Jumat, 04 Maret 2016

PERJANJIAN JAMINAN DAN LEMBAGA JAMINAN

PERJANJIAN JAMINAN DAN LEMBAGA JAMINAN
A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Dan Perikatan
  1. Pengertian Perjanjian dan Perikatan
Istilah perjanjian dan perikatan menurut beberapa Sarjana antara lain:
- Drs. C. ST. Kansil, S.H., istilah perikatan terjemahan dari verbintenis dan perjanjian terjemahan dari overeenkomst .
- Utrecht dan Sri Soedewi Masjchoen Sofwan memakai istilah perutangan sebagai terjemahan dari verbintenis .
- Abdulkadir Muhammad, S.H., istilah perikatan adalah terjemahan dari verbintenis .
Pengertian perjanjian ada dalam Pasal 1313 KUHPerdata dan sumber perikatan ada dalam Pasal 1233 KUHPerdata. Perbedaan antara perjanjian dan perikatan yaitu perjanjian adalah peristiwa hukum dan perikatan adalah hubungan hukum. Dalam perikatan ada pihak kreditur yaitu yang berhak atas prestasi dan pihak debitur yang berkewajiban untuk berprestasi. Pada pihak debitur terdapat schuld yaitu hutang atau kewajiban berprestasi tergantung dari perikatannya dan ada haftung jaminan untuk pelunasan hutang yaitu jaminan yang ditentukan dalam Pasal 1131 KUHPerdata. Subyek perikatan kreditur dan debitur sedangkan obyek perikatan yaitu prestasi yang ada dalam Pasal 1234 KUHPerdata yaitu: memberi sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.
Perikatan diatur dalam Buku Ketiga KUHPerdata. Ketentuan tentang perikatan adalah bersifat anvullendrecht yaitu bersifat pelengkap artinya atas dasar kesepakatan antara kreditur dan debitur karena menganut sistem terbuka. Dalam perikatan berdasar perjanjian berlaku asas antara lain:
a. Asas kebebasan berkontrak yaitu dapat mengadakan perikatan apa saja asalkan tidak bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan dan ketertiban umum yang diatur dalam Pasal 1337 KUH Perdata.

b. Asas konsesualisme yaitu dalam perikatan didasarkan pada kesepakatan para pihak Pasal 1320 KUHPerdata.
c. Asas kekuatan mengikat yaitu asas pacta suntservanda yaitu kekuatan mengikat sebagai Undang-Undang.
d. Asas kepribadian yaitu untuk menentukan personalia dalam perjanjian sebagai sumber perikatan.
e. Asas kepercayaan atau vertrouwensabeginsel artinya seseorang yang mengadakan perjanjian dan menimbulkan perikatan dengan orang lain, antara para pihak ada kepercayaan bahwa akan saling memenuhi prestasi.
f. Asas iktikad baik atau tegoeder trouw yaitu dalam melaksanakan perikatan didasarkan pada iktikad baik.
Menurut Abdulkadir, pengertian perikatan adalah:
”Hubungan hukum yang terjadi antara orang yang satu dengan orang yang lain karena perbuatan, peristiwa atau keadaan” (Abdulkadir Muhammad, 1981: 5).
Selain itu Abdulkadir merumuskan perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara debitur dan kreditur yang terletak dalam bidang harta kekayaan (Abdulkadir Muhammad, 1981: 9)
B. Perjanjian Kredit
Di dalam KUHPerdata tidak ditemukan pengertian perjanjian kredit, perjanjian dalam KUHPerdata yang mirip dengan perjanjian kredit yaitu perjanjian pinjam-meminjam yang diatur dalam Buku III Bab XIII. Djuaendah Hasan mengartikan perjanjian kredit adalah suatu perjanjian yang diadakan antara bank dengan calon debitur untuk mendapatkan kredit dari bank yang bersangkutan (Djuaendah Hasan, 1996: 70). Pengertian kredit dikenal dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan Pasal 1 Ayat (11):
Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara Bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Pasal 1 Ayat (11) pengertian kredit mengandung kata-kata ”persetujuan” sebagaimana diatur dalam Buku III KUHPerdata Tentang Perikatan, oleh karenanya ”kredit” merupakan ”perikatan” yang bersumber dari suatu perjanjian.
Dari pengertian kredit tersebut maka jelas mengenai perjanjian kredit antara bank dengan debitur ditekankan pada kesepakatan para pihak yaitu berdasar asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1338 Ayat (1) KUHPerdata. Mengenai istilah kredit lebih cenderung untuk menamakan perjanjian kredit bank, istilah bank dilekatkan untuk membedakannya dengan perjanjian pinjam uang yang pemberi pinjamannya bukan bank (Mariam Darus Badrulzaman, 1978: 20).
Menurut R. Subekti, perjanjian kredit diidentikkan dengan perjanjian pinjam-meminjam uang yang mempunyai sifat khusus maksudnya perjanjian peminjaman uang terjadi antara bank dengan debitur, di mana debitur akan mengembalikan pinjaman setelah jangka waktu yang telah ditentukan (R. Subekti, 1982: 12).
Pengertian kredit menurut Gatot Supratmono adalah perjanjian meminjam uang antara bank sebagai kreditur dalam hal ini bank sebagai pemberi kredit percaya kepada nasabahnya dalam jangka waktu yang disepakatinya akan dikembalikan (dibayar) lunas (Gatot Supratmono, 1995: 28).
Pada dasarnya istilah ”kredit” tidak terdapat dalam KUHPerdata yang ada hanya perjanjian pinjam-meminjam uang yang ada dalam Pasal 1754 KUHPerdata. Dalam kredit tentu ada unsur kepercayaan yaitu keyakinan kreditur bahwa prestasi yang diberikannya baik dalam bentuk uang atau barang akan benar-benar diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu yang sudah disepakati oleh debitur maupun kreditur.
Dari bentuk perjanjian dalam praktek tumbuh sebagai perjanjian baku yaitu bank telah menyediakan formulir perjanjian kredit yang isinya telah disiapkan lebih dahulu. Dari sifatnya perjanjian kredit adalah perjanjian pendahuluan atau voorovereenkomst dari penyerahan uang. Perjanjian pendahuluan sebagai hasil permufakatan antara pemberi dan penerima pinjaman mengenai hubungan-hubungan hukum antara keduanya (Mariam Badrulzaman, 1978: 28).
Kata “kredit” berasal dari bahasa Romawi “Credere” artinya percaya, jadi ”kepercayaan” itu yang menjadi dasar pemberian kredit dan disebut sebagai jaminan pokok. Adapun pengertian kredit yang dikemukakan oleh beberapa ahli antara lain:
1. Sevelberg
Mengatkan “kredit” mempunyai arti:
a. Sebagai dasar setiap perikatan (verbintenis ) di mana seseorang berhak menuntut sesuatu dari orang lain.
b. Sebagai jaminan, di mana seseorang menyerahkan sesuatu kepada orang lain dengan tujuan untuk memperoleh kembali apa yang diserahkan itu.
  1. Levy
Merumuskan arti hukum dari kredit yaitu menyerahkan secara sukarela sejumlah uang untuk dipergunakan secara bebas oleh penerima kredit. Penerima kredit berhak mempergunakan pinjaman itu untuk keuntungannya dengan kewajiban mengembalikan jumlah pinjaman itu di belakang hari.
  1. M. Jokile
Mengemukakan bahwa kredit adalah suatu ukuran kemampuan dari seseorang untuk mendapatkan sesuatu yang bernilai ekonomis sebagai ganti dari janjinya untuk membayar kembali hutangnya pada tanggal tertentu (Mariam Darus Badrulzaman, 1978: 21-22).
C. Lembaga Jaminan
Sampai saat ini Lembaga Perbankan masih dominan sebagai sumber pembiayaan investasi dengan pemberian kredit. Untuk mendapatkan kredit bank lebih dahulu harus melakukan perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok yang akan diikuti dengan perjanjian jaminan sebagai perjanjian accessoir atau perjanjian tambahan. Adanya jaminan diharuskan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang disebut agunan.
Pengertian agunan dalam Pasal 1131 KUHPerdata disebut jaminan yaitu:
”Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur itu”.
Kredit merupakan perikatan yang bersumber pada perjanjian kredit yang biasa disebut akad kredit. Pasal 1131 KUHPerdata mencakup schuld dan haftung dari debitur dan merupakan jaminan yang ada karena telah ditentukan oleh Undang-Undang meskipun tidak diperjanjikan lebih dulu oleh kreditur dan debitur. Oleh karenanya Pasal 1131 KUHPerdata berlaku bagi semua kreditur dan meliputi semua kreditur dan meliputi semua harta kekayaan debitur. Jaminan tersebut dinamakan jaminan umum dalam pengertian umum bagi semua kreditur dan umum mengenai macam jaminannya yaitu tidak ditunjuk secara khusus. Kreditur sebagai pemegang jaminan menurut Pasal 1131 KUHPerdata sebagai kreditur konkurent yaitu semua kreditur kedudukannya sama dalam praktek tidak memuaskan kreditur.
  1. Penggolongan Jaminan
a. Jaminan Berdasar Undang-Undang Dan Jaminan Berdasar Perjanjian
Jaminan berdasarkan Undang-Undang ada dalam Pasal 1131 KUHPerdata, sedangkan jaminan berdasar perjanjian yaitu terjadinya karena adanya perjanjian jaminan dalam bentuk gadai, fidusia, hak tanggungan dan jaminan perorangan serta garansi bank.
b. Jaminan Umum Dan Jaminan Khusus
Jaminan umum meliputi pengertian untuk semua kreditur (kreditur konkurent) dan untuk seluruh harta kekayaan artinya tidak ditunjuk secara khusus yaitu yang ditentukan dalam Pasal 1131 KUHPerdata. Jaminan khusus yaitu hanya untuk kreditur tertentu (kreditur preferent) dan benda jaminannya ditunjuk secara khusus (tertentu) yaitu gadai, fidusia, hak tanggungan apabila orang/Badan Hukum yaitu penanggungan atau misal garansi bank.
c. Jaminan Kebendaan Dan Jaminan Perorangan
Jaminan yang bersifat kebendaan yaitu jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda yaitu hak milik.
Jaminan perorangan adalah jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu Pasal 1820 KUHPerdata.
d. Jaminan Atas Benda Bergerak Dan Benda Tidak Bergerak
Jaminan berupa benda bergerak lembaga jaminannya gadai dan fidusia.
Jaminan berupa benda tidak bergerak dahulu Hipotek, Credietverband dan sekarang Hak Tanggungan.
e. Jaminan Dengan Menguasai Bendanya Dan Tanpa Menguasai Bendanya
- Jaminan Dengan Menguasai Bendanya yaitu gadai dan hak retensi. Gadai tidak pesat pertumbuhannya karena terbentur syarat inbezit stelling yang dirasakan berat oleh debitur yang justru memerlukan benda yang dijaminkan untuk menjalankan pekerjaan atau usahanya.
- Jaminan Tanpa Menguasai Bendanya yaitu Hipotek, Credietverband dan sekarang fidusia dan Hak Tanggungan. Jaminan tanpa menguasai bendanya menguntungkan debitur sebagai pemilik jaminan karena tetap dapat menggunakan benda jaminan dalam kegiatan pekerjaannya atau usahanya.
  1. Lembaga-Lembaga Jaminan
a. Gadai
Pengertian gadai dalam Pasal 1150 KUHPerdata dan pengertian gadai ada beberapa unsur pokok sebagai berikut:
1) Gadai lahir setelah adanya penyerahan kekuasaan atas obyek gadai yaitu benda bergerak dari debitur (pemberi jaminan) kepada kreditur (pemegang jaminan).
2) Kreditur sebagai yang diistimewakan dari kreditur yang lain apabila debitur wanprestasi maka dapat mengambil pelunasan dan hasil penjualan benda jaminan yaitu parate executie .
Sifat Hak Gadai:
1) Jaminan kebendaan dan memberikan hak kebendaan tetapi tidak dalam pengertian hak untuk menikmati tetapi untuk menjamin dilunasinya piutang tertentu.
2) Hak gadai bersifat accessoir , merupakan perjanjian tambahan dari perjanjian pokok, yaitu perjanjian pinjam uang. Karena bersifat accessoir maka hak gadai akan hapus apabila perjanjian pokok hapus yaitu bila hutang telah dilunasi.
3) Hak gadai tidak dapat dibagi artinya apabila hutang dibayar sebagian tidak dapat menghapus sebagian hak gadai.
4) Hak gadai adalah hak yang didahulukan daripada piutang-piutang yang lain. Krediturnya mempunyai hak preferent.
5) Obyeknya benda bergerak.
b. Fidusia
- Pengertian Fidusia
Pengertian fidusia ada dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Pasal 1 Ayat (1):
Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan benda.
- Pengertian Jaminan Fidusia
Pengertian jaminan fidusia ada dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fucia (UUJF) Pasal 1 Ayat (2) adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996.
Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Jaminan Fidusia di satu sisi memberi kemudahan bagi debitur (pemberi fidusia) karena tetap menguasai dan dapat menggunakan benda yang dijaminkan tetapi di sisi yang lain kreditur (pemegang fidusia) kurang terjamin kepentingannya hal ini karena fidusia tidak didaftarkan. Adanya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 maka fidusia harus didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia.

- Subyek Jaminan Fidusia
Subyek fidusia (pemberi fidusia) yaitu perseorangan atau korporasi ada dalam Pasal 1 Ayat (5) UUJF. Sedangkan subyek fidusia sebagai penerima fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi yang mempunyai piutang diatur dalam Pasal 1 Ayat 6) UUJF.
- Obyek Jaminan Fidusia
Obyek jaminan fidusia ada dalam UUJF Pasal 1 Ayat (2) seperti telah disebutkan.
- Sifat Jaminan Fidusia
1) Perjanjian jaminan fidusia merupakan perjanjian accessoir atau perjanjian tambahan/perjanjian ikutan. Akta jaminan dibuat oleh Notaris.
2) Selalu mengikuti bendanya (droit de suite ).
3) Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak yang berkepentingan.
4) Apabila debitur wanprestasi maka dalam melaksanakan eksekusi dapat dengan lembaga parate executie .
5) Dalam jaminan fidusia memuat hak mendahulu disebut juga hak preference artinya penerima fidusia memiliki hak yang didahulukan terhadap kreditur lain dalam pelunasan piutangnya diatur dalam UUJF Pasal 27.
- Hapusnya Jaminan Fidusia
Dalam UUJF Pasal 25 ditentukan tentang hapusnya fidusia sebagai berikut:
1) Hapusnya hutang yang dijamin dengan fidusia.
2) Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia.
3) Musnahnya benda yang menjadi obyek jaminan fidusia.
c. Hak Tanggungan
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) Pasal 51 sudah disebutkan hak jaminan yang kuat yang dibebankan pada hak atas tanah yaitu Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan adalah Hak Tanggungan tetapi selama itu Hak Tanggungan belum berfungsi karena belum ada Undang-Undang yang mengatur. Oleh karenanya untuk sementara berdasar UUPA Pasal 57 hak jaminan atas tanah berdasar ketentuan Hipotek diatur dalam KUHPerdata danCredietverband tersebut dalam S.1908-542 sebagai yang telah diubah dengan S.1937-190.
Ketentuan dalam UUPA Pasal 51 dapat berlaku setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT) sehingga tidak diperlukan lagi ketentuan yang ada dalam UUPA Pasal 27. Dalam UUHT Pasal 29 ditegaskan ketentuan Hipotek danCredietverband seperti tersebut dalam UUPA Pasal 27 dinyatakan tidak berlaku lagi.
- Pengertian Hak Tanggungan
UUHT Pasal 1 Ayat (1) menyebutkan:
Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan adalah jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.
Hak Tanggungan yang diatur dalam UUHT pada dasarnya Hak Tanggungan yang dibebankan pada Hak Atas Tanah tetapi kenyataan sering terdapat benda-benda berupa bangunan, tanaman yang secara tetap merupakan kesatuan dengan tanah yang dijadikan jaminan. UUPA berdasar hukum adat ada dalam UUPA Pasal 5 yang menggunakan asas pemisahan horizontal yang artinya antara tanah dan benda-benda yang ada di atasnya/melekat di atas tanah secara hukum bukan merupakan bagian dari tanah yang bersangkutan. Oleh karenanya perbuatan hukum terhadap hak atas tanah tidak dengan sendirinya mekiputi benda-benda yang melekat di atas tanah tersebut. Apabila benda-benda yang ada di atas tanah diikutsertakan dijadikan jaminan harus dinyatakan dengan tegas dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) ini ditentukan dalam UUHT Pasal 4 Ayat (1).
- Subyek Hak Tanggungan
UUHT Pasal 8 menentukan pemberi Hak Tanggungan yaitu dalam pengertian sebagai debitur yaitu orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan tersebut sedangkan UUHT Pasal 9 menentukan pemegang Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang atau kreditur.
- Obyek Hak Tanggungan
Sebagai obyek Hak Tanggungan harus memenuhi syarat:
1) Dapat dinilai dengan uang.
2) Termasuk hak yang didaftar dalam daftar umum.
3) Mempunyai sifat dapat dipindahtangankan.
4) Memerlukan penunjukan oleh Undang-Undang.
Obyek yang dapat dibebani Hak Tanggungan ditentukan dalam UUHT Pasal 4. Dalam UUPA Pasal 51 Hak Pakai tidak ditetapkan sebagai obyek Hak Tanggungan. Dalam perkembangannya Hak Pakai Atas Tanah Negara harus didaftarkan sehingga memenuhi syarat sebagai obyek Hak Tanggungan. Ketentuan obyek Hak Tanggungan selain diatur dalam UUHT Pasal 4 juga tentang obyek Hak Tanggungan diatur pula dalam UUHT Pasal 27.
- Sifat Hak Tanggungan
1) Memberikan kedudukan yang diutamakan bagi kreditur yaitu pemegang Hak Tanggungan untuk pelunasan utang tertentu. Kreditur pemegang Hak Tanggungan mendapat hak untuk didahulukan yang disebut hak preference diatur dalam UUHT Pasal 1 Ayat (1).
2) Selalu mengikuti obyeknya dalam tangan siapapun obyek tersebut berada disebut droit de suite dan diatur dalam UUHT Pasal 7. Sifat ini bertujuan untuk kepentingan kreditur, meskipun obyek sudah berpindah tangan tetapi kreditur pemegang Hak Tanggungan masih tetap dapat menggunakan haknya terutama apabila debitur wanprestasi.
3) Memenuhia asas spesialitas dan publisitas sehingga memberikan kepastian hukum bagi yang berkepentingan dan mengikat pihak ketiga. Asas spesialitas diatur dalam UUHT Pasal 11 Ayat (1) yang meliputi subyek, obyek Hak Tanggungan dan hutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan. Sedangkan asas publisitas diatur dalam UUHT Pasal 13 Ayat (1) yaitu Hak Tanggungan wajib didaftarkan di Kantor Pertanahan, pendaftaran Hak Tanggungan merupakan syarat mutlak untuk berlakunya Hak Tanggungan dan mengikatnya Hak Tanggungan terhadap pihak ketiga.
4) Tidak dapat dibagi-bagi pengertiannya dengan telah dilunasinya sebagian dari hutang yang dijamin tidak berarti terbebasnya sebagian obyek Hak Tanggungan dari beban Hak Tanggungan tetapi Hak Tanggungan tetap membebani seluruh obyek Hak tanggungan, ini diatur dalam UUHT Pasal 2 Ayat (1) kecuali bila diperjanjikan dalam APHT diatur dalam UUHT Pasal 2 Ayat (2) yang merupakan kekecualian dari asas tidak dapat dibagi-bagi.
5) Apabila debitur wanprestasi maka dalam eksekusi obyek jaminan dapat melalui lembaga parate executie .
6) Sebagai perjanjian accessoir atau tambahan setelah adanya perjanjian pokok. Kreditur sebagai kreditur preferent karena adanya perjanjian jaminan yaitu Hak Tanggungan yang mempunyai sifat mengikuti perjanjian pokok yaitu perjanjian kredit atau hutang-piutang.
- Hapusnya Hak Tanggungan
Berdasar UUHT Pasal 18 adalah sebagai berikut:
1) Hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan.
2) Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan.
3) Pembersihan Hak Tanggungan.
4) Hapusnya Hak Atas Tanah yang dibebani Hak Tanggungan dalam hal demikian tidak menyebabkan hapusnya utang yang dijamin, tetapi dengan hapusnya Hak Tanggungan berarti kreditur tidak sebagai kreditur preferent tetapi sebagai kreditur konkurent yaitu kedudukannya sama dengan kreditur yang lain dan tidak mempunyai hak untuk didahulukan.
d. Penanggungan
Jaminan penanggungan disebut jaminan perorangan yaitu jaminan yang bukan bersifat kebendaan tetapi berupa pernyataan dari seseorang yang berisi kesanggupan bahwa ia menanggung pelaksanaan perjanjian sedemikian rupa apabila si berwajib tidak memenuhi janji atau prestasinya.
Lembaga penanggungan (borgtocht ) definisinya ada dalam Pasal 1820 KUHPerdata adalah perjanjian perorangan yang didefinisikan sebagai berikut:
Penanggungan adalah suatu persetujuan dengan mana seorang pihak ketiga guna kepentingan si berpiutang, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si berutang manakala orang itu sendiri tidak memenuhinya.
- Sifat Perjanjian Penanggungan
Dari Pasal 1820 KUHPerdata dapat terlihat bahwa:
Perjanjian penanggungan merupakan perjanjian yang accessoir artinya apabila perjanjian pokok yang pemenuhannya dijamin dengan perjanjian penanggungan tidak dipenuhi maka kreditur dapat menuntut kepada penanggung berdasar perjanjian penanggungan (Djuhaendah Hasan, 1998: 68-86).
Dari pemenuhannya bersifat subsidair artinya penanggung hanya terikat untuk pemenuhan prestasi apabila debitur wanprestasi. Perjanjian penanggungan harus dinyatakan oleh penanggung secara tegas hal ini ditentukan dalam Pasal 1834 KUHPerdata dan sifat accessoir ada dalam Pasal 1821 KUHPerdata yang menyatakan; Tiada penanggungan bila tiada perikatan pokok yang sah menurut Undang-Undang. Perjanjian penanggungan bersifat accessoir mengandung pengertian:
1) Adanya perjanjian penanggungan tergantung perjanjian pokok.
2) Apabila perjanjian pokok hapus maka perjanjian penanggungan menjadi ikut hapus.
3) Diperalihkannya piutang sebagai perjanjian pokok maka semua perjanjian yang melekat pada piutang tersebut akan ikut beralih.
- Bentuk Perjanjian Penanggungan
Bentuknya bebas artinya dapat lisan atau tertulis tetapi merupakan pernyataan yang tegas. Perjanjian penanggungan biasanya dimasukkan dalam pengakuan utang.
- Hapusnya Perjanjian Penanggungan
Karena merupakan perjanjian yang bersifat accessoir maka hapusnya tergantung hapusnya perikatan pokok tetapi dapat karena sebab yang lain seperti diatur dalam Pasal 1845 sampai dengan Pasal 1850 KUHPerdata.
D. Wanprestasi Dan Overmacht
  1. Wanprestasi
Pemenuhan prestasi adalah hakekat dari suatu perikatan mengenai bentuk prestasi ditentukan dalam Pasal 1234 KUHPerdata. Kewajiban memenuhi prestasi menjadi tanggung jawab debitur tetapi kemungkinan debitur tidak memenuhi tanggung jawabnya untuk berprestasi keadaan demikian disebut wanprestasi artinya tidak memenuhi kewajiban atau prestasi.
- Sebab Terjadinya Wanprestasi
Sebab terjadinya wanprestasi karena:
    1. Kesalahan debitur yang disebabkan karena kesengajaan atau kelalaian.
    2. Keadaan memaksa yaitu overmacht atau force majeura .
- Keadaan Wanprestasi
a. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.
b. Debitur memenuhi prestasi tetapi tidak baik atau keliru.
c. Debitur tidak tepat waktu dalam berprestasi.
Dalam kredit kewajiban debitur seperti ditentukan dalam Pasal 1763 KUHPerdata demikian pendapat dari Mariam Darus Badrulzaman dan kewajiban dari debitr diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Pasal 1 Ayat (11). Dalam kredit mengenal batas waktu atau Verval termijn maka untuk terjadinya wanprestasi tidak diperlukan adanya somatie.
- Akibat Wanprestasi
Akibat wanprestasi diatur antara lain dalam:
a. Pasal 1237 KUHPerdata yaitu peralihan risiko.
b. Pasal 1243 KUHPerdata yaitu tuntutan ganti rugi tetapi ada pengecualian yang diatur dalam Pasal 1244 KUHPerdata.
  1. Overmacht
a. Pengertian Overmacht atau Keadaan Memaksa
Keadaan memaksa adalah keadaan tidak dapat dipenuhinya prestasi oleh debitur karena terjadi suatu peristiwa bukan karena kesalahannya, peristiwa mana tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan (Abdulkadir Muhammad, 1982: 27).
Dalam keadaan overmacht timbul persoalan risiko yang pengertiannya risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi keadaan memaksa yaitu peristiwa yang bukan karena kesalahan debitur yang menimpa benda yang menjadi obyek perikatan atau menghalangi perbuatan debitur untuk memenuhi prestasi.
b. Akibat Keadaan Memaksa (Overmacht )
1) Kreditur tidak dapat meminta debitur untuk pemenuhan prestasi.
2) Debitur tidak dapat dinyatakan salah atau lalai.
3) Tidak terjadi peralihan risiko.
4) Kreditur tidak dapat menuntut pembatalan perikatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar