Selasa, 26 Februari 2013

GAK MOOD GANGGU KU PIJAK KAU


HUKUM ACARA PIDANA


Petitum atau tuntutan dapat juga disebut dictum permohonan atau gugatan. Petitum merupakan kesimpulan dari permohonan atau gugatan yang berisikan rincian satu persatu apa yang diminta atau dikehendaki untuk dihukumkan kepada para pihak, terutama kepada pihak Tergugat atau Termohon agar diputuskan oleh hakim.


Kedudukan petitum merupakan syarat formal permohonan atau gugatan yang bersifat mutlaq dan jika tidak mencantumkan bagian ini, maka sebuah permohonan akan dianggap kabur dan dinyatakan tidak diterima oleh pengadilan.


Paling tidak harus ada permohonan keadilan (ex aquo et bono), akan tetapi pendirian lain menyatakan permohonan yang hanya meminta keadilan belum memenuhi syarat prinsip jelas, tegas dan terperinci. Praktek permohonan, petitum gugatan yang terperinci dan jelas berada di petitum primair, sedangkan petitum subsidair adalah tuntutan keadilan berkaitan dengan fungsi dan makna pengadilan memberikan keadilan.

Tuntutan keadilan ini prinsipnya memberikan kebebasan hakim untuk memutus berdasarkan dalil-dalil yang tidak terbatas pada apa yang dikemukakan Pemohon. Sebagaimana hakim bebas memberi pertimbangan hukumnya sendiri tidak terpaku pada permohonan. Untuk Pemohon, adanya tuntutan pengganti atau “tuntutan cadangan” ini untuk mengganti tuntutan pokok sekiranya petitum primair ditolak oleh hakim dan hakim memiliki pendapat lain sesuai hukum dan keadilan. Petitum ini nantinya akan mendapatkan jawabannya dalam diktum putusan atau amar putusan.


Sebagai contoh petitum dalam permohonan perkara PUU di MK, yaitu: Berdasarkan alasa-alasan tersebut diatas, mohon kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia untuk memeriksa dan menjatuhkan putusan sebagai berikut:
(1) Menyatakan pengabulkan permohonan seluruhnya;
(2) Menyatakan Pasal__Undang-Undang Nomor__Tahun__tentang__(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor__) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945;
(3) Menyatakan Pasal__Undang-Undang Nomor__Tahun__tentang __(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor__) tidak mempunyai kekuatan hokum mengikat;
(4) Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau: Mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).


Contoh lagi dalam permohonan perselisihan hasil pemilu legislatif yang diajukan calon anggota DPD yaitu:
(1) Menyatakan pengabulkan permohonan seluruhnya;
(2) menyatakan membatalkan penetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor___tanggal __tentang hasil perhitungan suara Pemilihan Umum anggota DPR, DPD dan DPRD ___Tahun 200__secara nasional untuk DPD Provinsi__yang diumumkan pada__;
(3) Menetapkan hasil perolehan suara yang benar sebagai berikut: (a) Perolehan suara yang benar untuk__sesuai dengan rekapitulasi hasil suara di tingkat__seharusnya__suara, bukan__suara. (b) Bahwa atas kesalahan hasil perhitungan suara tersebut seharusnya __menempati urutan__dan berhak menjadi Anggota DPR dari Provinsi__;
(4) Memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum untuk melaksanakan putusan ini.
(Lihat Buku Panduan Teknis Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, MKRI, hal. 58)

Menurut Sudikno Mertokusumo (1988), sebuah amar putusan dapat dibagi dua, yaitu apa yang disebut declaratif dan apa yang disebut dictum atau dispositif. Bagian yang disebut declaratif itu merupakan penetapan hubungan hukum/ hak yang menjadi sengketa. Sedangkan bagian yang disebut dispositif ialah yang memberi hukum atau hukumnya: mengabulkan atau menolak gugatan. Dalam permohonan perkara di MK menurut UU MK tidak diatur secara terperinci bagaimana sebuah permohonan dan hanya ditentukan syarat minimal isi sebuah permohonan diantaranya ”hal-hal yang diminta untuk diputus” dan petitum di MK memiliki karakteristik berbeda sesuai jenis perkara.


Yang penting diketahui, bahwa dalam permohonan PUU jika Pemohon mengajukan pengujian materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian UU harus diinventarisir norma yang materinya sama baik yang masih dalam satu UU, maupun dengan UU yang lain. Tidak hanya norma yang sama, namun juga norma yang berkaitan, karena bisa jadi pasal yang dimohonkan adalah ”jantung” undang-undang atau berlakunya pasal tergantung dan berpengaruh terhadap pasal lainnya. Pasal-pasal tersebut harus diajukan ke MK untuk menghindari pengujian materi muatan yang sama, meski diatur dalam UU yang berbeda.

Kemudian soal tuntutan biaya perkara yang sering dimintakan di MK, bahwa perlu ditegaskan berperkara di MK tidak ada biaya perkara alias gratis, sehingga permohonan di MK tidak diperlukan dalam petitum-nya meminta Termohon untuk membayar biaya perkara.

Dalam merumuskan sebuah petitum harus sesuai dan tidak keluar dari posita. Karena jika posita dan petitum tidak konsisten dan berlawanan akan merugikan pembelaan/ jawaban pihak-pihak lain dan juga menyulitkan hakim yang memeriksa perkara. (Miftakhul Huda)