Senin, 09 September 2013

Harta bersama dalam perkawinan

Pada saat sepasang manusia saling jatuh cinta, mereka akan terbuai dalam mimpi dan khayalan. Mereka berbicara dalam kehangatan, merencanakan kehidupan dan masa depan dalam senyuman. Mereka beranggapan bahwa perkawinan adalah kesempurnaan dalam kehidupan, dan dalam perkawinan semuanya akan mudah terselesaikan. Banyak orang kurang memahami bahwa perkawinan adalah lembaga kehidupan yang akan melahirkan hak dan kewajiban manusia menjadi makin komplek.
Seorang laki-laki atau perempuan, ketika belum menikah mereka mempunyai hak dan kewajiban yang utuh. Hak dan kewajiban yang berkaitan dengan kehidupannya, hak dan kewajiban akan harta miliknya dan sebagainya. Kemudian setelah mereka mengikatkan diri dalam lembaga perkawinan, maka mulai saat itulah hak kewajiban mereka menjadi satu. Pengertian menjadi satu tersebut bukan berarti hak dan kewajiban masing-masing pihak akan meleburkan diri, melainkan hak dan kewajiban mereka tetap utuh walaupun mereka telah bersatu dalam kehidupannya. Untuk itulah mereka harus memahami dan menghormati satu sama lain. Tidak merasa salah satu sebagai penguasa dan lainnya menjadi budak, tidak merasa salah satu dari mereka paling berjasa dan lainnya menumpang.
Pemahaman tentang hak dan kewajiban ini menjadi sangat penting dan sangat mendasar, apabila kita akan mengkaji lebih dalam tentang konsekuensi-konsekuensi dari kehidupan perkawinan, karena dalam kehidupan perkawinan, akan melahirkan hak dan kewajiban antara lain tentang anak & hak kewajiban tentang harta. Bahkan kemudian akan kemungkinan pembagian harta bila perkawinan putus baik karena perceraian atau karena kematian. Untuk kali ini, dalam tulisan ini hanya akan dibahas tentang hak dan kewajiban yang berkaitan dengan harta perkawinan
Apabila kita melihat peraturan yang mengatur tentang harta perkawinan, kita dapat mengkaji dari beberapa pasal dalam Undang-undang Perkawinan no 1 tahun 1974.
Bab VII
Harta Benda dalam Perkawinan
Pasal 35
1. Harta benda diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Penjelasannya; Apabila perkawinan putus, maka harta bersama tersebut diatur menurut hukumnya masing-masing
Dari peraturan ini kita akan memperoleh pengertian bahwa dalam perkawinan dikenal dua macam kategori harta yaitu harta bawaan (Pasal 35 ayat 2) misalnya ; pemberian, warisan. Dan harta bersama (pasal 35 ayat 1) yaitu harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung.
Terhadap harta bawaan, Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 mengatakan bahwa masing-masing pihak mempunyai hak dan untuk mengaturnya sendiri-sendiri. Karena itu harta bawaan tidak dimasukan kedalam harta bersama dalam perkawinan.
Sedangkan tentang siapakah yang berhak untuk mengatur harta bersama, undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, mengatur lebih jelas dalam ketentuan
Pasal 36
1. Mengenai harta bersama suami dan istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
2. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Dari bunyi aturan tersebut dapat diketahui, bahwa yang berhak mengatur harta bersama dalam perkawinan adalah suami dan istri. Dengan demikian salah satu pihak tidak dapat meninggalkan lainnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta bersama dalam perkawinan, karena kedudukan mereka seimbang yaitu sebagai pemilik bersama atas harta bersama itu.
Pasal 37
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.
Penjelasannya; yang dimaksud dengan “hukumnya” masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya.
Dalam kenyataannya jika terjadi pembagian harta bersama karena perceraian, masing-masing pihak akan mendapatkan separoh dari harta bersama. Tetapi ketentuan tersebut bukanlah sesuatu yang baku dan keharusan, sebab masing-masing pihak dapat pula dengan kesepakatan membagi harta bersama tersebut menurut kehendaknya sendiri. Dengan kesepakatan itulah mereka terikat dan boleh mengesampingkan peraturan yang ada.
Kemudian bagaimanakah dengan persoalan tentang hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung? Karena prinsip harta perkawinan adalah harta bersama yang dimiliki oleh suami dan istri, maka hutang pun adalah merupakan kewajiban mereka bersama untuk melunasinya.
Menyimpang dari ketentuan yang diatur dalam pasal 35 (1) dan pasal 36 (1), undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 memberikan kelonggaran kepada suami/istri untuk mengatur tentang harta bersama dalam per-kawinan dalam. Pengaturan itu dikenal dengan PERJANJIAN PER-KAWINAN yang diatur dalam
BAB V.
Perjanjian Perkawinan
Pasal 29
1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
3. Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Dari ketentuan dalam pasal 29 tersebut kita dapat mengetahui tentang :
Kapan perjanjian perkawinan boleh dibuat?
Jawab: Sebelum dilangsungkannya perkawinan.
Masa berlaku Perjanjian Perkawinan?
Jawab: Selama perkawinan berlangsung
Apakah perjanjian perkawinan itu dapat dirubah selama perkawinan berlangsung?
Jawab: Boleh, sepanjang ada kesepakatan para pihak dan tidak merugikan pihak ketiga.
Apakah Perjanjian Perkawinan mengikat untuk pihak ketiga yang terkait?
Jawab: Berlaku mengikat, bila dibuat sebelum perkawinan berlangsung.
Mengapa harus dibuat sebelum perkawinan berlangsung?
Jawab: Untuk memberi kepastian hukum dan perlindungan bagi pihak ketiga dari etikat jelek para pihak dalam perjanjian perkawinan
Bagaimanakah dengan hutang salah satu pihak dalam perkawinan yang memiliki perjanjian perkawinan?
Jawab: Karena perjanjian perkawinan telah mengatur masalah kepemilikan akan harta dalam perkawinan, maka sebagai konsekuensinya adalah para pihak akan mengatur hartanya masing-masing selama perkawinan berlangsung. Dengan demikian hutang yang dibuat salah satu pihak, tidak membebani pihak lainnya untuk melunasinya, maksudnya jika suami berhutang kepada pihak ketiga maka suamilah yang bertanggung jawab melunasinya dan pihak ketiga tidak dapat melakukan tagihan kepada istri. Demikian sebaliknya.
Apakah Perjanjian perkawinan dapat dicabut atau di batalkan oleh para pihak selama perkawinan berlangsung?
Jawab: Perjanjian perkawinan dapat dicabut atau dibatalkan oleh para pihak selama perkawinan berlangsung, dan bila hal itu terjadi maka berlakulah ketentuan-ketentuan harta bersama dalam perkawinan.
Harta bersama adalah salah satu dari akibat perkawinan, demikian juga kemungkinan adanya anak. Harta dan anak dalam perkawinan adalah sebagai curahan berkat dari YANG KUASA. Apakah kita menyadari hal itu? sebab harta dapat menjadi berkat akan tetapi juga dapat menjadi laknat bagi manusia. ***[]
Cinta dan rasa dapat membekukan hati, dan dapat membubarkan impian, khayalan dan harapan.
Tetapi akankah harta menjadikan alasan untuk kita saling menikam dan membunuh, sesama manusia ……… dan bekas belahan hati.

Jumat, 19 Juli 2013

Praktik Ngindung (Numpang Tinggal) Dari Kacamata Hukum

Terima kasih atas pertanyaan yang Anda ajukan.
 
Berdasarkan pemahaman kami, ngindung merujuk pada kata mengindung, yang basisnya berasal dari kata induk. Kata ngindung lazim dikenal di Yogyakarta untuk menggambarkan orang atau warga yang belum memiliki rumah diperbolehkan tinggal di wilayah kraton milik Sultan. Lama kelamaan terbentuk kampung ngindung. Selain ngindung, ada juga yang disebut magersari. Bedanya,ngindung biasanya dikenakan uang sewa tanah, sedangkan magersari tidak dikenakan sewa tanah.
 
Dalam bukunya Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Perdebatan Konstitusi dan Perundang-Undangan IndonesiaNi’matul Huda mengatakan orang yang ngindung (turut menghuni) berkewajiban menjalankan tugas-tugas yang berhubungan dengan tanah/rumah. Misalnya, kerig desa, ronda, membuat/memperbaiki/memelihara bendungan, dan selokan jalan desa.
 
Ni’matul Huda membagi ngindung atas dua jenis, yaitu ngindung biasa(mempunyai rumah sendiri di atas tanah orang lain), dan ningdung tlosor yang mengandung arti sama sekali tidak mempunyai tanah sendiri, semata-mata dia hidup dalam rumah bukan miliknya yang berada di atas tanah milik orang lain (2013: 211).
 
Jika yang Anda maksud praktik numpang tinggal di rumah milik orang lain (ngindung tloso), maka praktik semacam itu sebenarnya tak hanya terjadi di Yogyakarta. Sangat mungkin ditemukan praktiknya di tempat lain. Kita tahu masyarakat Indonesia memiliki keragaman hukum agraria (Myrna A. Safitri dan Tristam Moeliono, 2010: 3) yang perlu didalami dan didekati dengan baik.
 
Dalam kasus ini, seperti yang Anda ceritakan, tanah beserta bangunan di atasnya adalah pembelian almarhumah nenek Anda. Jika benar-benar nenek Anda punya bukti pembelian atau sertifikat atas tanah tersebut, tentu posisi Anda akan lebih kuat. Sehingga, menjawab pertanyaan pertama Anda, posisi ketiga pengindung sebenarnya tidak terlalu kuat untuk mengklaim sebagai pemegang hak atas tanah dan bangunan, apalagi jika mengklaim sebagai pemilik.
 
Sayang, tak dijelaskan apakah para pengindung tersebut sekadar numpang tinggal atau mereka sebenarnya membayar sewa. Jika yang terjadi adalah sewa menyewa, maka dalam hubungan ini berlaku ketentuan sewa menyewa dalam Pasal 1548 s.d. Pasal 1600 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”).
 
Menjawab pertanyaan-pertanyaan Anda, kami mencoba merujuk pada tulisan Ni’matul Huda. Dosen UII Yogyakarta ini menyebut adanya kewajiban-kewajiban yang harus dijalankan orang yang numpang. Misalnya, tidak boleh mengalihkan tanah/rumah kepada pihak ketiga. Dalam konteks pertanyaan, jelas bukti hak milik dipegang keluarga Anda.
 
Mengenai kewajiban membayar pesangon, kami belum menemukan dasar hukum dimaksud. Pesangon adalah istilah yang lebih dikenal dalam hukum ketenagakerjaan, yaitu pembayaran kepada pekerja yang diputuskan hubungan kerjanya. Jika istilah itu hendak dipakai dalam konteks ini, maka menurut kami, penting untuk melihat bagaimana dulu perjanjian ngindung diatur. Jika tak ada ketentuan yang tegas mengatur kewajiban itu, maka tak ada kewajiban Anda untuk membayar. Bahkan menurut Ni’matul Huda, jika pengindung tidak menaati syarat-syarat perjanjian, maka haknya bisa dicabut (2013: 210). Tetapi penting untuk dicatat, bahwa ada kewajiban pengindung untuk menjaga dan memelihara rumah/tanah tersebut selama ditempati. Menjaga dan memelihara itu tentu mengeluarkan biaya. Maka sudah sewajarnya pemilik memberikan uang penggantian yang layak atau semacam kompensasi kepada pengindung (meskipun perhitungannya tidak akan mudah).
 
Jika pemilik hendak menjual tanah/rumah, penting untuk memastikan tanah/rumah tersebut tidak dalam penguasaan orang lain. Kalau masih ada pengindung yang bertahan, Anda akan mengalami kesulitan menjualnya. Dalam tulisan berjudul ‘Aspek Hukum Ngindung’ yang dimuat dalam laman kumham-jogja.infoBH. Andri Ariaji mengatakan memang ada problem sosial dan hukum yang timbul sehubungan dengan status menempati rumah/tanah orang lain yang tak jelas. Apalagi pengindung adalah keturunan ahli waris yang tidak tahu riwayat tanah tersebut.
 
Solusi yang paling tepat menurut kami adalah membicarakan maksud Anda secara baik-baik, melalui musyawarah. Dalam musyawarah itu, misalnya, kedua belah pihak membuat perjanjian yang tegas-tegas menyebut batas waktu ngindung, serta hak dan kewajiban para pihak. Jika tetap tidak bisa, berdasarkan bukti sertifikat, Anda bisa menempuh upaya hukum pidana atau perdata. Tuduhannya, bisa berupa menempati rumah/tanah tanpa hak. Hak milik atas tanah/rumah, dalam konsepsi hukum perdata, adalah hak yang paling sempurna. Pemilik bisa melakukan tindakan hukum apapun (menjual, menggadaikan, memberikan, bahkan menghancurkan) asalkan tidak melanggar Undang-Undang dan hak orang lain (Subekti, 2001: 69-70).
 
Demikian jawaban kami, mudah-mudahan bermanfaat.
 
Dasar hukum:
2.    Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Agraria (lazim dikenal sebagai UUPA).
 
Referensi:
Myrna A. Safitri dan Tristam Moeliono (penyunting). Hukum Agraria dan Masyarakat Indonesia. Jakarta: HuMA-Van Vollenhoven Institute – KITLV. Jakarta: 2010.
 
Ni’matul Huda. Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Perdebatan Konstitusi dan Perundang-Undangan Indonesia. Bandung: Nusa Media, 2013.
 
Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Cet. xxix. Jakarta: Intermasa, 2001.
 

Kamis, 18 Juli 2013

Menkumham Ingatkan Panitia Penerimaan CPNS Kemenkumham 2012 Agar Tidak KKN

Jakarta – Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsudin mengingatkan kepada Panitia Penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Tahun 2012 agar berlaku jujur, adil, bertanggung jawab, netral, dan transparan. Pengarahan Menteri tersebut disampaikan di depan seluruh pejabat eselon I, pejabat eselon II di lingkungan Sekretariat Jenderal, dan seluruh Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Kemenkumham se-Indonesia di Graha Pengayoman, Rabu (04/07), dalam rangka menyambut pengumuman penerimaan CPNS Kemenkumham pada 9 Juli 2012.
Menteri menyatakan, meski penghentian sementara penerimaan CPNS (moratorium) yang dilakukan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN&RB) sejak 1 September 2011 hingga 12 Desember 2012, Kemenkumham tetap menerima kebijakan khusus. "Kementerian Hukum dan HAM mendapat formasi dari Kementerian PAN&RB sebanyak 2839. Kebijakan ini harus disikapi dengan arif dan bijaksana," ujarnya.
Amir Syamsudin menyadari rekrutmen CPNS memiliki peran strategis dalam menentukan kualitas sumber daya manusia di Kemenkumham. "Laksanakanlah segala peraturan yang ada terkait dengan pengadaan CPNS dengan baik. Mulai dari seleksi, penyaringan, pengumuman, dan pemberkasan. Hindari perbuatan KKN," tegasnya.
Tahun ini, Kemenkumham mendapatkan jatah 2879 CPNS dari KemenPAN&RB. Sebanyak 79 formasi dibuka untuk unit pusat, sementara 2800 formasi untuk kanwil dan Unit Pelaksana Teknis (UPT). Perekrutan kali ini diawasi pihak ketiga, yakni Indonesia Corruption Watch (ICW).
Usai pengarahan Menteri, para Kakanwil masih terus mengikuti kegiatan. Di antaranya, Sosialisasi Hasil Kajian Pusjianbang oleh Kepala Pusjianbang, Penjelasan tentang Pemberian Tunjangan Kinerja oleh Kepala Biro Keuangan, Penjelasan tentang Keterbukaan Informasi Publik oleh Kepala Biro Humas dan KLN, dan Penjelasan tentang Penghematan Energi oleh Kepala Biro Umum. (Teks: Laila; Dok.: Tedy, Zaka)

Demi Bona & Hendra, Menyerah Bukan Pilihan

Magrib baru saja merambat menuju isya. Saya masih di kendaraan, meluncur meninggalkan Istana Negara. Malam itu Kamis, 11 Juli 2013, kami baru saja berbuka puasa dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di hari kedua Ramadan. Tiba-tiba handphonesaya bergetar.

Nama Dirjen Pemasyarakatan muncul di layar. "Pak ada musibah," terdengar suara Pak Mochamad Sueb. "Ada pemberontakan napi di Lapas Tanjung Gusta," suara Pak Sueb bergetar. "Sekitar 150-an orang melarikan diri". Saya berusaha tenang. "Apa penyebabnya?" saya bertanya. "Menurut laporan Kakanwil Sumut, karena listrik mati dari pagi dan berpengaruh dengan pasokan air,"

Dirjenpas menjelaskan. "Apakah ada korban jiwa, lukaluka?" saya mulai khawatir. "Tidak ada, Pak," jawab Dirjenpas. Saya menarik nafas lega. Segera saya perintahkan Pak Sueb bersiapsiap untuk pergi ke Medan, memantau langsung situasi lapangan. Begitu telepon kami selesai, saya segera melaporkan kondisi tersebut kepada Menkumham dan Menko Polhukam, sekaligus meminta arahan dan meminta izin untuk melakukan wawancara dengan rekan-rekan media.

Sepanjang perjalanan dan terus hingga di rumah, sampai jam 1 Jumat dini hari, telepon genggam saya tidak berhenti menerima panggilan. Rekan-rekan dari media cetak maupun elektronik menanyakan kondisi Tanjung Gusta, beberapa bahkan datang ke rumah kontrakan kami. Saya putuskan untuk terus berkoordinasi dengan Kakanwil Sumut dan Dirjenpas sembari memberikan wawancara kepada media massa.

Untuk lebih efisien, agar tidak berulang memberikan pernyataan, saya kirimkan rilis singkat kepada media cetak, menjelaskan langkahlangkah pengamanan yang dilakukan. Termasuk menginformasikan komunikasi telepon saya dengan Kapolri. Setiap kali tersambung baik dengan Kakanwil ataupun Dirjenpas, pertanyaan saya selalu, "Apakah ada korban?" Saya mulai khawatir, terutama setelah melihat pemberitaan dan mengetahui Lapas Tanjung Gusta sudah membara, dibakar di bagian kantornya.

Sepanjang malam itu saya tidak tenang, meskipun terus diinformasikan tidak ada korban jiwa. Kekhawatiran saya terbukti. Jumat setelah imsak, tepat di saat sahur ditutup azan subuh, Dirjenpas mengabarkan, "Pak ada korban jiwa, lima orang meninggal. Dua di antaranya petugas kita." Saya setengah berteriak berulang kali mengucapkan "Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun".

Sambil bibir terus mengucapkan istigfar. Apa yang saya takutkan terjadi. Korban jiwa jatuh. Segera saja berita duka itu saya kabarkan ke Pak Amir Syamsudin. Kami berdua terpukul. Sedih dan luka mendalam. Pak Amir dan saya di telepon terdiam cukup lama. Kami menahan haru. Jangankan lima nyawa, satu jiwa pun bagi kami sudah terlalu banyak. Subuh itu, saya dengan pak menteri berbagi tugas.

Beliau ditemani Dirjenpas, Sekjen, dan Irjen langsung meninjau lokasi di Medan, sedangkan saya diperintahkan untuk tetap tinggal di Jakarta. Jumat itu Pak Menteri bertemu dengan perwakilan narapidana, sedangkan saya menjelang salat Jumat melakukan rapat koordinasi bersama Menko Polhukam, Kapolri, dan Kepala BNPT. Sejak malam kejadian, isu bahwa PP Nomor 99/2012 yang menjadi penyebab kerusuhan sudah berhembus.

Semakin siang, isu itu semakin kuat. PP itu memang mengetatkan– bukan menghapuskan– pemberian hak-hak remisi, pembebasan bersyarat kepada narapidana tindak pidana khusus, utamanya korupsi, bandar narkoba, dan teroris. Saya dan Pak Menkumham punya segudang alasan kenapa PP tersebut dikeluarkan. Namun, untuk kali ini, izinkan saya tidak detail membahasnya.

Kolom ini saya dedikasikan bagi para korban yang tewas, termasuk dua petugas kami yang gugur dalam menjalankan tugas. Dua petugas kami yang gugur adalah: Bona Situngkir dan Hendra Naibaho. Bona, 38 tahun, adalah ayah dua orang anak. Sedangkan Hendra, 27 tahun, akan menikah dalam waktu dekat. Bona adalah Kepala Seksi Registrasi, Hendra adalah stafnya. Keduanya terperangkap dalam kobaran api, justru ketika bekerja untuk menyiapkan pemberian remisi Idul Fitri dan 17 Agustus bagi para napi.

Sebagai seksi registrasi mereka telah lembur beberapa hari, dan di hari tragedi jiwanya melayang di tengah tumpukan usulan remisi, di tengah kobaran api. Detik-detik terakhir wafatnya almarhum Bona dan Hendra diceritakan oleh Kepala Pengamanan Tanjung Gusta, Asep Sutandar, dia menulis di antaranya: "Saya merasakan duka yang sangat dalam. Apalagi mengingat dua korban yang sangat dekat dengan saya.

Canda dan tawa di sela-sela situasi yang selalu mencekam tetap menghiasi hari-hari sebelum peristiwa terjadi. Yang lebih menyakitkan pada saat mereka bekerja untuk anak-anak binaannya di saat itu pula harus terbunuh oleh anakanak yang mereka perjuangkan. Yang lebih menyesal lagi, saat mereka merenggang nyawa, dengan suara yang sudah sangat tidak berdaya memanggil nama saya berkali-kali, "Pak Asep minta tolong, saya terkurung."

Sementara saya pun dengan kaki terpincang-pincang setelah melompat tembok 4 meter tidak dapat meraih mereka. Suara api menghilang di telan kobaran api yang mengganas. Allaahu Akbar. Saya pun terduduk lemas. Mengapa kebijakan dalam rangka menciptakan rasa keadilan masyarakat harus ditebus dengan nyawa petugas-petugas terbaik kita."

Saya tercenung, terdiam, menangis membaca tulisan hati Pak Asep. Kebijakan kami untuk menegaskan upaya pemberantasan korupsi, narkoba, dan teroris telah menjadi salah satu penyebab jatuhnya korban jiwa. Pedih di hati tak terperi. Pak Menteri mengambil langkah cepat, dari Medan Beliau menelepon saya. Menginformasikan hasil dialog dengan para napi, dan keputusan yang telah diambilnya. Beliau meminta dukungan saya untuk PP 99 hanya berlaku bagi napi yang keputusannya telah berkekuatan hukum tetap pasca- 12 November 2012.

Tentu saja bagi kami berdua keputusan itu tidak mudah, tetapi kami menyadari, potensi Tanjung Gusta merembet ke lapas dan rutan lain harus diantisipasi. Maka, menghindari korban jiwa lebih banyak, kami sepakat bagi napi yang telah berkekuatan hukum tetap sebelum 12 November, syarat-syarat peringanan hukumannya berlaku PP 28 Tahun 2006.

Langkah mengamankan ketertiban itu perlu diambil karena berbagai alasan tantangan nyata di lapangan. Secara nasional, per 12 Juli 2013 jumlah napi dan tahanan adalah 161.917 orang, dari kapasitas seharusnya hanya 107.925. Itu artinya ada over hingga 150%. Dengan kelebihan demikian, jumlah tenaga pengamanan untuk seluruh Indonesia adalah 11.868 orang, yang dibagi dalam empat regu jaga. Itu artinya, dalam setiap regu jaga rasio penjagaan dengan nara pidana adalah satu berbanding 55 orang.

Sudah melampaui batas ideal yang seharusnya adalah satu petugas menjaga maksimal lima orang warga binaan. Dengan situasi demikian, adanya overcrowded tingkat hunian, dan minimnya petugas penjagaan, mau tidak mau kami harus menjadikan potensi gangguan keamanan sebagai pertimbangan dalam pelaksanaan PP 99 Tahun 2012. Maka, pemberlakuan PP 99 pasca-12 November 2012 adalah peluang solusi kami.

Di satu sisi, tidak mencabut PP tersebut, di lain sisi tetap menjawab potensi gangguan keamanan. Kami tegaskan lagi, pasca- 12 November 2012, PP 99 berlaku tanpa terkecuali. Komitmen antikorupsi, antinarkoba –khususnya untuk bandar, dan antiteroris adalah perjuangan yang tidak bisa ditawar lagi. Korban sudah jatuh, kami sangat terluka. Tetapi jiwa yang sudah gugur, darah yang telah terkucur tidak akan kami balas dengan sikap menyerah.

Dalam perjuangan melawan korupsi, narkotika, teroris dan kejahatan luar biasa lainnya, menyerah yang berarti kalah, bukan pilihan. Justru dengan telah gugurnya para korban, termasuk Bona Situngkir dan Hendra Naibaho, kami harus terus maju. Pengorbanan jiwa mereka untuk Indonesia yang lebih bermartabat tidak boleh sia-sia.

Demi Bona dan Hendra, menyerah bukan pilihan, untuk Indonesia yang lebih antikorupsi, lebih antinarkoba, lebih antiteroris. Keepon fighting for the better Indonesia. 
Magrib baru saja merambat menuju isya. Saya masih di kendaraan, meluncur meninggalkan Istana Negara. Malam itu Kamis, 11 Juli 2013, kami baru saja berbuka puasa dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di hari kedua Ramadan. Tiba-tiba handphonesaya bergetar.

Nama Dirjen Pemasyarakatan muncul di layar. "Pak ada musibah," terdengar suara Pak Mochamad Sueb. "Ada pemberontakan napi di Lapas Tanjung Gusta," suara Pak Sueb bergetar. "Sekitar 150-an orang melarikan diri". Saya berusaha tenang. "Apa penyebabnya?" saya bertanya. "Menurut laporan Kakanwil Sumut, karena listrik mati dari pagi dan berpengaruh dengan pasokan air,"

Dirjenpas menjelaskan. "Apakah ada korban jiwa, lukaluka?" saya mulai khawatir. "Tidak ada, Pak," jawab Dirjenpas. Saya menarik nafas lega. Segera saya perintahkan Pak Sueb bersiapsiap untuk pergi ke Medan, memantau langsung situasi lapangan. Begitu telepon kami selesai, saya segera melaporkan kondisi tersebut kepada Menkumham dan Menko Polhukam, sekaligus meminta arahan dan meminta izin untuk melakukan wawancara dengan rekan-rekan media.

Sepanjang perjalanan dan terus hingga di rumah, sampai jam 1 Jumat dini hari, telepon genggam saya tidak berhenti menerima panggilan. Rekan-rekan dari media cetak maupun elektronik menanyakan kondisi Tanjung Gusta, beberapa bahkan datang ke rumah kontrakan kami. Saya putuskan untuk terus berkoordinasi dengan Kakanwil Sumut dan Dirjenpas sembari memberikan wawancara kepada media massa.

Untuk lebih efisien, agar tidak berulang memberikan pernyataan, saya kirimkan rilis singkat kepada media cetak, menjelaskan langkahlangkah pengamanan yang dilakukan. Termasuk menginformasikan komunikasi telepon saya dengan Kapolri. Setiap kali tersambung baik dengan Kakanwil ataupun Dirjenpas, pertanyaan saya selalu, "Apakah ada korban?" Saya mulai khawatir, terutama setelah melihat pemberitaan dan mengetahui Lapas Tanjung Gusta sudah membara, dibakar di bagian kantornya.

Sepanjang malam itu saya tidak tenang, meskipun terus diinformasikan tidak ada korban jiwa. Kekhawatiran saya terbukti. Jumat setelah imsak, tepat di saat sahur ditutup azan subuh, Dirjenpas mengabarkan, "Pak ada korban jiwa, lima orang meninggal. Dua di antaranya petugas kita." Saya setengah berteriak berulang kali mengucapkan "Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun".

Sambil bibir terus mengucapkan istigfar. Apa yang saya takutkan terjadi. Korban jiwa jatuh. Segera saja berita duka itu saya kabarkan ke Pak Amir Syamsudin. Kami berdua terpukul. Sedih dan luka mendalam. Pak Amir dan saya di telepon terdiam cukup lama. Kami menahan haru. Jangankan lima nyawa, satu jiwa pun bagi kami sudah terlalu banyak. Subuh itu, saya dengan pak menteri berbagi tugas.

Beliau ditemani Dirjenpas, Sekjen, dan Irjen langsung meninjau lokasi di Medan, sedangkan saya diperintahkan untuk tetap tinggal di Jakarta. Jumat itu Pak Menteri bertemu dengan perwakilan narapidana, sedangkan saya menjelang salat Jumat melakukan rapat koordinasi bersama Menko Polhukam, Kapolri, dan Kepala BNPT. Sejak malam kejadian, isu bahwa PP Nomor 99/2012 yang menjadi penyebab kerusuhan sudah berhembus.

Semakin siang, isu itu semakin kuat. PP itu memang mengetatkan– bukan menghapuskan– pemberian hak-hak remisi, pembebasan bersyarat kepada narapidana tindak pidana khusus, utamanya korupsi, bandar narkoba, dan teroris. Saya dan Pak Menkumham punya segudang alasan kenapa PP tersebut dikeluarkan. Namun, untuk kali ini, izinkan saya tidak detail membahasnya.

Kolom ini saya dedikasikan bagi para korban yang tewas, termasuk dua petugas kami yang gugur dalam menjalankan tugas. Dua petugas kami yang gugur adalah: Bona Situngkir dan Hendra Naibaho. Bona, 38 tahun, adalah ayah dua orang anak. Sedangkan Hendra, 27 tahun, akan menikah dalam waktu dekat. Bona adalah Kepala Seksi Registrasi, Hendra adalah stafnya. Keduanya terperangkap dalam kobaran api, justru ketika bekerja untuk menyiapkan pemberian remisi Idul Fitri dan 17 Agustus bagi para napi.

Sebagai seksi registrasi mereka telah lembur beberapa hari, dan di hari tragedi jiwanya melayang di tengah tumpukan usulan remisi, di tengah kobaran api. Detik-detik terakhir wafatnya almarhum Bona dan Hendra diceritakan oleh Kepala Pengamanan Tanjung Gusta, Asep Sutandar, dia menulis di antaranya: "Saya merasakan duka yang sangat dalam. Apalagi mengingat dua korban yang sangat dekat dengan saya.

Canda dan tawa di sela-sela situasi yang selalu mencekam tetap menghiasi hari-hari sebelum peristiwa terjadi. Yang lebih menyakitkan pada saat mereka bekerja untuk anak-anak binaannya di saat itu pula harus terbunuh oleh anakanak yang mereka perjuangkan. Yang lebih menyesal lagi, saat mereka merenggang nyawa, dengan suara yang sudah sangat tidak berdaya memanggil nama saya berkali-kali, "Pak Asep minta tolong, saya terkurung."

Sementara saya pun dengan kaki terpincang-pincang setelah melompat tembok 4 meter tidak dapat meraih mereka. Suara api menghilang di telan kobaran api yang mengganas. Allaahu Akbar. Saya pun terduduk lemas. Mengapa kebijakan dalam rangka menciptakan rasa keadilan masyarakat harus ditebus dengan nyawa petugas-petugas terbaik kita."

Saya tercenung, terdiam, menangis membaca tulisan hati Pak Asep. Kebijakan kami untuk menegaskan upaya pemberantasan korupsi, narkoba, dan teroris telah menjadi salah satu penyebab jatuhnya korban jiwa. Pedih di hati tak terperi. Pak Menteri mengambil langkah cepat, dari Medan Beliau menelepon saya. Menginformasikan hasil dialog dengan para napi, dan keputusan yang telah diambilnya. Beliau meminta dukungan saya untuk PP 99 hanya berlaku bagi napi yang keputusannya telah berkekuatan hukum tetap pasca- 12 November 2012.

Tentu saja bagi kami berdua keputusan itu tidak mudah, tetapi kami menyadari, potensi Tanjung Gusta merembet ke lapas dan rutan lain harus diantisipasi. Maka, menghindari korban jiwa lebih banyak, kami sepakat bagi napi yang telah berkekuatan hukum tetap sebelum 12 November, syarat-syarat peringanan hukumannya berlaku PP 28 Tahun 2006.

Langkah mengamankan ketertiban itu perlu diambil karena berbagai alasan tantangan nyata di lapangan. Secara nasional, per 12 Juli 2013 jumlah napi dan tahanan adalah 161.917 orang, dari kapasitas seharusnya hanya 107.925. Itu artinya ada over hingga 150%. Dengan kelebihan demikian, jumlah tenaga pengamanan untuk seluruh Indonesia adalah 11.868 orang, yang dibagi dalam empat regu jaga. Itu artinya, dalam setiap regu jaga rasio penjagaan dengan nara pidana adalah satu berbanding 55 orang.

Sudah melampaui batas ideal yang seharusnya adalah satu petugas menjaga maksimal lima orang warga binaan. Dengan situasi demikian, adanya overcrowded tingkat hunian, dan minimnya petugas penjagaan, mau tidak mau kami harus menjadikan potensi gangguan keamanan sebagai pertimbangan dalam pelaksanaan PP 99 Tahun 2012. Maka, pemberlakuan PP 99 pasca-12 November 2012 adalah peluang solusi kami.

Di satu sisi, tidak mencabut PP tersebut, di lain sisi tetap menjawab potensi gangguan keamanan. Kami tegaskan lagi, pasca- 12 November 2012, PP 99 berlaku tanpa terkecuali. Komitmen antikorupsi, antinarkoba –khususnya untuk bandar, dan antiteroris adalah perjuangan yang tidak bisa ditawar lagi. Korban sudah jatuh, kami sangat terluka. Tetapi jiwa yang sudah gugur, darah yang telah terkucur tidak akan kami balas dengan sikap menyerah.

Dalam perjuangan melawan korupsi, narkotika, teroris dan kejahatan luar biasa lainnya, menyerah yang berarti kalah, bukan pilihan. Justru dengan telah gugurnya para korban, termasuk Bona Situngkir dan Hendra Naibaho, kami harus terus maju. Pengorbanan jiwa mereka untuk Indonesia yang lebih bermartabat tidak boleh sia-sia.

Demi Bona dan Hendra, menyerah bukan pilihan, untuk Indonesia yang lebih antikorupsi, lebih antinarkoba, lebih antiteroris. Keepon fighting for the better Indonesia. 