Senin, 06 Mei 2013

Upaya Hukum Atas Putusan Sela Pengadilan Negeri


Pertanyaan Saudara tidak terlalu detail dan kurang jelas, sehingga saya tidak bisa menangkap permasalahan sebenarnya. Terutama menyangkut adanya Putusan Mahkamah Agung (“MA”) yang menyerahkan kembali kepada Pengadilan Hubungan Industrial (“PHI”) untuk menetapkan dan mengadili perkara (perselisihan hak) yang dipersengketakan. Namun, saya berusaha dan mencoba menjelaskan berdasar asumsi-asumsi dengan meng-analogi-kan pada kasus yang (hampir) sama dan mungkin mendekati jawaban yang Saudara harapkan.
 
Berkenaan dengan itu, dapat saya jelaskan satu-persatu sebagai berikut :
1. Adanya Putusan MA yang mengembalikan putusannya kepada PHI untuk menetapkan dan mengadili suatu perselisihan -termasuk perselisihan hak- yang tidak (belum) mendapatkan putusan yang bersifat tetap, asumsi saya -kemungkinan- disebabkan karena adanya putusan sela pada Pengadilan Hubungan Industrial (“PHI”) terkait dengan eksepsi –atau bantahan- pihaklawan terhadapkewenangan mengadili pokok perkara. Putusan sela PHI dimaksud, lazimnya menyatakan bahwa PHI tidak berwenang mengadili perselisihan (yang menjadi pokok perkara) karena tidak sesuai dengan kompetensi –kewenangan- PHI yang telah ditentukan undang-undang (videPasal 2 jo Pasal 56 UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial/UU PPHI).
 
Dengan adanya putusan sela PHI tersebut, maka seharusnya “sengketa” berakhir dan selesai sampai di sana (di PHI). Namun, pihak (lawan) yang merasa dirugikan (dan mungkin tidak/belum puas), biasanya tidak hendak mengakhiri sampai di sana. Oleh karenanyakemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung guna memperkarakan putusan sela (eksepsi) tersebut dan meminta untuk menetapkan putusan sebaliknya. Walaupun -tentu saja- MA dapat memperkuat atau menolaknya (vide Pasal 110 dan Pasal 111 UUPPHI).
 
Sehubungan dengan penjelasan tersebut, dan terkait dengan kasus Saudara, hemat saya, sah-sah saja Putusan MA berkenaan dengan eksepsi (kompetensi absolut) tersebut yang menolak dan kemudian memutuskan mengembalikan ke PHI berwenang untuk memeriksa dan memberikan putusan mengenai kewenangan mengadili atas pokok perkaranya.
 
Hanya ada persoalan yang sering muncul, apakah putusan sela boleh diajukan banding/kasasi pada peradilan (mahkamah) yang lebih tinggi? Terkait hal ini, terkadang muncul silang-pendapat di kalangan para ahli dan praktisi hukum.
 
M. Yahya Harahap, S.H. dalam buku Hukum Acara Perdata, (penerbit Sinar Grafika, Jakarta 2005), hal. 429 mendalilkan berdasar Pasal 9 ayat (1)UU No. 20 Tahun 1947 tentang Pengadilan Ulangan di Jawa dan Madura, dan menyatakan bahwa Putusan Pengadilan Negeri* yang dapat dibanding adalah -hanya- putusan akhir. Sedangkan yang bukan putusan akhir, seperti putusan sela hanya dapat dimintakan banding bersama-sama dengan putusan akhir. Oleh karena itu, terhadap putusan sela yang dijatuhkan terhadap eksepsi kompetensi, tidak dapat diajukan banding secara tersendiri.
 
Lebih lanjut ditegaskan, bahwa dalam Pasal 136 HIR, putusan penolakan eksepsi kompetensi adalah putusan sela yang tidak dapat dibanding tersendiri, tetapi harus diputuskan bersama-sama dengan pokok perkara. Dengan demikian, terdapat kontroversi dapat-tidaknya eksepsi diajukan banding, baik bersama-sama, atau tersendiri dan terpisah dari pokok perkara.
 
Terlepas dari adanya kontroversi, yang jelas di dalam Pasal 10 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Atas dasar ketentuan tersebut terakhir, -hemat saya- inilah yang menyebabkan banding terhadap eksepsi sering dikabulkan oleh Pengadilan yang lebih tinggi, karena Pengadilan tidak boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya.
 
2. Mengenai sanksi dan konsekuensi hukum dikembalikannnya kasus dimaksud pada PHI, Saya kira bukan itu persoalan. Yang jelas, dengan dikembalikannnya kasus dimaksud, maka -konsekuensinya- PHI dinyatakan berwenang mengadili dan wajib memeriksa serta memutus pokok perkara (perselisihan hak) yang disengketakan. Bahwasanya, mungkin putusan atas pokok perkara (perselisihan hak) itu nantinya dibanding lagi oleh pihak lainnya, tentu saja itu adalah persoalan lain (yang beda konteks).
 
3. Selanjutnya pertanyaan Saudara mengenai hak-hak apa saja yang tidak boleh diperjanjikan? Menurut hemat saya, segala apa yang oleh undang-undang dilarang untuk dilakukan (secara bebas), tidak boleh diperjanjikan oleh pihak-pihak secara perdata (berdasar hukum privat), walaupun -mungkin- dapat diperjanjikan secara khusus (berdasar hukum publik) oleh pihak-pihak instansi/institusi yang berwenang dan untuk kepentingan publik (kemaslahatan bangsa dan negara).

Sebagai contoh, ada larangan untuk melakukan jual-beli narkotika (vide Pasal 129 huruf c UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika), berarti tidak boleh memperjanjikan (secara privat) untuk berbisnis atau jual beli narkotika tanpa hak, termasuk memperjanjikan melalui perjanjian kerja untuk -misalnya- menjadi marketing officer barang-barang terlarang berupa narkotika itu.
 
Demikian juga, pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum. Dengan demikian, tidak boleh memperjanjikan (menyepakati) untuk mempekerjakan pekerja/buruh dengan bayaran upah di bawah standar upah minimum yang ditentukan, walaupun si pekerja/buruhnya menyetujui (videPasal 90 ayat [1] jo Pasal 89 ayat [3] jo Pasal 52 ayat [1] huruf d dan Pasal 185 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan).
 
Jika ada perjanjian-perjanjian atau persetujuan semacam itu, menurut Pasal 1335 BW jo Pasal 1320 ayat 4 dan Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, adalah batal demi hukum, bahkan diancam dengan hukuman pidana sesuai ketentuan masing-masing undang-undang terkait (baik berupa denda maupun kurungan).

Demikian penjelasan saya. Semoga jawaban seperti itu yang Saudara maksudkan dan mudah-mudahan dapat dipahami.
 
*Catatan:
Berdasarkan Pasal 55 UU PPHI, bahwa termasuk dalam pengertian Pengadilan Negeri, adalah Pengadilan Hubungan Industrial.
 
Dasar hukum:
2.    Reglement Indonesia yang Diperbaharui (Herziene Indlandsch Reglement) Staatsblad Nomor 44 Tahun 1941
 
Referensi:
M. Yahya Harahap, S.H. 2005. Hukum Acara Perdata. Sinar Grafika: Jakarta.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar