Jumat, 20 Maret 2015

Bocah Usia 16 Tahun Dihukum Mati, Tersangkanya Malah Lari

Vonis hukuman mati terhadap anak berusia 16 tahun, Yus­man Telaumbanua oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Gunungsitoli, Pulau Nias mendapat sorotan kalangan aktivis. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai keputusan tersebut penuh rekayasa dan melanggar UU Sistem Peradilan Pidana Anak. 

 Kepala Divisi Pembelaan Hak Asasi Politik Kontras, Putri Kanesia mengatakan, telah ter­jadi maladministrasi dalam proses penyidikan di Polres Nias, Sumatera Utara di mana data diri Yusman dipalsukan. Akibatnya, majelis hakim memberikan vonis hukuman mati kepada Yusman yang baru berusia 16 ta­hun itu atas dakwaan melakukan pembunuhan berencana. 

"Bagi anak yang diancam hu­kuman pidana mati atau seumur hidup itu justru hukumannya tidak boleh sampai 10 tahun, karena memang melanggar hak anak. Yang lain pada saat proses pengadilan berlangsung ada penasehat hukum yang disediakan. Tapi, dalam pledoinya penasehat hukum justru meminta kepada majelis hakim untuk menjatuhkan pidana mati, karena dianggap melanggar hak hidup orang lain," katanya di Jakarta, kemarin. 

Putri menegaskan, vonis ha­kim terhadap Yusman tidak ses­uai dengan UU Sistem Peradilan Pidana Anak. Dia mengatakan, anak yang bermasalah dengan hukum tidak boleh dikenakan hukuman mati. Apalagi, dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak hukuman pidana anak tidak boleh melebihi 10 tahun. 

Selain itu, pihaknya menemukan, selama proses pemeriksaan penyidik Polres Nias telah melakukan pemalsuan data terkait usia Yusman. "Selain itu, selama proses hukum berlang­sung, tidak ada satupun saksi dalam peristiwa pembunuhan tersebut yang menunjukkan keterlibatan kedua orang terdakwa sehingga keterangan dalam proses hukum hanya didasarkan pada pengakuan kedua orang terdakwa," tuturnya. 

Kontras, terangnya, mencatat sejumlah bukti bahwa telah terjadi rekayasa kasus terhadap Yusman. Di antaranya, tidak adanya pendampingam hukum terhadap terdakwa pada saat proses pemeriksaan di tingkat penyidikan, mengingat terdakwa disangkakan dengan pasal yang ancaman hukumannya di atas lima tahun penjara dan maksimal adalah hukuman mati. 

Selain itu, adanya tindakan penyiksaan oleh aparat penegak hukum, agar tersangka men­gakui perbuatannya, keengganan aparat penyidik untuk menggali fakta-fakta peristiwa dari alat bukti lainnya. 

"Hingga tidak adanya pener­jemah bahasa mulai dari proses penyidikan hingga proses per­sidangan berlangsung mengin­gat terdakwa tidak cakap dalam menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar," katanya. 

Putri menambahkan, pihaknya akan mengadukan kasus ini ke Komisi Yudisial, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) dan Mabes Polri dengan sangkaan dugaan rekayasa kasus. 

Rencananya, Kontras akan menggugat agar keputusan terse­but dianulir. "Karena dalam proses pemeriksaan, penyidik telah melakukan pemalsuan data, serta selama proses hukum tidak ada satu saksi, dan tidak ada pendamping kuasa hukum terhadap kedua orang terdakwa tersebut," kata Koordinator Kontras, Haris Azhar. 

Kata Haris, sebenarnya penyidik Polres Gunungsitoli sudah mengantongi beberapa nama Daftar Pencarian Orang (DPO) sejak 2012 dan sudah ditetapkan sebagai tersangka, yakni Amosi Hia, Ama Pasti Hia, Ama Fandi Hia, dan Jeni. 

Di tempat terpisah, Wakapolri Komjen Badrodin Haiti menya­takan, akan mengecek terlebih dahulu mengenai kasus huku­man mati terhadap seorang warga Nias bernama Yusman Telaumbanua. "Saya belum tahu persis kronologisnya. Saya be­lum sempat cek ke penyidiknya. Tetapi, kalau sudah divonis hukuman mati, itu kan sudah melalui proses penyidikan dan penuntutan dan persidangan," ujarnya di Jakarta, kemarin. 

Untuk diketahui, Yusman Telaumbanua dan Rasulah Hia divonis mati PN Negeri Gunungsitoli, Pulau Nias pada Mei 2013 atas tuduhan pembunuhan­berencana terhadap tiga orang pada 24 April 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar