Sabtu, 04 Mei 2013

Indonesia Harus Keluar Dari ‘Daftar Hitam’ Pencucian Uang


Indonesia Harus Keluar Dari ‘Daftar Hitam’ Pencucian Uang
Kepala PPATK M Yusuf (kiri). Foto: SGP
Sejumlah anggota Komisi III DPR mempertanyakan status Indonesia yang masuk ‘daftar hitam’ sebagai negara tempat pencucian uang versi Financial Action Task Force (FATF). Pertanyaan ini diutarakan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi III dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) di Gedung DPR, Senin (20/2).

“Mengapa FATF masih mengklasifikasikan Indonesia sebagai surga pencucian uang?” ujar Anggota Komisi III dari PKS Aboe Bakar Al Habsyi.

Pimpinan Rapat Aziz Syamsuddin mencoba menelisik apa langkah yang dilakukan PPATK untuk mengantisipasi blacklist yang dipublikasikan oleh FATF. “Mereka biasanya mem-publishpenilaiannya pada bulan Juni. Apa antisipasi PPATK supaya kita nggamasuk black list ini terus menerus?” selidiknya.

Kepala PPATK M Yusuf meluruskan Indonesia bukan masuk ke dalam daftar hitam, tetapi hanya ‘ditegur’ melalui public statement yang dikeluarkan oleh Presiden FATF. Alasannya, karena ada beberapa rekomendasi khusus yang belum dilaksanakan oleh Indonesia. “Salah satu alasannya adalah mengenai pendanaan tindakan terorisme,” jelasnya.

Yusuf mengaku PPATK kesulitan untuk melaksanakan rekomendasi khusus yang diminta oleh FATF. “Mereka mengatakan apabila ada orang yang masuk daftar teroris maka aset seluruh keluarganya harus dibekukan. Ini berlaku untuk keluarganya tanpa kecuali. Misalnya, Osama mempunyai anak tiri di Indonesia, maka asetnya harus dibekukan,” tuturnya.

Rekomendasi semacam ini bukan pekerjaan yang mudah. Yusuf menegaskan bila rekening orang tiba-tiba dibekukan tanpa ada hukum yang dilanggar, jelas itu melanggar asas praduga tak bersalah yang diatur oleh hukum Indonesia.

“Membekukan aset itu bukan pekerjaan gampang, apalagi men-
judge orang terlibat terorisme. Itu susah,” jelasnya.

Yusuf mengaku sebelumnya sudah berjanji akan mengimplementasikan rekomendasi khusus ini ke dalam pembahasan RUU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.

“Kami sudah janji agar RUU ini segera disahkan menjadi UU, sayangnya janji ini tak kita tepati.
Public Statement itu bersifat sanksi karena janji tak kita tepati. Pada dasarnya, mereka (FATF) memuji usaha kita,” jelasnya.

Karenanya, Yusuf berharap pembahasan RUU Ini segera dipercepat. Saatnya, draf UU itu sudah ditangan dan ditandatangi oleh pemerintah, sehingga tinggal dilimpahkan ke DPR untuk dibahas bersama. “Mohon bantuan. Kami sudah buat se-soft mungkin dan menghormati hak rakyat kita dalam RUU itu. Dan kita perlu melihat best practices (praktik-praktik terbaik,-red) di negara lain,” katanya. 

Lebih lanjut, Yusuf menjelaskan yang terkendala dengan rekomendasi khusus FATF ini sebenarnya bukan hanya Indonesia, tetapi juga negara-negara lain yang sama-sama menggunakan sistem civil law.

“Untuk negara yang menggunakan sistem 
common law, rekomendasi itu bisa otomatis menjadi undang-undang mereka. Sedangkan, kita yang menggunakan sistem civil law harus membahas RUU ini terlebih dahulu dengan DPR. Jadi prosesnya memang panjang,” ujarnya.

Aziz berjanji mendukung supaya Indonesia keluar dari catatan FATF tersebut. Ia mengakui RUU ini memang bukan RUU Prioritas di Badan Legislasi DPR.

“Seharusnya pemerintah yang serahkan ke kami. RUU ini berarti sudah melewati Setneg. Kami akan rapat pleno dan memerintahkan pemerintah untuk segera membahas RUU ini bersama DPR. Jangan sampai Juni 2011, kita masuk lagi ke dalam list FATF,” pungkasnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar