Senin, 03 Juni 2013

Asas Lex Specialis Vs. Lex Superior

Pengaturan mengenai tindak pidana korupsi di Indonesia saat ini diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU 31/1999”) sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 (“UU 20/2001”) yang selanjutnya untuk mempermudah kami akan sebut sebagai UU Tipikor.
 
Dahulu, sebelum adanya undang-undang yang khusus mengatur tindak pidana korupsi, tindak pidana yang serupa dengan tindak pidana korupsi memang dikenakan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) terutama Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, dan 435 KUHP. Setelah adanya UU tersendiri yang mengatur tindak pidana korupsi, maka yang harus diberlakukan adalah ketentuan UU Tipikor sebagaimana diaturPasal 63 ayat (2) KUHP:
“Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.”
 
Bunyi Pasal 63 ayat (2) KUHP inilah yang juga dikenal dalam ilmu hukum sebagai asas lex specialis derogat legi generalisyaitu aturan hukum yang lebih khusus mengesampingkan aturan hukum yang lebih umum.
 
Kemudian, Anda menanyakan bagaimana kedudukan KUHP terhadap UU Tipikor terkait asas lex superior derogat legi inferior yang mengatakan bahwa hukum yang lebih tinggi tingkatannya didahulukan keberlakuannya daripada hukum yang lebih rendah. Mengenai hal tersebut, akan kami jelaskan dalam uraian berikut ini.
 
Wetboek van Strafrecht atau yang biasa kita kenal dengan sebutan KUHP merupakan salah satu ketentuan hukum peninggalan zaman Hindia Belanda yang masih berlaku hingga saat ini. Lantas bagaimana kedudukan KUHP terhadap peraturan perundang-undangan saat ini?
 
Menurut Maria Farida Indrati Soeprapto dalam buku Ilmu Perundang-Undangan: Jenis Fungsi dan Materi Muatan (hal. 205), beberapa wet yang masih berlaku di Indonesia misalnya wetboek van strafrecht yang diterjemahkan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Terjemahan tersebut masih merupakan terjemahan dari beberapa ahli hukum maupun lembaga pemerintah yaitu Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), namun belum ada yang dinyatakan sebagai terjemahan resmi Pemerintah. Berbagai wet yang masih ada dan berlaku di Indonesia saat ini dalam pemakaiannya disetingkatkan dengan undang-undang, sehingga perubahan dan pencabutannya dilakukan dengan undang-undang. Penjelasan selengkapnya Anda bisa simak dalam artikel KUHP (Pasal-pasalnya yang Sudah Tidak Berlaku).
 
Untuk memperjelas penjelasan Maria Farida, kami akan sajikan pula diagram yang dimuat dalam bukunya.
 
 
 
 
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, jelas bahwa kedudukan KUHP sama dengan undang-undang, terutama dalam hal ini UU Tipikor. Pemberlakuan KUHP di Indonesia pun didasarkan pada UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Oleh karena itu, pengenaan ketentuan UU Tipikor untuk tindak pidana korupsi tidak bertentangan dengan asas lex superior derogat legi inferiorkarena KUHP dan UU Tipikor setara, dan ketentuan UU Tipikor harus didahulukan karena merupakan aturan hukum yang lebih khusus.
 
Salah satu bukti bahwa ketentuan KUHP yang mengatur tindak pidana korupsi sudah tidak lagi dipakai terdapat pada Pasal I angka 2 UU 20/2001 yang menyatakan ketentuan Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 (UU 31/1999) rumusannya diubah dengan tidak mengacu pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tetapi langsung menyebutkan unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing pasal Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang diacu.
 
Jadi, kedudukan KUHP dalam peraturan perundang-undangan Indonesia disetarakan dengan undang-undang sehingga baik perubahan maupun pencabutannya harus melalui undang-undang. Penggunaan UU Tipikor untuk menghukum pelaku tindak pidana korupsi tidak bertentangan dengan asas lex superior derogat legi inferior karena KUHP dan UU Tipikor setingkat dan dalam hal ini UU Tipikor harus didahulukan karena merupakan aturan hukum yang lebih khusus.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
1.    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) Staatsblad Nomor 732 Tahun 1915
 
Referensi:
Soeprapto, Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, 2007, Yogyakarta: Penerbit Kanisius

Tidak ada komentar:

Posting Komentar