Sabtu, 27 April 2013

Surat Perjanjian Kerja dengan Banyak Addendum


Perjanjian, pada hakikatnya, adalah perbuatan satu atau lebih pihak untuk mengikatkan diri pada satu atau lebih pihak lain (lihat Pasal 1313KUHPerdata). Dan dalam membuat perjanjian di Indonesia berlaku asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Jadi, pada dasarnya suatu perjanjian dapat dibuat secara bebas di antara para pihak yang mengikatkan diri. Demikian pula halnya dengan perjanjian kerja.
 
Perjanjian kerja dibuat berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak, yaitu antara pengusaha dan pekerja (lihat Pasal 52 ayat [1] huruf a UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan – “UUK”) dan tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali atas persetujuan para pihak (lihat Pasal 55 UUK).
 
Addendum menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah; jilid tambahan (pada buku); lampiran; ketentuan atau pasal tambahan, misal dalam akta. Dalam hal Anda mendapati banyak dari perjanjian kerja di perusahaan Anda dilampiri dengan addendum, maka berdasarkan asas kebebasan berkontrak dan UUK, hal tersebut dapat saja terjadi dan tidak menyalahi peraturan perundang-undangan sepanjang telah disetujui/disepakati oleh para pihak. Pembuatan addendum perjanjian kerja tidak dapat dilakukan secara sepihak oleh pengusaha, akan tetapi harus mendapatkan persetujuan dari pekerja yang bersangkutan.  Lebih jauh simak artikel kami Perjanjian Sepihak.
 
Di samping itu, Direktur Eksekutif Trade Union Rights Center (TURC)Surya Tjandra berpendapat bahwa apabila hal-hal yang diatur dalam addendum tidak terkait dengan obyek perjanjian pokoknya, sebaiknya dibuat perjanjian baru dan bukan dalam bentuk addendum. Hal ini, menurut pengajar di Universitas Atmajaya Jakarta tersebut, juga karena addendum hanya bersifat melengkapi perjanjian pokoknya. Jadi, apabila hal yang diatur dalam addendum tidak terkait sama sekali dengan perjanjian pokoknya (seperti yang Anda contohkan, yaitu merubah cakupan pekerjaan dan jumlah nilai rupiah pekerjaan) sebaiknya dibuat perjanjian baru.
 
2.      Addendum tidak diharuskan mempunyai nomor. Akan tetapi pada praktiknya demi tertib administrasi dan kemudahan untuk proses pengarsipan dokumen sehingga memudahkan pencarian dokumen, pada umumnya addendum diberi nomor. Akan tetapi penomoran ini tidak seperti pada nomor perjanjian karena addendum bukan perjanjian pokok, tapi melekat pada perjanjian pokok. Jadi, biasanya addendum hanya diberikan nomor seperti, addendum 1, addendum 2 dan seterusnya dan dilekatkan pada perjanjian pokoknya.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Catatan: Kami meminta pendapat dari Surya Tjandra pada 19 April 2011 melalui sambungan telepon.
 
Dasar hukum:
1.      Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23)

Bagaimana Kepastian Hukum Pelaksanaan Pekerjaan Jika Kontrak Belum Ditandatangani?


Pelaksanaan pekerjaan tanpa adanya penandatanganan perjanjian atau kontrak tertulis terlebih dahulu adalah sangat mungkin terjadi dalam praktik.
 
Ketentuan mengenai perjanjian ini dapat kita temui dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”).
 
Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
 
Dari ketentuan tersebut dapat kita amati bahwa pada dasarnya, suatu perjanjian tidak dibatasi pada perjanjian tertulis. Perjanjian dapat terjadi secara lisan maupun tulisan. Hal ini karena tidak adanya kewajiban untuk membuat perjanjian tertulis bagi para pihak yang akan mengikatkan diri. Sehingga, sah-sah saja perjanjian dilakukan tanpa penandatanganan perjanjian atau kontrak tertulis. Untuk mengetahui mengenai sahnya suatu perjanjian, simak artikel Keberlakuan Perjanjian Kerjasama.
 
Lebih jauh mengenai kontrak, menurut Treitel G.H., dalam bukunya “Law of Contract”, kontrak didefinisikan sebagai “…an agreement giving rise to obligations which are enforced or recognized at law.” (dikutip dari buku “Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, oleh Ricardo Simanjuntak, hal. 28). Dari definisi tersebut diketahui bahwa perjanjian akan membawa akibat hukum apabila salah satu pihak melanggar perjanjiannya.
 
Dalam hal salah satu pihak melanggar yang telah diperjanjikan (wanprestasi), untuk dapat memaksa pihak yang melakukan wanprestasi untuk memenuhi prestasinya (kewajiban yang timbul karena perjanjian), diperlukan adanya bukti yang menjadi dasar gugatan.
 
Sebagaimana kita ketahui, pembuktian dalam hukum acara perdata menggunakan alat-alat bukti yang terdiri atas bukti (Pasal 164 Het Herzien Inlandsch Reglement - HIR):
1.      Tulisan;
2.      Bukti dengan saksi-saksi;
3.      Persangkaan-persangkaan;
4.      Pengakuan; dan
5.      Sumpah.
 
Bukti tulisan merupakan bukti yang sangat penting dalam proses pembuktian dalam hukum acara perdata. Tanpa adanya perjanjian atau kontrak tertulis, akan cukup sulit membuktikan telah terjadinya suatu kesepakatan atau perjanjian antara Anda dengan pengguna jasa Anda. Walaupun, masih dimungkinkan penggunaan alat-alat bukti lainnya seperti saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah. Untuk alasan pembuktian itulah maka diperlukan adanya perjanjian tertulis antara Anda dengan pengguna jasa Anda.
 
Karena dalam suatu perjanjian kedua belah pihak memiliki posisi yang seimbang, maka masing-masing harus melaksanakan perjanjian dengan itikad baik sehingga tidak merugikan pihak lainnya. Dengan filosofi tersebut, menurut hemat kami, ada baiknya kontrak tersebut ditandatangani terlebih dahulu sebelum pekerjaan tersebut diselesaikan demi menghindari kesulitan pembuktian di kemudian hari apabila terjadi sengketa. Karena kedudukan Anda dan pengguna jasa Anda adalah seimbang, Anda berhak untuk meminta perjanjian tersebut ditandatangani terlebih dahulu dan tidak melanjutkan pekerjaan tersebut sebelum perjanjian ditandatangani.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
1.         Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23)
2.         Het Herzien Inlandsch Reglement (HIR) / Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (RIB), (S. 1848 No. 16, S.1941 No. 44).
 

Perbedaan dan Persamaan dari Persetujuan, Perikatan, Perjanjian, dan Kontrak


Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan persetujuan, perikatan, perjanjian dan kontrak ada baiknya kami paparkan definisi masing-masing.
 
Definisi persetujuan dapat kita temui dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”). Di dalam pasal tersebut disebutkan bahwasuatu persetujuan adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
 
Mengenai perikatan, disebutkan dalam Pasal 1233 KUHPerdata bahwa perikatan lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang.
 
Prof. Subekti, S.H. dalam bukunya “Hukum Perjanjian” (hal. 1) membedakan pengertian antara perikatan dengan perjanjian. Subekti menyatakan bahwa hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, di samping sumber-sumber lain. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Demikian menurut Subekti.
 
Berikut definisi Subekti mengenai perikatan:
“Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.”
 
Adapun perjanjian didefinisikan sebagai berikut:
“Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.”
 
Kemudian, definisi kontrak (contract) menurut “Black’s Law Dictionary,diartikan sebagai suatu perjanjian antara dua orang atau lebih yangmenciptakan kewajiban untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu hal yang khusus.
 
Selain itu, Ricardo Simanjuntak dalam bukunya “Teknik Perancangan Kontrak Bisnis” (hal. 30-32) menyatakan bahwa kontrak merupakan bagian dari pengertian perjanjian. Perjanjian sebagai suatu kontrak merupakan perikatan yangmempunyai konsekuensi hukum yang mengikat para pihak yang pelaksanaannya akan berhubungan dengan hukum kekayaan dari masing-masing pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut.
 
Jadi, dari pendapat para sarjana hukum tersebut di atas, persamaan yang dapat kita simpulkan antara lain:
-         persetujuan sama dengan perjanjian;
-         baik persetujuan/perjanjian, perikatan maupun kontrak melibatkan setidaknya 2 (dua) pihak atau lebih.
-         Dasar hukum persetujuan/perjanjian, perikatan maupun kontrak, mengacu pada KUHPerdata.
 
Mengenai perbedaannya, dari definisi-definisi yang telah dipaparkan di atas, kita dapat melihat perbedaannya adalah pada tahapan dan implikasinya.
 
Secara singkat, perjanjian/persetujuan menimbulkan perikatan. Perikatan itu kemudian disebut sebagai kontrak apabila memberikan konsekuensi hukum yang terkait dengan kekayaan dan mengikat para pihak yang saling mengikatkan diri dalam perjanjian. Menurut Ricardo, sebelum memiliki konsekuensi hukum, suatu perjanjian tidak sama artinya dengan kontrak.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23)
 
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter@klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Perbedaan antara Perjanjian dengan MoU Apakah perjanjian dan MOU mempunyai kekuatan hukum sama? Bagaimana uraian jelasnya?


Untuk menjawab pertanyaan yang telah Saudara ajukan, maka kami akan membagi masing-masing pembahasan dimaksud, yaitu sebagai berikut:
 
A.        Nota Kesepahaman

Nota Kesepahaman atau juga biasa disebut dengan Memorandum of Understanding ("MoU") atau pra-kontrak, pada dasarnya tidak dikenal dalam hukum konvensional di Indonesia. Akan tetapi dalam praktiknya, khususnya bidang komersial, MoU sering digunakan oleh pihak yang berkaitan.
 
MoU merupakan suatu perbuatan hukum dari salah satu pihak (subjek hukum) untuk menyatakan maksudnya kepada pihak lainnya akan sesuatu yang ditawarkannya ataupun yang dimilikinya. Dengan kata lain, MoU pada dasarnya merupakan perjanjian pendahuluan, yang mengatur dan memberikan kesempatan kepada para pihak untuk mengadakan studi kelayakan terlebih dahulu sebelum membuat  perjanjian yang lebih terperinci dan mengikat para pihak pada nantinya.
 
Mengutip dari Jawaban Biro Riset Legislative (Legislative Research Bureau's)bahwa MoU didefinisikan dalam Black’s Law Dictionary sebagai bentukLetter of Intent. Adapun Letter of Intent didefinisikan:
 
“A written statement detailing the preliminary understanding of parties who plan to enter into a contract or some other agreement; a noncommittal writing preliminary to acontract. A letter of intent is not meant to be binding and does not hinder the parties from bargaining with a third party. Business people typically mean not to be bound by a letter of intent, and courts ordinarily do not enforce one, but courts occasionally find that a commitment has been made...”
 
Dengan terjemahan bebasnya:
 
“Suatu pernyataan tertulis yang menjabarkan pemahaman awal pihak yang berencana untuk masuk ke dalam kontrak atau perjanjian lainnya, suatu tulisan tanpa komitmen/tidak menjanjikan suatu apapun sebagai awal untuk kesepakatan. Suatu Letter of Intent tidak dimaksudkan untuk mengikat dan tidak menghalangi pihak dari tawar-menawar dengan pihak ketiga. Pebisnis biasanya berarti tidak terikat dengan Letter of Intent, dan pengadilan biasanya tidak menerapkan salah satu, tapi pengadilan kadang-kadang menemukan bahwa komitmen telah dibuat/disepakati...”
 
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa MoU melingkupi hal-hal sebagai berikut:
 
1)    MoU merupakan pendahuluan perikatan (landasan kepastian);
2)    Content/isi materi dari MoU hanya memuat hal-hal yang pokok-pokok saja;
3)    Dalam MoU memilki tenggang waktu, dengan kata lain bersifat sementara;
4)    MoU pada kebiasaannya tidak dibuat secara formal serta tidak ada kewajiban yang memaksa untuk dibuatnya kontrak atau perjanjian terperinci; dan
5)    Karena masih terdapatnya keraguan dari salah satu pihakkepada pihak lainnya, MoU dibuat untuk menghindari kesulitan dalam pembatalan.
 
B.        Perjanjian
 
Perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana salah satu pihak (subjek hukum) berjanji kepada pihak lainnya atau yang mana kedua belah dimaksudsaling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal, sebagaimana diatur dalamPasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”).
 
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa suatu perjanjian mengandung unsur sebagai berikut:
 
a)    Perbuatan
Frasa “Perbuatan” tentang Perjanjian ini lebih kepada “perbuatan hukum” atau “tindakan hukum”.Hal tersebut dikarenakan perbuatan sebagaimana dilakukan oleh para pihak berdasarkan perjanjian akan membawa akibat hukum bagi para pihak yang memperjanjikan tersebut.
 
b)    Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih
Perjanjian hakikatnya dilakukan paling sedikit oleh 2 (dua) pihak yang saling berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan satu sama lain. Pihak tersebut adalah orang atau badan hukum (subjek hukum).
 
c)     Mengikatkan diri
Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Artinya, terdapat akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri.
 
Adapun suatu Perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak maka perjanjian dimaksud haruslah  memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320 KUHPer, yang menyatakan:
1)    Adanya kesepakatan kedua belah pihak.
Kata “sepakat” tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakikat barang yang menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut;.
2)    Cakap untuk membuat perikatan.
Para pihak mampu membuat suatu perjanjian, dalam hal ini tidak tekualifikasi sebagai pihak yang tidak cakap hukum untuk membuat suatu perikatan sebagaimana diatur dalam Pasal 1330 KUHPer.
 
Dalam hal suatu perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap sebagaimana tersebut di atas, maka Perjanjian tersebut batal demi hukum (Pasal 1446 KUHPer).
3)    Suatu hal tertentu.
Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Dalam hal suatu perjanjian tidak menentukan jenis objek dimaksud maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Sebagaimana Pasal 1332 KUHPer menentukan bahwa hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian. Selain itu, berdasarkan Pasal 1334 KUHPer barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas.
4)    Suatu sebab atau causa yang halal.
Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Sebagaimana Pasal 1335 KUHPer menyatakan suatu perjanjian yang tidak memakai suatu sebab yang halal, atau dibuat dengan suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum.
 
C.        Kekuatan Hukum antara MoU dan Perjanjian
 
Sejatinya, MoU belumlah melahirkan suatu Hubungan Hukum karena MoUbaru merupakan persetujuan prinsip yang dituangkan secara tertulis. Sehingga dapat ditarik kesimpulan, MoUyang dituangkan secara tertulis baru menciptakan suatu awal yang menjadi landasan penyusunan dalam melakukan hubungan hukum/perjanjian.
 
Kekuatan mengikat dan memaksa MoU pada dasarnya sama halnya dengan perjanjian itu sendiri. Walaupun secara khusus tidak ada pengaturan tentang MoU dan materi muatan MoU itu diserahkan kepada para pihak yang membuatnya.
 
Di samping itu, walaupun MoU merupakan perjanjian pendahuluan, bukan berarti MoU tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa bagi para pihak untuk mentaatinya dan/atau melaksanakannya.
 
Perhatikan Isinya bukan Namanya
 
Terkadang, ada perjanjian yang diberi nama MoU. Artinya, penamaan dari dokumen tersebut tidak sesuai dengan isi dari dokumen tersebut. Sehingga MoU tersebut memiliki kekuatan hukum mengikat sebagaimana perjanjian.
 
Dalam hal suatu MoU telah dibuat secara sah, memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana disebut dalam Pasal 1320 KUHPer, maka kedudukan dan/atau keberlakuan MoU bagi para pihak dapat disamakan dengan sebuah undang-undang yang mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa. Tentu saja pengikat itu hanya menyangkut dan sebatas pada hal-hal pokok yang termuat dalam MoU.
 
Maka berdasarkan penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa mengenai kekuatan hukum dari MoU dapat mengikat para pihak, apabilacontent/isi dari MoU tersebut telah memenuhi unsur perjanjian sebagaimana telah diuraikan di atas, dan bukan sebagai pendahuluan sebelum membuat perjanjian, sebagaimana maksud pembuatan MoU sebenarnya.
 
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat dan dapat menjawab pertanyaan yang Saudara ajukan. Terima kasih.
 
Dasar hukum:

Referensi:
Black’s Law Dictionary

Untuk menjawab pertanyaan yang telah Saudara ajukan, maka kami akan membagi masing-masing pembahasan dimaksud, yaitu sebagai berikut:
 
A.        Nota Kesepahaman

Nota Kesepahaman atau juga biasa disebut dengan Memorandum of Understanding ("MoU") atau pra-kontrak, pada dasarnya tidak dikenal dalam hukum konvensional di Indonesia. Akan tetapi dalam praktiknya, khususnya bidang komersial, MoU sering digunakan oleh pihak yang berkaitan.
 
MoU merupakan suatu perbuatan hukum dari salah satu pihak (subjek hukum) untuk menyatakan maksudnya kepada pihak lainnya akan sesuatu yang ditawarkannya ataupun yang dimilikinya. Dengan kata lain, MoU pada dasarnya merupakan perjanjian pendahuluan, yang mengatur dan memberikan kesempatan kepada para pihak untuk mengadakan studi kelayakan terlebih dahulu sebelum membuat  perjanjian yang lebih terperinci dan mengikat para pihak pada nantinya.
 
Mengutip dari Jawaban Biro Riset Legislative (Legislative Research Bureau's)bahwa MoU didefinisikan dalam Black’s Law Dictionary sebagai bentukLetter of Intent. Adapun Letter of Intent didefinisikan:
 
“A written statement detailing the preliminary understanding of parties who plan to enter into a contract or some other agreement; a noncommittal writing preliminary to acontract. A letter of intent is not meant to be binding and does not hinder the parties from bargaining with a third party. Business people typically mean not to be bound by a letter of intent, and courts ordinarily do not enforce one, but courts occasionally find that a commitment has been made...”
 
Dengan terjemahan bebasnya:
 
“Suatu pernyataan tertulis yang menjabarkan pemahaman awal pihak yang berencana untuk masuk ke dalam kontrak atau perjanjian lainnya, suatu tulisan tanpa komitmen/tidak menjanjikan suatu apapun sebagai awal untuk kesepakatan. Suatu Letter of Intent tidak dimaksudkan untuk mengikat dan tidak menghalangi pihak dari tawar-menawar dengan pihak ketiga. Pebisnis biasanya berarti tidak terikat dengan Letter of Intent, dan pengadilan biasanya tidak menerapkan salah satu, tapi pengadilan kadang-kadang menemukan bahwa komitmen telah dibuat/disepakati...”
 
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa MoU melingkupi hal-hal sebagai berikut:
 
1)    MoU merupakan pendahuluan perikatan (landasan kepastian);
2)    Content/isi materi dari MoU hanya memuat hal-hal yang pokok-pokok saja;
3)    Dalam MoU memilki tenggang waktu, dengan kata lain bersifat sementara;
4)    MoU pada kebiasaannya tidak dibuat secara formal serta tidak ada kewajiban yang memaksa untuk dibuatnya kontrak atau perjanjian terperinci; dan
5)    Karena masih terdapatnya keraguan dari salah satu pihakkepada pihak lainnya, MoU dibuat untuk menghindari kesulitan dalam pembatalan.
 
B.        Perjanjian
 
Perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana salah satu pihak (subjek hukum) berjanji kepada pihak lainnya atau yang mana kedua belah dimaksudsaling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal, sebagaimana diatur dalamPasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”).
 
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa suatu perjanjian mengandung unsur sebagai berikut:
 
a)    Perbuatan
Frasa “Perbuatan” tentang Perjanjian ini lebih kepada “perbuatan hukum” atau “tindakan hukum”.Hal tersebut dikarenakan perbuatan sebagaimana dilakukan oleh para pihak berdasarkan perjanjian akan membawa akibat hukum bagi para pihak yang memperjanjikan tersebut.
 
b)    Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih
Perjanjian hakikatnya dilakukan paling sedikit oleh 2 (dua) pihak yang saling berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan satu sama lain. Pihak tersebut adalah orang atau badan hukum (subjek hukum).
 
c)     Mengikatkan diri
Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Artinya, terdapat akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri.
 
Adapun suatu Perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak maka perjanjian dimaksud haruslah  memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320 KUHPer, yang menyatakan:
1)    Adanya kesepakatan kedua belah pihak.
Kata “sepakat” tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakikat barang yang menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut;.
2)    Cakap untuk membuat perikatan.
Para pihak mampu membuat suatu perjanjian, dalam hal ini tidak tekualifikasi sebagai pihak yang tidak cakap hukum untuk membuat suatu perikatan sebagaimana diatur dalam Pasal 1330 KUHPer.
 
Dalam hal suatu perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap sebagaimana tersebut di atas, maka Perjanjian tersebut batal demi hukum (Pasal 1446 KUHPer).
3)    Suatu hal tertentu.
Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Dalam hal suatu perjanjian tidak menentukan jenis objek dimaksud maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Sebagaimana Pasal 1332 KUHPer menentukan bahwa hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian. Selain itu, berdasarkan Pasal 1334 KUHPer barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas.
4)    Suatu sebab atau causa yang halal.
Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Sebagaimana Pasal 1335 KUHPer menyatakan suatu perjanjian yang tidak memakai suatu sebab yang halal, atau dibuat dengan suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum.
 
C.        Kekuatan Hukum antara MoU dan Perjanjian
 
Sejatinya, MoU belumlah melahirkan suatu Hubungan Hukum karena MoUbaru merupakan persetujuan prinsip yang dituangkan secara tertulis. Sehingga dapat ditarik kesimpulan, MoUyang dituangkan secara tertulis baru menciptakan suatu awal yang menjadi landasan penyusunan dalam melakukan hubungan hukum/perjanjian.
 
Kekuatan mengikat dan memaksa MoU pada dasarnya sama halnya dengan perjanjian itu sendiri. Walaupun secara khusus tidak ada pengaturan tentang MoU dan materi muatan MoU itu diserahkan kepada para pihak yang membuatnya.
 
Di samping itu, walaupun MoU merupakan perjanjian pendahuluan, bukan berarti MoU tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa bagi para pihak untuk mentaatinya dan/atau melaksanakannya.
 
Perhatikan Isinya bukan Namanya
 
Terkadang, ada perjanjian yang diberi nama MoU. Artinya, penamaan dari dokumen tersebut tidak sesuai dengan isi dari dokumen tersebut. Sehingga MoU tersebut memiliki kekuatan hukum mengikat sebagaimana perjanjian.
 
Dalam hal suatu MoU telah dibuat secara sah, memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana disebut dalam Pasal 1320 KUHPer, maka kedudukan dan/atau keberlakuan MoU bagi para pihak dapat disamakan dengan sebuah undang-undang yang mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa. Tentu saja pengikat itu hanya menyangkut dan sebatas pada hal-hal pokok yang termuat dalam MoU.
 
Maka berdasarkan penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa mengenai kekuatan hukum dari MoU dapat mengikat para pihak, apabilacontent/isi dari MoU tersebut telah memenuhi unsur perjanjian sebagaimana telah diuraikan di atas, dan bukan sebagai pendahuluan sebelum membuat perjanjian, sebagaimana maksud pembuatan MoU sebenarnya.
 
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat dan dapat menjawab pertanyaan yang Saudara ajukan. Terima kasih.
 
Dasar hukum:

Referensi:
Black’s Law Dictionary