PERAN DAN FUNGSI ARBITRASE
DALAM HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL (REVIEW PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI ARBITRASE DALAM
INVESTASI PERDAGANGAN)
D
I
S
U
S
U
N
OLEH
:
- ENZI FEBRIANTI 10.840.0070
- MARTINA PERMATASARI 10.840.
- SUSI LASTRI SITUMEANG 10.840.
- FRI DOLIN SIAHAAN 10.840.0173
- ENNI MARTALENA P 10.840.0073
- NICO
11.840.0253
FAKULTAS
HUKUM
UNIVERSITAS
MEDAN AREA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A . Pengertian dan Penegasan Judul
Penyelesaian
sengketa investasi perdagangan dapat dilakukan melalui dua cara yaitu litigasi
dan non litigasi. Salah satu bentuk penyelasain sengketa non litigasi yang
biasa digunakan dalam investasi perdagangan adalah arbistrase.
Arbistrase
mulai dikenal dalam sistem hukum di Indonesia semenjak diterbitkannya
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase
didasarkan pada suatu perjanjian yang bersifat tertulis yang disepakati oleh
kedua belah pihak.Terhadap putusan arbitrase pada dasarnya adalah bersifat
final dan mengikat sehingga dapat dieksekusi secara sederhana. Akan tetapi
apabila salah satu merasa dirugikan dapat mengajukan keberatan kepada ketua
Pengadilan Negeri setempat
Pada
sekarang ini perdagangan bebas menjadikan negara seakan-akan tanpa batas
khususnya dalam bidang perdagangan internasional atau dagang internasional,
yaitu yang melibatkan beberapa negara. Dalam menyongsong perdagangan bebas
diperlukan suatu perangkat aturan yang jelas dan memadai, yang tidak
menimbulkan masalah di kemudian hari dalam mengadakan transaksi dagang.Timbulnya
masalah dari perdagangan atau dagang internasional umumnya berkaitan dengan
risiko tertentu yang terjadi karena penerapan peraturan hukum yang berbeda,
apalagi jika salah satu negara tidak mengakui hukum nasional negara asing.
Dalam
menjalin hubungan dagang antara para pihak, baik dalam skala domestik maupun
internasional, para pihak senantiasa menghendaki agar segala apa yang telah
disepakati dan dituangkan kedalam perjanjian dapat dipenuhi dan dilaksanakan
sebagaimana mestinya, yaitu, sesuai dengan tujuan diadakannya kesepakatan dalam
kontrak tersebut.
Hal
ini mengandung maksud bahwa ikatan dagang yang telah disepakatinya tersebut
terdapat kepastian hukum terhadap segala hak dan kewajiban yang timbul dari
perjanjian dagang tersebut. Pemenuhan hak dan kewajiban sebagaimana telah
diperjanjikn akan menimbulkan prosesresiprositas diantara para
pihak, dengan maksud agar para pihak yang telah mencapai kata sepakat untuk
mengadakan perjanjian dagang terjalin suatu hubungan yang langgeng, sehingga
dapat berlangsung untuk jangka panjang, serta mencegah kemungkinan timbulnya
sengketa. Penyelesaian sengketa dagang baik domestik maupun internasional
semula diselesaikan oleh lembaga peradilan umum (litigasi), namun dengan
pertimbangan pertimbangan tertentu, sengketa dagang internasional tersebut
diselesaikan melalui lembaga di luar sidang pengadilan (non litigasi).
Penyelesaian dagang melalui lembaga peradilan umum dilangsungkan oleh lembaga
pengadilan negeri, sedangkan penyelesaian sengketa dagang melalui lembaga non
litigasi diselenggarakan oleh lembaga arbitrase.
Metode Penulisan
1 . Pendekatan
Masalah
Penelitian
ini tergolong penelitian yuridis normatif. Pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dan
pendekatan konsep (conceptual approach). Statute approach yaitu
pendekatan yang dilakukan dengan mengidentifikasi serta membahas peraturan
perundang-undangan yang berlaku berkaitan dengan materi yang dibahas.
Sedangkan conceptual approach yaitu pendekatan dengan cara
membahas pendapat para sarjana sebagai landasan pendukung pembahasan.
2 . Sumber Bahan
Hukum
a) Bahan
hukum primer adalah bahan hukum yang sifatnya mengikat berupaperaturan
perundang-undangan yang berlaku dan ada kaitannya dengan permasalahan yang dibahas,
yaitu, UU No. 30 Tahun 1999 dan peraturan lainnya yang ada kaitannya dengan
materi yang dibahas.
b) Bahan
hukum sekunder adalah bahan hukum yang sifatnya menjelaskan bahan hukum primer,
dalam hal ini bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang berupa buku-buku
literatur, catatan kuliah, karya ilmiah dan berbagai media cetak yang berlaku
dan ada kaitannya dengan permasalahan yang sedang dibahas.
BAB
II
Permasalahan
Penyelesaian
melalui lembaga arbitrase di Indonesia diawali pada tahun 2007
dengan
diundangkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1968 tentang Persetujuan atas
Konvensi tentang Penyelesaian Perselisihan antara Negara dan Warga Negara
Asingmengenai Penanaman Modal. Diundangkannya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007
(selanjutnya disingkat UU No. 25 Tahun 2007) merupakan suatu bentuk ratifikasi
dari Konvensi International Centre for the Settlement of Investment
Desputes between States and Nationals of other States (ICSID).
Meskipun telah ada ketentuan yang mengaturnya, namun dibentuk juga peraturan
yang mengatur masalah arbitrase yaitu Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase (selanjutnya disingkat UU No. 30 Tahun 1999).
Rumusan Masalah
1.
Pengertian dan ciri-ciri arbitrase
2.
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase
dalam investasi perdagangan ditinjau dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.
3.
Peran arbitrase dalam penyelesaian
sengketa perdagangan internasional.
4.
Upaya hukum para pihak yang menolak
putusan arbitrase.
5.
Ruang Lingkup Arbitrase.
BAB III
PEMBAHASAN
1. Pengertian
dan Ciri-ciri Arbitrase
Penyelesaian
sengketa bisnis melalui forum arbitrase sekarang ini sudah menjadi cara
penyelesaian sengketa bisnis yang disukai. Beberapa pengertian arbitrase,
diantaranya sebagai berikut :
·
Arbitrase adalah penyerahan sengketa
secara sukarela kepada pihak ketiga yang netral. Pihak ketiga ini bisa
individu, arbitrase terlembaga atau arbitrase sementara (ad hoc). (Huala Adolf,
2006).
·
Arbitrase adalah suatu tindakan hukum
dimana ada pihak yang menyerahkan sengketa atau selisih pendapat antara dua
orang (atau lebih) maupun dua kelompok (atau lebih) kepada seseorang atau
beberapa ahli yang disepakati bersama dengan tujuan memperoleh suatu keputusan
final dan mengikat. (Priyatna Abdurrasyid, 2002).
·
Chappel mendefinisikan arbitrase sebagai
suatu penyelesaian sengketa yang dipilih secara sukarela oleh para pihak yang
menginginkan sengketanya diputus oleh hakim yang netral yang dipilih oleh
mereka, yang keputusannya berdasarkan kepada pokok sengketa, yang mereka
setujui sebelumnya untuk menerima keputusan tersebut sebagai final dan mengikat
(Huala Adolf, 2007).
·
Abdul Kadir, Ken Hoyle dan Geoffrey
Whitehead memberi batasan lembaga ini yaitu penyerahan sukarela suatu sengketa
kepada seseorang yang berkualitas untuk menyelesaikannya dengan suatu
perjanjian bahwa keputusan arbitrator akan final dan mengikat (Huala Adolf,
2007).
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor
30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesain
Sengketa menyatakan bahwa arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa
perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang
dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Disamping
definisi-definisi tersebut di atas, penting juga dikemukakan ciri-ciri
arbitrase, yaitu :
1. Bahwa
badan arbitrase ini adalah suatu cara atau metode penyelesaian sengketa.
Sengketa tersebut diselesaikan oleh pihak ketiga dan pihak (pihak) netral atau
arbitrator yang secara khusus ditunjuk.
2. Bahwa
para arbitrator mempunyai wewenang yang diberikan oleh para pihak. Para
arbitrator diharapkan memutuskan sengketa menurut hukum.
3. Arbitrase
merupakan sistem pengadilan perdata, artinya bahwa para pihaklah, dan bukan
negara yang mengawasi kewenangan dan kewajiban para pihak.
4. Keputusan
yang dikeluarkan badan ini bersifat final dan mengakhiri persengketaan para
pihak.
5. Keputusan
para arbitrator mengikat para pihak berdasarkan persetujuan diantara mereka
untuk menyerahkan sengketanya kepada arbitrase, bahwa mereka akan menerima dan
secara sukarela memberikan kekuatan kepada keputusan arbitrase tersebut.
6. Bahwa
pada pokoknya proses berperkara melalui badan arbitrase dan putusannyaterlepas
dan bebas dari campur tangan negara.
Dalam
praktek, biasanya penyerahan sengketa ke suatu badan peradilan tertentu,
termasuk arbitrase, termuat dalam klausul penyelesaian sengketa dalam suatu
kontrak.
Biasanya
judul klausul tersebut ditulis secara langsung dengan ‘Arbitrase’. Kadang
istilah lain yang digunakan adalah ‘choice
of forum’ atau’choice of jurisdiction’. Istilah choice of forum berarti pilihan cara
untuk mengadili sengketa, dalam hal ini pengadilan atau badan arbitrase.
Istilah choice of jurisdiction
berarti pilihan tempat dimana pengadilan memiliki kewenangan untuk
menangani sengketa. Tempat yang dimaksud misalnya Inggris, Belanda, Indonesia
dan lain-lain (Huala Adolf, 2006). Penyerahan suatu sengketa kepada arbitrase
dapat dilakukan dengan pembuatan suatu submission clause, yaitu
penyerahan kepada arbitrase suatu sengketa yang telah lahir atau melalui
pembuatan suatu klausul arbitrase dalam suatu perjanjian sebelum sengketanya
lahir (klausul arbitrase atau arbitration clause) dan harus tertulis.
Sistem hukum nasional dan internasional mensyaratkan ini sebagai suatu syarat
utama untuk arbitrase.
Dalam
hukum nasional kita, syarat ini tertuang dalam pasal 1 angka 3 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,
yang menyatakan bahwa perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa
klausul arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat
para pihak sebelum timbulnya sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase
tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.
Dalam instrumen hukum internasional termuat
dalam pasal 7 ayat (2) UNCITRAL Model Law on International Commercial
Arbitration 1985, atau pasal II Konvensi New York 1958. Klausul arbitrase
melahirkan yurisdiksi arbitrase, artinya klausul tersebut memberi kewenangan
kepada arbitrator untuk menyelesaikan sengketa. Apabila pengadilan menerima
suatu sengketa yang di dalam kontraknya terdapat klausul arbitrase, pengadilan
harus menolak untuk menangani sengketa (Huala Adolf, 2006).
Peran
arbitrase difasilitasi oleh adanya lembaga-lembaga arbitrase internasional.
Badan-badan
tersebut adalah :
1.
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)
Badan Arbitrase Nasional Indonesia adalah
badan arbitrase yang telah lama berdiri di
Indonesia, yaitu sejak tahun 1978. BANI
sebagai suatu lembaga penyelesaian
sengketa dagang di Indonesia menggariskan
tujuan badan ini sebagai berikut : (Huala Adolf,
2007)
a. Dalam
rangka turut serta dalam upaya penegakan hukum di Indonesia menyelenggarakan
penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang terjadi di berbagai sektor
perdagangan, industri dan keuangan, melalui arbitrase dan bentukbentuk
alternatif penyelesaian sengketa lainnya antara lain di bidang-bidang
Korporasi, Asuransi, Lembaga Keuangan, Fabrikasi, Hak Kekayaan Intelektual,
Lisensi, Franchise, Konstruksi, Pelayaran/maritime, Lingkungan hidup,
Penginderaan Jarak Jauh dan lain-lain dalam lingkup peraturan
perundang-undangan dan kebiasaan internasional.
b. Menyediakan
jasa-jasa bagi penyelenggaraan penyelesaian sengketa melalui arbitrase atau
bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa lainnya, seperti negosiasi,
mediasi, konsiliasi dan pemberian pendapat yang mengikat sesuai dengan
Peraturan Prosedur BANI atau peraturan prosedur lainnya yang disepakati oleh
oleh para pihak yang berkepentingan.
c. Bertindak
secara otonom dan independen dalam penegakan hukum dan keadilan.
d. Menyelenggarakan
pengkajian dan riset serta program-program pelatihan/pendidikan mengenai
arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa.
BANI
biasanya dalam menyelesaikan sengketa membentuk suatu majelis arbitrase,
terdiri dari tiga orang arbiter yang dapat dipilih oleh para pihak. Bila para
pihak tidak memilih, maka Ketua BANI akan menentukan para arbiter untuk
menyelesaikan sengketanya. Dalam menyelesaikan sengketa majelis arbitrase tunduk
pada kode etik arbiter BANI dan hukum acara BANI yang terdiri dari 39 pasal
mengatur berbagai hal persidangan arbitrase, mulai dari kesepakatan arbitrase,
permohonan dan pendaftaran arbitrase, susunan arbiter, putusan arbitrase,
hingga ketentuan mengenai pembiayaan.
Kewenangan
BANI untuk menangani sengketa lahir karena adanya kesepakatan atau klausul atau
perjanjian arbitrase yang disepakati dan ditandatangani oleh para pihak. BANI
juga memberi model klausul arbitrase dimana para pihak dapat mengadopsinya
dalam kontrak yang mereka buat.
2.International Chamber of Commerce
(ICC)
Kamar Dagang dan Industri berkedudukan di
Paris. Asosiasi dagang internasional ini memiliki badan penyelesaian sengketa
dagang, yaitu Peradilan Arbitrase ICC (Court
of Arbitration). ICC juga menyediakan sarana penyelesaian melalui
konsiliasi yang memiliki Rules of Conciliation-nya. Sidang arbitrase ICC dapat
berlangsung dimana saja, meskipun bermarkas di Paris dan menerapkan hukum yang
para pihak telah sepakati. Badan Arbitrase ICC memiliki aturan hukum acara
arbitrasenya (Rules of Arbitration) dan merupakan salah satu lembaga arbitrase
yang terkenal. Sekitar 400- an kasus yang diserahkan setiap tahunnya kepada
badan arbitrase ini. (Huala Adolf, 2006).
Sekretariat
badan arbitrase sebelum mengadili sengketa biasanya mensyaratkanpembayaran
administrasi dan biaya arbiter, dihitung berdasarkan biaya yang telah
ditentukan ICC serta jumlah biaya yang disengketakan. Selain itu mensyaratkan
pula biaya deposit sebelum badan arbitrase memulai pekerjaannya.
3. London Court of International
Arbitration (LCIA)
LCIA
dibentuk pada tahun 1891 dan merupakan salah satu badan arbitrase yang tertua
di dunia. Pembentukan badan arbitrase ini diprakarsai dan dibentuk oleh The
Court of Common Council of the City of London. Waktu itu badannya sendiri
bernama “The City of London Chamber of Arbitration”, diresmikan pada tahun
1892. Tujuan pembentukan badan arbitrase ini adalah lembaga penyelesaian
sengketa yang cepat, murah, sederhana dan pencipta perdamaian. Selanjutnya nama
ini diubah menjadi the “London Court of Arbitration” (LCA) pada bulan April
1903. Perubahan penting lainnya terjadi pada tahun 1981, nama LCA diubah
menjadi “The London Court of International Arbitration”. Hal ini dilakukan untuk
lebih merefleksikan lembaga badan arbitrase London menjadi lembaga atau badan
arbitrase internasional.
Hukum
acara arbitrase LCIA biasanya menggunakan Arbitration
Rules yang dikeluarkan oleh UNCITRAL (United Nations Commission on
International Trade Law) tahun 1976. Dewasa ini UNCITRAL Arbitration Rules 1976
memang telah menjadi acuan hukum acara arbitrase komersial oleh berbagai badan
arbitrase komersial di dunia, termasuk Indonesia.
Sengketa
yang diserahkan kepada badan arbitrase LCIA tunduk kepada adanya suatu klausul
arbitrase yang menunjuknya sebagai badan penyelesaian sengketa. LCIA juga
memberikan model klausul arbitrase yang dapat digunakan oleh para pihak dalam
kontrak-kontraknya. Klausula atau perjanjian arbitrase harus memuat : (Catur Irianto
: 2007)
a.
Masalah yang dipersengketakan;
b.
Nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;
c.
Nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase;
d.
Tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan;
e.
Nama lengkap sekretaris;
f.
Jangka waktu penyelesaian sengketa;
g.
Pernyataan kesediaan dari arbiter, dan
h.
Pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala
biaya
yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase.
2.
Penyelesaian sengketa melalui
arbitrase dalam investasi perdagangan ditinjau dari Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999
“Menurut Black's Law Dictionary: "Arbitration. an arrangement for taking an
abiding
by the judgement of selected persons in some disputed matter, instead of
carrying
it to establish tribunals of justice, and is intended to avoid the formalities,
the
delay,
the expense and vexation of ordinary litigation".
Istilah
arbitrase (arbitrage = arbitration)
berasal dari bahasa Latin, yakni arbitrari yang
berarti suatu penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim (arbitrator)
atau para hakim (arbitrator) berdasarkan persetujan bahwa mereka tunduk
dan mentaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka
pilih atau tunjuk tersebut. H.M.N. Putwosutjipto menerjemahkan
istilah arbitration (Inggris) atau arbitrage(Belanda)
dengan perwasitan. Kemudian perwasitan itu didefinisikan sebagai suatu
peradilan perdamaian dimana para pihak bersepakat agar perselisihan mereka
tentang hak pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya diperiksa dan diadili
oleh hakim yang tidak memihak, yang ditunjuk oleh para pihak oleh hakim yang
tidak memihak, yang ditunjuk oleh para pihak sendiri dan putusannya mengikat
kedua belah pihak.
Arbitrase menurut Subekti diartikan
sebagai berikut: “Arbitrase adalah penyelesaian
atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para halim berdasarkan
persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau mentaati keputusan yang
diberikan oleh hakim atau para hakim mereka pilih atau tunjuk
tersebut”. Menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 30 Tahun 1999 mengartikan
arbitrase sebagai berikut: “Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa
perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang
dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”.
Memperhatikan
definisi arbitrase sebagaimana tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa arbitrase merupakan suatu bentuk
penyelesaian sengketa di luar peradilan umum, didasarkan perjanjian, yang
dibuat secara tertulis, oleh para pihak yang bersengketa.
Perihal
arbitrase, terdapat tiga hal yang dapat dikemukakan dari definisi perjanjian arbitrase, di antaranya:
•
Perjanjian
arbitrase merupakan salah satu bentuk perjanjian;
•
Perjanjian
arbitrase harus dibuat dalam bentuk tertulis;
•
Perjanjian tersebut
ditujukan untuk menyelesaikan sengketa yang dilaksanakan diluar peradilan umum.
Penyelesaian
perkara perdata melalui lembaga peradilan tidak cukup hanya pada lembaga
peradilan dalam arti Pengadilan Negeri saja, karena jika dengan putusan peradilan
tingkat pertama tersebut terdapat pihak yang merasa dirugikan, dapat mengajukan
upaya hukum pada peradilan yang lebih tinggi yaitu upaya banding pada
Pengadilan Tinggi. Jika putusan Pengadilan Tinggi tersebut mengakibatkan salah
satu pihak merasa keberatan karena dirugikan, maka dapat mengajukan upaya hukum
kasasi pada Mahkamah Agung, dan demikian juga jika salah satu pihak merasa
keberatan terhadap putusan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi, dapat mengajukan
upaya hukum peninjauan kembali pada Mahkamah Agung. Pada kondisi yang demikian
tentunya penyelesaian melalui lembaga peradilan memerlukan waktu yang cukup
lama, tentunya juga menyangkut masalah biaya dan tenaga yang tidak sedikit
jumlahnya.Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Sudargo Gautama, bahwa
para pedagang pada umumnya takut untuk berperkara bertahun-tahun lamanya. Tentunya
banyak biaya yang harus dikeluarkan sebelum dapat diperoleh suatu putusan
dengan kekuatan pasti (enforceable), artinya dapat dijalankan melalui
eksekusi. Oleh karena itu tentunya
penyelesaian
melalui lembaga peradilan khususnya bagi para pedagang kurang diminati, sesuai
pula dengan yang dikemukakan oleh Ridwan Khairandy bahwa pada perkembanganya,
terutama menyangkut masalah transaksi (kerjasama) bidang dagang internasional,
penyelesaian sengketa melalui pengadilan kurang begitu diminati oleh
pihak-pihak yang bersengketa.
Hal
ini disebakan oleh adanya beberapa faktor, di antaranya:
·
Lamanya proses beracara dalam
persidangan penyelesaian perkara perdata;
·
Lamanya penyelesaian sengketa dapat pula
disebabkan oleh panjangnya tahapan penyelesaian
sengketa,
·
Lama dan panjangnya proses
penyelesaian sengketa melalui pengadilan tersebut tentunya membawa akibat yang
berkaitan dengan tingginya biaya yang diperlukan;
·
Sidang pengadilan di Pengadilan Negeri
dilakukan secara terbuka, padahal disisi lain kerahasiaan adalah sesuatu yang
diutamakan di dalam kegiatan dagang;
·
Seringkali hakim yang menangani
atau menyelesaikan sengketa dalam dagang kurang menguasai substansi hukum
sengketa yang bersangkutan atau dengan perkataan lain hakim dianggap kurang
profesional, dan
·
Adanya citra yang kurang baik
terhadap dunia peradilan Indonesia.
Penyelesaian
sengketa dagang dapat dilakukan di luar lemabaga peradilan yaitu penyelesaian
dengan menggunakan jasa arbitrase (non litigasi). Pada umumnya pengusaha
asing lebih senang menyelesaikan sengketa melalui lembaga arbitrase, dengan pertimbangan:
Pertama,
pengusaha asing lebih suka menyelesaikan sengketa melalui perjanjian arbitrase
di luar negeri karena menganggap sistem hukum dan pengadilan setempat asing
bagi mereka.
Kedua,
pengusaha-pengusaha negara maju beranggapan bahwa hakim-hakim negara berkembang
tidak menguasai sengketa-sengketa dagang yang melibatkan hubungan-hubungan
niaga dan keuangan internasional yang rumit.
Ketiga,
pengusaha negara maju beranggapan penyelesaian sengketa melalui pengadilan akan
memakan waktu yang lama dan ongkos yang besar, karena proses pengadilan yang
panjang dari tingkat pertama sampai dengan tingkat Mahkamah Agung.
Keempat,
keengganan pengusaha asing untuk menyelesaikan sengketa di depan Pengadilan
bertolak dari anggapan bahwa Pengadilan bersifat subjektif kepada mereka,
karena sengketa diperiksa dan diadili berdasarkan bukan hukum negara mereka,
oleh hakim bukan dari negara mereka.
Kelima,
penyelesaian sengketa di Pengadilan akan mencari siapa yang salah dan siapa
yang benar, dan hasilnya akan dapat merenggangkan hubungan dagang antar mereka.
Keenam,
penyelesaian sengketa melalui perjanjian arbitrase tertutup sifatnya, sehingga
tidak ada publikasi mengenai sengketa yang timbul. Publikasi mengenai sengketa
suatu yang tidak disukai oleh para pengusaha.
Dengan
kondisi sebagaimana di atas, penyelesaian melalui lembaga arbitrase mempunyai
kelebihan-kelebihan jika dibandingkan dengan penyelesaian melalui jalur
peradilan umum. Kelebihan tersebut di antaranya adalah:
·
Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak;
·
Dapat dihindari kelambatan yang
diakibatkan karena hal proseduran dan administrasi;
·
Para pihak dapat memilih arbiter yang
menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang
yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil;
·
Para pihak dapat memilih hukum apa yang akan
diterapkan untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat
penyelenggaraan arbitrase;
·
Keputusan arbiter merupakan
putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) yang
sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Arbitrase
merupakan salah satu alternatif diantara sekian banyak alternatif forum
penyelesaiann sengketa dagang. Arbitrase termasuk dalam model
penyelesaian sengketa yang bersifat non ligitigasi (out of
court dispute settlement). Selain arbitrase, terdapat pula berbagai
alternatif penyelesaian sengketa dagang secara non litigasi, antara lain
meliputi: negosiasi, mediasi, konsiliasi,
dan lain sebagainya.
Di
antara berbagai model penyelesaian sengketa non litigasi tersebut,
maka arbitrase yang memiliki ciri tersendiri yang tergolong
unik. Di satu pihak,arbitrase termasuk sebagai model non litigasi,
oleh karena menyangkut penyelesaian sengketa dagang di luar lembaga peradilan
atas dasar kesukarelaan para pihak.
Para
pihak yang bersengketa memiliki otonomi luas (party autonomie) dalam dan
menentukan forum, aturan, prosedur, arbitrase, dan lain sebagainya
yang dianggap sesuai dengan kehendak bersama para pihak.Termasuk adanya prinsip
“private and confidential” yang merupakan ciri yang paling litigasi. Di
pihak lain, putusan yang telah dihasilkan melalui proses arbitrase bersifat
final dan mengikat (final and binding) sehingga putusannya dimungkinkan
untuk dilaksanakan sebagaimana layaknya sebagai putusan lembaga peradilan (enforceable).
Putusan arbitrase yang bersifat final dan mengikat memberikan penyelesaian
sengketa dagang yang efektif dan efisien kepada pihak yang bersengketa.
Selain
dari pada itu, dengan dimungkinkannya pelaksanaan putusan arbitrase melalui
lembaga peradilan memberikan efek kepastian hukum kepada pihak yang
bersengketa.
Menurut.
Subekti bagi dunia perdagangan atau bisnis, penyelesaian sengketa
lewat arbitrase atau perwasitan, mempunyai beberapa keuntungan yaitu bahwa ia
dilakukan :
a) Dengan cepat;
b) Oleh ahli dari;
c) Secara rahasia.
Sementara
itu Purwosutjipto mengemukakan arti pentingnya peradilan wasit
(arbitrase) adalah: Penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan dengan cepat. Para
wasit terdiri dari orang-orang ahli dalam bidang yang dipersengketakan, yang
diharapkan mampu membuat putusan yang memuaskan para pihak. Putusan akan lebih
sesuai dengan perasaan keadilan para pihak. Putusan peradilan wasit
dirahasiakan, sehingga umum tidak mengetahui tentang kelemahan-kelemahan
perusahaan yang bersangkutan.
Sifat
rahasia pada putusan perwasitan inilah yang dikehendaki oleh para pengusaha.
Namun Lembaga arbitrase masih memiliki ketergantungan pada pengadilan, misalnya
dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase, ada keharusan untuk mendaftarkan
putusan arbitrase di pengadilan negeri. Hal ini menunjukkan bahwa lembaga
arbitrase tidak mempunyai upaya pemaksa terhadap para pihak untuk menaati
putusannya.
Apabila
hubungan dagang terjadi suatu sengketa, penyelesaian sengketa dapat dilakukan
dalam berbagai bentuk, di antaranya:
·
Model penyelesaian sengketa dagang
dilakukan oleh dan melalui lembaga peradilan (in court dispute settlement),
·
Model penyelesaian sengketa
dagang dilakukan di luar lembaga peradilan (out of court dispute settlement),
yang masing-masing mempunyai karakteristik dan konsekuensi yang berlainan.
Apabila
memperhatikan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa dasar penunjukkan lembaga
arbitrase oleh para pihak dalam hubungan dagang adalah kesepakatan yang
dituangkan dalam kontrak dagang tersebut. Hal ini mengandung maksud bahwa
penunjukkan penyelesaian sengketa dagang oleh lembaga arbitrase harus
dicantumkan secara jelas dalam klausula dagang, sejalan dengan asas yang
terkandung dalam kebebasan berkontrak, yaitu semua perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal
1338 angka 1 KUH Perdata).
Perihal
arbitrase, terdapat tiga hal yang dapat dikemukakan dari definisi
Arbitrase sebagai bentuk perjanjian yang dibuat antara pihak-pihak yang
terlibat dalam perdagangan baik nasional maupun internasional, maka harus
dibuat memenuhi syarat subjektif dan syarat objektif.
Syarat
subjektif
perjanjian
arbitrase, selain perjanjian harus dibuat oleh pihak-pihak yang telah cakap
bertindak dalam hukum dan sepakat antara kedua belah pihak, perjanjian tersebut
harus dibuat oleh pihak-pihak yang demi hukum dianggap mempunyai kewenangan
untuk membuat perjanjian. Para pihak yang membuat perjanjian arbitrase tidak dibatasi
hanya untuk subjek hukum menurut hukum perdata, melainkan juga termasuk di
dalamnya subjek hukum publik. Meskipun sebagai salah satu pihak adalah subjek
hukum publik, tidaklah berarti arbiter dapat mengadili segala sesuatu yang
berhubungan dengan hukum publik. Sengketa yang melibatkan subjek hukum publik
diselesaikan melalui arbitrase yang sifatnya terbatas.
Syarat
objektif
perjanjian
arbitrase atau dalam hal ini adalah sengketa yang akan diselesaikan di luar
pengadilan melalui lembaga arbitrase (dan atau lembaga alternatif penyelesaian
sengketa lainnya) hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang
menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak
yang bersengketa. Objek perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan
di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif
penyelesaian sengketa lainnya) menurut Pasal 5 ayat 1 UU Arbitrase hanyalah
sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan
peraturan perundangundangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
perbankan,
keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual. Sementara itu
ayat 5 (2) UU Arbitrase memberikan perumusan negatif bahwa sengketa-sengketa
yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang
menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian sebagaimana
diatur dalam B.W. Buku III bab kedelapan belas Pasal 1851 s/d 1854.
Penyelesaian perselelisihan melalui
arbitrase adalah institusi hukum alternatif
bagi
penyelesaian sengketa di luar lembaga pengadilan. Sebagian pengusaha lebih suka
menyelesaikan sengketa yang timbul di antara mereka melalui perjanjian
arbitrase dari pada pengadilan. Pengusaha asing lebih suka menyelesaikan
sengketa melalui perjanjian arbitrase di luar pengadilan karena menganggap
sistem hukum dan pengadilan setempat asing bagi mereka.
Oleh
karenanya bisa saja negara yang bersangkutan mempunyai prasangka yang jelek
terhadap sistem hukum negara di mana modal akan ditanamkan, khususnya yang
menyangkut masalah kepastian hukum dan keadilan serta kredibilitas hakim
penyelesaian sengketa tersebut. Oknum-oknum yang cenderung mempersulit
proses
pencarian keadilan, peradilan yang ada di Indonesia saat ini dianggap kurang
dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Berdasarkan
pembahasan di atas dapat dijelaskan bahwa penyelesaian masalah
secara
arbitrase di Indonesia berkembang setelah diundangkannya UU No. 30 Tahun 1999.
Penyelesaian melalui arbitrase banyak dipilih karena sifat kerahasiaannya dan
waktu yang dibutuhkan jauh lebih pendek bila dibandingkan dengan penyelesaian
melalui peradilan umum. Selain itu penyelesaian melalui arbitrase lebih menjaga
kerahasiaan pihak-pihak
3. Peranan Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa
Kontrak Internasional
Penyelesaian
bisnis melalui forum arbitrase sekarang ini sudah menjadi cara penyelesaian
sengketa bisnis yang disukai. Forum arbitrase merupakan “pengadilan pengusaha”
yang eksis untuk menyelesaikan sengketa-sengketa diantara mereka (kalangan
bisnis) dan sesuai kebutuhan/keinginan mereka. Antara para pedagang, arbitrase
merupakan suatu cara penyelesaian sengketa yang dianggap jauh lebih baik
daripada penyelesaian melalui saluran-saluran Pengadilan biasa. Menurut Prof.
Sudargo Gautama cara penyelesaian melalui arbitrase ini logis lebih banyak
dipakai. Adapun mengenai mengapa arbitrase mempunyai peranan dalam kontrak-kontrak
dagang internasional adalah sebagai berikut :
1. Dihindarkan publisitas
Arbitrase
ini karena sifatnya yang agak privat memberi jaminan untuk dihindarkannya
publisitas. Sengketa-sengketa yang diadili melalui jalan arbitrase tidak
demikian umum sifatnya seperti perkara-perkara di muka Pengadilan yang dapat
diketahui oleh semua orang, dimana perkara-perkara perdata dapat diikuti oleh
orang-orang luar dan keputusan-keputusan juga diucapkan di dalam sidang terbuka
dengan kemungkinan adanya reportase di dalam harian-harian serta
publikasi-publikasi massmedia lainnya. Di dalam prosedur arbitrase hal ini
tidak demikian. Pertimbangan-pertimbangan dari para arbiter ini sifatnya “confidential”
dan juga tidak lazim diumumkan secara lengkap dalam surat-surat kabar atau pers
seperti halnya dengan keputusan-keputusan pengadilan. Justru banyak orang takut
berperkara di Pengadilan karena adanya unsur publisitas ini. (Sudargo Gautama,
1986). Dengan adanya kerahasiaan ini nama baik atau image para pihak tetap terlindungi,
sementara bagi perusahaan, mereka dapat menjaga kerahasiaan informasi-informasi
dagang mereka (Huala Adolf, 2006).
2. Tidak banyak formalitas
Prosedur
arbitrase tidak mengenal banyak formalitas-formalitas seperti pada cara
berperkara di muka pengadilan biasa yang terikat oleh berbagai formalitas,
antara lain tentang cara pemanggilan, cara penyampaian exploit-exploit,
jangka-jangka waktu untuk melakukan berbagai tindakan-tindakan hukum seperti
naik banding, penyampaian panggilan untuk sidang dan sebagainya. Dalam acara
arbitrase biasanya tidak demikian banyak formalitas-formalitas yang perlu
diperhatikan. Hanya bila pihak yang dikalahkan tidak secara sukarela memenuhi
keputusan arbitrase yang bersangkutan, maka perlu diminta bantuan dari Pengadilan
untuk eksekusi. Tapi bila keputusan arbitrase ini ditaati, maka tidak perlu
adanya campur tangan dari Pengadilan
dengan
segala formalitas dan syarat-syarat yang diperlukan lewat hukum acara
berperkara (Isaak I. Doore dalam Huala Adolf. 2006).
Dengan
demikian lebih fleksibel dan hakim dalam hal ini arbitratornya tidak perlu pula
terikat dengan aturan-aturan proses berperkara, tidak ada keharusan untuk
berperkara di tempat tertentu, karena para pihak sendirilah yang memiliki
kebebasan untuk menentukan tempat arbitrase bersidang, dan sekaligus hukum yang
akan dipakai atau bahasa yang akan dipergunakan (manakala sengketa tersebut
sifatnya internasional). Karena sifat fleksibilitas inilah nantinya berpengaruh
pula pada para pihak yang bersengketa. Mereka menjadi tidak terlalu bersitegang
di dalam proses penyelesaian perkara. Iklim seperti ini sudah barang tentu akan
sangat konstruktif dan akan mendorong semangat kerja sama para pihak di dalam
proses penyelesaian perkara. Hal ini berarti pula akan mempercepat proses
penyelesaian perkara yang bersangkutan.
3. Arbitrase lebih murah dan lebih
cepat
Bila
keputusan para arbiter akan ditaati secara sukarela, maka arbitrase ini memang
akan lebih cepat. Karena umumnya para pihak telah menentukan terlebih dahulu,
bahwa keputusan arbitrase ini akan merupakan keputusan dalam instansi terakhir
yang
akan
mengikat para pihak (final and binding), maka tentunya akan lebih cepat
daripada berperkara biasa di hadapan pengadilan (Sudargo Gautama, 1986). Telah
menjadi rahasia bersama bahwa berperkara melalui pengadilan acapkali memakan
waktu yang relatif lama. Hakim yang mengadili tidak hanya berhadapan dengan
satu atau dua perkara saja pada waktu yang bersamaan. Akibatnya ia harus
membagi-bagikan prioritas dan waktu untuk perkara-perkara mana yang didahulukan
dan mana yang tidak terlalu mendesak. Hal ini dipengaruhi pula oleh
faktor-faktor lain yang mendukung cepat tidaknya proses penyelesaian suatu
perkara. Sehubungan dengan hal tersebut. perlu pula diperhatikan bahwa banyak
pengadilan negara tidak mempunyai hakim-hakim yang berkompeten atau yang
berspesialisasi hukum komersial internasional (Peter Sclosser dalam Huala
Adolf).
Selain
itu dengan dikeluarkannya keputusan pengadilan tidaklah otomatis perkara yang
bersangkutan telah selesai, sebab pihak-pihak yang kurang puas dengan keputusan
tersebut masih punya saluran lain untuk melampiaskan ketidakpuasannya ke
pengadilan yang lebih tinggi, yakni tingkat banding. Sehingga tampak bahwa
berproses perkara melalui pengadilan bisa memakan waktu yang berlarut-larut.
Konsekuensinya biaya yang harus dikeluarkan untuk itu, misalnya biaya ahli
hukum dan ongkos lainnya akan bertambah terus (mahal). Akibat lainnya adalah
berkurangnya waktu untuk berusaha (dagang). Hal ini akan berpengaruh pula pada
kelancaran dan produktivitas perusahaannya. Sebagian penulis berpendapat bahwa
berlainan dengan proses pengadilan tersebut, maka berperkara melalui arbitrase
lebih murah. Di dalam dunia perdagangan internasional para pedagang tentu tidak
dapat menunggu demikian lama sebelum suatu selisih faham antara mereka diputus.
Mereka mencari suatu usaha penyelesaian sengketa yang tidak melalui Pengadilan
biasa, dan memerlukan instansi arbitrase sebagai cara penyelesaian sengketa
“Hakim Partikulir” yang tidak terikat dengan berbagai formalitas, yang cepat
dan memberikan keputusan dalam instansi terakhir serta mengikat, yang mudah
dilaksanakan karena akan ditaati oleh para pihak itu (Sudargo Gautama, 1986).
4. Arbitrase dipilih karena tidak
ada badan pengadilan internasional.
Bagi
hubungan perdagangan internasional, satu-satunya cara yang dianggap paling
tepat untuk menyelesaikan transaksi yang bersifat internasional ini adalah
arbitrase, meskipun terdapat keuntungan dan kerugian dari lembaga arbitrase
ini. Di dunia ini tidak ada suatu pengadilan internasional yang dapat memeriksa
perkara-perkara dagang internasional, karena itu arbitrase adalah yang paling
cocok untuk menyelesaikan sengketa-sengketa internasional ini.
5. Kekhawatiran terhadap forum
pengadilan nasional
Perusahaan-perusahaan
dagang multinasional dalam usaha transaksi dagang mereka pada kenyataannya
selalu memilih arbitrase sebagai jalan penyelesaian sengketa. Menurut Prof.
Sudargo Gautama, salah satu sebabnya adalah bahwa pada umumnya mereka tidak
suka apabila sengketa-sengketa mereka dengan pengusaha-pengusaha nasional
dibawa kepada forum hakim negara nasional bersangkutan. Juga untuk pedagang-pedagang dari luar negeri yang
misalnya mengadakan transaksi dagang dengan usahawan-usahawan Indonesia, kita
saksikan bahwa hampir selamanya dipilih clausule arbitrase melalui Arbitration
Centres luar negeri, seperti ICC Paris, London Court of Arbitration, dan
sebagainya. Hal ini memang mempunyai latar belakang tertentu, pengusaha asing
merasa dirinya ‘unsafe’. Mereka khawatir terhadap hakim dan hukum dari
negara-negara berkembang. Ini memang suatu tendensi umum dari para usahawan
negara-negara yang sudah maju.
Umumnya
pengadilan nasional kurang mendapat kepercayaan (confidence) dari
masyarakat penguasa (bisnis) internasional, pengadilan nasional identik dengan
sistem ekonomi, hukum dan politik dari negara-negara tempat pengadilan nasional
tersebut berada yang berbeda dengan sistem para pengusaha (bisnis). Melalui
arbitrase ini mereka dapat menentukan bahwa sesuatu sengketa dagang
internasional akan ditarik daripada forum nasional negara berkembang
bersangkutan itu sendiri. Ini mereka anggap suatu keuntungan yang perlu
diperhatikan daripada Lembaga Arbitrase.
6. Para pihak yang bersengketa
diberi kesempatan untuk memilih “hakim” (arbiter atau
arbitrator)
yang mereka anggap netral dan dapat memenuhi harapan mereka, baik dari segi
keahlian atau pengetahuannya pada sesuatu bidang tertentu, tidak selalu harus
sarjana
atau ahli hukum, bisa saja ahli ekonomi, ahli perdagangan, insinyur, dan
lain-lain.
7.
Tidak
adanya pilihan hukum yang kaku dan tidak ditentukan sebelumnya.
8.
Penyelesaian
sengketa melalui arbitrase ini tidak harus melulu diselesaikan menurut proses
hukum (tertentu) saja, tetapi juga dimungkinkan suatu penyelesaian secara
kompromi diantara para pihak manakala para arbitrator menemui kesulitan
untuk memastikan apa yang menjadi sebab atau sebab-sebab timbulnya suatu
sengketa dan pihak mana yang bertanggungjawab karenanya. Keadaan ini timbul
karena
persidangan
arbitrase biasanya diminta dan diadakan setelah beberapa waktu lamanya setelah
klaim diajukan oleh para pihak. Karena itu para arbitrator kadangkala menemui
kesulitan dalam merekonstruksi fakta-fakta yang relevan dalam keadaan yang
aslinya. Cara penyelesaian arbitrase secara kompromi ini disebut conciliatory
arbitration (Huala Adolf, 2006).
9.
Kekuatan lain dari arbitrase adalah
telah diterimanya secara umum penghormatan
terhadap
pilihan arbitrase sebagaimana para pihak dalam kontrak telah cantumkan
dalam
klausul pilihan forum atau yang lazim disebut juga dengan arbitration clause
(klausul
arbitrase).
Berdasarkan
alasan-alasan itulah peranan arbitrase dalam penyelesaian sengketa
kontrak
dagang internasional sekarang ini lebih disukai dan lebih banyak dipakai.
Perjanjian arbitrase atau klausula arbitrase merupakan kesepakatan para pihak
tentang cara penyelesaian yang mungkin timbul di masa yang akan datang,
sehingga berpengaruh terhadap cara penyelesaian sengketa apabila terjadi
perselisihan. Oleh karena itu, klausula arbitrase akan memainkan peranannya
manakala benar-benar timbul sengketa mengenai perjanjian pokok dan akan
diperiksa serta diputus oleh lembaga arbitrase sesuai wewenang yang diberikan
kepadanya sebagaimana diatur dalam klausula arbitrase.
Pada
prinsipnya penyelesaian sengketa melalui arbitrase lebih murah dan lebih cepat
dan arbitrase hanya bermanfaat untuk para pihak atau pengusaha yang jujur dan
dapat dipercaya, karena mereka memiliki kredibilitas dan integritas terhadap
kesepakatan. Pihak yang dikalahkan harus secara sukarela melaksanakan putusan
arbitrase, namun apabila selalu mencari peluang untuk menolak melaksanakan
putusan arbitrase, maka penyelesaian perkara melalui arbitrase justru akan
memakan lebih banyak biaya, bahkan lebih lama daripada proses di pengadilan.
Pada prakteknya, walaupun para pihak telah memuat klausul arbitrase dalam
perjanjian bisnis, namun tetap saja mengajukan perkaranya ke pengadilan dan
cukup banyak Pengadilan Negeri menerima gugatan perkara tersebut, padahal Pasal
11 ayat (2) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 menyebutkan bahwa Pengadilan Negeri
wajib menolak dan tidak campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang
telah ditetapkan melalui arbitrase. (Gatot Soemartono : 2006).
Penyelesaian
sengketa melalui arbitrase diputus oleh arbiter yang ditunjuk, sehingga
putusannya tergantung pada kemampuan teknis arbiter untuk memberikan putusan
yang memuaskan dan sesuai dengan rasa keadilan para pihak. Meskipun demikian,
bagi majelis arbitrase tidak mudah untuk memuaskan dan memenuhi kehendak para
pihak yang bersengketa, pihak yang kalah akan mengatakan bahwa putusan
arbitrase tidak adil, sebaliknya pihak yang menang akan mengatakan putusan
tersebut adil. Oleh karena itu, ketergantungan terhadap para arbiter merupakan
suatu kelemahan, karena
substansi
perkara dalam arbitrase tidak dapat diuji kembali melalui proses banding,
mengingat putusan arbitrase bersifat final dan mengikat.
4.
UPAYA HUKUM PARA PIHAK YANG MENOLAK
PUTUSAN ARBITRASE
Di
atas telah dijelaskan bahwa arbitrase diatur dalam Rv., sebagai satu-satunya
aturan arbitrase yang berlaku umum pada masa pendudukan Hindia Belanda sampai
masa kemerdekaan Republik Indonesia, hingga dikeluarkannya Undang-undang No. 30
tahun 1999 ini.
Sebagaimana
telah disinggung pada uraian terdahulu bahwa keberadaan lembaga arbitrase
diatur dalam RV mulai Pasal 615 sampai dengan Pasal 651. Pasal 615 ayat (1) Rv.
menguraikan: “Adalah diperkenankan kepada siapa saja, yang terlibat dalam suatu
sengketa yang mengenai hak-hak yang berada dalam kekuaaannya untuk
melepaskannya, untuk menyerahkan pemutusan sengketa tersebut kepada seorang
atau beberapa orang wasit.” Kemudian dalam ayat (3) Pasal 615 ayat (3) Rv.
ditentukan : “Bahkan adalah diperkenankan mengikatkan diri satu sama lain,
untuk menyerahkan sengketa-sengketa yang mungkin timbul dikemudian hari, kepada
pemutusan seorang atau beberapa orang wasit.” Ketentuan tersebut jelas bahwa
setiap orang atau pihak yang bersengketa berhak untuk menyerahkan penyelesaian
sengketa mereka kepada seorang atau beberapa orang arbiter, yang akan
memutuskan sengketa mereka tersebut menurut asas-asas dan ketentuan-ketentuan
yang dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa.
Para
pihak yang bersengketa berhak untuk melakukan penunjukkan itu setelah ataupun
sebelum sengketa terjadi, dilakukan dengan pencantuman klausula arbitrase dalam
perjanjian pokok mereka (Pactum De Kompromitendo). Sedangkan penunjukan
arbitrase sebagai cara penyelesaian sengketa setelah sengketa terbit dilakukan
dengan membuat persetujuan arbitrase sendiri (Akta Compromis).
Sehubungan dengan
macam-macam arbitrase, secara umum dalam praktek
dikenal
dua macam arbitrase dalam praktek, yaitu :
Arbitrase ad-hoc
atau volunter arbitrase sifatnya tidak permanen
atau insidentil. Arbitrase ini keberadaannya hanya
untuk memutus dan menyelesaikan suatu kasus sengketa tertentu saja. Setelah
sengketa selesai diputus, maka keberadaan arbitrase ad hoc inipun
lenyap dan berakhir dengan sendirinya. Arbiter yang menanganai penyelesaian sengketa
ini ditentukan dan dipilih sendiri oleh para pihak yang bersengketa; demikian
pula tata cara pengangkatan para arbiter, pemeriksaan dan penyelesaian
sengketa, tenggang waktu penyelesaiann sengketa tidak memiliki bentuk yang
baku. Hanya saja dalam pemilihan dan penentuan tidak boleh menyimpang dari apa
yang telah ditentukan oleh undang-undang.
BATAS
WAKTU PROSES PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI LEMBAGA ARBITRASE
Undang-Undang
No. 30 Tahun 1999 memberikan maksimum jangka waktu penyelesaian sengketa melalui
arbitrase dalam waktu 180 (seratus delapan puluh) hari terhitung sejak arbiter atau
majelis arbitrase tersebut. Selain itu Undang-undang juga melahirkan
tanggung jawab perdata bagi arbiter atau majelis arbitrase atas pemenuhan
perjanjian penyelesaian sengketa diantara arbiter atau majelis arbitrase
tersebut denga para pihak yang bersengketa.
Putusan
arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tatacara
(prosedur) yang sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Karena para arbitrator ditunjuk oleh masing-masing pihak yang bersengketa, maka
logisnya putusan arbitrator harus ditaati oleh kedua belah pihak. Jika salah
satu pihak tidak mau tunduk pada putusan tersebut, maka ia menjadi pihak yang
melakukan wanprestasi. Putusan arbitrase adalah putusan terakhir, termasuk
dalam kesepakatan kedua belah, bahwa putusan wasit maupun putusan terakhir,
jadi tidak ada banding atau kasasi, sesuai dengan Pasal 60 UU No. 30 Tahun
1999, bahwa putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap
dan mengikat para pihak. Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan
arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua
Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa (Pasal 61
UU No. 30 Tahun 1999).
Terhadap
putusan Arbitrase Internasional diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah
hukum Republik Indonesia, namun penyelesaiannya harus melalui lembaga ICSID dan
putusan arbitrase internasional tersebut harus ditempuh dengan syarat-syarat bahwa,
putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase
di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik
secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan
Putusan Arbitrase Internasional, putusan Arbitrase Internasional sebagaimana
dimaksud dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum
Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan, putusan Arbitrase
Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di
Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertibann
umum, putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah
memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan Putusan
Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut
Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat
dilaksanakan segelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik
Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
(Pasal 66 UU No. 30 Tahun 1999): Permohonan pelaksanaan Putusan Arbitrase
Internasional dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan
oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,
penyampaian berkas permohonan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat(1)
harus disertai dengan :
lembar asli atau salinan otentik Putusan
Arbitrase Internasional, sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing,
dan naskah terjemahann resminya dalam Bahasa Indonesia, lembar asli atau
salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar Putusan Arbitrase Internasional
sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan
resminya dalam Bahasa Indonesia, keterangan dari perwakilan diplomatik Republik
di negara tempat Putusann Arbitrase Internasional tersebut ditetapkan, yang
menyatakan bahwa negara pemohon terikat pada perjanjian, baik secara bilateral
maupun multilateral dengan negara Republik Indonesia perihal pengakuan dan
pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional, (Pasal 68 UU No. 33 Tahun 1999).
Terhadap
putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung
unsur-unsur sebagai berikut surat atau dokumen yang diajukan dalam
pemeriksaann, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;
setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang
disembunyikan oleh pihak lawan; atau putusan diambil dari hasil tipu muslihat
yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa sebagaimana
Pasal 70 UU No. 30 Tahun 1999. Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus
diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung
sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera
Pengadilan Negeri sebagaimana Pasal 71 UU No. 30 Tahun 1999.
Permohonan
pembatalan putusan arbitrase harus diajukan kepada ketua Pengadilan Negeri.
Apabila permohonan dikabulkan, ketua Pengadilan Negeri menentukan lebih lanjut
akibat pembatalan seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase.
Putusan
atas permohonan pembatalan ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan diterima. Terhadap putusan
Pengadilann Negeri dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang
memutus dalam tingkat pertama dan terakhir. Mahkamah Agung mempertimbangkan
serta memutuskan permohonan banding dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari setelah permohonan banding tersebut diterima oleh Mahkamah Agung sesuai
dengan Pasal 172 UU No. 30 Tahun 1999.
Berdasarkan
uraian dan pembahasan sebagaimana tersebut di atas dapat
dijelaskan
bahwa putusan arbitrase sifatnya final, namun jika dengan putusan tersebut ada
pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan pembatalan atas keputusan
arbitrase tersebut. Permohonan pembatalan atas putusan arbitrase diajukan
kepada Pengadilan Negeri pada daerah hukum di mana para pihak tersebut
bersengketa
5.
RUANG LINGKUP ARBITRASE
A. Syarat – Syarat Arbitrase, Pengangkatan Arbiter Dan Hak Ingkar
1. Syarat – Syarat Arbitrase
Didalam pasal 8 Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa umum, telah disebutkan syarat – syarat arbitrase sebagai berikut :
dalam hal timbul sengketa, pemohon harus memberitahukan dengan surat tercatat, telegram, teleks, faksimili, e-mail atau dengan buku ekspedisi kepada termohon bahwa syarat arbitrase yang di adakan oleh permohon atau termohon berlaku.
surat pemberitahuan untuk mengadakan arbitrase sebagaimana di maksud ayat (1)
memuat dengan jelas:
A. Syarat – Syarat Arbitrase, Pengangkatan Arbiter Dan Hak Ingkar
1. Syarat – Syarat Arbitrase
Didalam pasal 8 Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa umum, telah disebutkan syarat – syarat arbitrase sebagai berikut :
dalam hal timbul sengketa, pemohon harus memberitahukan dengan surat tercatat, telegram, teleks, faksimili, e-mail atau dengan buku ekspedisi kepada termohon bahwa syarat arbitrase yang di adakan oleh permohon atau termohon berlaku.
surat pemberitahuan untuk mengadakan arbitrase sebagaimana di maksud ayat (1)
memuat dengan jelas:
a. nama
dan alamat para pihak .
b. penunjukkan
kepada klausula atau perjanjian arbitrase berlaku.
c. perjanjian
atau masalah yang menjadi sengketa.
d. dasar
tuntutan dan jumlah yang di tuntut, apabila ada.
e. cara
menyeksaran yang dikehendaki dan
f. perjanjian
yang diadakan oleh para pihak tentang jumlah arbiter tidak pernah di adakan
perjanjian semacam ini, pemohon dapat mengajukan usul dengan jumlah orbiler
yang di kehendaki dalam jumlah ganjil.
Berdasarkan pasal 8 tersebut berarti para pihak yang mengadakan perjanjian, yang dimana di dalam surat perjanjian, klausula para pihak sepakat apabila terjadi sengketa
Di belakang hari akan menggunakan lembaga badan arbitrase. Dalam perjanjian arbitrase, para pihak dapat menyepakati penunjukan badan kuasa arbitrasi institu sional atau arbitrase ad hoc. Serta dapat pula menentukan kesepaka arbiter yang akan berfungsi menyelesaikan sengketa adalah arbiter tunggal atau yang bersifat majelis yang berdiri dari 3 orang.
Akad kompromis harus memuat uraian tentang masalah yang di perselisihkan nama dan alamat para juru pisah yang di tunjuk tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan, nama lengkap sekretaris, jangka waktu penyelesaian sengketa, pernyataan kesediaan arbiteran, pernyataan kesediaan dipihak yang bersengketa melalui arbitrase, juru pisah ini lazimnya di ambil dari kalangan profesi sehingga terjamin kemampuannya.
Juru pisah atau arbiter ini tidak boleh mempunyai kepentingan dalam perkara atau mempunyai hubungan keluaga atau dengan pihak yang berselisih, agar tidak memihak.
BAB
IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
· Penyelesaian
masalah secara arbitrase di Indonesia didasarkan atas UU No. 30 Tahun 1999
tentang arbitrase yaitu cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar
peradilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara
tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Penyelesaian melalui arbitrase dapat
menekan lamanya waktu, biaya dan tenaga serta sifatnya tertutup, sehingga
sangat tepat untuk para pebisnis dari negara asing.
· Putusan
Arbitrase pada hakikatnya adalah bersifat final dan mengikat secara langsung
terhadap pihak yang bersengketa. Karena Penyelesaian menggunakan arbitrase
merupakan pilihan kedua belah pihak yang bersengketa dan seharusnya hasil
keputusan arbiter tersebut mengikat kedua belah pihak, namun jika hasil
keputusan arbitrase tersebut merugikan salah satu pihak, maka upaya hukum para
pihak yang menolak putusan arbitrase adalah mengajukan permohonan pembatalan
keputusan arbitrase tersebut pada Pengadilan Negeri.
B.
Saran
·
Penyelesaian secara arbitrase di
Indonesia nampaknya kurang sosialisasi, sehingga sebagian masyarakat belum
mengetahui eksistensi lembaga arbitrase untuk itu hendaknya mengenai eksistensi
lembaga arbitrase ini disosialisasikan kepada masyarakat luas.
·
Penyelesaian secara arbitrase
merupakan suatu hasil kesepakatan kedua belah pihak yang ditungkan dalam
perjanjian, untuk itu kaitannya dengan upaya hukum permohonan pembatalan
keputusan pada Pengadilan Negeri, hendaknya Pengadilan Negeri mempertimbangkan
kesepakatan kedua belah pihak dan menekan waktu dalam menerbitkan penetapan
atas permohonan tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
1. A.
Literatur
2. Abdulkadir
Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung,
1991.
3. Boediono, Ekonomi
Internasional, BPFE, Yogyakarta, 2001.
4. Keinichi
Ohmal, Berderless Word, Herper Business, Maknesey Company Inc.,
Printed In USA, 1990 Mariam Darus Badrulzaman, Peranan BAMUI dalam
Pembangunan Hukum Nasional, Pradnya Paramita,
Jakarta, 1994.
5. Pitlo,
Pitlo, Pembuktian dan Daluwarsa, Intermasa, Jakarta,
1986.
6. Purwosutjipto, Pengertian
Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jilid 1, Djambatan,
7. Jakarta,
1992.
8. Retnowulan
Soetantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam
Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, 1998.
9. Ricky
W. Griffin dan Michail W. Pustay, Bisnis Internasional, Jilid
I, Indeks, Jakarta,
10. 2005.
11. Ridwan
Khairandy, et. all, Pengantar Hukum Dagang Indonesia I,
Ghama Media,
12. Yogyakarta,
1999.
13. Riduan
Syahrani, Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Umum,
Pustaka Kartini, Jakarta, 1995._______, Seluk Beluk dan Asas-asas
Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 1989.
14. Sonny
Keraf, Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya, Kanisius,
Jakarta 1998.
15. Subekti, Arbitrase
Perdagangan, BPHN-Binacipta, Jakarta, 1981._______,Hukum
Perjanjian, , Intermasa, Jakarta, 1991.
16. Sudargo
Gautama, Undang-undang Arbitrase Baru 1999, Citra Aditya
Bakti,
17. Bandung,
1999.
18. Sudikno
Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Liberty,
Yogyakarta,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar