Minggu, 21 April 2013

Ahli: Memperdagangkan 'Pengaruh' Tidak Masuk Delik Suap


Terdakwa korupsi proyek pengadaan laboratorium komputer tahun anggaran 2011 dan pengadaan Al Quran tahun anggaran 2011-2012 di Kementerian Agama, Zulkarnain Djabar dan Dendy Prasetya menghadirkan dua orang ahli meringankan di Pengadilan Tipikor Jakarta. Kedua ahli itu adalah Dian Adriawan dan Dian Puji Simatupang.
Dian Adriawan adalah seorang ahli hukum pidana, sedangkan Dian Puji adalah ahli hukum administrasi negara dan keuangan publik. Dalam keterangannya di persidangan, Dian Adriawan mengatakan, ada tiga inti rumusan delik suap yaitu ada penerimaan, berhubungan dengan jabatannya, dan bertentangan dengan kewajibannya.
Apabila ketiga inti delik tidak terpenuhi, maka suatu perbuatan tidak dapat dikategorikan sebagai suap. Dian melanjutkan, dalam konteks penerima suap yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2), Pasal 12 huruf a dan b, serta Pasal 11 UU Pemberantasan Tipikor, subjek pelaku tindak pidana adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara.
Seorang anggota DPR termasuk kategori penyelenggara negara, tapi harus dibuktikan apakah ketiga inti delik suap telah terpenuhi atau tidak. Pertama, mengenai penerimaan sesuatu atau janji. Penyelenggara negara ini harus secara fisik menerima, baik secara langsung maupun menggunakan rekening yang berada dalam kekuasaannya.
Kedua, berhubungan dengan jabatannya. Dian menjelaskan, perbuatan penyelenggara negara dalam menentukan suatu proses di suatu instansi berhubungan dengan jabatannya. “Kalau yang menentukan justru pimpinan instansi, maka dalam hal ini berarti tidak ada hubungan dengan jabatan,” katanya, Kamis (18/4).
Ketiga, bertentangan dengan kewajibannya. Sepanjang penyelenggara negara itu melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan yang diatur undang-undang maupun peraturan internal, maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan bertentangan dengan kewajibannya. Bila tidak, inti delik ini tidak terpenuhi.
Dengan demikian, jika penyelenggara dimaksud hanya meminta tolong untuk “memuluskan” proyek ke pihak-pihak yang berada di instansi pemerintah, tidak dapat diklasifikasikan sebagai suap. “Ini adalah perbuatan ‘memperdagangkan’ pengaruh, sehingga tidak bisa ditafsirkan lalu diberlakukan ketentuan suap,” ujar Dian.
Menurut pengajar Fakultas Hukum Universitas Trisakti ini, perbuatan “memperdagangkan” pengaruh belum diatur dalam UU Tipikor. Dalam hukum pidana berlaku azas legalitas. Suatu perbuatan tidak dapat dipidana apabila tidak ada aturan hukumnya. Berbeda dengan perdata yang bisa menggunakan analogi.
Pernyataan Dian membuat pengacara Zulkarnain semakin yakin perbuatan kliennya bukan termasuk tindak pidana suap. Selaku anggota Komisi VIII dan Badan Anggaran (Banggar) DPR, Zulkarnain hanya meminta pihak Kemenag untuk “mengawal” proyek yang notabene tidak ada hubungannya dengan perusahaan anaknya, Dendy.
Dendy diketahui menjabat Direktur PT Perkasa Jaya Abadi Nusantara (PJAN) dan PT Karya Sinergi Alam Indonesia (KSAI). Rekening kedua perusahaan sempat digunakan untuk menampung fee dari sejumlah proyek titipan Zulkarnain. Perbuatan ini membuat Dendy dianggap sebagai “perpanjangan tangan” Zulkarnain dalam menerima fee.
Namun, perbuatan pihak swasta yang menerima fee dari proyek pemerintah tidak dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana suap. Dian menerangkan, dalam ketentuan Pasal 5 ayat (2), Pasal 12 huruf a dan b, serta Pasal 11 UU Tipikor, subjek pelaku harus pegawai negeri atau penyelenggara negara. “Swasta tidak bisa,” tuturnya.
Lantas bagaimana jika anggota DPR ini meminta pihak swasta dalam mewujudkan perbuatan korupsinya. Apa pihak swasta dapat dijadikan penyertaan dan dimintai pertanggungjawaban? Dian berpendapat, sebelum masuk ke pihak swasta, perbuatan anggota DPR harus dibuktikan, apakah telah memenuhi tiga inti delik suap.
Atas keterangan ahli, Zulkarnain dan Dendy tidak keberatan. Zulkarnain mengaku menjadi pemodal PT PJAN, tapi perusahan yang didirikan 2008 ini tidak mengerjakan proyek di Kemenag, melainkan bergerak di bidang telekomunikasi. Pendirian PT PJAN berawal dari gagasan Rudy Rosady yang dipresentasikan kepada Zulkarnain.
Mendengar prospek bisnis di bidang telekomunikasi, Zulkarnain tertarik mendirikan PT PJAN. “Rudy pegang saham 50 persen, 50 persen lagi sahamnya saya limpahkan ke Dendy. Ternyata wanprestasi, sehingga diubahlah akte. Dendy jadi mayoritas dan jadi Dirut, Rudy minoritas. Sejak saat itu saya tidak ikut campur lagi,” terangnya.
Lobi itu Wajar
Ahli Dian Puji Simatupang dalam persidangan menjelaskan mengenai proses penganggaran di kementerian. Dimulai dari proses perencanaan oleh pemerintah, penyusunan, permintaan persetujuan dari DPR, hingga pelaksanaan dan pengendalian. Pengawasan keuangan dilakukan BPKP, sedangkan BPK memeriksa keuangan.
Sesuai UU Keuangan Negara dan UU Perbendaharaan Negara, dalam rangka penyusunan RAPBN, menteri atau pimpinan lembaga selaku penggunaan anggaran melakukan penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (RKAKL). RKAKL disusun berdasarkan prestasi kerja atau kinerja yang akan dicapai.
Dalam menjalankan fungsi pengawasan dan budgeting, DPR bisa melakukan pengawasan di awal maupun setelah implementasi untuk meminta pertanggungjawaban penggunaan anggaran kementerian. Namun, menurut Dian, DPR tidak memiliki hak mempengaruhi penyusunan RKAKL, terlebih lagi dalam pelaksanaan anggaran.
DPR hanya dapat mempengaruhi dalam bentuk pemberian usulan saat pembahasan anggaran dengan kementerian. Selain itu, Dian melanjutkan, DPR selaku wakil rakyat dimungkinkan melakukan lobi sepanjang bertujuan untuk kepentingan masyarakat. Lobi itu wajar dilakukan karena APBN merupakan kedaulatan keuangan negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar