Selasa, 19 Maret 2013

PRINSIP – PRINSIP DASAR WORD TRADE ORGANISATION (WTO) DALAM HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL


PRINSIP – PRINSIP DASAR WORD TRADE ORGANISATION (WTO) DALAM HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

D
I
S
U
S
U
N

OLEH :
  1. NICO                                                 11.840.0253
  2. M. RIZKY SYAHPUTRA               12.840.
  3. TOMI PRATAMA                           10.840.
  4. ANDI GINTING                              12.840.
  5. BINSAR SIHOTANG                      11.840

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MEDAN AREA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
World Trade Organization (WTO) merupakan satu-satunya badan internasional yang secara   khusus mengatur masalah perdagangan antar negara. Sistem perdagangan multilateral WTO diatur melalui persetujuan yang berisikan aturanaturan dasar perdagangan internasional yang dihasilkan oleh para negara anggota1 melalui proses negosiasi. Persetujuan tersebut merupakan perjanjian antar negara anggota yang mengikat pemerintah negara anggota untuk mematuhinya dalam pelaksanaan kebijakan perdagangan mereka.
Selama ini telah dilakukan delapan periode negosiasi yang disebut dengan perundingan multilateral perdagangan semenjak General Agreement on Tariff and Trade (GATT) didirikan, yang terakhir yaitu Putaran Uruguay yang berakhir pada tahun 1994. Perundingan ini merupakan suatu upaya untuk memperkuat sistem GATT dan mencegah semakin meningkatnya kecenderungan proteksionisme di berbagai negara. Tanggal 31 Desember 1994, negara-negara anggota telah menyetujui untuk mendirikan badan baru, yang disebut WTO pada tanggal 1 Januari 1995. WTO atau Penyebutan istilah negara anggota atau negara anggota WTO digunakan oleh penulis guna mempermudah pemahaman mengenai anggota WTO. Anggota WTO sebenarnya tidak sebatas pada negara karena didalamnya juga terdapat separate customs territory seperti Hong Kong, China; Macau, China; dan Chinese Taipei. Dengan menggunakan istilah negara anggota atau negara anggota WTO, dianggap anggota-anggota WTO tersebut telah tercakup didalamnya dan penulis tidak mengesampingkan keberadaan mereka.
organisasi perdagangan dunia merupakan satu-satunya badan internasional yang mengatur masalah perdagangan antar negara. Sistem perdagangan tersebut diatur melalui suatu persetujuan yang berisi aturan-aturan dasar perdagangan internasional sebagai hasil perundingan yang telah ditandatangani oleh negara-negara anggota. Persetujuan tersebut mengikat setiap negara anggota, sehingga pemerintahan dari negara tersebut harus mematuhinya dalam pelaksanaan kebijakan perdagangannya.
Berdasarkan Deklarasi Punta del Este perundingan perdagangan multilateral atau Putaran Uruguay dilaksanakan dengan prinsip kesepakatan yang diambil secara a single undertaking (satu paket kesepakatan). Dengan demikian negara-negara peserta tidak bisa hanya memilih serta mengambil hasil-hasil kesepakatan yang menguntungkan saja untuk dilaksanakan dengan meninggalkan yang lain. Dalam perdagangan internasional, peraturan-peraturan teknis dan standarstandar industri bervariasi dari negara yang satu dengan negara yang lain. Terlalu banyaknya standar yang berbeda-beda tersebut dapat menimbulkan kesulitan bagi para eksportir dan importir dalam perdagangan antar negara. Sebagai contoh, penetapan standar yang berubah-ubah dapat digunakan sebagai alasan untuk maksud proteksi perdagangan di suatu negara. Untuk menangani peraturan-peraturan teknis dan standar-standar industri bervariasi dari negara yang satu dengan negara yang lain, negara-negara yang aktif terlibat dalam perdagangan internasional membuat perjanjian-perjanjian untuk menghilangkan hambatan teknis perdagangan dengan harapan dapat diperoleh jaminan bahwa peraturan-peraturan, standar, prosedur pengujian dan sertifikasi, termasuk persyaratan kemasan dan labeling, tidak akan menimbulkan hambatanhambatan yang tidak perlu dalam perdagangan. Hal ini tertuang dalam Perjanjian Technical Barrier To Trade (TBT), dimana perjanjian ini merupakan salah satu perjanjian yang dihasilkan dalam perundingan Putaran Uruguay.
Indonesia merupakan salah satu pendiri WTO dan telah meratifikasi persetujuan pembentukan WTO melalui UU No 7/1994. Persetujuan pembentukan WTO merupakan salah satu hasil dari perundingan perdagangan multilateral Putaran Uruguay. Sebagaimana telah diketahui bahwa perundingan ini mempunyai prinsip a single undertaking, dengan demikian maka Indonesia sebagai salah satu anggota WTO harus menerima dan melaksanakan semua isi persetujuan yang telah dihasilkan dalam Putaran uruguay.Salah satu perjanjian yang dihasilkan dalam Putaran Uruguay yaitu hambatan teknis terhadap perdagangan atau TBT.
Dalam menjalankan sistem perdagangan multilateralnya, WTO memiliki beberapa prinsip atau aturan dasar yang menjiwai persetujuan-persetujuan yang ada di dalamnya. Prinsip-prinsip tersebut antara lain adalah: Non-discrimination dan transparency. Prinsip Non-discrimination terdiri atas dua prinsip yaitu Most Favoured Nation (MFN) dan National Treatment. Secara singkat, kedua prinsip ini pada dasarnya mengharuskan setiap negara anggota WTO untuk memberikan perlakuan yang sama atau tidak diskriminatif. Berdasarkan prinsip MFN, setiap negara anggota WTO dilarang untuk memberikan diskriminasi atau perlakuan berbeda diantara mitra dagangnya sebagai sesama negara anggota WTO. Sedangkan prinsip National Treatment mewajibkan setiap negara anggota WTO untuk memperlakukan produk negara anggota WTO lainnya sama seperti produk domestiknya. Jadi berdasarkan prinsip National Treatment, negara anggota WTO dilarang untuk memberikan diskriminasi atau perlakuan berbeda terhadap produk dari negara anggota WTO lainnya disaat produk tersebut telah memasuki teritori negara anggota WTO yang bersangkutan. Untuk prinsip berikutnya yaitu transparency, setiap negara anggota WTO diwajibkan untuk bersikap terbuka atau transparan terhadap berbagai kebijakan perdagangannya sehingga memudahkan pelaku usaha untuk melakukan kegiatan perdagangan.
Peningkatan kesejahteraan rakyat yang berlandaskan pengembangan usaha berkeunggulan kompetitif, termasuk usaha kecil, menengah dan koperasi, perlu diarahkan untuk kemandirian perekonomian nasional, meningkatkan efisiensi, produktivitas masyarakat, dan daya saing dalam menghasilkan barang dan/atau jasa yang makin bernilai tambah tinggi dengan selalu menjaga kelestarian fungsi dan mutu lingkungan hidup. Salah satu alat pendorong untuk menciptakan keunggulan kompetitif adalah peningkatan mutu dan efisiensi perindustrian nasional dengan memfokuskan pada kegiatan standardisasi. Oleh karena itu, kegiatan standardisasi di Indonesia perlu disempurnakan dan disosialisasikan agar yang berkepentingan dengan standardisasi (stakeholders) dan masyarakat lebih menyadari arti penting standardisasi.
Metode Penulisan
1 . Pendekatan Masalah
Penelitian ini tergolong penelitian yuridis normatif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach). Statute approach  yaitu pendekatan yang dilakukan dengan mengidentifikasi serta membahas peraturan perundang-undangan yang berlaku berkaitan dengan materi yang dibahas. Sedangkan conceptual approach yaitu pendekatan dengan cara membahas pendapat para sarjana sebagai landasan pendukung pembahasan.
2 . Sumber Bahan Hukum
a)    Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang sifatnya mengikat berupaperaturan perundang-undangan yang berlaku dan ada kaitannya dengan permasalahan yang dibahas, yaitu, UU No. 30 Tahun 1999 dan peraturan lainnya yang ada kaitannya dengan materi yang dibahas.
b)    Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang sifatnya menjelaskan bahan hukum primer, dalam hal ini bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang berupa buku-buku literatur, catatan kuliah, karya ilmiah dan berbagai media cetak yang berlaku dan ada kaitannya dengan permasalahan yang sedang dibahas.











BAB II
Permasalahan

1.    Jelaskan Prinsip-prinsip Dasar Word Trade Organisation (WTO)?
2.    Bagaimana  Pengaturan Mengenai NON-DISKRIMINASI yang ada didalam WTO?
3.    Peraturan mengenal DISPENSASI DALAM BADAN PERDAGANGAN INTERNASIONA WTO?
4.    Pengecualian-pengecualian Dalam Word Trade Organisation (WTO)













BAB III
PEMBAHASAN
1.      PENGATURAN MENGENAI NON-DISKRIMINASI
a.       Most Favored Nation
Most Favored Nation adalah suatu asas yang mengatur jalannya perdagangan asas non-diskriminasi, yakni tidak boleh membeda-bedakan antara satu negara anggota GATT atau WTO dan anggota lainya. Para anggota tersebut tidak boleh membeda-bedakan antara anggota yang satu dengan anggota yang lainnya atau tidak boleh memberikan kemudahan hanya kepada satu anggota saja tanpa perlakuan yang sama dengan anggota yang lainya baik itu berkenaan dengan tarif ataupun perdagangan.
b.      National Treatment
Prinsip ini melarang perbedaan perlakuan antara produk asing dan produk domestik yang berarti bahwa suatu saat barang impor telah masuk ke pasar dalam negeri suatu negara anggota, dan setelah melalui daerah pabean serta membayar bea masuk barang impor tersebut harus diberlakukan sama dengan barang dalam domestik.
Menurut Mosler dalam Mahmul Siregar, bahwa unsur-unsur terpenting dalam Prinsip National Treatment adalah sebagai berikut:
1)         Adanya kepentingan lebih dari satu Negara
2)         Kepentingan tersebut terletak di wilayah yuridiksi suatu Negara.
3)          Negara tuan rumah harus memberikan perlakuan yang sama baik terhadap kepentingan sendiri maupun kepentingan Negara lain yang berada di wilayahnya.
4)          Perlakuan tersebut tidak boleh menimbulkan keuntungan bagi Negara tuan rumah sendiri akan tetapi menimbulkan kerugian bagi Negara lain.
c.  Tarif Binding atau Tarif Mengikat Tarif Binding adalah sebuah janji oleh suatu  negara untuk tidak menaikkan tarif untuk masa mendatang. 
 Tarif Binding dianggap menguntungkan bagi perdagangan internasional karena memberikan potensi eksportir dan importir dalam hal tingkat kepastian tarif.
Adapun penerapan tarif impor itu sendiri mempunyai beberapa fungsi yang diantaranya, yaitu:
1)    Tarif sebagai pajak adalah tarif terhadap barang impor (pajak barang impor) yang merupakan pungutan dari Negara yang akan dijadikan sebagai kas Negara.
2)      Tarif yang dilakukan untuk melindungi produk domestik dari praktek dumping yang dilakukan Negara pengekspor.
3)    Tarif untuk memberikan balasan (retaliasi) bagi Negara pengekspor yang melakukan proteksi produk melalui praktek subsidi terhadap produk impor.
d.      Persaingan yang Adil
Aturan GATT juga mengandung prinsip persaingan yang adil dan fair competition. Dengan demikian subsidi terhadap ekpor dan dumping, GATT semakin menghadapi masalah. Untuk menghadapi dumping dan subsidi ekspor negara pengimpor diberikan hak untuk mengenakan anti dumping duties dan counter vailing dutiessebagai imbalan ataupun tindakan balasan terhadap dumping atau subsidi ekspor.
e.       Larangan Terhadap Restruksi Kuantitatif
Prinsip lain dalam GATT adalah larangan umum terhadap restruksi yang bersifat kuatitatif, yakni kuata dan jenis pembatasan yang serupa ketentuan ini oleh para pendiri GATT dianggap sangat penting karena pada waktu GATT didirikan halangan ini merupakan halangan yang serius dan paling sering diterima sebagai warisan zaman depresi pada tahun 1930.
2.      PENGATURAN MENGENAL DISPENSASI
a.       Prinsip proteksi melalui tarif
Prinsip proteksi melalui tarif diatur dalam Pasal 11 GATT 1948 dan mensyaratkan bahwa perlindungan atas industri dalam negeri hanya diperkenankan melalui tarif, Proteksi dengan tarif yang diperlukan untuk membangun industri tertentu (infant industry protection) dan proteksi dengan
pembatasan kuantitatif dalam rangka memperbaiki neraca pembayaran. (Governmental assistance to economic development-Pasal 18). Jelasnya setiap Negara peserta yang ingin memperbaiki posisi financial eksternal dan neraca pembayarannya boleh membatasi jumlah atau nilai barang yang diizinkan untuk diimpor dengan persyaratan-persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 11. Misalnya hambatan impor yang dikenakan atau ditingkatkan oleh Negara peserta tidak boleh melebihi apa yang diperlukan untuk mencegah atau menghentikan ancaman penurunan cadangan moneter atau bagi Negara yang memiliki cadangan moneter yang rendah untuk mencapai tingkat pertambahan yang wajar dalam cadangannya.


b.      Prinsip waiver dan pembatasan darurat terhadap impor
Prinsif waiver dan pembatasan darurat terhadap impor yang dituangkan dalam Pasal 19 GATT 1948 (Paragraf 1a) menyebutkan bahwa jika sebagai akibat perkembangan yang tak terduga dan sebagai dampak dari kewajiban negara peserta menurut perjanjian ini (GATT), suatu produk diimpor ke wilayah suatu negara peserta dalam jumlah yang semakin besar atau dalam keadaan sedemikian rupa sehingga menimbulakan atau mengancam untuk menimbulkan kerugian yang serius terhadap para produsen produk serupa atau produk yang kompetitif dalam negara diwilayah tersebut, maka dalam kaitannya dengan produk tersebut negara peserta bebas untuk menangguhkan kewajibannya sebagian atau sepenuhnya akan menarik kembali atau memodifikasi konsensinya, sejauh dan untuk jangka waktu yang diperlukan untuk mencegah atau memulihkan kerugian tersebut.
Tindakan darurat terhadap impor produk tertentu yang terdapat dalam Pasal 19 GATT 1948, adalah sebuah tindakan yang memperkenankan suatu negara untuk mengenakan kuota atas suatu produk impor yang mengalami lonjakan substansial yang merugikan industri dalam negeri.
 Berdasarkan penjelasan tentang definisi di atas, maka dapat diketahui bahwa dalam sebuah tindakan pengamanan industri domestik tidak bisa dilakukan secara anarkis tanpa terpenuhinya unsur-unsur yang ada di dalamnya. Adapun unsur-unsur yang menjadi syarat sahnya tindakan pengamanan tersebut, yaitu:


1)      Tindakan tersebut dilakukan pemerintah.
Sesuatu yang dilakukan pemerintah untuk mengamankan industri lokalnya dari kerugian serius atau ancaman kerugian serius yang terjadi akibat berlimpahnya produk impor yang masuk ke Indonesia. Jelasnya pemerintah memiliki fungsi sebagai alat kontrol dalam mengatur perdagangan dalam dan luar negerinya dengan membuat sebuah kebijakan. Dalam hal ini yang mempunyai peran adalah pemerintah sebagai pembuat  kebijakan, bukan pelaku usaha langsung yang terlibat dalam melakukan tindakan pengamanan tersebut.
2)      Terdapat kerugian serius atau ancaman kerugian serius.
Maksud dari kerugian serius disini adalah kerugian nyata yang diderita oleh industri dalam negeri. Sedangkan yang dimaksud dengan ancaman kerugian serius adalah ancaman terjadinya kerugian serius yang akan diderita dalam waktu dekat oleh industri dalam negeri yang diakibatkan melonjaknya impor dari luar. Dari kacamata ekonomi, kerugian tersebut bisa berupa kerugian langsung  seperti matinya pasar-pasar domestik, matinya industri-industri kecil ataupun potensi kerugian yang akan diterima secara tidak langsung seperti bertambahnya pengangguran, menyempitnya lapangan pekerjaan ataupun meningkatnya kemiskinan.
3)      Tindakan tersebut bertujuan untuk melindungi atau memulihkan industri  dalam negeri.
4)      Terdapat barang sejenis.
Barang sejenis adalah barang produksi dalam negeri yang identik atau sama dalam segala hal dengan barang terselidik atau barang yang memiliki karakteristik fisik, tehnik, kimiawi menyerupai barang terselidik dimaksud.
5)      Terdapat barang yang secara langsung bersaing
Barang yang secara langsung bersaing adalah barang produksi dalam negeri yang merupakan barang sejenis atau substitusi barang terselidik.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat diketahui terdapat dua jenis prinsip dispensasi kepada negara anggota apabila ekonomi atau industri dalam negerinya tersebut dalam keadaan darurat dan terpaksa harus memilih penanganan dengan mengambil langkah proteksi.
B.     Pengecualian-pengecualian Dalam Word Trade Organisation (WTO)
Hukum WTO menyediakan peraturan-peraturan untuk menjembatani liberalisasi perdagangan dengan nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan sosial lainnya. Peraturan-peraturan ini ada dalam wujud pengecualian yang sangat luas terhadap disiplin dasar  dari WTO.
Pengecualian-pengecualian ini memperbolehkan anggota WTO dalam situasi tertentu untuk mengadopsi dan mempertahankan peraturan-peraturan dan tindakan-tindakan guna melindungi nilai-nilai dan kepentingan sosial lainya yang sangat penting, meskipun peraturan atau tindakan tersebut bertentangan dengan disiplin subtansif yang terkandung dalam GATT 1994.
Adapun pengecualian tersebut dapat dikelompokan menjadi beberapa jenis diantaranya, yaitu:


1.      Pengecualian Dalam Pasal 20 GATT 1994
Pengecualian yang paling penting dalam menjembatani liberalisasi perdagangan dengan nilai-nilai dan kepentingan sosial lainnya adalah pengecualian umum yang tercantum dalam Pasal 20 GATT 1994. Dalam menentukan apakan suatu tindakan yang seharusnya tidak konsisten dengan peraturan yang ada di GATT dapat dibenarkan berdasarkan Pasal 20 GATT 1994, haruslah selalu dievaluasi:
a.    Apakah tindakan tersebut sementara dan dibenarkan menurut salah satu pengecualian yang secara spesifik disebutkan dalam ayat (a) sampai (j) dalam Pasal 20 GATT 1994.
b.    Apakah dalam aplikasinya tindakan tersebut telah sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang terdapat dalam kalimat pembukaan dalam pasal tersebut. Pasal 20 GATT 1994 dalam ayat (a) sampai dengan (j) memberikan dasar pembenaran yang jumlahnya terbatas dimana setiap dasar pembenar memiliki aplikasi persyaratan yang berbeda-beda. Pasal 20 GATT 1994 dapat dijadikan dasar pembenaran terhadap tindakan-tindakan proteksi yang dipergunakan untuk:
1.    Perlindungan moral dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat (Pasal 20 (a)).
2.    Untuk melindungi kehidupan dan kesehatan manusia, binatang serta tumbuhan (Pasal 20 (b)).
3.    Untuk menjaga kesesuaian dengan peraturan nasional, seperti peraturan kepabeanan atau hak kekayaan intelektual dimana aturan tersebut pada hakekatnya tidak bertentangan dengan aturan GATT (Pasal 20 (d)).
4.    Serta yang berhubungan dengan sumber daya alam yang habis terpakai (Pasal 20 (g)).
2.      Pengecualian Dalam Pasal 14 GATS
Berdasarkan Pasal 14 GATS General Agrement on Trade in Services (Perjanjian mengenai perdagangan dibidang jasa), anggota WTO bisa membenarkan tindakan yang seharusnya tidak sesuai dengan GATS apabila:
a.    Perlindungan moral dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat (Pasal 14 (a)).
b.    Untuk melindungi kehidupan dan kesehatan manusia, binatang serta tumbuhan (Pasal 14 (b)).
c.     Untuk menjaga kesesuaian dengan peraturan nasional, seperti peraturan kepabeanan atau hak kekayaan intelektual dimana aturan tersebut pada hakekatnya tidak bertentangan dengan aturan GATS (Pasal 14 (c)).
Anggota WTO bisa mendasarkan pada Pasal 14 GATS untuk membenarkan tindakan yang (1) bertentangan dengan Pasal 17 GATS, asalkan perbedaan perlakuan antara jasa dan penyedia jasa dari luar dan dari dalam negeri tersebut ditujukan untuk memastikan pengenaan dan pemungutan pajak langsung yang adil dan efektif (2) bertentangan dengan Pasal 2 GATS, karena perlakuan antara jasa dan penyedia jasa dari berbagai Negara disebabkan dari perjanjian internasional untuk mencegah pengenaan pajak berganda.
3.      Pengecualian Dalam Keadaan Ekonomi Darurat
Emergency Protection adalah sebuah tindakan pengamanan terhadap industri domestik ketika terjadi situasi lonjakan impor yang menyebabkan atau adanya ancaman yang akan menyebabkan kerugian yang serius.
Secara umum, tindakan tersebut bertentangan dengan Pasal 2 dan Pasal 11 GATT 1994. Akan tetapi masih dapat dibenarkan berdasarkan pasal 19 GATT 1994 jika dapat memenuhi segala persyaratan yang terkandung dalam pasal tersebut, tujuan dari suatu tindakan pengamanan perdagangan adalah untuk memberikan kebebasan kepada industri domestik dan untuk memberikan waktu bagi industry domestik untuk dapat beradaptasi terhadap kondisi pasar yang baru. Sebagaimana diatur dalam pasal XIX GATT 1994, tindakan pengamanan perdagangan hanya dapat diterapkan bila tiga persyaratan telah dipenuhi, yaitu:
a.       Lonjakan Impor.
Persyaratan untuk lonjakan impor haruslah terkini, tiba-tiba, dalam jangka waktu yang relatif singkat, tajam dan signifikan. Terlebih lagi lonjakan impor tersebut harus tidak dapat diprediksi sebelumnya. Dengan cara ini dapat ditentukan apakah suatu kondisi dalam kenyataannya merupakansuatu kondisi yang darurat. Jika lonjakan impor telah terjadi beberapa waktu yang lalu atau telah terjadi selama preode yang panjang atau kejadiannya hanya terbatas pada waktu tertentu atau kejadian ini telah dapat diprediksi sebelumnya, maka tidak dapat dikatakan bahwa telah ada kondisi darurat sesuai dengan apa yangn telah disyaratkan dalam pasal XIX GATT 1994.

b.      Kerugian yang Serius
Kerugian yang serius terjadi apabila ada kerugian menyeluruh yang signifikan yang diderita oleh industry domestik. Kerugian yang serius merupakan persyaratan yang lebih ketat daripada persyaratan kerugian material yang diterapkan terhadap pengenaan tindakan anti dumping atau tindakan retaliasi. Ini bukanlah suatu yangmengagetkan dikarenakan tindakan pengamanan perdagangan diterapkan pada perdagangan yang fair, sementara tindakan anti-dumping atau retaliasi diterapkan terhadap perdagangan yang tidak fair. Untuk menentukan apakah terdapat ancaman kerugian yang serius, maka hal-hal yang harus diperhatikan, yaitu:
1)    Nilai dan jumlah dari lonjakan impor dari barang yang dipermasalahkan dilihat secara absolut atau relatif.
2)    Pangsa pasar domestik yang diambil oleh lonjakan impor tersebut
3)     Perubahan tindakan penjualan, produksi, kemampuan untuk berproduksi, kapasitas yang digunakan, keuntungan dan kerugian dan tenaga kerja. 
c.       Hubungan Kausal
Persyaratan ketiga merupakan persyaratan subtantif terakhir dalam suatu tindakan pengamanan perdagangan adalah persyaratan adanya ’hubungan kausal’. Ada dua tes yang harus dilakukan untuk membuktikan adanya hubungan kausal tersebut, yaitu:
1)    Pembuktian adanya hubungan kausal antara lonjakan impor dengan kerugian yang serius atau ancaman untuk itu.
2)    Identifikasi kerugian yang ditimbulakn akibat faktor-faktor lain selain faktor lonjakan impor dan tidak menyebabkan kerugian ini terhadap impor yang dipermasalahkan.
4.      Pengecualian Untuk Pembangunan Ekonomi
Pengecualian terakhir yang diberikan oleh WTO adalah pengecualian pembangunan ekonomi untuk membantu Negara berkembang. Hampir semua perjanjian di WTO mengatur mengenai perlakuan yang khusus dan berbeda (Special and Differential Treatment) untuk anggota Negara berkembang guna memfasilitasi mereka agar dapat masuk ke dalam sistem perdagangan dunia untuk mendorong pembangunan ekonomi mereka. Ketentuan tersebut dapat dibedakan dalam enam kategori:
a.    Ketentuan yang ditujukan untuk meningkatkan peluang perdagangan  anggota dari Negara berkembang.
b.    Ketentuan untuk anggota WTO yang seyogyanya harus melindungi kepentingan Negara berkembang.
c.    Flexibelitas dari komitmen dalam bentuk tindakan dan penggunaan instrument kebijakan.
d.    Jangka waktu transisi
e.    Bantuan teknis
f.     Ketentuan yang berkaitan dengan anggota Negara terbelakang.
Anggota Negara berkembang punya hak untuk mengenakan bea masuk yang lebih tinggi dari batas tarif yang disepakati sementara waktu guna memajukan pembentukan industri baru. Terlebih lagi anggota Negara berkembang bisa mengenakan tindakan pengamanan perdagangan dengan jangka waktu maksimum yang lebih dari delapan tahun dan beberapa Negara berkembang sudah dikecualikan dalam larangan memberikan subsidi yang berkaitan dengan ekspor. Dengan adanya pengecualian tersebut, maka GATT sebagai organisasi perdagangan dunia yang menjunjung liberalisasi ekonomi juga memperbolehkan Negara maju untuk memberikan perlakuan tarif yang lebih menguntungkan bagi produk impor yang berasal dari Negara berkembang. Pengecualian tersebut memperbolehkan anggota untuk bertindak menyimpang dari kewajiban dasar perlakuan MFN dalam GATT 1994 dalam rangka memajukan perekonomian Negara berkembang.
Berdasarkan semua penjelasan di atas, apabila ditinjau dari segi hirarki yang dimulai dari prinsip sampai pada beberapa pengaturan pengecualian, maka dapat diketahui semua dispensasi tersebut memang terpisah secara fungsional, tetapi apabila menengok kembali pada defenisi safeguard dalam Pasal 1 Kepres Nomor 84 Tahun 2002 yang berbunyi:
“Tindakan Pengamanan adalah tindakan yang diambil pemerintah untuk memulihkan kerugian serius dan atau mencegah ancaman kerugian serius dari industri dalam negeri sebagai akibat dari lonjakan impor barang sejenis atau barang yang secara langsung merupakan saingan hasil industri dalam negeri dengan tujuan agar industri dalam negeri yang mengalami kerugian serius dan atau ancaman kerugian serius tersebut dapat melakukan penyesuaian struktural”.
 Definisi di atas mengandung dua  point penting yang menjadi dasar suatu tindakan dapat dikatakan sebagai safeguard, yaitu berupa tindakan pengamanan yang diambil pemerintah serta tindakan tersebut berfungsi untuk memulihkan kerugian serius dan atau mencegah ancaman kerugian serius industri dalam negeri. Dengan melihat point tersebut lalu dikomparasikan dengan beberapa prinsip dan peraturan pengecualian yang telah dipaparkan di atas, maka dapat diketahui bahwa semua tindakan dispensasi baik yang berupa anti-dumping, countervaling dutis, prinsip proteksi melalui tarif sampai pada beberapa pengaturan pengecualian dapat digolongkan menjadi safeguard meskipun secara fungsional berbeda dalam pengaturan WTO akan tetapi dalam hal tujuan sudah dapat memenuhi kreteriasafeguard itu sendiri.
Untuk mempermudah pemahaman tentang bentuk-bentuk safeguards yang ditetapkan oleh World Trade Organization (WTO).











BAB IV
KESIMPULAN
 Pengaturan mengenai non diskriminasi Most Favored NationMost Favored Nation adalah suatu asas yang mengatur jalannya perdagangan asas non-diskriminasi, yakni tidak boleh membeda-bedakan antara satu negara anggota GATT atau WTO dan anggota lainya. Para anggota tersebut tidak boleh membeda-bedakan antara anggota yang satu dengan anggota yang lainnya atau tidak boleh memberikan kemudahan hanya kepada satu anggota saja tanpa perlakuan yang sama dengan anggota yang lainya baik itu berkenaan dengan tarif ataupun perdagangan. pengaturan mengenai disvensasi Prinsip proteksi melalui tarif Prinsip proteksi melalui tarif diatur dalam Pasal 11 GATT 1948 dan mensyaratkan bahwa perlindungan atas industri dalam negeri hanya diperkenankan melalui tarif, Proteksi dengan tarif yang diperlukan untuk membangun industri tertentu (infant industry protection) dan proteksi dengan pembatasan kuantitatif dalam rangka memperbaiki neraca pembayaran. (Governmental assistance to economic development-Pasal 18). Hukum WTO menyediakan peraturan-peraturan untuk menjembatani liberalisasi perdagangan dengan nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan sosial lainnya. Peraturan-peraturan ini ada dalam wujud pengecualian yang sangat luas terhadap disiplin dasar  dari WTO.
SARAN
menurut kami pemerintah lebih memperhatikan perdagangan luar Internasional untuk kemajuan bangsa Indonesia & untuk terwujudnya itu kita harus memberikan penjelasan & pemahaman kepada para pelaku usaha dan badan pemerintahan dalam penyampaian & bagaimana tata cara serta kegunaan badan perdagangan iternasional seperti WTO agar dimengerti oleh pelaku usaha & pemerintah.

DAFTAR PUSTAKA
BUKU :
A.F. Elly Erawati, 1994, Sistem dan Mekanisme Perdagangan Internasional, Pro Justitia, Vol.4.
Abdul Manan, 2005, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta.
Abdul Muis, 1992, RUU Merek : Sistem Deklaratif Kepada Sistem Konstitutif, Mimbar Umum, Medan.
Abdul R. Saliman, Et. Al, 2004, Esensi Hukum Bisnis Indonesia Teori dan
Abdulkadir Muhammad, 2001, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan
Intelektual, Citra Aditya, Bandung,.
Ade Manan Suherman, 2002, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Adi Sulistyono & Muhammad rustamadji, 2009, Hukum Ekonomi Sebagai Panglima, Masmedia Buana Pustaka, Sidoarjo.
Adrian Sutedi, 2009, Hak Atas Kekayaan Intelektual, Sinar Grafika, Jakarta.
Ahmadi Miru, 2005, Hukum Merek Cara Mudah Mempelajari UndangUndang Merek, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Ahmad M. Ramli, 1999, Perlindungan Rahasia Dagang Dalam Era.


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1994
Tentang
Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization
(Persetujuan Pembentukan Oorganisasi Perdagangan Dunia)
Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa,
Presiden Republik Indonesia,
Menimbang:
a.    bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan  makmur yang merata materiel dan spiritual berdassarkan Pancasila dan Undang-Undang  Dasar 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tenteram, tertib, dan dinamis dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, adil, bersahabat, tertib, dan damai;
b.    bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, khususnya di bidang ekonomi, diperlukan upaya-upaya untuk antara lain terus meningkatkan, memperluas, memantapkan dan mengamankan pasar bagi segala produk baik barang maupun jasa, termasuk aspek investasi dan hak atas kekayaan intelektual yang berkaitan dengan perdagangan, serta meningkatkan kemampuan daya saing terutama dalam perdagangan internasional;
c.    bahwa seiring dengan cita-cita sebagaimana disebutkan huruf a dan b di atas, Indonesia selalu berusaha menegakkan prinsip-prinsip pokok yang dikandung dalam General Agreement on Tariff and Trade/GATT 1947 (Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan Tahun 1947), berikut persetujuan susulan yang telah dihasilkan sebelum perundingan Putaran Uruguay;
d.    bahwa dari rangkaian perundingan Putaran Uruguay yang dimulai sejak Tahun 1986, telah dihasilkan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) yang selanjutnya akan mengadministrasikan, mengawasi dan memberikan kepastian bagi pelaksanaan seluruh persetujuan General Agreement on Tariff and Trade/GATT serta hasil perundingan Putaran Uruguay;
e.    bahwa dalam Pertemuan Tingkat Menteri peserta Putaran Uruguay pada tanggal 15 April 1994 di Marrakesh, Maroko, Pemerintah Indonesia telah ikut serta menandatangani Agreement Establishing The World Trade Organization (persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) beserta seluruh persetujuan yang dijadikan Lampiran 1, 2 dan 3 sebagai bagian Persetujuan tersebut;
f.     bahwa sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan di atas, dipandang perlu mengesahkan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) dengan UndangUndang;
Mengingat:
Pasal 5 ayat (1). Pasal 11, dan Pasal 20 ayat ( I ) Undang-Undang Dasar 1945; 
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT ESTABLISHING THE
WORLD TRADE ORGANIZATION (PERSETUJUAN PEMBENTUKAN ORGANISASI
PERDAGANGAN DUNIA).

Pasal 1
Mengesahkan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan
Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) beserta Lampiran 1, 2 dan 3. Persetujuan tersebut, yang salinan naskah astinya dalam bahasa lnggris serta terjemahannya dalam bahasa Indonesia dilampirkan, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dan Undang-undang ini.
Pasal 2
Undang-undang ini mulai berlaku pada saat berlakunya secara efektif Persetujuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang- undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.