 September 1963, seorang istri berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya.
 
Menurut Pasal 330 KUHPerdata yang belum cukup umur (dewasa) adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan belum kawin sebelumnya. Jika belum berumur 21 namun telah menikah, maka dianggap telah dewasa secara perdata dan dapat mengadakan perjanjian.
 
Jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan, jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat objektif, maka perjanjian tersebut adalah batal demi hukum.
 
Dapat dibatalkan artinya salah satu pihak dapat memintakan pembatalan itu. Perjanjiannya sendiri tetap mengikat kedua belah pihak, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi (pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas).
 
Sedangkan batal demi hukum artinya adalah dari semula dianggap tidak pernah ada dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Simak pula artikel Batalnya Suatu Perjanjian.
 
Jadi, bila perjanjian dibuat dengan anak di bawah umur, tidak serta merta membuat perjanjian tersebut batal demi hukum, tapi harus dimintakan pembatalannya ke Pengadilan Negeri.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad1847 No. 23)
 
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
 
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
http://images.hukumonline.com/frontend/lt4b46e0113e026.jpg

73704 HITS
DI: HUKUM PERDATA
SUMBER DARI: BUNG POKROL
Share:

Pernyataan Penyangkalan / Disclaimer

Pembatalan Sepihak Surat Pernyataan Diterima Sebagai Karyawan

Pernyataan diterima sebagai pegawai dianggap sebagai perjanjian sepihak. Oleh karena itu, menurut ketentuan di atas, maka perusahaan yang membuat pernyataan tersebut terikat akan pernyataan yang dibuatnya.
 
Maka, jika perusahaan yang membuat pernyataan tersebut membatalkan pernyataannya secara sepihak dan pembatalan tersebut ternyata merugikan rekan Saudara, maka rekan Saudara dapat menggugat perusahaan yang membuat pernyataan itu supaya membayar kerugian yang rekan saudara alami, sepanjang kerugian itu dapat dibuktikan.
 
Hanya saja gugatan tidak dapat melalui peradilan perdata khusus hubungan industrial karena permasalahan rekan Saudara belum memenuhi syarat hubungan kerja, tetapi rekan Saudara dapat mengajukan gugatan melalui peradilan perdata umum karena perusahaan yang membuat pernyataan tersebut, dapat dimaknai telah gagal memenuhi kewajibannya atau tidak bersedia memenuhi prestasinya yang mana hal tersebut menimbulkan kerugian bagi pihak lain.
 
Penjelasan lebih lengkap silakan baca ulasan di bawah ini.
 
 
 
Ulasan:
 
Terima kasih atas pertanyaan Saudara. Kami turut prihatin atas permasalahan yang dihadapi oleh rekan Saudara. Menjawab permasalahan di atas, dapat kami jelaskan demikian.
 
Menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”), hubungan kerja mensyaratkan adanya pekerjaan, upah dan perintah. Hal ini sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan, yang menyebutkan:
 
Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah
 
Oleh karena itu, berdasarkan informasi yang Saudara jelaskan di atas, maka dapat dipahami, bahwa antara rekan Saudara dengan perusahaan yang mengeluarkan pernyataan diterima bekerja, belum dapat dikatakan telah terjadi hubungan kerja, sebab unsur pekerjaan, upah dan perintah, belum terpenuhi hanya berdasarkan lamaran dan pernyataan diterima bekerja.
 
Surat pernyataan tersebut juga tidak memenuhi makna perjanjian jika mengacu pada ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/Burgerlijk Wetboek (“BW”), yang menyebutkan:
 
Supaya terjadi perikatan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat:
1.    kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2.    kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3.    suatu pokok persoalan tertentu;
4.    suatu sebab yang tidak terlarang.
 
Surat pernyataan tidak memenuhi makna perjanjian sebagaimana disyaratkan di atas karena surat pernyataan tidak dibuat bersama oleh pihak-pihak yang tercantum namanya di dalam surat pernyataan, tetapi hanya dibuat oleh yang menyatakan saja. Namun, surat pertanyaan tersebut dapat dimaknai sebagai suatu perikatan sepihak jika mengacu pada ketentuan Pasal 1313 BW, yang menyebutkan:
 
Suatu perikatan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih
 
Dikatakan perikatan sepihak karena perjanjian tersebut hanya mengikat satu pihak saja, yaitu yang membuat pernyataan menjanjikan sesuatu kepada pihak lain, tanpa menjelaskan adanya kewajiban dari pihak lain tersebut. Hal ini dijelaskan pula dalam ketentuan Pasal 1314 BW, yang menyebutkan:
 
Suatu perikatan diadakan dengan cuma-cuma atau dengan memberatkan. Suatu perikatan cuma-cuma adalah suatu perikatan, bahwa pihak yang satu akan memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain tanpa menerima imbalan. Suatu perikatan memberatkan adalah suatu perikatan yang mewajibkan tiap pihak untuk memberikan sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu
 
Oleh karena itu, menurut ketentuan di atas, maka perusahaan yang membuat pernyataan tersebut terikat akan pernyataan yang dibuatnya. Jadi, menjawab pertanyaan-pertanyaan saudara, tidak ada larangan bagi orang untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, namun segala konsekuensi dari perbuatannya harus dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan ketentuan yang berlaku.
 
Maka, jika perusahaan yang membuat pernyataan tersebut membatalkan pernyataannya secara sepihak dan pembatalan tersebut ternyata merugikan rekan Saudara, maka rekan Saudara dapat menggugat perusahaan yang membuat pernyataan itu supaya membayar kerugian yang rekan saudara alami, sepanjang kerugian itu dapat dibuktikan, hanya saja tidak melalui peradilan perdata khusus hubungan industrial karena permasalahan rekan Saudara belum memenuhi syarat hubungan kerja sebagaimana telah kami jelaskan di atas, tetapi rekan Saudara dapat mengajukan gugatan melalui peradilan perdata umum karena perusahaan yang membuat pernyataan tersebut, dapat dimaknai telah gagal memenuhi kewajibannya atau tidak bersedia memenuhi prestasinya yang mana hal tersebut menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Hal ini sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1243 BW, yang menyebutkan:
 
Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan
 
Demikian dapat kami jelaskan, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
  

Dimintai Uang Saat Melamar Bekerja

ejabat atau pegawai yang meminta atau menerima sejumlah uang dalam seleksi penerimaan pegawai dapat dituntut dengan UU Pemberantasan Korupsi.

Penjelasan lebih lengkap silakan baca ulasan di bawah ini.
 
 
Ulasan:
Kami berasumsi bahwa pejabat instansi yang Anda maksud termasuk sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara.
 
Jika pejabat yang Anda maksud meminta sejumlah uang dengan memaksa, maka berdasarkan Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU 20/2001”), pejabat tersebut bisa dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
 
 
Pasal 12 UU 20/2001:
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
a.    …;
b.    …;
c.    …;
d.    …;
e.    pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
f.     …;
g.    …;
h.    …;
i.     ….
 
Jika jumlah uang yang diminta kurang dari Rp 5.000.000,00, maka ketentuan pidana Pasal 12 UU 20/2001 tidak berlaku. Pidana berlaku adalah pidana dalam Pasal 12A ayat (2) UU 20/2001, yaitu pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
 
Sebagai contoh, sebagaimana dikutip dari news.detik.com,pada Januari 2015 lalu Bareskrim Mabes Polri telah merampungkan penyidikan kasus dugaan suap dalam seleksi CPNS 2014 di Musi Rawas Utara, Sumatera Selatan. Dalam perkara itu, seorang pelaksana harian Kepala Bagian Kepegawaian Kabupaten Musi Rawas Utara, M Rifai telah ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan pelanggaran Pasal 12 huruf a atau Pasal 5 ayat 2, atau Pasal 11 dan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 Jo Pasal 15 UU 20/2001 Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
 
Mengenai apa yang bisa dilakukan oleh Anda, Anda dapat melaporkan hal tersebut kepada pihak yang berwajib (Kepolisian Republik Indonesia atau Komisi Pemberantasan Korupsi, bergantung pada jabatan orang tersebut).
 
Dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU 31/1999”), masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Peran serta masyarakat diwujudkan dalam bentuk:
a.    hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi;
b.    hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
c.    hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
d.    hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari;
e.    hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal:
1)    melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf a, b, dan c UU 31/1999;
2)    diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
 
Kepada anggota masyarakat yang telah berjasa membantu upaya pencegahan, pemberantasan, atau pengungkapan tindak pidana korupsi, Pemerintah memberikan penghargaan (Pasal 42 ayat (1) UU 31/1999).
 
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum: