BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Sejak
Perang Dunia I, minyak sebagai sumber energi, dan telah menjadi semakin
bertambah penting untuk industri dan perang. Minyak mentah sebagai salah satu
sumber energi dan menjadi barang yang dapat mempengaruhi kebijakan domestik dan
luar negeri suatu negara. Berbagai
kejadian-kejadian dunia seperti Perang Dunia I, Perang Dunia II, serta
perang-perang yang terjadi di panggung internasional sangat membutuhkan minyak
mentah (crude oil) sebagai sumber energi yang menggerakkan persenjataan militer
negara-negara di dunia pada saat itu. Embargo negara-negara Arab kepada Amerika
Serikat dan Eropa pada tahun 1970-an semakin membuktikan Sumber Daya Alam ini
merupakan komoditas utama yang dapat menggerakkan politik luar negeri, keamanan,
dan interaksi antar negara.[1]
Krisis
energi yang berlangsung di era 1970an lalu telah menggetarkan sendi-sendi
kehidupan ekonomi dan politik dunia. Suatu peneltian berjangkauan panjang yang
telah dibuat tahun 1960an tidak pernah menandaskan bahwa energi adalah
merupakan satu persoalan pokok dalam tata krama kehidupan. Namun diawal tahun
1970an energi tiba-tiba menjelma menjadi sebuah issue sentral baik di bidang
ekonomi maupun dipanggung politik internasional. Adanya ketidaktentuan pasar
minyak internasional membuat energi akan tetap unggul sebagai bahan baku
pembangkit tenaga. Segi-segi keunikannya terletak pada adanya kecenderungan
meningkatnya harga mengikuti menciutnya pengadaan termasuk perubahan mendasar
disektor permintaan.
Potensi
minyak yang dimiliki Indonesia untuk saat ini memang belum signifikan,
kilang-kilang perusahaan minyak yang ada saat ini di Indonesia seperti kilang
minyak Pangkalan Brandan, Pangkalan Susu, Kilang Minyak Wonokromo, Cepu, serta kilang-kilang minyak yang rencana akan
di bangun seperti Kilang minyak Tuban, kilang minyak Balongan, Dumai dan
Cilacap. PT. Pertamina sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini semakin
mengintensifkan kerjasama dengan Saudi Aramco sebuah Oil National Company dari
Arab Saudi untuk membangun kilang minyak di Cilegon, Banten dengan rencana
kapasitas 300.000 barel per hari (bph).[2]
Jumlah ketersediaan energi bahan
bakar Indonesia memang mengkhawatirkan, terutama ketersediaan Bahan Bakar
Minyak (BBM). Hal ini terkait ketersediaan cadangan sumber daya
minyak Indonesia sejak tahun 1995 sudah semakin menipis. Data tahun 2002
menunjukkan cadangan minyak bumi sekitar 5 miliar barel dan dengan tingkat
produksi minyak tahun 2007 sekitar 500 juta barel. Pada tahun 2009 secara
keseluruhan tahun 2009 sekitar 950.000 bph, dan cadangan sisa seluruh lapangan
minyak di Indonesia tahun 2009 sekitar 5 Milyar barel.[3]
Politik minyak ditujukan bagi para pihak yang
terkait dalam permainan minyak dimana keuntungan atas dasar minyak menjadi
penggerak dasar dalam perpolitikan baik dalam institusi negara maupun para
perusahaan minyak raksasa dunia yang terkadang merugikan pihak yang tidak
bersalah. Suatu negara jika mengimpor minyak dari suatu negara yang lain di pengaruhi
oleh faktor ekonomi dan faktor politik, menurut Noreng, faktor
ekonomi dan faktor politik itu yakni :
Faktor ekonomi yang
mempengaruhi kebijaksanaan impor minyak suatu negara adalah : pertumbuhan
ekonomi, produksi ekonomi dalam negeri, serta koefisien energi (yaitu hubungan
antara pertumbuhan ekonomi dengan tingkat pertumbuhan konsumsi energi). Dalam
konteks analisa ekonomi, besarnya kuota impor minyak adalah merupakan
kekurangan kebutuhan energi yang tidak bisa diproduksi didalam negeri, atau
tegasnya jumlah kebutuhan dikurangi out-put nasional.
Sedangkan peranan
faktor politik yang mempengaruhi kebijaksanaan impor minyak satu negara
konsumen adalah : tujuan-tujuan ekonomi nasional dan kebijaksanaan energi dan
pengaruh kekuatan sektor dunia usaha serta kelompok kepentingan dalam
masyarakat atas keputusan politik pemerintah. Tegasnya, impor minyak dapat
dikatakan sebagai satu keharusan atas ketidakmampuan negara memenuhi kebutuhan
energinya secara utuh, yang merupakan salah satu elemen penting dari
keseimbangan ekonomi nasional dan kebutuhan energi, dengan cara mana oposan
domestik dapat diatasi.[4]
Kedua
faktor di atas mempunyai kaitan dan saling ketergantungan dalam analisa impor
minyak yang diberlakukan. Yang pertama yakni meletakkan perhatian penting pada
proses ekonomi sedang yang terakhir memilikinya dari segi keputusan politik.
Patut digarisbawahi sebagai sebuah fakta bahwa impor minyak menampilkan satu
bagian penting dari kebutuhan energi nasional yang tidak bisa diadakan di dalam
negeri. Jadi, secara relatif kecilnya perubahan ekonomi dan politik nasional
jelas akan menimbulkan akibat yang kecil pula atas kebijaksanaan impor energi
yang sudah diberlakukan sebelumnya.
Suatu
negara ketika sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan primer dalam negaranya,
untuk keperluan penduduknya maka negara tersebut
harus memenuhi kebutuhannya dengan melakukan kerjasama dengan negara lain. Indonesia
mengimpor minyak dari Arab Saudi dalam hal ini melalui Saudi Aramco, di
karenakan cadangan minyak yang ada di Indonesia memang belum mencukupi dari
pemenuhan kebutuhan minyak dalam negeri, tahun 2010 pihak PT PERTAMINA (Perusahaan
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara) menjajaki perjanjian dengan Saudi
Aramco (Oil National Company of Kingdom Saudi Arabia) dalam hal impor
minyak sebesar 200.000 bph yang sebelumnya PT. Pertamina telah mendapatkan crude
oil dari Saudi Aramco sebanyak 125.000 bph. Indonesia mengharapkan dapat
mengimpor minyak sebesar 325.000 bph dari Saudi Aramco untuk memenuhi kebutuhan
kilang minyak dalam negeri.[5]
Dalam
hal kontrak impor minyak dari Saudi Aramco Indonesia dalam hal ini Pertamina
mengharapkan mendapatkan harga yang lebih murah dan kerjasamanya bisa
berlangsung lama, pihak Pertamina berharap kontraknya bisa evergreen
till death do us part. Pertamina mengimpor minyak mentah sekitar 35 persen
dari total kebutuhan minyak mentah yang akan diolah kilang-kilang yang
beroperasi di Tanah Air. Dari total impor tersebut, 70% impor berupa kontrak
jangka panjang, dan sisanya diperoleh dari pasar spot. Berdasarkan data
Direktorat Jenderal Migas, bagian terbesar impor minyak mentah Indonesia adalah
ALC (Arabian light crude), yang dinilai murah. Pada 2007, total
realisasi impor ALC sekitar 37,48 juta barel dari 116,40 juta barel. Data
Bappenas menyebutkan, sejak 1980-an ALC tidak diperdagangkan di pasar spot.[6]
Persaudaraan ndonesia dan Arab Saudi di OPEC
memungkinkan Indonesia mendapatkan minyak mentah dengan harga khusus.
Kerjasama
yang terjalin antara Indonesia dan Arab Saudi dalam bidang ekspor minyak memang
lebih sering, akan tetapi ekpor dalam bentuk minyak dan gas memang pernah di
jalankan Indonesia dengan Arab Saudi pada tahun 2001 sebesar US$ 1,24 juta.[7]
Arab
Saudi merupakan negara perindustrian yang bertumpu pada sektor minyak bumi dan sumber-sumber
tambang lainnya. Perekonomian negara ini
sangat dibantu oleh hasil minyak bumi.
Cadangan minyak Arab Saudi tahun 2003 diperkirakan mencapai 260,1 miliar barel,
setara dengan seperempat total cadangan minyak dunia pada saat itu.[8]
Arab Saudi sangat berperan dalam organisasi penghasil minyak yakni OPEC (Organization
of Petroleum Exporting Countries), selain memang sebagai salah satu negara
penggagas organisasi ini pada tahun 1960 bersama Iran, Kuwait, Irak dan
Venezuela juga pendapatan ekspor Arab Saudi sebagian besar diperoleh dari hasil
perdagangan minyak yakni sekitar 90 persen.
Tahun
2007 Arab Saudi produksinya meningkat mencapai 11,8 juta barel per hari.
Sedangkan tahun 2010 menurut data OPEC cadangan minyak Arab Saudi mencapai
mencapai 265 miliar barel.[9]
Minyak menjadi kekuatan bagi Arab Saudi negara yang dijuluki petrodollar ini
adalah kekuatan nasional bagi, sebagaimana yang dikemukakan oleh Morgenthau
: “…negara-negara yang banyak sekali memiliki endapan minyak memperoleh
kekuatan dalam urusan internasional…”[10]
Indonesia
dan Arab Saudi sudah menjalin kerjasama dan hubungan diplomatik selama 60 tahun
lamanya sejak 1 Mei 1950 yang lalu. Kerjasama yang terjalin erat, kuat dan
bersahabat dalam bidang agama, budaya, dan politik selama bertahun-tahun.
Indonesia dan Arab Saudi telah memiliki saling pengertian dan pendekatan yang
sama pada seluruh jajaran isu bilateral dan internasional, keduanya selalu
ingin meningkatkan dan memperkuat hubungan di bidang ekonomi, agama, perdagangan
dan investasi, energi, dan sektor ketenagakerjaan. Segala bentuk kerjasama yang
terjalin antara Indonesia dan Arab Saudi perlu menjadi perhatian khusus bagi
Indonesia karena hubungan yang terjalin sudah begitu lama dan membawa banyak
keuntungan bagi Indonesia.
Kerjasama
Indonesia dalam hal ini PT. Pertamina dengan Arab Saudi yakni Saudi Aramco,
dalam impor minyak, membawa Indonesia untuk berharap banyak. Pengembangan industri
minyak Arab Saudi dilaksanakan oleh Aramco (Arabian-American Oil Company),
sebuah perusahaan patungan keluarga kerajaan dengan Amerika Serikat dengan
kedudukan managemen yang didominasi pihak AS yang secara tradisional
menempatkan Arab Saudi sebagai pemasok utama kebutuhan minyak AS, Saudi Aramco
merupakan gabungan beberapa perusahaan minyak Amerika Serikat. Keamanan Arab
Saudi diperoleh bukan karena kekuatan negara Wahabi itu, melainkan karena
konsesi minyak yang diberikan kepada Amerika Serikat. Hampir seluruh industri
minyak Arab Saudi dijalankan oleh Aramco.[11]
Berdasarkan
kondisi yang ada, Indonesia dengan kebutuhan minyak yang semakin besar, dan
Saudi Aramco sebagai pemasok minyak yang besar bagi Indonesia sementara Amerika
Serikat dalam Saudi Aramco menjadi
negara yang menguasai konsesi minyak pada perusahaan ini, hal ini menjadi satu
kendala bagi Indonesia dalam kerjasama dengan Saudi Aramco, mengingat fluaktuasi
kurs dollar terhadap rupiah. Dengan adanya kendala ini maka penulis tertarik
meneliti tentang hambatan-hambatan lain yang dihadapi Indonesia dalam kerjasama
dengan Arab Saudi dalam bidang perminyakan dan peluang serta faktor perminyakan yang dituangkan dalam
judul :“Kerjasama Bilateral Indonesia-Arab Saudi dalam Bidang perminyakan”.
B.
Batasan dan Rumusan Masalah
1.
Batasan Masalah
Kerjasama
antara Indonesia dan Arab Saudi dari pihak PT. Pertamina mengalami peningkatan
dikarenakan kebutuhan minyak mentah dari Indonesia semakin meningkat sementara
cadangan minyak yang tersedia di Indonesia tidak mencukupi pemenuhan kebutuhan
minyak dalam negeri. Sebagai komoditas penting dan penggerak sendi-sendi
kehidupan negara, kerjasama yang dijalankan Indonesia dengan Arab Saudi dalam
hal ini melalui PT. Pertamina dan Saudi Aramco dalam kerjasama impor minyak Penulis membatasi kerjasama perminyakan
tersebut dari tahun 2003-2008.
2.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut
:
1.
Hambatan-hambatan apa saja yang di hadapi Indonesia menjalin
kerjasama bidang perminyakan dengan Arab Saudi?
2.
Bagaimana peluang-peluang kerjasama perminyakan Indonesia dengan
Arab Saudi?
3.
Bagaimana faktor perminyakan dalam hubungan bilateral
Indonesia dengan Arab Saudi?
C. Tujuan dan Kegunaan
Penelitian
1.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1.
Untuk mengetahui dan menjelaskan hambatan-hambatan yang dihadapi Indonesia menjalin kerjasama
perminyakan dengan Arab Saudi.
2.
Untuk mengetahui dan menjelaskan peluang-peluang kerjasama perminyakan Indonesia dengan Arab
Saudi.
3.
Untuk mengetahui dan menjelaskan bagaimana faktor perminyakan Indonesia dengan Arab Saudi?
2. Kegunaan Penelitian
a.
Diharapkan dapat
memberikan sumbangan pemikiran dan informasi bagi para mahasiswa hubungan
internasional dalam hal menganalisis sebuah permasalahan.
b.
Sebagai bahan referensi, masukan dan tambahan pengetahuan bagi
peneliti lain yang hendak mengadakan penelitian tentang tema yang sama dan
relevan.
D.
Kerangka Konseptual
Hubungan
Internasional kontemporer selain mengkaji hubungan politik juga mencakup
tentang interdependensi perekonomian. Kajian ilmu hubungan internasional menjadi luas dengan mengcakup pengkajian mengenai
berbagai aspek kehidupan masyarakat (politik, ekonomi, sosial, budaya).
Batasannya yakni hubungan internasional mengkaji hal-hal atau aspek-aspek ini
dari segi keterhubungan global (global connections), yang non-domestik,
yang melintasi batas wilayah masing-masing negara.[12]
Hubungan
Internasional tidak dapat dipisahkan dengan segala bentuk interaksi yang
berlangsung dalam pergaulan masyarakat internasional, baik oleh pelaku negara-negara
(state-actors) maupun oleh pelaku-pelaku bukan negara (non-state
actors). Pola interaksi hubungan ini yakni berupa kerjasama (Coorporation).
Adanya
jalinan hubungan kerjasama Indonesia-Arab Saudi sejalan dengan konsep hubungan
bilateral, menurut Kusumohamidjojo:
Hubungan
bilateral adalah suatu bentuk kerjasama diantara dua negara yang berdekatan
secara geografis maupun yang jauh diseberang lautan dengan sasaran utama
menciptakan kerjasama politik, kebudayaan, dan struktur ekonomi.[13]
Ekonomi
politik internasional secara sederhana dapat diartikan sebagai interaksi global
antara politik dan ekonomi. Gilpin mendefinisikan ekonomi-politik sebagai :
Dinamika
interaksi global antara pengajaran kekuasaan (politik) dan pengejaran kekayaan
(ekonomi). Dalam definisi ini terdapat hubungan timbale balik antara politik
dan ekonomi.[14]
Ekonomi
politik internasional merupakan studi yang mempelajari saling keterhubungan
antara ekonomi internasional dengan politik internasional, ekonomi
internasional dengan politik internasional yang muncul akibat berkembangnya
masalah-masalah yang terjadi dalam system internasional. Pengkajian ekopolinter
membutuhkan integrasi teori-teori dari disiplin ekonomi dan politik, misalnya
masalah-masalah dalam isu perdagangan internasional, moneter dan pembangunan
ekonomi. Dapat pula dinyatakan, bahwa ekopolinter adalah sebuah studi tentang
masalah yang terfokus pada elemen-elemen interdependen kompleks yang sering
terjadi pada kehidupan kita sehari-hari. Ekonomi Politik
Internasional menurut Mas’oed, didefinisikan
sebagai studi tentang saling
hubungan antara ekonomi dan politik dalam arena internasional, yaitu bagaimana soal-soal ekonomi
seperti inflasi, defisit neraca
perdagangan atau pembayaran, penanaman
modal asing, efisiensi produksi, dsb. Berkaitan dengan urusan
politik internasional dan politik domestik.[15]
Ekonomi
politik internasional merupakan suatu pendekatan khas untuk memahami fenomena
hubungan internasional dengan lebih jelas. sebagai bagian dari studi hubungan
internasional mempunyai sub-studi yang lebih menekankan analisis tentang
kebijakan suatu negara dalam melakukan transaksi dan menghadapi permasalan ekonomi
internasional. Dalam interaksi internasional khususnya perdagangan minyak
mentah terdapat terdapat mekanisme pasar yang cukup rumit seperti penentuan
kurs/valuta asing, faktor produksi, cadangan minyak, penemuan sumber baru,
distribusi, perudingan-perundingan, supply and demand, spekulan-spekulan
pasar dan beberapa kasus internasional menjadi acuan yang penting dalam
menentukan pola-pola interaksi tersebut hingga melahirkan suatu harga
kesepakatan pasar internasional.
Eagleton
– Pierce menjelaskan bahwa minyak merupakan sumber daya
alam yang sangat potensial menggerakkan politik suatu negara dan menjadi
sumber konflik. Lebih jauh dijelaskan pula bahwa politik kontemporer yang
dikarenakan oleh minyak bukan merupakan hal sederhana yang menunjukkan kepada
aktor negara
tetapi meluas pada ekonomi yaitu gabungan aktor non negara (perusahaan raksasa).[16]
Menurut Roemer – Mahler oil
politics tersebut mempengaruhi empat bidang secara luas yaitu : kebijakan
politik luar negeri suatu negara, lingkungan hidup, pembangunan dan konflik.[17]
Kedudukan
kritis minyak dalam keseimbangan energi dunia serta ketidakmerataan distribusi
sumber-sumbernya, membuat minyak tampil sebagai satu jenis komoditi yang baik
secara ekonomis, politis bahkan stategis sedemikian pentingnya. Minyak dunia
merupakan sesuatu hal yang kompleks karena selain tingkat kebutuhannya yang
tinggi, para pemain di sektor ini termasuk skala besar baik ditingkat bisnis
(perusahaan minyak raksasa) maupun kekuatan geopolitik suatu negara. hal ini
menimbulkan beberapa model analisa dengan melihat minyak sebagai dasar
penggerak suatu perpolitikan. Seperti dalam pendapat Noreng mengatakan :
Didalamnya
terdapat politik penentuan harga dan kendali pengadaannya (baca : minyak)
sering kali menjadi sumber ketegangan internasional yang begitu eksplosif.
Singkatnya, minyak mempunyai satu hubungan fungsional dengan berbagai issue
penting dalam tertib kehidupan manusia. Sejak hampir semua negara di dunia
menjadi pengimpor minyak sekaligus menggantungkan sebagian besar konsumsi dan
kebutuhan energi mereka pada minyak impor, tak dapat dihindarkan bahwa harga
dan proses pengendaliannya telah mempengaruhi kemandirian ekonomi dan kebijaksanaan
politik luar negeri semua negara tersebut.[18]
Dalam
kutipan di atas dapat kita katakan bahwa minyak berkaitan secara sistematis
dengan sejumlah masalah penting seperti dengan derajat pertumbuhan ekonomi,
tingkat pengangguran, inflasi, kebijaksanaan perdagangan dan orientasi
kebijaksanaan politik luar negeri secara umum. Ia juga tidak dapat dipisahkan
dari persoalan kohesi politik dalam suatu persekutuan atau blok politik
internasional tertentu dan pembangunan ekonomi disemua negara.
E.
Metode Penelitian
1.
Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan
dalam tulisan ini ialah deskriptif-eksplanatif dimana penulis mencoba
menggambarkan hambatan bagi Indonesia dalam bidang kerjasama perminyakan, peluang bagi Indonesia menjalin kerjasama
perminyakan dengan Arab Saudi serta faktor perminyakan menjalin
kerjasama tersebut.
2.
Jenis Data
Adapun Jenis data yang
akan digunakan adalah data sekunder, yaitu data tentang potensi minyak
Indonesia,potensi minyak Arab Saudi, serta data yang berkaitan tentang
kerjasama kedua negara ini dalam bidang perminyakan. Data ini diperoleh dari
literatur-literatur seperti buku-buku, jurnal, majalah, surat kabar, dan
informasi yang diakses dari internet yang berkaitan dengan masalah yang akan
dibahas. Adapun data sekunder yang diperlukan dalam penelitian ini menyangkut kerjasama
bilateral Indonesia dengan Arab Saudi dalam bidang perminyakan.
3.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang
penulis gunakan dalam penelitian ini adalah telaah pustaka yaitu dengan
mengumpulkan data dari literatur yang berhubungan dengan permasalahan yang akan
dibahas. Literatur ini berupa buku-buku, jurnal, majalah, surat kabar, dan
pencarian informasi melalui internet.
Adapun tempat penelitian yang dikunjungi yaitu:
1.
Perpustakaan
Universitas Hasanuddin di Makassar
2.
Kantor Cabang
PERTAMINA di Makassar
3.
Perpustakaan Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unuversitas Hasanuddin di Makassar.
4.
Teknik Analisis Data
Teknik analisis data
yang akan penulis gunakan dalam penulisan ini adalah teknik analisis data kuantitatif,.
Data kualitatif diperoleh dari berbagai literature yang dikumpulkan kemudian
permasalahan dijelaskan dan dianalisa berdasarkan fakta-fakta yang ada dan
disusun dalam suatu tulisan. Yang menjadi pokok analisis adalah kerjasama
Indonesia-Arab Saudi dalam bidang perminyakan, hambatan, peluang menjalin
kerjasama serta faktor perminyakan menjalin kerjasama dengan Arab Saudi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
KONSEP HUBUNGAN
BILATERAL
Hubungan antar bangsa sudah lama
ada dan terus berkembang sepanjang waktu. Di dorong oleh kebutuhan dan
keinginan yang tidak dapat dipenuhi sendiri maka suatu negara berusaha mengadakan
hubungan luar negeri dengan negara lain dalam konsep interaksi hubungan
kerjasama yang saling menguntungkan. Dalam hubungan internasional interaksi
antar negara selalu berlangsung dalam dua tipe, hubungan yang
ekstrem yaitu konflik dan hubungan
yang harmonis yaitu kerjasama. Tipe
hubungan tersebut silih berganti seiring dengan berjalannya waktu dalam
dinamika hubungan internasional, namun sebaliknya hubungan antar dua negara tersebut dapat
memberi dampak yang dapat mewarnai dinamika hubungan internasional.
Menurut bentuknya kerjasama antar negara terdiri atas
kerjasama bilateral dan kerjasama multilateral. Kerjasama bilateral mengacu
pada hubungan saling mempengaruhi antara dua negara. sedangkan kerjasama multilateral
mengacu pada hubungan saling mempengaruhi yang dilakukan oleh lebih dari dua
negara. Menurut sejarah perkembangannya hubungan antar negara, kerjasama
bilateral adalah salah satu bentuk hubungan antar negara yang paling
tertua dan sudah terjadi sejak lama, sebelum adanya perjanjian Westpalia 1648.
Sampai saat ini, seiring dengan semakin menguatnya multipolarisme dalam sistem ekonomi dan
politik internasional, tetap dirasakan pentingnya kerjasama bilateral utamanya
dalam menciptakan hubungan yang harmonis.
Manfaat
untuk mengadakan hubungan luar negeri dengan negara lain tentu lebih baik
ketimbang bersikap konfrontatif dengan negara tersebut. Adanya perbedaan
kepentingan dan kebijakan luar negeri suatu negara sering menjadi pemicu
ketegangan atau bahkan konflik antar negara. di dalam hubungan internasional
hubungan yang melibatkan dua negara disebut hubungan bilateral. Hubungan ini mencakup
beberapa bidang termasuk aspek ekonomi, politik, militer, dan pertahanan
keamanan. Kusumohamidjoyo hubungan bilateral diartikan sebagai :
Suatu
bentuk kerjasama diantara kedua negara baik yang berdekatan secara geografis
ataupun yang jauh diseberang lautan dengan sasaran utama untuk menciptakan
perdamaian dengan memperhatikan kesamaan politik, kebudayaan, dan struktur
ekonomi.[19]
Jadi dalam kerjasama
bilateral antara dua negara letak geografisnya yang saling berjauhan tidak lagi
menjadi hambatan yang cukup berarti. Perkembangan yang menakjubkan telah
memungkinkan semua itu. Semakin tingginya saling ketergantungan antara negara
satu dengan yang lain telah menjadikan letak geografis yang berjauhan tidak
lagi menjadi penghalang yang berarti. Hubungan antar dua negara bisa dilakukan
dalam berbagai bidang kehidupan manusia seperti; bidang ekonomi, politik,
militer dan kebudayaan. Hubungan akan terjalin sesuai dengan tujuan-tujuan
spesifik serta bidang-bidang khusus yang dijadikan tolak ukur bagi suatu negara
dalam melakukan hubungan dengan negara lain. Dalam hubungan tersebut sangat
ditentukan oleh hasil interaksi kedua negara dalam berbagai bidang.
Dilaksanakannya kerjasama
bilateral antar dua negara dirasakan akan sangat penting artinya, oleh karena
suatu negara tidak dapat memenuhi semua kebutuhannya tanpa kerjasama dengan
negara lain. Pemanfaatan modal dasar berupa SDA (Sumber Daya Alam) dalam
pencapaian tujuan dan kepentingan nasional itu mutlak dilakukan, namun
keterbatasan akibat perbedaan letak geografis, keadaan iklim dan luas wilayah negara tidak dapat
dihindari. Inilah yang disebut sebagai “endowment factor” yang lebih
merupakan anugerah Tuhan terhadap negara tersebut.
Suatu negara dalam interaksinya
dengan negara lain akan mengacu pada kemampuan dan kekurangan yang dimilikinya.
Terdapat negara yang kaya akan sumber daya alam namun tidak memiliki kemampuan
untuk mengolahnya, sementara di pihak lain ada negara yang miskin akan sumber
daya alam namun memiliki kemampuan teknologi untuk mengolahnya, dengan adanya
perbedaan tersebut maka kemungkinan untuk berinteraksi dalam kerangka kerjasama
sangat besar dimana hasil kerjasama tersebut akan membawa dampak yang luas bagi
kehidupan bangsa negara itu.
Pola interaksi timbal balik antara
dua negara dalam hubungan internasional di definisikan dengan hubungan
bilateral. Hubungan bilateral sebagai suatu konsep dalam ilmu hubungan
internasional, mempunyai makna yang lebih kompleks dan lebih beragam serta
mengandung sejumlah pengertian yang berkaitan dengan dinamika hubungan
internasional itu sendiri. Dalam kamus politik internasional, hubungan
bilateral secara sederhana dijelaskan sebagai, “…keadaan yang menggambarkan adanya hubungan
saling mempengaruhi atau terjadi hubungan timbal balik antara dua pihak (dua
negara)”.[20] Batasan seperti ini mengandung maksud bahwa hubungan
bilateral merupakan hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi antara dua
negara. Terdapat beberapa bidang yang meliputi hubungan bilateral ini, dimana
yang paling umum adalah bidang perdagangan, pendidikan dan sosial budaya,
politik bahkan pertahanan keamanan.
Istilah bilateral atau
hubungan bilateral adalah untuk mengasumsikan hubungan yang terjadi antara dua
negara yang baik berdekatan maupun berjauhan secara geografis seperti yang
dikemukakan oleh Kusumohamidjojo tentang hubungan bilateral sebagai berikut;
Hubungan bilateral adalah suatu bentuk kerjasama diantara negara-negara, baik
yang berdekatan secara geografis ataupun yang jauh di seberang lautan,
dengan sasaran untuk menciptakan perdamaian dengan memperhatikan kesamaan
politik, kebudayaan dan struktur ekonomi.[21]
Penggambaran
tentang hubungan bilateral tersebut tidak lepas dari kepentingan nasional masing-masing
negara untuk mengadakan hubungan dan menjalin kerjasma antara kedua negara, dan
tidak tergantung hanya pada negara dekat saja melainkan juga negara yang jauh letaknya
secara geografis. Dengan adanya tujuan-tujuan tertentu untuk menciptakan perdamaian
dengan memperhatikan kerjasama politik, kebudayaan dan struktur ekonomi
sehingga menghasilkan suatu hubungan yang lebih harmonis diantara kedua negara.
Dapat dikatakan bahwa hubungan tersebut tidak lepas dari adanya hubungan yang
saling mempengaruhi yang memuat reciprositas atau adanya hubungan timbal balik
antar dua pihak (dua negara).
Dua negara yang menjalin kerjasama
bilateral ini tentu mengharapkan keuntungan. Kerjasama akan melahirkan
kesepakatan bersama berupa ketentuan-ketentuan yang harus dipatuhi bersama bagi
terjadinya harmonisasi hubungan diantara keduanya. Tentunya
kesepakatan-kesepakatan yang telah dilahirkan merupakan kebijakan yang akan
memberi keuntungan bagi kedua negara yang bekerjasama sesuai dengan
tujuan dari masing-masing negara yang hendak dicapainya.
Interaksi antar negara terjadi
karena setiap negara di dunia antara negara satu dengan yang lain memiiki
saling ketergantungan. Setiap negara tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri,
maka kerjasama dengan negara lain menjadi sangat penting artinya. Sebagaimana
Rudi menjelaskan bahwa :
Saling
ketergantungan antara negara satu dengan negara lain di dunia ini merupakan
realitas yang harus di hadapi oleh semua negara. untuk memenuhi kebutuhannya
masing-masing, maka terjalinlah suatu kerjasama diantara negara dalam berbagai
bidang kehidupan.[22]
Oleh karena saling
ketergantungan antar negara adalah merupakan realitas yang tidak bisa dihindari
dalam perkembangan interaksi global, maka kerjasama antar negara akan terus
berlangsung dan berkembang. Perkembangan interaksi antar negara akan terjalin
sesuai dengan relevansi kebutuhan masing-masing negara yang berinteraksi. Dan interaksi
akan terjadi dalam berbagai bidang kehidupan.
Hubungan bilateral dalam hubungan
internasional selalu berada dalam dua konteks hubungan internasional berubah
dari waktu ke waktu, sesuai dengan dinamika hubungan internasional itu sendiri.
Pola interaksi hubungan bilateral dalam konteks kerjasama di identifikasi
dengan bentuk kerjasama bilateral. Kerjasama dapat pula diartikan dengan adanya
kepentingan yang mendasari kesepakatan antara dua negara untuk berinteraksi
dalam suatu bidang kehidupan tertentu dengan cara-cara dan tujuan-tujuan yang
telah disetujui bersama untuk saling memenuhi kebutuhan bersama. Sebagaimana
sebuah kerangka pemahaman Holsti menjelaskan terbentuknya kerjasama sebagai
berikut :
Dalam
kebanyakan kasus, sejumlah pemerintah saling mendekati dengan penyelesaian yang
diusulkan atau membahas masalah, mengemukakan bukti-bukti teknis untuk
menyetujui suatu penyelesaian atau lainnya dan mengakhiri perundingan dengan
perjanjian atau pengertia tertentu yang memuaskan kedua belah pihak. Proses ini
disebut kerjasama.
Pendapat Holsti di
atas memberikan batasan konsepsi yang jelas antara dua bentuk interaksi dalam
hubungan internasional, yaitu konflik dan kerjasama. Apabila dalam menghadapi
suatu kasus satu (atau lebih) pihak-pihak yang terlibat gagal mencapai
kesepakatan, maka interaksi antar aktor tersebut akan berujung pada konflik.
Namun apabila pihak-pihak yang terlibat berhasil mnecapai suatu kesepakatan
bersama, maka interaksi antar aktor tersebut akan menghasilkan suatu bentuk
kerjasama.[23]
B.
KONSEP EKONOMI
POLITIK INTERNASIONAL
Ilmu ekonomi tentang perekonomian
internasional dapat dibagi kedalam dua sub-bagian bidang luas yakni, studi
mengenai keuangan internasional. Analisa perdagangan internasional terutama
menitikberatkan kepada transaksi riil dalam perekonomian internasional yaitu
transaksi yang meliputi pergerakan barang secara fisik atau suatu komitmen atas
sumberdaya ekonomi yang tampak ( a
tangible commitment of economic resources)[24]. Ekonomi
politik internasional secara sederhana dapat diartikan sebagai interaksi global
antara politik dan ekonomi. Robert
sGilpin mendefinisikan ekonomi-politik
sebagai :
Dinamika interaksi global antara
pengajaran kekuasaan (politik) dan pengejaran kekayaan (ekonomi). Dalam
definisi ini terdapat hubungan timbal balik antara politik dan ekonomi.[25]
Ekonomi
politik internasional merupakan studi yang mempelajari saling keterhubungan
antara ekonomi internasional dengan politik internasional, ekonomi
internasional dengan politik internasional yang muncul akibat berkembangnya
masalah-masalah yang terjadi dalam sistem internasional. Pengkajian ekonomi politik internasional membutuhkan
integrasi teori-teori dari disiplin ekonomi dan politik, misalnya
masalah-masalah dalam isu perdagangan internasional, moneter dan pembangunan
ekonomi. Pemahaman bahwa
terdapat jalinan yang saling tergantung dan tidak dapat dipisahkan antara faktor
ekonomi dan politik, serta antara antara negara dengan pasar semakin diakui.[26] Robert Jackson & George Sorensen “... Ekonomi Politik Internasional
pada dasarnya membahas tentang siapa mendapatkan apa dalam sistem ekonomi
politik internasional...”.[27]
Dapat pula dinyatakan, bahwa ekopolinter adalah sebuah studi
tentang masalah yang terfokus pada elemen-elemen interdependen kompleks yang
sering terjadi pada kehidupan kita sehari-hari.
Ekonomi
politik internasional merupakan suatu pendekatan khas untuk memahami fenomena
hubungan internasional dengan lebih jelas. sebagai bagian dari studi hubungan
internasional mempunyai sub-studi yang lebih menekankan analisis tentang
kebijakan suatu negara dalam melakukan transaksi dan menghadapi permasalan
ekonomi internasional. Dalam interaksi internasional khususnya perdagangan
minyak mentah terdapat terdapat mekanisme pasar yang cukup rumit seperti
penentuan kurs/valuta asing, faktor produksi, cadangan minyak, penemuan sumber
baru, distribusi, perudingan-perundingan, supply and demand,
spekulan-spekulan pasar dan beberapa kasus internasional menjadi acuan yang
penting dalam menentukan pola-pola interaksi tersebut hingga melahirkan suatu
harga kesepakatan pasar internasional.
Dalam perkembangan hubungan antra
bangsa di dunia seiring perkembangan ekonomi internasional maka perdagangan
internasional adalah satu bentuk hubungan yang cenderung tetap dan konsisten
dilakukan. Seiring dengan semakin beranekaragamnya kebutuhan manusia yang terus
meningkat, maka interdependensi antar bangsa dalam pasar perekonomian dunia pun
terus meningkat. Hal ini telah menunjukkan suatu nuansa baru pada hubungan
antar negara dalam
komunitas dunia.
Meningkatnya interdependensi
antarnegara sebagai akibat globalisasi telah membawa dampak meningkatnya
intensitas kebutuhan masyarakat dunia. Dampak lain dari meningkatnya
interdependensi ini pula telah menyebabkan arus barang dan jasa yang melewati
batas-batas negara juga
terus meningkat. Akibatnya hal ini menjadi tanggung jawab dari pemerintah
tiap-tiap negara untuk mampu mengantisipasi situasi ini dalam usahanya memenuhi
kebutuhan masyarakatnya. Tiap-tiap negara dituntut untuk mampu menefisienkan
pemanfaatan sumber daya alam sebagai faktor produksi bagi modal dasar
pembangunan. Selain itu juga pemerintah nasional tiap-tiap negara harus mampu
melaksanakan perdagangan dengan negara lain yang dianggap dapat menyediakan
kebutuhan negaranya.
Dalam perdagangan internasional akan
terjadi pertukaran barang dan jasa melalui ekspor dan impor.kegiatan ekspor (export)
dan impor (import) ini dilaksanakan melalui sektor luar negeri. Adapun
yang dimaksud dengan perdagangan luar negeri menurut Amir MS, adalah
perdagangan barang-barang dan jasa dari suatu negara ke negara lain di luar
batas negara. [28]
Selanjutnya Suparmoko menjelaskan bahwa :
Sektor luar negeri ini merupakan
sektor yang turut serta menggunakan barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu
perekonomian. Dengan cara perekonomian yang bersangkutan mengekspor barang dan
jasa yang dihasilkannya. Sebaliknya dengan penerimaan devisa yang berasal dari
ekspor barang dan jasa itu suatu negara dapat membeli atau mengimpor barang dan
jasa dari negara lain. Lalu lintas barang dan jasa dan keluar negeri ini
membentuk apa yg disebut perdagangan internasional.[29]
Dari penjelasan diatas dapat kita
pahami bahwa, bila suatu perekonomian dalam suatu negara melakukan ekspor
barang dan jasa ke negara lain, maka negara tersebut akan memperoleh devisa.
Semakin tinggi jumlah ekspor barang dan jasa yang dilakukan suatu negara maka
semakin tinggi pula devisa yang diperoleh negara tersebut. Dengan adanya devisa
tersebut suatu negara dapat mengimpor barang dan jasa dari negara lain sesuai
dengan kebutuhannya. Dan perdagangan internasional adalah jalur bagi
negara-negara tersebut untuk melakukan ekspor dan impor dari suatu negara. dan
seluruh kegiatan ini hanya dapat dilakukan dalam hubungan dagang yang bersifat
terbuka.
Perdagangan
merupakan faktor penting guna merangsang pertumbuhan ekonomi. Perdagangan memperbesar
kapasitas konsumsi suatu negara, meningkatkan output dunia, serta menyajikan
akses ke sumber-sumber daya yang langka dan pasar-pasar internasional yang
potensial untuk berbagai produk ekspor yang hasilnya merupakan bekal utama yang
jika tidak tersedia, maka negara-negara miskin tidak akan mampu mengembangkan
kegiatan dan kehidupan perekonomian nasionalnya. Perdagangan membantu semua
negara dalam menjalankan usaha-usaha pembangunan mereka melalui promosi serta
pengutamaan sektor-sektor ekonomi yang mengandung keuntungan komparatif baik
itu berupa faktor produksi dalam jumlah yang melimpah, atau keunggulan
efisiensi produktifitas di setiap negara.[30]
Perdagangan
cenderung mempromosikan pemerataan atas distribusi pendapatan dan kesejahteraan
domestik maupun internasional. Hal ini berlangsung melalui suatu pendapatan riil
suatu negara yang terlibat dalam
kegiatan perdagangan internasional, serta memacu efisiensi penggunaan sumber
daya di setiap snegara, yang pada akhirnya akan meningkatkan efisiensi
pemanfaatan sumber daya dunia secara keseluruhan. Perdagangan internasional
memungkinkan setiap negara yang terlibat perdagangan internasional untuk
memperbesar batas-batas kemungkinan produksinya serta sekaligus menjamin
terpenuhi kebutuhan konsumsi dari produk impor, maka perdagangan yang akan
memungkinkan suatu negara untuk mendapatkan bahan-bahan mentah atau produk
tertentu (termasuk pula teknologi serta pengetahuan baru di bidang produksi,
dan sebagainya), yang di dalam negeri sendiri harga terlalu mahal dari
negara-negara lain dengan harga yang relatif murah (yakni harga dunia).[31]
Dalam
perdagangan internasional akan tampak secara umum bahwa suatu negara akan
mengimpor komoditas yang tidak dihasilkannya, dan mengekspor komoditas yang
jumlah hasil produksinya melebihi kebutuhan pasar utamanya pasar domestik. Jika proses ini berlangsung secara
alami maka akan nampak tercipta satu keteraturan dalam pembagian kerja
internasional. Jika setiap negara mempertahankan tingkat kebutuhan dan tingkat
produksinya. Akan tetapi seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan
teknologi dalam era-modernisasi dan tuntutan peningkatan standar hidup
masyarakat dunia, menyebabkan keteraturan ini tidak mungkin tercipta secara
ketat dalam suatu perekonomian dunia tunggal.
Seiring
dengan perkembangan peradaban dan kebutuhan dunia yang dilandasi dengan usaha
efisiensi, maka banyak negara walaupun dapat menghasilkan satu jenis barang,
tetapi bila dirasakan terlalu tinggi biaya untuk menghasilkannya, dan negara
lain dapat menghasilkan barang yang sama dengan biaya yang tidak terlalu
tinggi, maka negara-negara tersebut lebih baik mengimpornya dari negara lain tersebut.
Dengan demikian negara-negara
tersebut dapat mengkonsentrasikan dirinya untuk menghasilkan barang-barang yang
lebih murah biaya produksinya di negaranya. Perdagangan antar negara seperti
ini biasanya berdasarkan keunggulan komparatif (comparative advantages)
yang dimiliki negara-negara
dalam menyediakan produk-produk tertentu, yang memberikan dasar dari suatu
pembagian kerja internasional (lokasi produksi).
Suatu negara akan memperoleh
keuntungan konsumsi dan produksi melalui perdagangan internasional.
negara-negara dimungkinkan mengkonsumsi barang-barang dan jasa yang lebih murah
melalui impor, bahkan untuk barang dan jasa yang tidak bisa diproduksi di dalam
negeri suatu negara, karena produsen di dalam negeri tidak mampu menyediakannya
atau memasoknya. Sehingga melalui perdagangan internasional suatu negara dapat
meningkatkan efisiensi dalam berproduksi dengan cara mendorong pengalokasian
kembali sumber daya, mengalihkan dari sector ekonomi yang lebih baik dan
mengimpor ke sector dimana negara tersebut mempunyai keuntungan komparatif
dibandingkan negara lain.
Melalui perdagangan bebas (free
trade) dalam perdagangan internasional, jumlah optimal dari manfaat tersebut
dapat diperoleh suatu negara. Hal ini dapat dilihat karena melalui tidak ada
hambatan perdagangan seperti tarif (tariffs) dan kuota (quota),
kesepakatan masyarakat internasional dalam perjanjian umum mengenai tariff dan
perdagangan dalam WTO bisa berlangsung untuk diterapkan dalam kesepakatan
perdagangan internasional.
C.
POLITIK
PERMINYAKAN
Perkembangan interkasi hubungan
internasional yang semakin kompleks membawa para peminat wacana internasional
terus mencari beberapa model analisa untuk menjelaskan fenomena-fenomena
hubungan internasional. Beragamnya pola interaksi dalam Ekonomi Politik
Internasional yang terdiri dari pelaku negara (state actor) maupun aktor
non negara (non state actors) memberikan beragam fenomena-fenomena dalam
interaksinya.
Perubahan zaman seiring dengan
proses industrialisasi secara besar-besaran membawa negara-negara di dunia
memasuki masa konsumsi tinggi, dimana pertumbuhan industrialisasi besar-besaran
membutuhkan konsumsi yang tinggi di bidang energi salah satunya ialah minyak
bumi. Seiring dengan tingkat ketergantungan yang tinggi maka energi minyak bumi
menyedot banyak perhatian dari semua pihak yang berkepentingan demi mendapatkan
keuntungan baik individu, perusahaan maupun negara. pergerakan bisnis
internasional yang melewati batas negara bahkan sering kali merusak kedaulatan
dan stabilitas nasional suatu negara membuat suatu pola politik yang didasrkan
pada kepentingan minyak bumi yang dikenal dengan oil politics.
Kedudukan
kritis minyak dalam keseimbangan energi dunia serta ketidakmerataan distribusi
sumber-sumbernya, membuat minyak tampil sebagai satu jenis komoditi yang baik
secara ekonomis, politis bahkan stategis sedemikian pentingnya. Minyak dunia
merupakan sesuatu hal yang kompleks karena selain tingkat kebutuhannya yang
tinggi, para pemain di sektor ini termasuk skala besar baik ditingkat bisnis
(perusahaan minyak raksasa) maupun kekuatan geopolitik suatu negara. hal ini
menimbulkan beberapa model analisa dengan melihat minyak sebagai dasar
penggerak suatu perpolitikan. Seperti dalam pendapat Noreng mengatakan:
Didalamnya terdapat politik penentuan
harga dan kendali pengadaannya (baca : minyak) sering kali menjadi sumber
ketegangan internasional yang begitu eksplosif. Singkatnya, minyak mempunyai
satu hubungan fungsional dengan berbagai issue penting dalam tertib kehidupan
manusia. Sejak hampir semua negara di dunia menjadi pengimpor minyak sekaligus
menggantungkan sebagian besar konsumsi dan kebutuhan energi mereka pada minyak impor, tak dapat
dihindarkan bahwa harga dan proses pengendaliannya telah mempengaruhi
kemandirian ekonomi dan kebijaksanaan politik luar negeri semua negara
tersebut.[32]
Dalam kutipan di atas dapat kita
katakan bahwa minyak berkaitan secara sistematis dengan sejumlah masalah
penting seperti dengan derajat pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran,
inflasi, kebijaksanaan perdagangan dan orientasi kebijaksanaan politik luar
negeri secara umum. Ia juga tidak dapat dipisahkan dari persoalan kohesi
politik dalam suatu persekutuan atau blok politik internasional tertentu dan
pembangunan ekonomi disemua negara.
Menurut Alexandes Betts konsekuensi
politik suatu negara akibat dari ketergantungan akan minyak jelas
meningkat ke dalam beberapa jalan/cara yang berbeda. Sebagai contoh dalam
konteks konflik ataupun perang antar negara sering kali minyak bumi sebagai
faktor pendorong terjadinya konflik tersebut sebelum perang maupun setelahnya. [33]
Marrew Eagleton-Pierce menjelaskan bahwa minyak bumi merupakan
sumber daya alam yang sangat potensial menggerakkan politik suatu negara dan menjadi
sumber konflik. Lebih jauh dijelaskan pula bahwa politik kontemporer yang
dikarenakan oleh minyak bukan merupakan hal sederhana yang menunjuk kepada aktor negara akan tetapi
meluas pada ekonomi politik yaitu gabungan aktor non negara (perusahaan raksasa).[34]
Industri minyak sering kali digunakan sebagai penyebab semakin eratnya atau
tidak dari hubungan antar negara satu dengan yang lainnya dan hubungan antar bisnis dan
negara.
Perusahaan minyak raksasa dapat mempengaruhi perhatian publik tentang perdagangan
dan investasi di suatu negara. Menurut Anne Roemer-Mahler oil
politics tersebut mempengaruhi empat bidang secara luas yaitu : kebijakan
politik luar negeri suatu negara, lingkungan hidup, pembangunan dan konflik.[35]
Menurut Peter Evans dalam oil politics pemerintah harus
mempunyai power agar dapat mengutamakan dukungan politik utama yang
dibutuhkan untuk operasi pasar ekonomi. [36]Political
will dari pemerintah dalam sektor energi merupakan salah satu prioritas
dalam menunjang keamanan domestic suatu negara. Memperkuat pengaruh dengan cara
diplomasi, berbagai jenis bantuan, perlombaan
senjata, system aliansi, regional,
organisasi internasional sampai kepada intervensi ke negara lain merupakan
suatu cara yang sering di gunakan dalam pola hubungan internasional guna
mendukung energy security suatu Negara dan olip politics suatu
negara maupun perusahaan.
Bisnis dan konflik merupakan dua
hal yang selalu berjalan seiringan kondisi dimana ketergantungan, uang yang
banyak, maupun kepentingan yang lain di belakang bisnis tersebut pastilah
menimbulkan konflik maupun dampak-dampak negatif lainnya yang mengambil resiko
dalam permainan tersebut. Terkadang pihak yang tidak mempunyai kepentingan
sekalipun mendapat akses yang buruk dari kondisi tersebut. Sebagaimana yang
dikemukakan Webmer dan Scheineder banyak episode yang
telah/sedang terjadi memperkuat bahwa terjadinya naik dan turunnya konflik
politik diseluruh dunia khususnya di wilayah penghasil minyak, mempengaruhi
pengumpulan keuntungan yang diperoleh para investor yang menginvestasikan
modalnya ke dalam bisnis minyak tersebut.[37]
Minyak mentah merupakan komoditas
energi yang terbesar dalam bidang bisnis, bukan hanya menyangkut keuntungan
para pebisnis, produsen dan distributor tetapi menyangkut kelangsungan dan
produktifitas suatu negara. suatu negara besar pastilah membutuhkan tingkat konsumsi yang
tinggi dalam bidang energy ini guna menjamin stabilitas kelangsungan kehidupan
bernegara, sebagaimana menurut Garisson dan Redd dalam artikel yang
disampaikan pada Annual Meeting of the International Studies Association
di San Francisco pada tanggal 26-29 Maret 2008 untuk mereka penduduk kita
diharuskan untuk mengimpor minyak untuk menjaga perekonomian dan kualitas hidup
mereka meskipun banyak gangguan dalam pengiriman minyak tersebut merupakan
kemungkinan yang mengancam.[38]
Dari penjelasan mengenai pentingnya pasokan
energy tersebut di khususkan kepada minyak mentah memberikan gambaran secara
jelas bahwa meskipun terdapat banyak halangan maupun kemungkinan yang mengancam
dari pengiriman minyak dari produsen ke konsumen menjadi suatu keharusan yang
dilakukan bagi negara importer guna mengamankan pasokan maupun cadangan
minyak negara tersebut. Gangguan dan ancaman dalam hal
pendistribusian minyak tersebut membuat pola interaksi dalam bisnis tersebut
menbuat semakin bervariatifnya elemen-elemen yang mempengaruhi politik luar
negeri suatu negara dalam mengamankan pasokan energinya (energy
security). Oli Politics ditujukan bagi pihak yang terkait dalam permainan minyak dimana keuntungan
atas dasar minyak menjadi penggerak dasar dalam perpolitikan baik dalam
institusi negara maupun para perusahaan minyak raksasa dunia yang terkadang
merugikan pihak yang tidak bersalah.
Ketersediaan energi bagi suatu
merupakan hal yang menjadi prioritas pemerintahan agar stabilitas dan kemajuan negara dapat berlanjut.
Peningkatan konsumsi di bidang energi membuat pemerintahan yang sedang
mengemban tanggung jawab berupaya keras demi tersedianya ketahanan energi
tersebut. Energi (minyak bumi, gas alam, batu bara dan panas bum) merupakan
jiwa dari setiap roda kegiatan yang terjadi pada setiap manusia dalam menunjang
kegiatan kesehariannya, begitu pula dengan semua sektor industri yang
menyokong kehidupan negara sangat tergantung dengan sumber daya tersebut (non
renewable natural resources). Berbagai jenis energi yang sangat menjadi
controversial bagi dunia ialah minyak bumi, disamping snagat tergantungnya
semua alat teknologi, industri, kelistrikan dan lain-lain, keterbatasan minyak
bumi dan perdagangannya menjadi factor penentu krisis energi tersebut dan dapat
menjalar ke berbagai krisis yang lainnya.
Menurut
Chandrawati konteks krisis energi menjadi tantangan baru bagi negara-negara industri
maju memasuki abad ke 21, upaya untuk mengantisipasi kondisi tersebut dilakukan
dengan jalan mengamankan pasokan energi dan mencari sumber energi minyak yang
baru. Kondisi inilah yang kemudian memunculkan fenomena keamanan energi (energy
security). Faktor keamanan energi khususnya untuk mengamankan pasokan
minyak bumi dan upaya mencari sumber energi baru kemudian menjadi bagian yang penting
dari straategi keamanan negara-negara besar.[39] Menurut Michael T Klare fenomena krisis energi demi keamanan energi
sebenarnya tidak semata-mata disebabkan karena kekhawatiran semakin menipisnya
cadangan energi minyak bumi di masa mendatang, namun juga kemungkinan
terjadinya embargo minyak serta ancaman terhadap jalur pasokan energi tersebut.
Pada tahun 1973 negara-negara Barat
pernah mengalami krisis energi yang disebabkan keputusan embargo dari negara-negara Arab.[40]
Dick Cheney
pada pidato Mei 2001 di depan para pelaku bisnis khususnya bisnis energi
minyak dalam 25 tahun mendatang kemanan pasokan menjadi prioritas dari
kebijakan perdagangan dan politik luar negeri Amerika Serikat. Sementara itu
Bill Richardson yang pernah menjabat sebagai Menteri Energi pada masa
pemerintahan Presiden AS William J Clinton mengatakan bahwa kepentingan Amerika
Serikat sangat bergantung pada ketersediaan minyak mentah dan gas alam yang
mencukupi (keamanan energi).[41]
Keamanan energi berlaku bagi semua negara yang menginginkan stabilitas dan
kemajuan terjadi dalam masyarakat dan bangsanya, baik itu negara besar maupun
kecil sekalipun.
Konsep keamanan energi sebenarnya mencuat sejak kriisis
minyak sekitar tahun 1970-an ketika negara-negara Arab melakukan embargo
atas negara-negara
besar seperti AS, Eropa dan Jepang lebih mengarah untuk keamanan energi mereka,
seperti yang terdapat dalam laporan Asia Pasific Energy Research Centre
(APERC) disebutkan bahwa perhatian atas keamanan energi merupakan
persoalan utama para pembuat kebijakan dibidang energi. Sejak krisis minyak
pertama sekitar tahun 1970-an,fokus utama perhatian dari kemanan energi ialah
gangguan berbagai negara penghasil minyak, terutama fokus terhadap daerah timur
tengah yang mempengaruhi perekonomian dunia.[42]
Sebagaimana
keamanan energi dapat mempengaruhi stabilitas nasional suatu negara tidak terkecuali
Indonesia, seperti menurut Maxensius Tri Sambodo, keamanan pasokan energi
merupakan hal yang paling fundamental untuk mempertahankan kesinambungan
pembangunan ekonomi. Kapasitas energi yang terbatas akan berdampak pada potensi
produksi yang pada gilirannya akan menjadi penghambat di dalam menopang
pembangunan ekonomi jangka panjang. Jika diperhatikan pertumbuhan pemakaian
energi final yang terdiri atas batu bara, BBM, gas bumi, listrik, LPG dan
biomas dalam kurun waktu 1991 hingga 2004 yaitu rata-rata mencapai 4,6 % tidak
jauh berbeda dengan pertumbuhan ekonomi yang mencapai 4,7 %. Hal ini
mengindikasikan bahwa untuk mencipatakan pertumbuhan ekonomi sebesar satu
persen diperlukan pasokan energi yang tidak jauh berbeda.[43]
Isu
ketahanan energi (energy security) kian mencuat ketika dalam beberapa
bulan terakhir harga minyak menyentuh level US$114/barel.[44] Pencapaian tertinggi tersebut berhasil menyita perhatian
akan pentingnya menyelamatkan industri masing-masing negara. definisi
menurut UNDP (United Nations Development Programs) tentang keamanan
energi ialah salah satu definisi yang dengan cukup akurat dan sejalan dengan
presepsi kekhawatiran masyarakat internasional merupakan suatu kondisi
ketersediaan pasokan sumber energi dengan kuantitas yang cukup dengan harga
terjangkau. [45]
IEA (International
Energy Agency) yang bermarkas di Paris, Perancis mendefinisikan kemanan
energi sebagai istilah utama yang bertujuan menstabilkan suplai minyak dan gas
bumi.[46]
Sementara itu ESMAP (Energy Sector Management Assistance Program)
mendefinisikan istilah keamnanan energi yaitu istilah yang dialamatkan ke dalam
level mikro dan makro yang dibutuhkan sebuah negara berkembang, kebutuhan tersebut
sebagai berikut: kemampuan negara untuk mengoptimalisasikan pengelolaan sumber daya
energi dan penyediaan energi untuk sektor jasa yang bertujuan untuk menjaga
pertumbuhan perekonomian dan pengurangan kemiskinan. Keamanan Energi juga dapat
didefinisikan membolehkan beberapa presentase rumah tangga, pelaku bisnis dan
kelompok untuk memenuhi energi mereka untuk mengkonsumsi, melakukan hal yang
produktif dan bersosialisasi.
Menurut World Economic Forum yang bekerjasama dengan
Cambrige Energy Research Assocites berpendapat tentang keamanan energi
yaitu sebuah istilah yang digambarkan sebagai paying yang melindungi banyak
bidang seperti energi, pertumbuhan ekonomi, dan kekuatan politik layaknya
sebuah mata rantai. Paying tersebut melindungi antara lain: keamanan
infrastruktur, harga, persediaan, investasi, regime, bahaya terorisme dan
perang, kebebasan, penghasilan, akses terhadap sumber cadangan, dan energi sebagai
senjata.[47]Selanjunya dijelaskan
lebih lanjut bahwa keamanan energi merupakan hal yang mempunyai prespektif yang
bervariatif tergantung siapa yang mempunyai kpentingan dari mata rantai
tersebut. Konsumsi dan para industriawan menginginkan agar terjadi harga energi
yang rasional dan khawatir terhadap gangguan pasokan energi. negara besar
penghasil energi memikirkan keuntungan dan kebutuhan akan perundingan tentang
keamananenergi. Perusahaan minyak dan gas memikirkan mencari tempat yang baru
untuk dieksplorasi, kemampuan untuk membangun infrastruktur baru dan investasi
stabil di sutu regim/negara. negara berkembang fokus memperhatikan kemampuan
untuk membayar energi tersebut dengan tujuan mengembangkan perekonomian dan
neraca pembayaran. Pembuat kebijakan fokus pada resiko kerusakan penyediaan dan
keamanan infrastruktur dari faktor perang, terorisme dan bencana alam.[48]
Menurut
penjelasan di atas berbagai macam sudut pandang dikemukakan yang bertujuan
memberikan gambaran mengartikan konsep keamanan energi dari aktor yang
mempunyai kepentingan. Kesekian banyak aktor yang dijelaskan dari berbagai
definisi terlihat mayoritas melihat negara sebagai aktor yang mempunyai peranan
penting dalam menjalankan konsep keamanan energi tersebut. Meskipun demikian
semua aktor mempunyai peran masing-masing dalam mendefinisikan konsep keamanan
energi menurut mereka masing-masing.
Pertumbuhan
perekonomian, kelangsungan kehidupan, bergeraknya sektor jasa dan industri
merupakan tolak ukur dari pemikiran tentang konsep keamanan energi, selain itu
faktor harga, cadangan energi, supply and demand serta keadaan
geopolitik dan ekonomi global merupakan faktor yang berpengaruh dalam
mendefinisikan keamanan energi tingkat domestik, nasional, regional maupun
internasional. Keadaan yang dinamis membuat pola-pola ketergantungan akan
energi semakin jelas seiring dengan pesatnya kemajuan zaman. Keuntungan bagi
para investor maupun perusahaan raksasa merupakan suatu dasar pula dari
pergerakan konsep keamanan energi tersebut.
BAB III
POTENSI
HUBUNGAN PERMINYAKAN
INDONESIA
DENGAN ARAB SAUDI
A.
Potensi Perminyakan
Indonesia
Minyak bumi memiliki daya tarik
tersendiri diantaranya ialah karena tersebarnya sumber-sumber penghasil minyak
itu sendiri dan merupakan sumber energi utama bagi setiap negara di dunia yang
memegang peranan sangat besar dalam kehidupan sehari-hari. Setiap negara
memiliki ciri khas tersendiri dalam hal kualitas minyak mentah ini. Dalam
perdagangan internasional dikenal beberapa kualitas minyak mentah yang ada di
dunia dengan jenisnya, seperti halnya barang dagang yang lain maka minyak
mentah juga mempunyai kata sandang yaitu berkualitas rendah sampai ke tinggi.
Peran minyak mentah
tidak dapat disangkal lagi bahwa komoditas tersebut mempengaruhi semua kegiatan
manusia, antara lain meliputi transportasi, kelistrikan, industri, rumah tangga
dan sebagainya. Sebagai bahan dasar pembuat berbagai
macam bahan bakar seperti avtur, bensin, kerosin (minyak tanah), diesel, bahan
bakar industri, minyak pelumas, lilin paraffin dan aspal maka tentunya dapat
diketahui bahwa semakin baik/berkualitas bahan dasar yang digunakan maka
semakin tinggi kualitas barang yang dihasilkan pula. Dengan mempunyai ataupun
membeli minyak mentah kualitas tinggi maka proses destilasi dalam mengolah minyak
mentah tersebut menjadi bahan bakar akan semakin mudah dan berkualitas lebih
baik.
Dahulu Indonesia
memiliki banyak minyak, yakni pada era 1979 masa ini bagi Indonesia disebut boom
minyak, dengan pecahnya revolusi Iran hanya berusia singkat. Pada Januari 1981,
harga minyak mencapai titik tertinggi pada masanya yakni di atas US$ 35/barel
dan kemudian merosot. 1982 perekonomian global mulai mengalami stagnasi dan
memasuki resesi memilukan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia terpukul oleh dua
kekuatan, yakni penurunan konsumsi energi secara global yang berakibat turunnya
permintaan akan minyak Indonesia dan menyusutnya pasar dunia bagi komoditas
non-migasnya.[49] Terjadi krisis minyak,
bahkan di organisasi negara-negara pengekspor minyak, akan tetapi ketika
terjadi krisis minyak ini yakni tahun 1979-1980 Arab Saudi bertindak sebagai swing
producer (produsen tunggal). [50]
Selama dekade boom
minyak ini, Pertamina mengimplementasikan sistem pajak minyak yang efektif
melalui sebuah sistem yang di kenal sebagai “pembagian produksi” yang menjamin
bahwa sebagian besar keuntungan pendapatan dari harga tinggi masuk ke
Indonesia. Perusahaan minyak diberi hak eksploitasi sebagai imbalan atas
kontrak dimana pendapatan dibagi berdasarkan atas perjanjian sebelumnya, yakni
15 % untuk Pertamina dan selebihnya perusahaan asing.[51]
Inilah awalnya penderitaan minyak di Indonesia, negara yang pernah terjadi boom
minyak ini, membawa masuk orang-orang asing yang lebih menguntungkan
perusahaan asing ini, Pertamina dengan alasan tidak mampu mengelola kilang
minyak yang ada Indonesia.
Kenaikan
harga minyak dunia sejak 2007 hingga Juli 2008 sangat mengkhawatirkan (meski
masih di atas 100 dollar AS per barel. Rekor harga minyak 101,70 dollar AS pada
April 1980, setelah revolusi Iran, telah jauh terlampaui. Kenaikan harga minyak dunia setiap
tahun semakin tinggi, meskipun fluktuatif, akan tetapi jika terdapat
masalah-masalah global maka akan berdampak minyak semakin tinggi.
Kenaikan minyak beberapa
tahun terakhir ini disebabkan oleh beberapa
faktor. Dua faktor yang berlaku jangka panjang adalah tingginya permintaan
minyak berhadapan dengan keterbatasan pasokan. Tingginya permintaan datang dari
negara-negara maju dan negara-negara yang sedang bertumbuh pesat
perekonomiannya. China dan India yang sedang mengalami pertumbuhan ekonomi
tinggi mengambil porsi terbesar dari total permintaan minyak dunia. Ada juga
lonjakan permintaan pada masa-masa tertentu, seperti ketika musim dingin di
Amerika Serikat dan negara-negara Eropa.
Berhadapan dengan
tingginya permintaan tersebut, sejumlah negara penghasil minyak mengambil sikap
yang berbeda-beda. Negara-negara yang tergabung di dalam OPEC selain Saudi Arabia yang senantiasa memainkan
peran pro-kepentingan Amerika Serikat memilih mempertahankan quota produksi
yang ada. Sikap paling tegas untuk mempertahankan quota produksi datang dari
Venezuela dan Iran. Pemerintahan kedua negara ini berpandangan bahwa harga
minyak dunia memang seharusnya di atas 100 dollar AS per barel. Selain itu,
umumnya negara-negara OPEC menilai, kenaikan harga minyak dunia tidak
disebabkan rendahnya pasokan, melainkan diakibatkan ulah para spekulan.
Pandangan inilah yang memenangkan sikap OPEC secara organisasi. Berbeda dengan
itu, negara-negara penghasil minyak non-OPEC berusaha meningkatkan quota
produksi, memanfaatkan kesempatan meraup sebesar-besarnya keuntungan dari
lonjakan harga minyak. Hal ini terutama dilakukan Inggris, Meksiko dan
Norwegia. Namun penambahan produksi negara-negara tersebut relatif kecil, tidak
mampu meredakan panasnya harga minyak dunia.
Aktivitas spekulasi
memang disebut-sebut sebagai faktor dominan kenaikan harga minyak dunia. Harga
yang sangat fluktuatif, dapat naik dan turun 25 dollar AS per barrel dalam
sehari, memang jejak khas yang hanya mampu dihasilkan aktivitas spekulasi.
Sejumlah lembaga riset internasional menyebutkan setidaknya aktivitas spekulasi
punya andil sebesar 10 dollar AS per barrel dari kenaikan harga minyak. Seperti
halnya di pasar komoditas pertanian, tingginya
spekulasi di pasar minyak dunia terutama disebabkan oleh krisis sektor
perumahan (subprime mortgage) di
AS dan labilnya nilai dollar AS. Para investor didorong oleh kepentingan
melakukan aktivitas lindung nilai kekayaan dari potensi kerugian berinvestasi
di pasar saham dan pasar uang. Beberapa pengamat pasar perminyakan
internasional mengungkapkan, setiap penurunan 1% nilai dollar AS, harga minyak
naik 4 dollar per barel. Dorongnya ini diperkuat oleh ekpektasi tingginya harga
minyak dunia di masa mendatang.
Kenaikan harga minyak secara temporer juga disebabkan oleh ketegangan politik dan bencana
alam di sejumlah negara penghasil minyak. Beberapa contoh antara lain aksi
pemberontak yang menyerang pipa penyalur minyak mentah milik Shell di Nigeria;
penembakan dua kapal Iran di Teluk Persia oleh kapal perang AS; dan pemogokan
1.200 buruh penyulingan mnyak Grangemouth, Skotlandia, terkait persoalan
pensiun. Nigeria menghasilkan 2,1 juta barel minyak per hari. Setengah dari
jumlah tersebut diproduksi kelompok Shell. Grangemouth memasok lebih dari 40% kebutuhan
minyak Inggris. Pemogokan ini membuat jaringan pipa Forties yang memasok
700.000 barrel minyak dari Laut Utara ke Inggris dan pasar dunia berhenti
beroperasi. Ketiga peristiwa di atas berperan dalam kenaikan harga minyak dari
100 dollar AS per barel di bulan Februari 2008 mencapai 120 dollar AS di minggu
ketiga April 2008. Perisitiwa-peristiwa lain yang juga mendorong kenaikan harga
minyak selama beberapa waktu adalah ketegangan antara Iran dengan
Israel-Amerika Serikat terkait nuklir Iran, hempasan badai Gustav di AS, dan
serangan Rusia atas Georgia. Georgia adalah titik kunci pengapalan minyak dan
gas eksport dari Azerbaijan ke Eropa. Di atas wilayah ini terbentang 1.768
kilometer pipa minyak Baku-Tbilisi-Ceyhan (BTC) yang merupakan kedua terpanjang
di dunia setelah jaringan popa Druzhba (Rusia-Jerman-Eropa Barat). Dan
paling hangat yakni gejolak politik di Libya menyebabkan minyak mencapai US$118
bph.
Nasib Indonesia
tampaknya kurang beruntung. Ketika harga minyak dunia bergerak naik,
seharusnya, sebagai negara kaya minyak, bangsa kita mendapatkan limpahan
keuntungan. Tetapi yang terjadi tidak demikian. Pemerintah
berdalih, kita tidak bisa menikmati kenaikan harga
minyak dunia karena lifting atau produksi minyak siap jual kita dari
tahun ke tahun terus turun. Di
tahun 1977, angka lifting minyak Indonesia mencapai 1,685 juta barel per
hari. Tahun 2002, kemampuan lifting turun jadi tinggal 1,2 juta barel
per hari, lalu turun lagi menjadi 1,149 juta barel per hari di tahun 2003, dan
981 ribu barel per hari pada tahun 2004.[52]
Tampaknya capaian lifting minyak Indonesia memang akan terus turun. Hal
ini karena sumur-sumur minyak di Indonesia sudah tua, produksi minyaknya sudah
berkurang setelah puluhan tahun dibor kontraktor asing. Sedangkan penemuan
sumur-sumur baru belum memuaskan.
Karena itu, ketika di
awal 2008 Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (EDSM) mengusulkan target
dalam APBN 2008 sebesar 1.034.000 juta barel per hari, Depkeu dan Badan
Pelaksana Kegiatan Hulu Migas (BP Migas) segera menolaknya. Target ini dinilai
terlalu tinggi. Depkeu dan BP Migas melihat ada sejumlah kondisi yang membuat
target Departemen ESDM sulit tercapai. Lapangan Pondok Tengah di tahun 2007
hanya mampu merealisasikan 3.500 barel dari target 16.000 barel. Minyak blok Cepu hanya 10.000 barel per hari. Di tahun 2007, banyak
lapangan minyak mengalami penurunan produksi, seperti Lapangan Belanak dan West
Seno. Alasan lain adalah tidak tercapainya target produksi di sejumlah lapangan baru, seperti Lapangan Pondok Tengah
(Pertamina), Lapangan Belanak (Conoco Philips), Mengoepeh (Pearl Oil
Indonesia), Oseil (Citic Seram), Piano (Petrochina).[53]
Untuk meningkatkan lifting
minyak, Depkeu mengeluarkan sejumlah kebijakan seperti membebaskan bea masuk
atas impor barang untuk kegiatan hulu migas dan panas bumi, menanggung PPN atas impor barang untuk usaha eksplorasi hulu migas dan
panas bumi, serta membebasan tarif
bea masuk untuk platform pengeboran,
produksi terapung atau di bawah air. Meskipun demikian, tidak seoptimis
koleganya, departemen ini hanya berani mengusulkan target lifting minyak 899
ribu barel per hari. Demikian halnya BP Migas. Meskipun berdasarkan angka produksi 21 Januari yang mencapai 1,001 juta barel. Kepala BP Migas Kardaya Warnika menjamin produksi migas 2008 melampaui 1
juta barel per hari, tetapi usulan target lifting dalam APBN 2008 yang
diajukan lembaga ini hanya 906 ribu barel per hari. Dengan
berbagai pertimbangan, dalam APBN-P 2008, pemerintah dan DPR menetapkan target lifting
sebesar 927 barel per hari, dengan harga minyak Indonesia (Indonesian Crude
Price/ICP) sebesar 95 dollar
AS per barel. Dengan itu, target penerimaan negara akan sebesar Rp 18.8
triliun. Namun jika realisasi lifting di bawah target, defisit akan
membesar. Setiap pengurangan lifting sebesar 10.000 barel akan
meningkatkan defisit APBN-P 2008 sebesar Rp 1,5 triliun.
Lifting
minyak Indonesia itu sebagian dipasok ke kilang dalam negeri, sebagian di
ekspor. Minyak yang masuk kilang Pertamina adalah
sebagian minyak jatah pemerintah (sekitar 40-60 persen dari lifting)
ditambah 25 % DMO (domestic market obligation) dari jatah kontraktor
asing. Karena itu, agar pas dengan kapasitas kilang (sekitar 1 juta barel per
hari), pemerintah mengimpor minyak mentah. Alasan lain impor minyak mentah
adalah untuk memenuhi kebutuhan kilang dalam negeri terhadap jenis minyak yang
dapat memproduksi hasil-hasil seperti lube base dan aspal, dan untuk
meningkatkan hasil kilang berupa BBM.
Semula jenis minyak
mentah yang diimpor adalah ALC (Arabian Light Crude) dari Arab Saudi,
kemudian dalam rangka imbal beli (counter trade) Indonesia juga
mengimpor minyak mentah dari Iran (ILC). Dalam upaya meningkatkan hasil kilang
berupa BBM, Indonesia mengimpor minyak mentah dari Australia (Jabiru dan
Harriet) dan dari Malaysia (Tapis) yang kecenderungannya meningkat. Sementara minyak mentah yang diekspor adalah
minyak jatah kontraktor asing setelah dipotong 25% DMO dan sebagian jatah
pemerintah, yang konon harus dieskpor karena tidak semua minyak mentah yang
ditambang dari sumur-sumur Indonesia sesuai dengan desain dan constraint
kilang dalam negeri.
Hal yang sama juga
terjadi dengan hasil olahan kilang-kilang dalam negeri. Minyak mentah yang
masuk kilang, akan keluar sebagai beragam produk olahan. Tidak semuanya bisa
menjadi BBM. Hanya sekitar 30-35 persen yang jadi bensin, dan 15-20 persen jadi
solar. Sisanya bisa minyak tanah, elpiji, avtur, minyak bakar, aspal, lilin, dan lain-lain. Dari produk-produk tersebut, ada yang kita ekspor, seperti LSWR dan Naptha yang diekspor ke Jepang.
Jika konsumsi BBM dalam
negeri meningkat melampaui yang mampu diproduksi kilang dalam negeri, mau tidak
mau kita harus mengimpornya. Pemerintah SBY-JK tidak
berbohong tentang kenaikan konsumsi BBM dalam negeri. Pada
tahun 1990, konsumsi BBM nasional sebesar 173,136 juta barel, tidak sampai 500
ribu barel per hari. Masuk era 2000-an, konsumsi BBM Indonesia telah meningkat
drastis. Pada tahun 2003 konsumsi BBM meningkat menjadi 329,525 juta barel.
Sejak tahun 2004, konsumsi BBM sudah melampaui 1 juta barel per hari. Untuk
tahun 2008, diprediksi konsumsi BBM Indonesia mencapai 1,4 juta barel.[54]
Karena itu, jika jumlah
BBM yang diimpor terus bertambah besar. Pada tahun 2001, kita mengimpor 75,27
juta barel BBM. Jumlah ini meningkat menjadi 79,12 juta barel di tahun 2002,
dan 108,69 juta barel di tahun 2003.[55]
Kini, karena besarnya impor, status Indonesia telah berubah dari net
exporter minyak menjadi net importer, sehingga pemerintah Indonesia
menarik diri dari OPEC, organisasi negara-negara penghasil (eksportir) minyak.
Harga
minyak dunia selalu naik. Demikian pula konsumsi BBM dalam negeri, dari tahun ke tahun terus
membengkak. Sementara tentang realisasi lifting, masih diragukan
kebenarannya, karena anjuran BPK agar memasang
detector pada fasilitas pengeboran, tidak dilaksanakan BP Migas. Namun jikapun ketiga hal kenaikan harga minyak dunia, kenaikan konsumsi BBM, dan penurunan lifting
minyak itu benar adanya, tidak serta merta kebijakan kenaikan harga BBM dapat
dibenarkan pula. Ada banyak hal yang perlu diperiksa terkait politik energi
nasional, sebuah wilayah gelap yang menyimpan begitu banyak rahasia. Di
dalamnya tersembunyi relasi-relasi kepentingan perusahaan-perusaahan migas
asing, negara-negara kaya, lembaga-lembaga keuangan dunia, para broker minyak,
dan pemerintah.
Meskipun negeri kita
kaya minyak, kenyataannya pemodal asing lah yang menguasai sumur-sumur minyak
yang tersebar di seantero negeri ini. Sebanyak 85,4% konsesi pengelolaan
migas nasional dikuasai perusahan asing. Yang terbesar dikuasai ExxonMobil,
Vico, Conoco Philips, Chevron dan British Petroleum. Keenam perusahan
itu menguasai 90 persen total produksi minyak Indonesia. Perusahaan-perusahaan
multinasional tersebut menguasi minyak Indonesia lewat skenario kontrak bagi
hasil atau production sharing contract (PSC).
Selama ini pemerintah mengklaim mendapat bagian yang lebih besar dalam kontrak
bagi hasil migas, yaitu sebesar 85%, sementara perusahaan swasta (kontraktor
kontrak kerja sama/KKKS) yang mayoritas perusahaan migas asing hanya mendapat 15%.[56]
Hitungan tersebut
manipulatif. Sebenarnya, KKKS mendapat jatah lebih besar. Sebelum sampai pada equiti
to be split, lifting minyak yang akan dibagikan, kontraktor telah terlebih
dahulu mengambil bagiannya sebagai cost recovery. Besar cost recovery
ini dapat mencapai 100 persen dari seluruh biaya produksi. Tidak dibatasi item
apa-apa saja yang masuk dalam cost recovery. Setelah dipotong cost
recovery, yang dapat mencapai 20 persen dari gross production,
minyak hasil lifting dibagi, pemerintah mendapat 70-65% dan kontraktor mendapat
25-30%. Sebesar 25 persen dari jatah kontraktor di jual di dalam negeri (domestic
market obligation/DMO). Karena DMO dan pajak, seolah-olah jatah kontraktor
hanya sebesar 15 persen. Padahal, DMO itu tidak diberikan gratis, tetapi dijual
seharga ICP kepada kilang-kilang pertamina.
Jika dihitung secara
jujur, negara justru mendapat porsi lebih kecil. Contohnya pada produksi minyak
tahun 2005. Sebelum dipotong cost recovery, BP-MIGAS mencatat angka
lifting minyak 2005 adalah 364.376.000 barel. Dengan harga rata-rata minyak
mentah di tahun itu 60 dollar AS per barel, total pendapatan dari lifting
minyak 2005 sebesar 21,8 miliar dollar AS. Setelah dipotong cost recovery
untuk KKKS sebesar 4,19 miliar dollar AS, sisa pendapatan migas yang harus
dibagi hasil 17,61 miliar dollar AS. Dari bagi hasil di tahun itu, pemerintah
mendapat 10,6 miliar dollar AS dan KPS 7,04 miliar dollar AS. Dengan demikian,
sistem bagi hasilnya pemerintah mendapat 48,62 persen, sementara KKKS mendapat
51,5 persen.[57]
Cost recovery
adalah pembebanan biaya produksi yang dikeluarkan kontraktor migas kepada
pemerintah. Jadi setelah produksi minyak mulai berjalan, sebagian hasilnya
menjadi jatah kontraktor sebagai ganti biaya yang telah dikeluarkan selama
eksplotiasi. Selama ini, penentuan cost recovery memang tidak pernah
transparan. Tidak heran jika dengan audit yang belum mendalam saja, Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komite Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menemukan
puluhan triliun kerugian negara. Sejak 19 Desember 2005, Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) melakukan pemeriksaan terhadap KKKS yang beroperasi di Indonesia
untuk tahun 2004 hingga semester I-2005. Dari 43 KKKS yang ada, 5 perusahaan
yang mendapat giliran pertama adalah PT Chevron Pacifik Indonesia (CPI),
ConocoPhillips-Grissik (Copi-Grissik), PetroChina International Jabung Ltd
(PIJL), PT Medco E&P Rimau, serta BOB Pertamina Hulu-PT Bumi Siak Pusako
(BSP). Dari pemeriksaan terhadap CPI saja, BPK
menemukan kerugian negara sekurang-kurangnya Rp 13,65 triliun. Kerugian
tersebut berasal dari pembebanan sejumlah item biaya operasional yang tidak
semestinya kepada cost recovery. Beberapa contohnya adalah pembebanan cost
recovery untuk proyek Politeknik Caltex Riau (6,56 juta dollar AS); school
cost selama tahun 2004 dan 2005 senilai 6,29 juta dollar AS dan sumbangan
pada sekolah internasional sebesar 5,94 juta dollar AS; biaya community
development ( 1,5 juta dollar AS) dan community relationship (1,47
juta dollar AS); dan interest recovery sebesar 4,97 juta dollar AS
(Kompas, 26 Oktober 2006). Cost recovery tersebut dipotong
langsung dari minyak dan dibayar dalam bentuk minyak (inkain).
Pemeriksaan BPK pada tahun
buku 2004-2005 menemukan penggunaan dana bagi hasil oleh KKKS yang belum
disetujui oleh pemerintah, sebesar 1,79 juta USD dollar AS. Perusahaan migas
yang melakukan itu adalah Chevron, Conoco Philips, Petrochina International
Jabung Limited, Medco E&P Indonesia-Rimau Block, BOB PT Bumi
SiakPusako-Pertamina Hulu, Total Indonesia Kalimantan, VICO Indonesia, China
National Offshore Oil Company SES Ltd (CNOOC), ExxonMobil Oil, British
Petroleum West Jawa, dan Premier Oil Natuna Sea (Kontan, 4 September 2008). Hal
ini tentu merugikan negara karena berpengaruh pada APBN. Tanpa persetujuan
pemerintah, dana bagi hasil tersebut berpotensi ditentukan sendiri (dimark-up)
oleh KKKS. Harusnya pemerintah memotong dana bagi hasil di tahun berikutnya,
tetapi setelah 4 tahun berjalan, belum ada tindakan itu.
Pada pemeriksaan
2006-2007 terhadap sejumlah kontraktor migas asing, seperti Total, Conoco
Philips, ExxonMobil Oil, Cevron Pacific Indonesia, BP dan Cynox Oil Company,
BPK menemukan, dalam 2 tahun tersebut negara merugi Rp 27 triliun. Kerugian
dihasilkan oleh penggelembungan biaya produksi minyak yang ditagihkan sebagai Cost
Recovery. Misalnya, salah satu kontraktor mengklaim biaya sewa mesin
generator ke anak usahanya sendiri senilai 80 juta dollar AS per tahun. Dari
situ negara rugi 30 juta dollar AS per tahun. Dari pemeriksaan atas Laporan
Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) di Depkeu, sejak 2005 hingga 2007, Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan ada dana sebesar Rp 39,9 triliun yang tidak
dibayarkan perusahaan asing kepada pemerintah dan diklaim sebagai cost
recovery. Temuan lain berupa penerimaan migas yang tidak tercatat dan
dibelanjakan tanpa melalui mekanisme APBN. Jumlahnya mencapai Rp 120,3 triliun.[58]
Tindakan KKKS memanipulai cost recovery
memang sulit diterima. Sejumlah perusahaan mengalihkan beban biaya untuk
sekolah anak, kegiatan wisata, anggota klub olahraga golf dan tenis, kesenian,
hingga bantuan korban bencana tsunami, gaji tenaga asing tanpa izin, pajak
penghasilan, biaya bunga, hingga biaya jasa konsultan hukum ke dalam cost
recovery. Conoco Philips membebankan Rp 70 jutaan biaya kursus bahasa Indonesia
bagi pekerja asingnya ke dalam cost recovery. Padahal peraturan Mena mewajibkan setiap ekspatriat yang bekerja di
Indonesia bisa berbahasa Indonesia. Premier Oil Natuna Sea, yang mengelola Blok
A Natuna, Kepulauan Riau, bahkan mengalihkan biaya seperti fashion show
ke dalam cost recovery.
Melalui skenario bagi hasil dengan cost
recovery-nya, para pemodal asing itu meraup keuntungan besar dari lonjakan
harga minyak. Beberapa contoh seperti Chevron, Exxon Mobil, British
Petroleum dan
Total meraup keuntungan masing-masing 18,6 miliar dollar AS, 40,6 miliar dollar
AS, 31,3 miliar dollar AS, dan 17,7 miliar dollar AS. Ironisnya, hal itu
terjadi ketika pada saat yang sama, dan oleh sebab yang sama, APBN mengalami
defisit, industri dalam negeri kembang-kempis dan dan rakyat harus berhadapan
dengan kenaikan harga BBM dan kenaikan harga berbagai kebutuhan hidup sebagai
dampak lanjutan.
Pemerintah menghitung
beban subsidi dengan cara mengalikan jumlah BBM bersubsidi terhadap harga MOPS
plus alfa. Perhitungan ini cenderung manipulatif, karena kenyataannya tidak
semua BBM bersubsidi diimpor. Seperti
yang telah diejaskan di atas, mayoritas BBM dalam negeri justru diproduksi oleh
kilang-kilang dalam negeri. Sebagian terbesar minyak mentah yang diolah pada
kilang dalam negeri adalah milik pemerintah. Hanya sebagian kecil minyak mentah
yang berasal dari impor minyak mentah ataukah dari 25% DMO yang dibeli
dengan harga ICP. Pada tahun 2007. Pada
tahun tersebut lifting minyak mentah Indonesia dalam setahun 384 juta barel.
Sekitar 60.92% (212 Juta barrel) adalah jatah pemerintah plus 25% DMO yang
diolah di kilang dalam negeri. Jumlah DMO paling banyak sekitar 50 juta barel,
yang dibayar dengan patokan harga minyak mentah Indonesia (ICP), yang selalu
lebih rendah dari hanya minyak mentah dunia. Sedangkan untuk minyak yang jadi
jatah pemerintah, harganya harus dipandang sebagai “nol” rupiah karena dipakai
untuk diri sendiri.
Kapasitas kilang Indonesia
(328 juta barel setahun), pemerintah mengimpor minyak mentah sebesar 116 juta
barel (35,37 persen). Minyak mentah ini dibeli
dengan harga minyak mentah, jauh dibawah harga MOPS yang adalah harga BBM. Dari
volume minyak mentah yang diolah di kilang sebesar 328 juta barel, sebesar 244
juta barel keluar sebagai BBM. Jumlah ini telah memenuhi
64,63 persen kebutuhan setahun BBM di Indonesia. Sisanya, 116 juta barel (35,37
persen) barulah diimpor dengan harga MOPS. Dari
data ini, sekitar 75 persen minyak mentah yang diolah di kilang dapat menjadi
BBM. Itu berarti jika lifting minyak yang jadi jatah pemerintah dalam setahun
sebesar 200 juta barel saja, BBM yang dihasilkan sekitar 150 juta barel. Karena 1 barel setara 159 liter, maka dalam setahun BBM yang dihasilkan
dari 200 juta barel jatah pemerintah sekitar 25 juta kiloliter. Jumlah itu
sudah 70 persen dari jatah BBM bersubsidi tahun 2008. Artinya, harga 70% BBM
bersubsidi harusnya ditentukan berdasarkan biaya produksi di kilang plus biaya
distribusi, sekitar 15 dollar AS per barel, bukan harga MPOS plus alfa yang
melampaui 100 dollar AS per barel. Sedangkan yang 30% sisanya, dapat terpenuhi
dari olahan kilang atas minyak mentah impor yang harganya dibawah harga MOPS
plus alfa.
Harga BBM impor harusnya dapat lebih murah. Itu bisa dilakukan jika
pemerintah membersihkan ekspor-impor minyak dari aktivitas para broker minyak
internasional. Fakta yang ada minyak impor, baik yang dibeli dari pasar spot,
ataukah dari kontrak jangka panjang, sebenarnya tidak dibeli langsung oleh
Pertamina. Pertamina membelinya melalui para broker. Shell Singapore, Formasa
Taiwan, RIM Intellegence, dan Platts Singapore adalah beberapa diantaranya.
Pertamina menenderkan pembelian minyak pada pasar spot kepada para broker
jual-beli minyak tersebut. Sedangkan untuk kontrak jangka panjang, dilakukan
oleh Petral, anak perusahaan Pertamina, dan Pacific Petroleum Trading (PPT), trader
minyak yang 50 persen sahamnya dikuasai Pertamina.
Demikian pula yang
terjadi dengan ekspor minyak mentah dan produk olahan kilang Indonesia. Karena
berstatus badan hukum negara, BP Migas tidak dapat menjual minyak secara
langsung, melainkan menyerahkan penjualan kepada para trader. Para
trader/broker itu leluasa menjual dengan harga yang lebih rendah sehingga
merugikan pemerintah, karena BP Migas beroperasi tanpa kontrol. Pelibatan broker berarti memungkinkan terjadinya
mark-up harga. Karena itu, pengamat pertambangan dan Energi, Pri Agung
Rakhmanto memperhitungkan, harga minyak mentah yang dibeli Pertamina 0,68
sampai 4 dollar AS per barel lebih mahal dari harga riil. Selain itu, nilai
alfa (yaitu margin pengangkutan dan fee) yang diambil Pertamina menjadi
sangat besar karena harus dibagi dengan trader/broker.
Dengan memahami kenyataan
pada inti ekonomi-politik migas, banyak kelompok kritis yang melihat bahwa
menaikkan harga BBM bagi rakyat bukanlah langkah tepat. Masih sangat luas
alternatif solusi atas kenaikan harga minyak dunia yang bisa diambil
pemerintah. Solusi yang paling maju
adalah menasionalisasi perusahaan migas asing yang menguasasi mayoritas konsesi
migas di Indonesia. Langkah ini kini banyak ditempuh pemerintahan-pemerintahan
kerakyatan di Amerika Latin, terutama Venezuela. Tentu nasionalisasi bukanlah
tindakan semena-mena. Ada berbagai varian langkah yang dapat ditempuh. Yang
paling radikal adalah mengambilalih penguasaan aset dan operasional kontraktor
migas asing setelah terlebih dahulu memberi ganti rugi sesuai nilai aset
mereka. Jika itu dianggap terlampau radikal, nasionalisasi dapat ditempuh
dengan menaikan porsi saham pemerintah pada perusahaan patungan yang dibentuk
bersama dengan perusahaan migas asing.
Masih ada jalan lain
berupa renegosiasi kontrak bagi hasil. Kontrak-kontrak bagi hasil migas
sebelumnya digugurkan, lalu dibuatkan kontrak baru dengan sistem bagi hasil
yang lebih menguntungkan negara. Dengan jalan ini pula, mekanisme cost
recovery dapat ditiadakan, atau minimal dengan membatasi dan mengawasi
secara ketat item-item biaya yang boleh diklaim sebagai cost recovery.
Argumentasi yang
menyatakan Pertamina tidak siap dari sisi sumber daya manusia dan teknologi untuk
mengelola ladang-ladang minyak nasional karena itu diserahkan pada pihak asing tidak dapat diterima. Karena kenyataannya,
Pertamina justru mendapat kepercayaan menjadi kontraktor minyak di sejumlah
negara. Saat ini Pertamina terlibat dalam Kontrak kerja sama dengan Petronas,
Carigali, dan PetroVietnam, untuk mengelola Blok SK-305 di Malaysia. Pertamina
juga terlibat di dalam joint operating company bersama PIDC Vietnam dan
Petronas Malaysia untuk mengelola Blok-10 dan 11-1 di Vietnam. Di Irak,
Pertamina mengelola Blok-3 Western Dessert.
Persoalan Pertamina
mungkin terletak pada dukungan finansial untuk melakukan eksplorasi dan dana
awal dalam eksploitasi. Tetapi jika pemerintah mampu memerintahkan bank-bank
yang beroperasi di Indonesia untuk memberikan komitmen kredit pada Pertamina,
persoalan ini akan teratasi. Problemnya, sektor perbankan nasional pun telah
dikuasai asing, sehingga pemerintah tampak tidak punya gigi untuk mengarahkan
kebijakan perbankan yang pro-kepentingan nasional.
Dengan nasionalisasi,
dalam berbagai variannya, atau renegosiasi kontrak yang memberi porsi bagi
hasil lebih besar lagi pada negara, kondisi defisit APBN, di saat kontraktor
migas asing menuai rejeki gila-gilaan dari kenaikan harga minyak dunia saat
ini, tidak akan terjadi. Sebaliknya, kenaikan harga minyak dunia akan
menyuntikkan tambahan pendapatan pemerintah, sehingga bukan saja harga BBM
untuk rakyat tidak perlu dinaikkan, pemerintah juga dapat memenuhi berbagai
kebutuhan mendesak rakyat.
Ada juga yang
mengusulkan agar kewajiban kontraktor minyak asing untuk menjual minyak ke
dalam negeri atau yang disebut domestic market obligation (DMO)
ditingkatkan. Sebelumnya, berdasarkan UU Migas, DMO hanya 25 persen. Artinya
perusahaan asing boleh menjual tiga perempat jatah minyaknya ke luar negeri.
Jika DMO dinaikan menjadi 75 persen, impor minyak mentah untuk memenuhi
kebutuhan kilang nasional dapat dikurangi. Minyak mentah yang diimpor sekedar
untuk menghasilkan produk olahan kilang tertentu yang mungkin kurang bisa
dihasilkan dari minyak mentah Indonesia. Bahkan jika langkah ini diikuti dengan
pembangunan atau peningkatan kapasitas kilang dalam negeri, kita bisa saja
tidak perlu mengimpor BBM, karena kebutuhan BBM dalam negeri terpenuhi dari
produksi kilang domenstik. Pemerintah
juga dapat menerapkan wind profit tax, yaitu pajak atas lonjakan
keuntungan yang diperoleh kontraktor migas karena lonjakan harga minyak dunia.
Adapun minyak yang
terdapat di Indonesia sebenarnya cukup untuk memenuhi minyak dalam negeri akan
tetapi, karena kontraktor asing itulah yang menyebabkan Indonesia harus
melakukan impor minyak, termasuk dari Arab Saudi, adapun daftar kilang yang di
miliki Indonesia yakni :
Tabel
1: Daftar Kilang Minyak di
Indonesia:
No
|
Daerah
|
Jumlah
Produksi Barel/hari
|
1.
|
Sumatera
Utara
|
5000
|
2.
|
Dumai
|
50.000
|
3.
|
Plaju,
Sumsel
|
145.000
|
4.
|
Cilacap
|
348.000
|
5.
|
Balikpapan
|
266.000
|
6.
|
Balongan,
Jabar
|
125.000
|
7.
|
Sorong,
Irian Jaya
|
10.000
|
8.
|
Cepu,
Jateng
|
5.000
|
1.
Pertamina Unit Pengolahan I
Pangkalan Brandan, Sumatera Utara (Kapasitas 5 ribu barel/hari). Kilang minyak
pangkalan brandan sudah ditutup sejak awal tahun 2007
2.
Pertamina Unit Pengolahan
II Dumai/Sei Pakning, Riau (Kapasitas Kilang Dumai 127 ribu barel/hari, Kilang
Sungai Pakning 50 ribu barel/hari)
3.
Pertamina Unit Pengolahan
III Plaju, Sumatera Selatan (Kapasitas 145 ribu barel/hari)
4.
. Pertamina Unit Pengolahan
IV Cilacap (Kapasitas 348 ribu barel/hari)
5.
Pertamina Unit Pengolahan V Balikpapan,
Kalimantan Timur (Kapasitas 266 ribu barel/hari)
6.
Pertamina Unit Pengolahan
VI Balongan, Jawa Barat (Kapasitas 125 ribu barel/hari)
7.
Pertamina Unit Pengolahan VII Sorong, Irian
Jaya Barat (Kapasitas 10 ribu barel/hari)
8.
Pusdiklat Migas Cepu, Jawa Tengah (Kapasitas 5
ribu barel/hari)
Semua kilang minyak di atas dioperasikan oleh Pertamina.
Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Kilang_minyak.htm
B.
Potensi Perminyakan Arab
Saudi
Peranan minyak dalam dunia
internasional menjadi penting semasa Perang Dunia I ketika bangsa-bangsa yang
terlibat dalam perang tersebut menggantungkan energi pada minyak untuk
menggerakkan mekanisme industri, militer, teknologi, komunikasi dan
transportasi mereka. Pada waktu itu Timur Tengah sudah menduduki posisi sentral
dalam penyediaan energi dunia, akan tetapi baru pada awal tahun 1970an dunia
menyadari betapa potensi minyak dapat digunakan sebagai senjata yang dapat
menggetarkan sistem internasional yang ada.
Secara total, minyak yang terkandung didalam
perut bumi ini dipercaya adalah sebanyak 1349 Milliar Barrel, yang tersebar
dari kutub utara sampai kutub selatan. Saudi Arabia adalah negara yang
mempunyai cadangan minyak terbesar dunia tahun 2005 yaitu mempunyai 262,7
Milliar barrel, menurut data worldfact book nya CIA. Timur Tengah dan Arab Saudi berperan penting
dalam geopolitik perminyakan, karena Timur Tengah dan Arab Saudi memiliki
sumber daya minyak yang luar biasa besarnya. Dua per tiga dari minyak bumi yang
tersedia di bumi berlokasi di Timur Tengah, dengan Arab Saudi yang terbesar
menyusul Irak dan Iran.[59]
Wilayah
nasional Arab Saudi meliputi sekitar 4/5 total luas wilayah jazirah Arab.
Negara yang jumlah penduduknya mayoritas Muslim ini kaya akan minyak, penduduk
asing yang bermukim di Arab Saudi yang mencari nafkah sangat kecukupan dalam
hal pendapatan yang di dapatkan. Sampai dengan tahun 1960-an penduduk Arab
Saudi masih nomaden atau semi nomaden (berpindah-pindah). Namun sehubungan
dengan terjadinya lonjakan pertumbuhan ekonomi yang luar biasa berkat adanya
rezki minyak ini dalam jumlah yang melimpah, proses urbanisasi pun berlangsung
dengan cepat sehingga sekarang ini sekitar 95% penduduk Arab Saudi tinggal di
daerah perkotaan dan hidup serba kecukupan.
Berkat
kenaikan harga-harga minyak secara tajam yang melipatgandakan pendapatan
nasional pada tahun 1974, Arab Saudi dengan cepat berhasil tampil sebagai salah
satu negara yang pertumbuhannya paling tinggi sedunia. Negara ini menikmati
surplus perdagangan yang luar biasa dengan semua negara yang menjadi mitra
dagangnya. Sementara itu transaksi impornya juga meningkat pesat. Pemerintah
Riyadh sama sekali tidak menemui kesulitan dalam menemukan sumber pembiayaan
atas berbagai program-program pembangunnya. Arab Saudi juga bahkan mampu membangun
kekuatan pertahanan yang kuat serta memberikan dana bantuan dalam jumlah besar
secara cuma-cuma kepada negara tetangganya di Jazirah Arab dan negara-negara
Islam lainnya. Pada tahun 1973 aset-aset luar negeri milik Arab Saudi
diperkirakan mencapai sekitar US$ 4,3 milyar. Jumlah ini terus melambung tinggi
sehingga tidak sampai satu dasawarsa kemudian jumlahnya menjadi US$ 152 milyar.[60]
Sejarah
Arab Saudi ketika terjadi krisis minyak kedua 1979/1980 Arab Saudi bertindak
sebagai swing producer (produser penyeimbang). Kekurangan pasok minyak
dunia akibat krisis itu di penuhinya, meskipun dalam perkembangan selanjutnya
negara-negara anggota OPEC yang lain sudah semakin mampu memproduksi lebih
banyak dan dan ikut memanfaatkan kesempatan krisis itu. Dengan peran Arab Saudi
yang demikian ketika itu harga minyak mentah dapat dipertahankan stabilitasnya.
Ketika
harga minyak mulai menunjukkan penurunan di tahun 1982, Arab Saudi masih
bersedia menjalankan peran sebagai swing producer . Sikap ini kurang
dipahami oleh anggota OPEC lainnya. Sehingga ketika konsumen terus memenuhi stock
dengan jalan membeli seluruh
produksi minyak OPEC dengan harga berapapun, anggota OPEC semakin berlomba
memompa minyaknya sebanyak mungkin. Ketika stok dirasa sudah cukup kuat dan
konsumen mengadakan serangan balik kepada Arab Saudi permintaan minyak melemah.
Sedikit demi sedikit harga minyak menurun. Seandainya Arab Saudi melepaskan
perannya sebagai swing producer pada waktu itu, maka dapat dipastikan harga
minyak merosot drastis, tidak slow down seperti terjadi. Keadaan ini nampaknya masih
belum disadari oleh anggota-anggota OPEC yang lain, mulai bermain-main dengan
berbagai mekanisme keuntungan maupun sistem penjualan seperti barter, counter
purchase, compensation, offset, bilateral clearing account, maupun switch
trading. Akhirnya Arab Saudi tidak tahan lagi menghadapi hal demikian,
bulan desember 1985 Arab Saudi melepaskan fungsinya sebagai swing producer. Bahkan
sebagai tindakan balasan Arab Saudi mempelopori penjualan minyak dengan sistem
baru pada masa itu, yaitu sistem transaksi netback. Sistem ini
mengaitkan harga minyak mentah dengan produk akhirnya, jadi harga minyak mentah
baru ditentukan setelah diketahui harga realisasi dari BBM yang terjual.
Dengan
adanya sistem ini berbarengan juga Zaki Yamani, Menteri Perminyakan Arab Saudi
waktu itu mengusulkan strategi market share dengan prinsip free for
all (bebas berproduksi dan menjual). Dengan prinsip ini setiap anggota OPEC
bebas memproduksi dan menjual kepada siapapun dan dengan sistem apapun untuk
merebut pasar. Akibatnya harga minyak mentah terus mengalami penurunan dan
mencapai puncaknya di bulan Agustus 1986 ( US$ 9 per barel).
Arab Saudi adalah produser
minyak terbesar dunia dan eksporter minyak mentah di tahun 2010 dan kedua
terbesar dunia minyak sawit setelah Rusia. Ekonomi Arab Saudi bergantung secara
besar kepada minyak mentah. Pendapatan ekspor minyak telah terhitung hinga
80-90 persen dari total pendapatan Saudi dan diatas 40 persen dari Pendapatan Kotor Domestik (GDP).
Arab Saudi telah melewati fokusnya melebihi titik produksi minyak sejak Saudi Aramco mengatakan
bahwa itu telah mencapai target kapasitas produksinya 12 miliar barel per hari.
Sebagai tambahan, bagian kapasitas produksi minyaknya adalah mencapai target Negara
Arab Saudi 1.5-2 miliar barel per hari. Sebagiannya, Arab Saudi sedang bergerak
untuk meragamkan Ekonominya dengan meluaskan penyaringannya, minyak kimia, dan
industri produk mineralnya (seperti penyaring perharga tinggi).
Operasi sektor hidrokarbon Arab Saudi telah didominasi oleh perusahan
minyak negara, yakni Saudi Aramco. Saudi Aramco
adalah perusahaan terbesar dalam hal cadangan dan produksi hidrokarbon. Menteri minyak dan
sumber mineral Arab Saudi dan Majlis Tertinggi untuk minyak dan mineral
telah mengawasi sektor dan Saudi Aramco secara langsung. Majlis
tertinggi, yang terdiri dari anggota keluarga kerajaan, pemimpin-pemimpin
industri dan menteri-menteri pemerintahan, adalah bertanggung jawab untuk minyak
dan gas alam pembuatan kebijakan, meliputi penglihatan kembali kontrak,
sebagaimana Saudi Aramco perencanan strategis. Kementrian bertanggung jawab
untuk perencanaan nasional dalam area energi dan mineral, termasuk petrokimia.
Arab Saudi adalah pengguna terbesar minyak di Timur
Tengah, khusunya di daerah transportasi bakar dan daerah penggalian kilang-kilang
Arab Saudi. Pertumbuhan konsumsi domestic telah dipacu dengan bombastik ekonomi karena
secara sejarah bertepatan dengan harga minyak yang tinggi dan bahan bakar
subsidi yang besar. Di tahun 2008, Arab Saudi adalah nomor 15 terbesar pemakai
dari energi utama keseluruhan, yang mana hampir 60 persen adalah berbasis
minyak dan gas alam. Arab Saudi sedang bergerak kedepan dengan perencanaan
memproduksi kekuatan dari reactor nuklir ditahun 2020 untuk memenuhi kebutuhan
energi domestic dan membebaskan minyak dan gas alam dari ekspor dan pemakaian
akhir yang tinggi dari pembakaran untuk pengumpulan energi. Sementara itu, Arab
Saudi mengikuti dalam usaha Majlis Kerjasama Daerah Teluk untuk menghubungkan
kekuatan negara anggota dengan tujuan untuk mengurangi kekurangan bahan
pada periode jatuh. Menurut jurnal minyak dan gas, Arab Saudi mencakup sekitar
260 trilyun barel dari cadangan minyak (ditambah 2.5 tilyun barel di
Saudi-Kuwait Neutral Zone), mencakupi sekitar seperlima dari cadangan minyak
dunia. Walau Arab Saudi memiliki sekitar 100 ladang minyak dan gas yang besar
(dan lebih dari 1500 sumur) lebih dari separuh dari cadangannya berisi dalam
delapan lapangan, mencakup raksasa 1260 mil lapangan Ghawar (tambang minyak
terbesar di dunia, dengan perkiraan cadangannya yang tersisa 70 trilyun barel).
Tambang Ghawar saja memiliki cadangan minyak lebih dari enam negara yang lain.
Arab Saudi adalah negara pengguna minyak terbesar di Timur Tengah.
Pada tahun 2009, Arab Saudi telah menkonsumsi sekitar 2.4 juta barel/hari
minyak, lebih dari 50 persen sejak tahun 2000, karena ekonomi yang kuat dan
pertumbuhan industri dan harga yang tersubsidi. Sumbangsih kepada perkembangan
ini adalah perkembangan minyak mentah, yang mencapai 1 juta barel/hari semenjak
bulan-bulan musim panas, dan pemakaian gas alam cair (NGLs) untuk produksi
minyak. Khalid Al-Fatih, Direktur Utama Saudi Aramco, mengingatkan bahwa
permintaan domestik adalah bagian untuk mencapai lebih dari 8 juta barel/hari
(persamaan harga minyak) pada tahun 2030 jika disana tidak terdapat
perkembangan dalam efisiensi energi dan pertumbuhan yang berkesinambungan.
Arab Saudi bertahan
sebagai produksi minyak terluas di dunia, diperkirakan oleh Biro Informasi
Energi Amerika Serikat bahwa lebih dari 12 juta barel/hari pada akhir tahun
2010. Lebih dari 2 juta barel/hari dari kapasitas telah ditambahkan pada tahun
2009 dengan penambahan increments di Khurais, AFK (Abu Hadriya, Fadhili, dan
Khursaniyah), Shaybah, dan Nuayyim.
Untuk tahun 2010, Biro
Informasi Energi Amerika memperkirakan bahwa Arab Saudi telah memproduksi pada
tingkat rata-rata 10.2 juta barel/hari dari total minyak, mencakup minyak
mentah, lease condensate, gas alam cair dan minyak cair lainnya (meliputi setengah
dari Zona Netral Saudi-Kuwait 600,000 barel/hari). Sebagai tambahan hingga 8.4
juta barel/hari dari minyak mentah, Arab Saudi memproduksi sekitar 1.8 juta
barel/hari dari gas alam cair (NGLs) dan likuid lainnya, yang tidak diproduksi
oleh OPEC. Arab Saudi, sebuah pemimpin produksi gas alam cair dunia, telah
mengalami pertumbuhan dalam permintaan untuk gas alam cair dari negara-negara
berkembang, termasuk India (tujuan ekspor utama) yang mana telah dipakai untuk
masak dan transportasi.
Tabel 2: Tambang produksi utama Arab Saudi pada
tahun 2010:
No
|
Daerah
|
Jumlah
Produksi Barel/hari
|
1.
|
Ghawar
|
5 juta
|
2.
|
Safaniya
|
1,5
juta
|
3.
|
Khurais
|
1,2
juta
|
4.
|
Qatif
|
0,5
juta
|
5.
|
Shaybah
|
0,5
juta
|
6.
|
Zuluf
|
450.000
|
7.
|
Abqaiq
|
400.000
|
Country Analysis Brief Last Updated
Januari 2011
1. Ghawar
(dalam pulau): Ghawar saja telah mencapai hampir setengah jumlah kapasitas
produksi minyak, dan tambang minyak terbesar di dunia. Ia memproduksi lebih
dari 5 juta barel/hari dari minyak mentah Arab. Ghawar juga memproduksi lebih
dari negara yang lain kecuali Rusia dan Amerika Serikat.
2. Safaniya
(luar pulau): Tambang minyak ketiga terbesar di dunia dalam segi produksi dan
luar pulau terbesar dengan kapasitas produksi 1.5 juta barel/hari.
3. Khurais
(dalam pulau): tambang minyak terbesar dibawa secara global pada tahun 2009, ia
mempunyai kapasitas produksi 1.2 juta barel/hari dari Arab light crude.
4. Qatif
(dalam pulau): 0.5 juta barel/hari dari Arab Medium Crude.
5. Shaybah (dalam
pulau): Memproduksi 0.5 juta barel/hari
dari Arab Extra Light crude.
6. Zuluf (luar
pulau): Memproduksi sekitar 450.000 barel/hari dari Arab
Medium crude.
7. Abqaiq (luar pulau): Memproduksi sekitar 400.000 barel/hari
dari Arab Extra Light crude.
Arab Saudi memproduksi
banyak dari minyak mentah, dari yang berat hingga super light dari total
kapasitas produksi minyak Arab Saudi, sekitar 65 hingga 70 persen adalah
gravitasnya tinggi, dan berkualitas. Negara ini berusaha untuk mengurangkan
pembagian tingkatan kedua. Pada tahun 2009, Saudi Aramco mengatakan 83% dari
produksinya terdiri dari premium lighter grades. Lighter grades secara umum
diproduksi di luar pulau, dimana medium dan berat grades datang secara besar
dari tambang luar pulau. Kebanyakan produksi minyak Saudi, kecuali “extra
light” dan “super light” dianggap sebagai asam, yang
mencakupi tingkat sulful yang tinggi. Saudi Aramco mengatakan bahwa
tambangnya tidak memerlukan pemakaian teknik pencarian minyak yang terbaru,
walaupun tambang-tambang di Zona Netral dapat mengakibatkan limpahan uap air.
Tujuan jangka panjang Arab Saudi adalah
untuk melanjutkan minyak gasnya.
Walaupun kementrian hanya berkomitmen untuk menaikkan kapasitas hingga 12.5
juta barel/hari, kenaikan yang potensial hingga 15 juta barel/hari
(setelah 2011) yang telah didiskusikan ketika pertemuan di Jeddah
pada Juni 2008. Saudi Aramco telah mengatakan bahwa itu telah mengakibatkan
anggaran 20-30 milyar Dolar hingga lima tahun mendatang untuk menutup tingkat
kemerosotan dan menjaga tingkat kapasitas terbaru.
Saudi Aramco melanjutkan rencana yang giat untuk
menaikkan kapasitas produksi minyak mentah meskipun terdapat beberapa penundaan
terakhir, Key Projects mereka adalah:
Tabel 3: Peningkatan
Kapasitas Produksi Minyak Saudi Aramco
No
|
Daerah
|
Jumlah Produksi Barel/hari
|
1.
|
Khurais
|
1,2 juta
|
2.
|
Nuayyim
|
0,1 juta
|
3.
|
Shaybah
|
0,5-0,75
juta
|
4.
|
Khursaniyah
|
0,5 juta
|
5.
|
Zona Netral
|
0,15 juta
|
6.
|
Manifa
|
Tertunda
|
Country Analysis Brief Last Updated
Januari 2011
1. Khurais:
1.2 juta barel/hari proyek Arab yang dating langsung pada pertengahan 2009.
Dalam segi kapasitas, ia adalah tambang keempat terbesar di dunia.
2. Nuayyim:
0.1 juta barel/hari proyek Arab pada pertengahan tahun 2009.
3. Perluasan
Shaybah: Perluasan dari 0.5 juta barel/hari hingga 0.75 juta barel/hari dari
Ekstra minyak Arab pada tahun 2009.
4.
Khursaniyah: 0.5 juta barel/hari proyek Arab
selesai pada tahun 2009.
5. Perluasan
Zona Netral: Secara alami diprediksi akan menghasilkan 0.15 juta barel/hari
diperluas pada tahun 2011.
6. Manifa:
Proyek yang berat ini akan ditunda hingga paling lambat tahun 2013.
Arab Saudi mengekspor minyak cair sebanyak 7,3 juta barel/hari pada
2009, dan tahun 2010 sebesar 7,5 juta barel/hari. Sebagian besar minyak mentah
Arab Saudi di ekspor ke Asia sebesar 55 % yakni 4,125 juta barel/hari seperti
sebagian besar produk minyak olahan dan gas alam cair (NGL). Pada tahun 2009
Arab Saudi mengekspor 1 juta barel/hari minyak cair ke Amerika Serikat (turun
dari tahun 2008 yakni sebesar 1,5 juta barel/hari) terhitung dari 9 % total
minyak impor Amerika Serikat. Arab Saudi pengekspor keempat terbesar setelah
Kanada, Meksiko, dan Venezuela. Ekspor lain Arab Saudi yakni Jepang sebesar 1,2
juta barel/ hari, Korea Selatan 850.000 barel/hari dan Cina 839.000 barel/hari.
Tabel 4: Persentasi Tujuan Ekspor Minyak Arab Saudi:
No
|
Tujuan
|
Minyak
Mentah (Crude Oil)
|
Minyak
Olahan (Refined Product)
|
1.
|
Timur
Jauh
|
57%
|
50 %
|
2.
|
Amerika
Serikat
|
14%
|
3 %
|
3.
|
Mediterania
|
5%
|
4 %
|
4.
|
Eropa
|
4%
|
9 %
|
5.
|
Lainnya
|
20%
|
34 %
|
Saudi Aramco Annual Review
Arab
Saudi merupakan negara perindustrian yang bertumpu pada sektor minyak bumi dan
pertokimia. Perekonomian negara ini sangat disokong oleh hasil minyak bumi.
Cadangan minyak Arab Saudi tahun 2003 diperkirakan mencapai 260,1 miliar barel,
setara dengan seperempat total cadangan minyak dunia pada saat itu.[61]
Arab Saudi sangat berperan dalam organisasi penghasil minyak yakni OPEC (Organization
of Petroleum Exporting Countries), selain memang sebagai salah satu negara
penggagas organisasi ini pada tahun 1960 bersama Iran, Kuwait, Irak dan
Venezuela juga pendapatan ekspor Arab Saudi sebagian besar diperoleh dari hasil
perdagangan minyak yakni sekitar 90 persen. Tahun 2007 Arab Saudi produksinya meningkat
mencapai 11,8 juta barel per hari. Sedangkan tahun 2010 menurut data OPEC
cadangan minyak Arab Saudi mencapai 265 miliar barel.[62]
C. Kerjasama
Indonesia dengan Arab Saudi dalam Bidang Perminyakan
Negara yang
menjadi mitra Indonesia dalam memasok import minyak mentah yaitu Saudi Arabia,
Amerika Serikat, Libya, Iran, Malaysia dan Vietnam. Selain pasokan dari negara,
kerjasama juga dilakukan oleh para perusahaan minyak dunia seperti BP (British
Petroleum), Caltex, Exxon dan sebagainya dalam hal kegiatan eksplorasi.
Berdasarkan data dirjen Migas setidaknya terdapat beberapa kerjasama bilateral
energi antara Indonesia dengan beberapa negara yaitu dengan Cina, Inggris,
Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Yemen, Norwegia, Vietnam,
Norwegia, Jordania, Iraq, Iran, Kuwait dan Sudan.
Arab
Saudi merupakan salah satu mitra strategis
Indonesia dalam hal kerjasama perdagangan migas. Hubungan Diplomatik
antara Indonesia dan Kerajaan Arab Saudi secara resmi telah bermula sejak
tanggal 1 Mei 1950 ketika Indonesia mendirikan Kantor Kedutaan Besar untuk Arab
Saudi, Iran dan Pakistan. Sementara Arab Saudi sendiri baru secara resmi
mrndirikan Kedutaan Besar di Jakarta pada tahun 1955. Sejak saat itu, hubungan
diplomatik antara Indonesia dan Arab Saudi semakin erat terlebih dengan
diperkuat oleh adanya hubungan agama, budaya, dan politik selama
bertahun-tahun. Akan tetapi, sekalipun hubungan diplomatik keduanya telah
berlangsung sejak tahun 1950-an namun dalam kaitannya migas, hubungan
perdagangan migas antara Indonesia dengan Arab Saudi baru terjalin pertama kali
di tahun 2004 dimana pada saat itu kedua belah pihak merupakan anggota OPEC.
Kerjasama perdagangan migas antara Indonesia dengan Arab Saudi bermula
ketika Indonesia berencana untuk mengimpor minyak mentah (crude oil) khususnya Arabian
Light Crude (ALC) sebanyak 39,63 juta barel dari Saudi Aramco di tahun 2003
(Rakor Paripurna Bidang Polkam 2003). Namun, Implementasi dari rencana tersebut
baru terlaksana di tahun 2004 ketika Indonesia untuk pertama kalinya selama
menjadi anggota OPEC sejak tahun 1960 mulai mengimpor minyak dari Arab Saudi
dan bahkan juga dari Iran, dan Kuwait. Akan tetapi, hal ini bukanlah kali
pertama Indonesia melakukan impor minyak dari negara lain, karena pada dasarnya
Indonesia sebenarnya telah menjadi net-importer minyak sejak tahun 2002. [63] Indonesia mengimpor minyak mentah
karena produksi minyak dalam negeri kian merosot sejak tahun 1977.
Produksi minyak Indonesia pada tahun 1977 adalah sekitar 1.686,2 ribu barel
per hari dan jumlah ini terus merosot hingga menjadi 1.094,4 ribu barel per
hari pada tahun 2004. [64] Dengan jumlah produksi sebesar itu,
pemerintah Indonesia merasa perlu untuk mengimpor minyak dari negara lain
termasuk Arab Saudi yang dikenal memiliki cadangan minyak terbesar di dunia
(CIA WorldFactBok 2010). Dengan demikian, sejak tahun 2004 Indonesia secara
resmi menjalin kerjasama perdagangan migas dengan Arab Saudi untuk pertama
kalinya yang diawali dari sebuah kerjasama impor minyak mentah, khususnya Arabian Light Crude (ALC).
Di
sisi lain, posisi Indonesia sebagai anggota OPEC dan jabatan yang dipegang oleh
delegasi Indonesia yakni Dr. Yusgiantoro sebagai Sekjen OPEC untuk periode
tahun 2004 hinggga 2007 ketika itu cukup memberikan keuntungan tersendiri bagi
Indonesia terkait perkembangan kerjasama di bidang migas yang telah terjalin
antara Indonesia dengan Arab Saudi. Indonesia diuntungkan karena ALC sejak tahun 1980-an sudah
tidak lagi diperdagangkan di pasar spot dan adanya kedekatan yang terjalin
antara Indonesia dengan Arab Saudi di OPEC memungkinkan Indonesia mendapatkan
minyak mentah dengan harga khusus.[65] Kerjasama strategis di bidang migas
yang terbangun sejak tahun 2004 ini pun harus berlanjut dari waktu ke waktu.
Pemerintah Indonesia, dalam kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Arab
Saudi pada April 2006 lalu, bahkan sempat merencanakan kerjasama perdagangan
migas baru antara Pertamina dengan Aramco dalam hal pengolahan minyak mentah
dari Arab Saudi yang kemudian diolah dipasarkan di Indonesia maupun ke
tempat-tempat lain di Asia. Tidak hanya itu, dalam kurun waktu 2006 hingga
2008 saja telah terjadi peningkatan jenis migas yang diekspor oleh Arab Saudi
ke Indonesia yang mana tidak lagi terbatas pada ALC melainkan juga Liquified Petroleum Gas (LPG).[66]
Sayangnya, ditengah pesatnya perkembangan kerjasama migas yang terjalin antara
Indonesia dengan Arab Saudi sebagaimana telah di jelaskan diatas, pemerintah
Indonesia memutuskan untuk menangguhkan keanggotaannya di
OPEC pada September 2008 bersamaan dengan
diadakannya Konferensi OPEC ke-149 di Wina, Austria. Kebijakan yang diambil
oleh pemerintah Indonesia ini patut disayangkan karena kesemua bentuk kerjasama
perdagangan migas yang terjalin antara Indonesia dengan Arab Saudi di atas
terbangun justru karena kedekatan antara Indonesia dengan Arab Saudi yang
terbangun dalam keanggotaan OPEC. Terlebih lagi, berkat keanggotaannya di OPEC,
Indonesia dapat mengimpor minyak dari Arab Saudi dengan harga khusus yang lebih
murah.
Indonesia
mengimpor minyak dari Arab Saudi dalam hal ini melalui Saudi Aramco, di
karenakan cadangan minyak yang ada di Indonesia memang belum mencukupi dari
pemenuhan kebutuhan minyak dalam negeri, tahun 2010 pihak PT PERTAMINA (Perusahaan
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara) menjajaki perjanjian dengan
Saudi Aramco (Oil National Company of Kingdom Saudi Arabia) dalam hal
impor minyak sebesar 200.000 bph yang sebelumnya PT. Pertamina telah
mendapatkan crude oil dari Saudi Aramco sebanyak 125.000 bph. Indonesia
mengharapkan dapat mengimpor minyak sebesar 325.000 bph dari Saudi Aramco untuk
memenuhi kebutuhan kilang minyak dalam negeri.
Kondisi perekonomian Arab Saudi terkini dan
peluangnya bagi Indonesia berdasarkan Sumber : Laporan Konjen RI di Jeddah,
Maret 2011:
1. Arab
Saudi mengalami surplus tahun 2010 sebesar SR 108,5 milyar (US$ 28,93 milyar)
walaupun pembelanjaan negara tersebut lebih dibandingkan dengan anggaran
pengeluaran tahun 2010.
2. Pada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Arab Saudi tahun 2011 disebutkan
bahwa pengeluaran Arab Saudi tahun 2011 SR 580 milyar (US$ 154,7 milyar), naik
SR 40 milyar dibandingkan tahun 2010.
3. GDP tahun
2010 diperkirakan naik16,6% dibandingkan tahun 2009 akibat adanya pertumbuhan
25% dari sektor minyak.
4. GDP
sektor non minyak diperkirakan naik 9,2% sektor pemerintah 15,7%, dan sektor
swasta 5,3% pada saat kurs berlaku.
5. Inflasi
tahunan di Arab Saudi turun menjadi 5,3% pada bulan Januari 2011 dari 5,4% pada
Desember 2010, akibat turunnya harga-harga makanan pada bulan sebelumnya.
6. Turunnya
harga-harga makanan diimbangi dnegan naiknya biaya sewa (0,8%), dan biaya
transportasi (0,7%).
7. Laporan
triwulan BPS Arab Saudi pada bulan Juni 2010 menyebutkan bahwa angka
pengangguran warga Arab Saudi pada tahun 2009 hingga pertengahan 2010 mencapai
10,5%, meningkat sebesar 0,5% dibandingkan tahun sebelumnya (2008).
8. Kementerian
Perminyakan dan Sumberdaya Mineral Arab Saudi pada tanggal 23 Februari 2011
menjelaskan bahwa produksi minyak Arab Saudi mencapai level tertinggi selama
dua tahun terakhir.
9. Ekspor minyak
mencapai 6,49 juta barel per hari pada bulan Desember 2010, naik dari angka
sebelumnya yaitu 6,342 juta barel per hari pada November 2010.
10. Arab
Saudi menjadi negara anggota OPEC terbesar yang memproduksi minyak.
11. Perlu
dilakukan kontrol terhadap kenaikan harga minyak yang mencapai US$ 112 per
barel akibat gejolak berdarah yang terjadi di Libya sehingga menghentikan
ekspor minyaknya ke luar negeri.
12. Titik
berat RAPBN 2011 Arab Saudi:
a. Peningkatan
proses pembangunan dan menjamin program-program investasi yang mendorong
pertumbuhan ekonomi. Mengoptimalkan SDM dan memberikan prioritas terhadap
proyek-proyek yang menjamin keseimbangan pembangunan serta peluang kerja dan
penciptaan lapangan kerja.
b. Sektor
pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial dan pengamanan, jalan-jalan dan jalan
raya, menempatkan proyek-proyek penting yang berkaitan dengan riset dan
pembangungan serta proyek-proyek sain dan teknologi untuk e-government.
13. Untuk
menjaga ketahanan pangan dan stabilitas harga, di tahun 2011 Arab Saudi
berencana mengimpor 2 juta ton gandum dan diperkirakan akan menjadi 3 juta ton
setelah tahun 2016 dimana pada tahun tersebut telah diberhentikan produksi
lokal secara menyeluruh.
14. Arab
Saudi merupakan negara utama pembeli gandum, dan berkeinginan untuk
meningkatkan cadangan barang-barang kebutuhan pokok seperti gandum, beras,
minyak, dan gula.
15. Secara
makro, ekonomi Arab Saudi saat ini dalam kondisi cukup kuat yang didukung oleh
cadangan devisa yang besar dan kebijakan fiskal yang sangat hati-hati.
16. Dalam
rangka menunjang program pemerintah, pada tanggal 19-22 maret 2011 akan
diselenggarakn Jeddah Economic Forum (JEF) ke-11 tahun 2011 di Hotel
Hilton jeddah.
17. Terkait
dnegan hubungannya dengan kemungkinan dampaknya terhadap hubungan ekonomi dan
investasi Arab-Indonesia akibat krisis politik di negara-negara Timur Tengah
dapat disampaikan:
a. Tidak ada
dampak langsung karena hubungan dagang kedua negara pada umumnya dilakukan
secara langsung (tidak melalui negara ketiga), dengan tern yang cenderung
meningkat dari tahun ke tahun.
b. Apabila
krisis politik negara-negara di Timur Tengah merambat ke Uni Emirate Arab makan
akan berdampak pada hubungan dagang Indonesia-Arab karena beberapa komoditi
yang diekspor Indonesia ke Arab Saudi dan negara Timur Tengah lainnya dilakukan
melalui pelabuhan di Dubai.
c. Kondisi
krisis politik yang terjadi dapat menjadi peluang bagi Indonesia untuk
meningkatkan ekspor Indonesia terutama bahan dan produk makanan yang menjadi
kebutuhan pokok dan sangat diperlukan oleh Arab Saudi yang selama ini dipasok
oleh negara mitra dagangnya di Timur Tengah. Peluang juga terbuka bagi
Indonesia unuk menarik dan mengalihkan investasi Arab Saudi ke Indonesia
terutama di bidang pertanian dan keuangan yang berbasis syariah, sehingga
diperlukan promosi perdagangan dan investasi secara langsung yang dilakukan
pengusaha yang didukung oleh pemerintah Indonesia.
18. Indonesia
dapat memanfaatkan situasi ini untuk meningkatkan hubungan ekonomi dengan Arab
Saudi yang juga sesama anggota GNB dan G-20 serta bekas anggota OPEC baik dalam
kerangka bilateral maupun dengan melakukan
pendekatan pada setiap pertemuan G-20 dan pertemuan multilateral lainnya.[67]
Peluang-peluang yang dilaporkan secara umum bagi
Indonesia, akan tetapi terdapat poin-poin yang terkait dengan kerjasama
perminyakan maupun kondisi perminyakan di Arab Saudi yang bisa dijadikan kajian
sebagai sebuah peluang yang bisa di gunakan Indonesia dalam memenuhi kebutuhan
energi dalam negerinya, sebagai bentuk energy security.
BAB IV
ANALISIS HASIL
PENELITIAN
A. Hambatan-hambatan Kerjasama Perminyakan
Indonesia-Arab Saudi
Fluktuasi minyak dunia membuat
permasalahan tersendiri bagi setiap negara, tidak terkecuali Indonesia. Setiap
peristiwa yang terkait dengan minyak dunia sepertti Snow Ball Theory. Gema
Indonesia sebagai penghasil minyak merupakan cerita indah masa lalu, dari tahun
ke tahun produksi minyak Indonesia mengalami penurunan, sementara di pihak lain
perkembangan tingkat konsumsi dari tahun ke tahun meningkat.
Kebijakan-kebijakan dalam formulasi politik luar negeri diharapkan dapat
menjadi patokan demi mengamankan enegri (energy security) nasional.
Pemerintah mengklaim
bahwa setiap tahun produksi minyak Indonesia menurun, sementara dahulu
Indonesia merupakan negara penghasil minyak yang besar saat boom minyak,
akan tetapi kenyataannya pemodal asing lah yang menguasai
sumur-sumur minyak yang tersebar di seantero negeri ini. Sebanyak 85,4%
konsesi pengelolaan migas nasional dikuasai perusahan asing. Yang terbesar
dikuasai oleh ExxonMobil, Vico, Conoco Philips, Chevron dan British Petroleum. Keenam perusahan itu menguasai 90 persen total produksi minyak
Indonesia. Perusahaan-perusahaan multinasional tersebut menguasi minyak
Indonesia lewat skenario kontrak bagi hasil atau production sharing contract
(PSC). Selama ini pemerintah
mengklaim mendapat bagian yang lebih besar dalam kontrak bagi hasil migas,
yaitu sebesar 85%, sementara perusahaan swasta (kontraktor kontrak kerja
sama/KKKS) yang mayoritas perusahaan migas asing hanya mendapat 15%. Hal inilah
yang menjadikan Indonesia kebutuhan minyak dalam negerinya tidak mampu dipenuhi
sehingga, Indonesia perlu menjalin kerjasama perminyakan sebagai salah satu
langkah energy security.
Minyak mentah merupakan
komoditas vital yang tidak dapat digantikan selama belum memadainya
diversifikasi energi, peningkatan harga komoditas ini tidak serta merta dapat
menurunkan konsumsi negara akan minyak mentah. Oleh kerena itu keamanan pasokan energi menjadi suatu
prioritas bagi negara. Kerjasama bisnis dalam komoditas ini biasanya melintasi
batas-batas politik suatu negara berdasarkan asumsi kebutuhan yang tinggi.
Tetapi beberapa kasus menunjukkan faktor politik suatu negara mempengaruhi pola
bisnis komoditas ini.
Implementasi
dari energy security ialah dengan melakukan kerjasama atau mitra
strategis dengan negara penghasil minyak. Import minyak Indonesia pada tahun
2008 sekitar 400 ribu bpd merupakan angka yang besar untuk menutupi selisih 95 produksi dengan konsumsi
sebesar 1,3 juta bpd. Kapasitas kilang Indonesia adalah 1.057 ribu barel
perhari (2004), terdapat di di Dumai, P. Brandan, Musi, S. Pakning, Balikpapan,
Cilacap, Balongan, Cepu dan Kasim. Sebagian besar impor BBM Indonesia dilakukan
dari Singapura, yang merupakan salah satu bunker dan pasar produk minyak terbesar
di dunia.[68]
Negara yang menjadi mitra Indonesia
dalam memasok import minyak mentah yaitu Saudi Arabia, Amerika Serikat, Libya,
Iran, Malaysia dan Vietnam. Selain pasokan dari negara, kerjasama juga
dilakukan oleh para perusahaan minyak dunia seperti BP (British Petroleum),
Caltex, Exxon dan sebagainya dalam hal kegiatan eksplorasi. Berdasarkan data
dirjen Migas setidaknya terdapat beberapa kerjasama bilateral energi antara
Indonesia dengan beberapa negara yaitu dengan Cina, Inggris, Amerika Serikat,
Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Yemen, Norwegia, Vietnam, Norwegia, Jordania,
Iraq, Iran, Kuwait dan Sudan.[69]
Pengaruh ketergantungan akan minyak ini terkadang
membuat politik luar negeri suatu negara tidak independent dalam artian adanya
perbedaan di tingkat idealitas dan realitas. Walaupun anggapan bahwa bisnis
adalah bisnis, tetapi komoditas ini dapat menggerakkan instrument politik luar
negri maupun kerjasama luar negeri. Semakin tinggi tingkat ketergantungan akan
minyak mentah maka semakin ofensif pula politik luar negeri suatu negara dalam
menjalin mitra strategisnya.
Selain itu, impor minyak pun bukan tanpa persoalan. Harga BBM impor harusnya dapat lebih murah. Itu bisa
dilakukan jika pemerintah membersihkan ekspor-impor minyak dari aktivitas para
broker minyak internasional. Fakta
yang ada minyak
impor, baik yang dibeli dari pasar spot, ataukah dari kontrak jangka panjang,
sebenarnya tidak dibeli langsung oleh Pertamina. Pertamina membelinya melalui
para broker. Shell Singapore, Formasa Taiwan, RIM Intellegence, dan Platts
Singapore adalah beberapa diantaranya. Pertamina menenderkan pembelian minyak
pada pasar spot kepada para broker jual-beli minyak tersebut. Sedangkan untuk
kontrak jangka panjang, dilakukan oleh Petral, anak perusahaan Pertamina, dan
Pacific Petroleum Trading (PPT), trader minyak yang 50 persen sahamnya
dikuasai Pertamina.
Perekonomian
global tengah menghadapi berbagai rintangan yang mengancam pemulihan krisis.
Ancaman terbesar adalah harga minyak mentah. Lebih dari dua pertiga dari 23 ekonom yang disurvei menyatakan bahwa harga
minyak yang tinggi diidentifikasi sebagai risiko yang paling serius bagi
perekonomian global.[70] Kerusuhan yang
terjadi di Timur Tengah dan Afrika Utara menaikkan harga minyak hingga 15
persen dalam dua bulan terakhir. Serangan rudal dan larangan terbang Libya oleh
Amerika Serikat dan sekutunya juga mendorong harga gas lebih tinggi.[71]
Bagi Indonesia perlu
dilakukan kontrol terhadap kenaikan harga minyak yang mencapai US$ 112-US$
118 per barel akibat gejolak berdarah yang terjadi di Libya sehingga
menghentikan ekspor minyaknya ke luar negeri. Dengan seperti itu
minyak akan semakin mahal dikarenakan Libya juga merupakan produsen minyak yang
besar dan merupakan anggota OPEC, sehingga jika harga minyak di dunia semakin
mahal tentunya harga yang diberikan Arab Saudi kepada Indonesia akan mengalami
kenaikan.
Indonesia juga harus
mengantisipasi jikalau terjadi gejolak politik di Arab Saudi, apabila terjadi
gejolak politik di Arab Saudi, maka harga minyak dunia diprediksi mencapai US$
200, karena Arab Saudi memproduksi dan memiliki minyak hampir seperlima jumlah
minyak dunia. Keadaan ini tentu akan mengakibatkan APBN Indonesia akan habis
terkuras dengan hanya memenuhi kebutuhan kilang dalam negeri, dan untuk
kebutuhan rakyat Indonesia, dimana minyak merupakan kebutuhan primer dalam
sendi-sendi kehidupan, kecuali jika terdapat alternatif-alternatif pengganti
yang mampu menggantikan minyak, tentunya dengan harga yang lebih rendah.
B. Peluang Kerjasama Perminyakan Indonesia dengan
Arab Saudi
Sebagai penghasil minyak terbesar dan
sesama negara muslim menjadikan Saudi Arabia sebagai top prioritas dalam
mengatasi krisis pasokan energi di masa akan datang. Peningkatan kerjasama
Indonesia dengan Arab Saudi melalui peran aktif pemerintah ke pemerintah/bilateral
(G-G), melalui perusahan minyak Arab Saudi yakni Saudi Aramco kedepan.
Indonesia yang menjalin kerjasama
minyak dengan Arab Saudi besar harapannya akan langgeng karena produksi minyak
dalam negeri Indonesia semakin hari tidak tidak mampu memenuhi kebutuhan kilang
dalam negeri. Harga yang cenderung lebih murah yang diberikan Arab Saudi
menjadikan Indonesia menjalin kerjasama perminyakan ini dengan semakin percaya
diri, karena keakraban yang terjalin diantara keduanya khususnya selama masing-masing
pernah menjadi negara-negara anggota OPEC. Hal ini pula di dukung karena dua negara ini sama-sama jumlah
penduduknya muslimnya besar sehingga menambah keakraban serta hubungan
yang dekat
antara Indonesia dan Arab Saudi.
Selain itu, kondisi
perekonomian Arab Saudi terkini dan peluangnya bagi Indonesia berdasarkan sumber
: Laporan Konjen RI di Jeddah, Maret 2011, bahwa Indonesia dalam bidang
kerjasama dengan Arab Saudi memiliki banyak peluang diantaranya yakni bidang
perminyakan :
1. Kementerian
Perminyakan dan Sumberdaya Mineral Arab Saudi pada tanggal 23 Februari 2011
menjelaskan bahwa produksi minyak Arab Saudi mencapai level tertinggi selama
dua tahun terakhir. Hl ini tentu menjadikan Indonesia sebagai mitra
kerjasama minyak Arab Saudi, bisa berharap mendapatkan minyak impor tambahan
dalam pemenuhan kebutuhan kilang minyak dalam negeri.
2. GDP tahun
2010 naik 16,6% dibandingkan tahun 2009 akibat adanya
pertumbuhan 25% dari sektor minyak. Dengan terus merningkatnya
produksi minyak Arab Saudi. Semakin memberikan peluang yang cukup berarti bagi
Indonesia mendapatkan kebutuhan minyak impor dari Arab Saudi, dengan sudah
adanya kerjasama yang telah terjalin sebelumnya.
3. Ekspor
minyak mencapai 6,49 juta barel per hari pada bulan Desember 2010, naik dari
angka sebelumnya yaitu 6,342 juta barel per hari pada November 2010.
Produksi minyak yang tinggi, menjadikan ekspor minyak Arab Saudi ikut
meningkat, Indonesia, harus mampu mengajak Arab Saudi untuk bisa menjalankan
kerjasama ini agar langgeng dan dengan semakin mendapat kemudahan-kemudahan
bagi Indonesia.
4. Arab
Saudi menjadi negara anggota OPEC terbesar yang memproduksi minyak.
5. Arab
Saudi mengalami surplus tahun 2010 sebesar SR 108,5 milyar (US$ 28,93 milyar)
walaupun pembelanjaan negara tersebut lebih dibandingkan dengan anggaran
pengeluaran tahun 2010. Hal ini mampu menjadikan
Indonesia menjalankan kerjasamanya dengan baik.
6. Pada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Arab Saudi tahun 2011 disebutkan
bahwa pengeluaran Arab Saudi tahun 2011 SR 580 milyar (US$ 154,7 milyar), naik
SR 40 milyar dibandingkan tahun 2010.
7. Secara
makro, ekonomi Arab Saudi saat ini dalam kondisi cukup kuat yang didukung oleh
cadangan devisa yang besar dan kebijakan fiskal yang sangat hati-hati.
8. Terkait
dnegan hubungannya dengan kemungkinan dampaknya terhadap hubungan ekonomi dan
investasi Arab-Indonesia akibat krisis politik di negara-negara Timur Tengah seperti
yang terjadi di Libya, dapat disampaikan:
a. Tidak ada
dampak langsung karena hubungan dagang kedua negara pada umumnya dilakukan
secara langsung (tidak melalui negara ketiga), dengan tern yang cenderung
meningkat dari tahun ke tahun.
b. Apabila
krisis politik negara-negara di Timur Tengah merambat ke Uni Emirate Arab maka akan
berdampak pada hubungan dagang Indonesia-Arab karena beberapa komoditi yang
diekspor Indonesia ke Arab Saudi dan negara Timur Tengah lainnya dilakukan
melalui pelabuhan di Dubai.
9. Indonesia dapat memanfaatkan situasi ini untuk
meningkatkan hubungan ekonomi dengan Arab Saudi yang juga sesama anggota GNB
dan G-20 serta bekas anggota OPEC baik dalam kerangka bilateral maupun dengan
malkukan pendekatan pada setiap pertemuan G-20 dan pertemuan multilateral
lainnya.
C. Faktor Perminyakan dalam Hubungan Bilateral
Indonesia-Arab Saudi
Kerjasama perminyakan yang terjalin antara Indonesia dan Arab
Saudi dari tahun 2004 ini, memang membawa Indonesia di posisi dimana banyak
menguntungkan Indonesia karena kerjasama yang terjalin antara Indonesia dan Arab Saudi ini sangat membantu
kondisi domestik Indonesia, adapun faktor perminyakan yang terjalin antara
Indonesia dengan Arab Saudi yakni:
1. Impor Minyak
Jika konsumsi BBM dalam
negeri meningkat melampaui yang mampu diproduksi kilang dalam negeri, mau tidak
mau kita harus mengimpornya. Pemerintah SBY-JK tidak
berbohong tentang kenaikan konsumsi BBM dalam negeri. Pada tahun 1990, konsumsi BBM nasional sebesar 173,136 juta barel, tidak
sampai 500 ribu barel per hari. Masuk era 2000-an, konsumsi BBM Indonesia telah
meningkat drastis. Pada tahun 2003 konsumsi BBM meningkat menjadi 329,525 juta
barel. Sejak tahun 2004, konsumsi BBM sudah melampaui 1 juta barel per hari.
Untuk tahun 2008, diprediksi konsumsi BBM Indonesia mencapai 1,4 juta barel.
Karena
itu, tidak heran jika jumlah BBM yang diimpor terus bertambah besar. Pada tahun
2001, kita mengimpor 75,27 juta barel BBM. Jumlah ini meningkat menjadi 79,12
juta barel di tahun 2002, dan 108,69 juta barel di tahun 2003. Kini,
karena besarnya impor, status Indonesia telah berubah dari net exporter
minyak menjadi net importer, sehingga pemerintah Indonesia menarik diri
dari OPEC, organisasi negara-negara penghasil (eksportir) minyak. Tahun 2004 Indonesia memulai menjalin kerjasama minyak dengan Arab
Saudi, setelah itu pada tahun 2008 Indonesia resmi keluar dari OPEC.
Indonesia
mengimpor minyak dari Arab Saudi dalam hal ini melalui Saudi Aramco, di
karenakan cadangan minyak yang ada di Indonesia memang belum mencukupi dari
pemenuhan kebutuhan minyak dalam negeri, tahun 2010 pihak PT PERTAMINA (Perusahaan
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara) menjajaki perjanjian dengan
Saudi Aramco (Oil National Company of Kingdom Saudi Arabia) dalam hal
impor minyak sebesar 200.000 bph yang sebelumnya PT. Pertamina telah
mendapatkan crude oil dari Saudi Aramco sebanyak 125.000 bph. Indonesia
mengharapkan dapat mengimpor minyak sebesar 325.000 bph dari Saudi Aramco untuk
memenuhi kebutuhan kilang minyak dalam negeri
2. Kerjasama Pembuatan Kilang di Indonesia
Kerjasama dalam bidang
perminyakan antara Indonesia dan Arab Saudi sudah berlangsung dari tahun 2004,
hubungan ini semakin dekat dikarenakan hubungan keduanya sebagai negara yang
mayoritas muslim serta kedekatan keduanya di organisasi negara-negara
pengekspor minyak yakni OPEC. Kerjasama yang terjalin tidak hanya dalam bentuk
impor minyak Indonesia dari Arab Saudi, melainkan Indonesia menjalin kerjasama
kilang dengan perusahaan Arab Saudi. Sebelumnya Indonesia sudah menjalin
kerjasama kilang ini dari tahun 2006 lalu, dimana kilang di Jawa Timur dan
Indonesia bagian Timur dibangun berdasarkan kerjasama dengan perusahaan minyak
Arab Saudi. Kesepakatan kerjasama ini diraih Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
sewaktu berkunjung ke Timur Tengah tahun 2006 lalu, kerjasama-kerjasama yang
terjalin antara kedua negara ini meningkat terutama di bidang energi, sebagaimana
yang dikehendaki oleh Indonesia dan dianggap sebagai peluang yang sangat baik. Menurut Presiden Yudhoyono, total dari investasi tersebut
diperkirakan mencapai US$ 7 miliar hingga US$ 8 miliar. Agar kesepakatan ini berjalan dengan baik,
Presiden meminta PT Pertamina membantu pembangunan dua kilang minyak itu [72]
PT. Pertamina sebagai
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini semakin mengintensifkan kerjasama dengan Saudi
Aramco sebuah Oil National Company dari Arab Saudi
untuk membangun kilang minyak di Cilegon, Banten dengan rencana kapasitas
300.000 barel per hari (bph). Kerjasama ini diharapkan mampu
maksimal, karena bagi Pertamina menjalin kerjasama dengan Arab Saudi apalagi
Saudi Aramco, sebagai perusahaan minyak terbesar di Arab Saudi, sekiranya mampu
membantu Indonesia dalam pembuatan kilang minyak dalam negeri, untuk mampu
memenuhi kebuthan minyak dalam negeri. Walaupun Indonesia, mengimpor minyak
dari Arab Saudi akan tetapi, hal ini tidak membuat Arab Saudi tidak ingin
membantu Indonesia dalam pembuatan kilang minyak, bahkan Arab Saudi menganggap
bahwa membantu Indonesia dalam pembuatan kilang mampu ini memberikan hubungan
yang semakin dekat dengan Arab Saudi, dengan kerjasama yang sebelumnya telah
berlangsung selama 60 tahun dari segala bidang, setidaknya bantuan ini
merupakan bantuan yang sangat di butuhkan Indonesia mengingat minyak merupakan
sebuah komoditas yang penting dan primer dalam sebuah negara, karena tanpa
adanya minyak maka sendi-sendi kehidupan tidak dapat berjalan dengan baik,
kecuali terdapat alternatif pengganti black gold ini.
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka penulis
memperoleh simpulan sebagai berikut :
1. Hubungan kerjasama perminyakan
antara Indonesia dengan Arab Saudi mempengaruhi keamanan energi Indonesia
mengingat kebutuhan energi Indonesia semakin meningkat sementara produksi dalam
negeri tidak memenuhi, sehingga kerjasama ini diharapkan langgeng dan lancer.
2. Hambatan-hambatan yang dihadapi
Indonesia menjalin kerjasama perminyakan ini yakni terdapat brokerminyak dalam kerjasama perminyakan
ini yang menyebabkan harga yang diperoleh sedikit mengalami peningkatan,
disamping itu pula kondisi-kondisi politik di Timur Tengah kadang mengganggu
hanya dari segi harga minyak akan terpengaruh.
3. Peluang-peluang yang dimiliki
Indonesia, masih besar untuk kerjasama ini, karena produksi minyak Arab Saudi
masih stabil, bahkan ada rencana untuk meningkatkan produksi kilangnya,
sehingga Indonesia harus pandai-pandai melihat peluang ini.
B.
Saran-saran
1. Agar kerjasama ini dapat
berlangsung lebih lama, maka Indonesia harus mampu menjaga hubungan baiknya
yang telah terjalin selama ini dengan Arab Saudi, salah satunya dengan cara
meningkatkan kunjungan antara pejabat kedua negara.
2. Perlu ditingkatkannya pertukaran
informasi, dengan cara meningkatkan volume kunjungan antara pejabat kedua
negara, serta warga negaranya.
3. Seyogianya jika terdapat masalah
bilateral dapat segera diselesaikan dengan jalan yang terbaik, agar kerjasama
yang lain tidak terganggu.
Harapannya segala bentuk kerjasama yang dapat
menguntungkan negara Indonesia, semoga bisa tetap berjalan apalagi terkait
minyak mentah menjadi bagian sebuah usaha pemerintah yakni energy security , minyak yang merupakan sesuatu yang sangat primer
bagi sebuah negara, demi kesejahteraan dan pemenuhan kebutuhan dalam negeri memang
perlu untuk diperjuangkan.
[1] Qystein Noreng, 1983, Minyak Dalam Politik. Jakarta, CV
Rajawali, hal 1
[2] Bataviase, 2011, Saudi
Aramco diajak bangun kilang, http://bataviase.co.id/node/404539 2-2-2011 diakses tanggal 2
Februari 2011
[3] Ibid.
[5] Bataviase, 2011, Pertamina jajaki impor crude
200.000 bph dari Arab http://bataviase.co.id/node/176899 diakses tanggal 20 Januari 2011
[7] Depdag, 2002, Perkembangan Perdagangan Indonesia -
Arab Saudi Bulan : Januari - Desember 2001, http://www.depdag.go.id/files/publikasi/atase/Arab122001.htm diakses tanggal 2 Februari 2011
[8] Yuri Alfrin Aladdin, 2006, Profil Arab Saudi dan
Peluang Kerjasama Ekonomi dengan RI, http://www.antaranews.com/print/1146046029
diakses tanggal 22 Desember 2010
[9] VIBIZNEWS (an investment and financial web), 2010, Cadangan
Minyak Mentah di Tanah Venezuela Diprediksi Lampaui Arab Saudi, http://vibiznews.com/news/business/2010/07/16/cadangan-minyak-mentah-di-tanah-venezuela-diprediksi-lampaui-arab-saudi/
diakses tanggal 22 Desember 2010
[10] Hans J. Morgenthau, 1990, Politik
Antabangsa, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, halaman 178.
[11]___________, 1997, The
Black Gold, http://www.oocities.com/yliputo/nukilan/Oil2.html
diakses tanggal 8 februari 2011
[12] T May Rudi, 2003, Hubungan Internsional Kontemporer dan
Masalah-masalah Global. PT. Refika Aditama, halaman 2
[13] Budiono Kusumohamidjojo, Hubungan Internasional, Kerangka untuk
Analitis, Bina Cipta Jakarta, 1987, halaman. 86
[14] Perwira, Anak Agung dan Yani, Yanyan, Pengembangan Ilmu Hubungan
Internasional. PT Remaja Rosdakarya. Bandung, 2005 halaman 76. Dalam Skripsi
Andi Nelly Wahyuni Prospek Kerjasama Ekonomi Indonesia-Afrika Selatan, 2007
halaman 14
[16] St. Anthony’s International Review
Vol. 2 No. 1 May 2006. The International Politics of Oil. Hal 3
dalam Muhaimin Zulhair Achsin, Pengaruh Krisis Minyak International terhadap
Indonesia, UNHAS, Makassar, 2008, halaman 18
[17] Ibid.
[18] Qystein Noreng, Log.cit. halaman 33
[19] Budiono
Kusumohamidjoyo, 19 Hubungan Internasional : Kerangka Studi Analisis, Bina
Cipta, Jakarta, halaman 95.
[21] Kusumohamidjojo,
Budiono, Hubungan Internasional : Kerangka Study Analisis, Bina Cipta :
Jakarta, 1987
[22] Teuku May Rudi, Teori, Etika dan Kebijakan Hubungan
Internasional, Bandung PT Angkasa 1993 halaman 117.
[23] K. J Holsti, Politik
Internasional : Kerangka untuk Analisis, Erlangga : Jakarta. 1998. Hal 209
[24] Krugman and Obstfeld, 2003, Ekonomi
Internasional Teori dan Kebijakan Edisi Kedua: Perdagangan, Jakarta, PT
Raja Grafindo Persada. Halaman 11.
[25] Perwira, Anak
Agung dan Yani, Yanyan , Pengembangan
Ilmu Hubungan Internasional. PT Remaja Rosdakarya. Bandung, 2005 halaman 76.
Dalam Skripsi Andi Nelly Wahyuni Prospek Kerjasama Ekonomi Indonesia-Afrika
Selatan, 2007 halaman 14
[26] Robert Jackson &
George Sorensen. 1999, Introduction to
International Relations jilid 1. Bandung, Refika Aditama, halaman 36
[28] Amir, MS, Teknik
Perdagangan Luar Negeri, suatu penuntun ekspor dan impor, Barata, Jakarta,
1985 halaman 2
[29] Ibid. Halaman 262
[32] Qystein Noreng, Log.cit.
halaman 33
[33] St. Anthony’s
Internasional Review Vol. 2 No. 1 May 2006. The Internasional Politics of
Oil. Halaman 3
[34] Ibid
[35] Ibid
[36] Ibid halaman 4
[37] Sascha P Webner dan
Gerald Scheineder, Paper: The International Politics of Oil : The Impact of
Political Evens On The Oil Spot Market 2000-2004, Department of Politics
and Management, University of Konstanz. Halaman 2
[38] A Garisson dan
Steven B Redd, Paper :’Energy Security Under Conditions of Uncertainty
Simulating a Comparative Bereaucratic Politics Approach” halaman 1
[39] Nurani Chandrawati. Log.cit.
[40] MichaelT Klare, Blood
and Oil (London : Penguin Books, 2004 halaman 44) dalam Nurani Chandrawati.
Log.cit.
[41] Ibid
[42] APERC “A Quest For
Energy Security in the 21 Century”, www.ieej.or.jp/aperc akses tanggal 26
Februari 2011
[43] Maxensius T. S,
Ketahanan Energi Nasional dan Reformasi Sektor Transportasi, Terbit dalam Bisnis
Indonesia (13 Maret 2007)
[45] UNDP, “World Energy
Assestment:2000” dalam Dimensi Internasional Isu Energi dan Kebijakan. www.ISIAS.wordpress.com akses 23 Februari 2011
[47] World Economic Forum
in Partnership with Cambridge Energy Research Associates” The New Energy
Security Paradigm” spring 2006 halaman 9.
[48] Ibid
[49] Radius Pramiru, 2004, Pergulatan
Indonesia Membangun Ekonomi, Elex Media Komputindo, Jakarta, halaman 324.
[50] Sawidji Widjatmoko, 1992, Ekonomi Indonesia Pasca Boom Minyak,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, halaman 17.
[52] George Hormat, 2008, Kenaikan Minyak Dunia, http://www.nttzine.com/articles/38-ekonomi-politik/76-harga-minyak-dunia-naik.html
, diakses tanggal 5 Juni 2011
[53] Penguasaan Asing, Bagi Hasil, dan Cost
Recovery, http://www.nttzine.com/archieve/79-kontraktor-minyak-asing-bagi-hasil-cost-recovery.html
diakses tanggal 21 Juni 2011
[54] Ibid.
[55] Ibid.
[56] George Hormat, 2008, Kontraktor Asing Minyak Bagi
Hasil, http://www.nttzine.com/archieve/79-kontraktor-minyak-asing-bagi-hasil-cost-recovery.html,
akses tanggal 5 Juni 2011
[58] Kontraktor Asing Bagi Hasil, http://www.nttzine.com/archieve/79-kontraktor-minyak-asing-bagi-hasil-cost-recovery.html
diakses tanggal 5 Juni 2011
[59] Catherine Gautier, 2008, Oil,
Water, and Climate An Introduction, New York, Cambridge University Press.
Halaman 127
[61] Yuri Alfrin Aladdin, 2006, Profil Arab Saudi dan
Peluang Kerjasama Ekonomi dengan RI, http://www.antaranews.com/print/1146046029
diakses tanggal 22 Desember 2010
[62] VIBIZNEWS (an investment and financial web), 2010, Cadangan
Minyak Mentah di Tanah Venezuela Diprediksi Lampaui Arab Saudi, http://vibiznews.com/news/business/2010/07/16/cadangan-minyak-mentah-di-tanah-venezuela-diprediksi-lampaui-arab-saudi/
diakses tanggal 22 Desember 2010
[63]
Masa Depan Milik Hidrogen, http://www.energi.lipi.go.id/utama.cgi?artikel&1184716072&1, diakses
tanggal 10 Januari 2011
[64]
_________, http://www.energi.lipi.go.id/
utama.cgi?artikel& 1184716072&1,diakses tanggal 5 Januari 2011
[65]
Hanan Nugroho, Subsidi BBM tidak sama dengan uang keluar, tapi mesti ditekan
http://www.energi.lipi.go.id/utama.cgi?artikel&1102902305&8, diakses tanggal 5 Januari 2011
[66] Pengaruh
Mundurnya Indonesia dari OPEC terhadap Hubungan Kerjasama Dagang Indo-Arab
Saudi, http://www.scribd.com/doc/48645870/Pengaruh-Mundurnya-Indonesia-dari-OPEC-terhadap-Hubungan-Kerjasama-Dagang-Indo-Arab-Saudi
, 5 Januari 2011
[67] Kondisi Perekonomian Arab Saudi dan Peluangnya bagi Indonesia,
http://www.nafed.go.id/news/read/in/462 , akses tanggal 5 Januari 2011
[68] Hannan Nugroho, Perencanaan Pembangunan Edisi 2 Tahun X 2005, www.bappenas.go.id/get-file-server/node/2739/,
diakses tanggal 21 Juni 2011
[70] _________ http://money.cnn.com/data/commodities/
akses tanggal 11 Juni 2011
[71] Konflik Libya Berlanjut,Minyak di Atas US$105
http://fokus.vivanews.com/news/read/208237-konflik-libya-berlanjut-minyak-di-atas-us-105 akses tanggal 11 Juni 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar