Rabu, 24 April 2013

Seleksi Hakim Agung di DPR Dinilai Menyimpang


Koalisi Masyarakat Sipil untuk Peradilan Profesional mendaftarkan permohonan uji materi UU No. 3 Tahun 2009 tentang MA dan UU No. 18 Tahun 2011 tentang KY. Koalisi ini adalah gabungan LSM yang terdiri dari Indonesian Legal Roundtable (ILR), Indonesia Corruption Watch (ICW), Perludem, YLBHI, LBH Jakarta, LKBH Universitas Sahid, Konsorsium untuk Reformasi Hukum Nasional, dan Transparency International Indonesia.      
Koalisi mempersoalkan kewenangan DPR untuk memilih seleksi calon hakim agung seperti termuat dalam Pasal 8 ayat (2), (3), (4), (5) UU MA dan Pasal 18 ayat (4) UU KY. Menurut Koalisi, makna “pemilihan” dalam pasal-pasal itu tidak sejalan dengan Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 yang rumusan berbunyi DPR memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan KY.
 
Pasal 8 UU MA
(2) Calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dari nama calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial.
(3) Calon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat 1 (satu) orang dari 3 (tiga) nama calon untuk setiap lowongan.
(4) Pemilihan calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari sidang terhitung sejak tanggal nama calon diterima Dewan Perwakilan Rakyat.
(5) Pengajuan calon hakim agung oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari sidang terhitung sejak tanggalnama calon disetujui dalam Rapat Paripurna.

“Kedua undang-undang itu, DPR memilih calon hakim agung yang diusulkan KY. Padahal, Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 menyebutkan DPR hanya memberikan persetujuan dalam pengangkatan hakim agung,” kata wakil dari LKBH Universitas Sahid, Yuherman di Gedung MK, Selasa (12/2).   
Dikatakan Yuherman, peran DPR sebenarnya sama saja dengan proses pemilihan panglima TNI, anggota KPPU, Gubernur BI, dan pemilihan anggota BPK. DPR hanya memberikan persetujuan.
Praktiknya, DPR justru menggelar proses seleksi yang serupa dengan yang dilakukan KY seperti tahapan tes pembuatan makalah, penelusuran rekam jejak, dan wawancara terbuka. “Saat wawancara, anggota DPR juga menguji penguasaan ilmu hukum si calon, padahal tidak semua anggota DPR berlatar belakang hukum, sehingga tidak jelas alat ukurnya,” ujarnya.
Menurut Yuherman, sebagai lembaga politik, DPR seharusnya hanya menilai performa calon hakim agung. Misalnya, menggali visi dan misi yang dimiliki calon untuk memberikan perubahan positif terhadap jabatan yang akan diembannya.
“Tidak melakukan hal-hal bersifat teknis seperti yang sudah dilakukan KY saat penjaringan nama-nama calon-calon. Metode pemilihan hakim agung oleh DPR sudah menyimpang dari amanat UUD 1945,” tegasnya.  
Atas dasar itu, koalisi meminta MK menafsirkan secara bersyarat terkait kewenangan DPR untuk “memilih” calon hakim agung seperti disebutkan kedua pasal itu. Artinya, kedua pasal itu tetap konstitusional sepanjang dimaknai calon hakim agung ditetapkan presiden setelah mendapat persetujuan dari DPR.
“Sehingga, ketentuan pengusulan tiga nama untuk satu lowongan hakim agung oleh KY juga harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Jadi, ke depannya kita berharap KY hanya mengusulkan jumlah calon hakim sesuai permintaan MA ke DPR, sehingga DPR tinggal memberikan persetujuan atau tidak,” kata Yuherman.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar