Jumat, 13 Maret 2015

Bisakah Ayah Membatalkan Perkawinan Anaknya yang Lama Diterlantarkan?

Sebelumnya perlu kami jelaskan dahulu mengenai apa yang dimaksud dengan pembatalan perkawinan. Secara sederhana pembatalan perkawinan berarti upaya hukum untuk membuat perkawinan yang sudah dilaksanakan menjadi tidak sah, dan karenanya dianggap tidak pernah terjadi.

Menurut Pasal 37 PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan.

Sebab-sebab yang dapat dijadikan alasan untuk mengajukan pembatalan perkawinan adalah:
a.      Para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan (lihat Pasal 22 UUP);
b.      Salah satu pihak melangsungkan perkawinan padahal masih terikat perkawinan dengan pihak lain (lihat Pasal 24 UUP);
c.      Perkawinan dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi (lihat Pasal 26 ayat [1] UUP);
d.      Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum (lihat Pasal 27 ayat [1] UUP); atau
e.      Pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri (lihat Pasal 27 ayat [2] UUP).

Sehingga, tanpa adanya salah satu alasan tersebut di atas, maka tidak dapat diajukan pembatalan perkawinan. Simak juga Batalkah Perkawinan Jika Ada Kesalahan Dalam Akta Nikah?

Ayah dari suami atau istri memang termasuk pihak yang berhak mengajukan pembatalan perkawinan sesuai ketentuan Pasal 23 huruf a Pasal 22 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UUP”).

Dari cerita Anda tidak terlalu jelas apakah ayah dari pihak istri atau suami yang hendak mengajukan pembatalan perkawinan dengan alasan perkawinan dilakukan tanpa izin darinya/pakai wali hakim. Namun, secara umum dapat kami jelaskan tentang syarat-syarat perkawinan bahwa;
-         seseorang yang telah berusia 21 tahun atau lebih tidak memerlukan persetujuan orang tuanya untuk melangsungkan perkawinan (lihat Pasal 6 ayat [2] UUP); dan
-         pihak mempelai wanita boleh dinikahkan oleh wali hakim apabila wali nasab (kerabat) tidak ada atau tidak mungkin dihadirkan atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan (lihat Pasal 23 ayat [2] Kompilasi Hukum Islam). Lebih jauh tentang wali nikah, simak Sahkah Perkawinan Jika Wali Nikah Bukan Orang Tua Mempelai?

Jadi, selama perkawinan suami-istri tersebut telah dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan (UUP dan peraturan pelaksaannya), maka ayah dari suami/istri yang bersangkutan tidak punya alasan untuk mengajukan pembatalan perkawinan tersebut ataupun mempidanakannya.

Justru ayah dari suami/istri tersebut dapat dipidanakan karena meninggalkan kewajiban-kewajibannya terhadap keluarganya yang dapat dijerat dengan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (“UU PKDRT”). Dalam Pasal 9 ayat (1) UU PKDRT diatur bahwa “setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.” Orang yang melanggar pasal tersebut diancam pidana penjara paling lama tiga tahun atau denda paling banyak Rp15 juta (lihat Pasal 49 huruf a jo Pasal 9 ayat [1] UU PKDRT).

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
3.      Kompilasi Hukum Islam (Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991);
4.      Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga;

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.




Pernyataan Penyangkalan / Disclaimer

Tidak ada komentar:

Posting Komentar